I. Pendahuluan dan Konteks Awal Surah Al-Baqarah
Surah Al-Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, menempati posisi sentral dalam pemahaman akidah dan syariat Islam. Ayat-ayat awalnya berfungsi sebagai mukadimah yang membagi manusia menjadi tiga kategori utama terkait dengan petunjuk (hidayah) yang dibawa oleh Al-Qur'an:
- Al-Muttaqin (Orang-orang bertakwa): Mereka yang mengambil manfaat dari petunjuk, beriman kepada yang gaib, dan mendirikan salat (Ayat 2-5).
- Al-Kafirun (Orang-orang kafir): Mereka yang secara eksplisit dan final menolak kebenaran (Ayat 6-7).
- Al-Munafiqun (Orang-orang munafik): Mereka yang menunjukkan keimanan di luar namun menyembunyikan kekafiran di dalam hati (Ayat 8-20).
Ayat keenam telah menegaskan bahwa bagi mereka yang kafir, peringatan maupun ketidak-peringatan sama saja; mereka tidak akan beriman. Ayat ketujuh ini hadir sebagai penutup tegas dan penjelasan mendalam mengenai mengapa keadaan kekafiran mereka menjadi permanen dan tidak dapat diubah oleh dakwah lahiriah.
II. Analisis Teks Surah Al-Baqarah Ayat 7
Terjemahan harfiah: “Allah telah mengunci mati/menyegel (khatama) hati mereka dan pada pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka ada penutup/selimut (ghisyawah), dan bagi mereka siksa yang besar.” (QS. Al-Baqarah: 7)
A. Tahlil Lafzi (Analisis Kata Per Kata)
1. خَتَمَ اللَّهُ (Khatamallāhu - Allah telah menyegel)
Kata kunci utama di sini adalah *khatama* (ختم), yang secara leksikal berarti menutup, mengunci, atau memberi cap/segel. Penggunaan kata ini sangat kuat, mengindikasikan bahwa proses penutupan ini bersifat final, tidak mudah ditembus, dan merupakan tindakan langsung dari Kehendak Ilahi. Segel digunakan untuk menjamin bahwa isi wadah tidak akan keluar, dan tidak ada yang asing bisa masuk. Dalam konteks hati, ini berarti cahaya keimanan tidak bisa masuk, dan potensi hidayah yang mungkin ada di dalam hati telah dihentikan pertumbuhannya.
2. عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ (Alā Qulūbihim - Pada hati mereka)
Dalam terminologi Al-Qur'an, *Qalb* (hati) bukanlah hanya organ fisik, melainkan pusat kesadaran, akal, perasaan, dan tempat bertumbuhnya iman. Ketika Allah menyegel hati, yang terhenti adalah kemampuan hati untuk membedakan antara yang benar (*haq*) dan yang batil (*bathil*), kemampuan untuk merenung, dan kemampuan untuk menerima kebenasan ruhani. Penyegelan ini adalah sanksi atas penolakan berulang yang disengaja.
3. وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ (Wa ‘alā sam‘ihim - Dan pada pendengaran mereka)
Pendengaran (*sam’*) di sini merujuk pada indra yang menerima wahyu, ajakan, dan peringatan. Penyegelan pendengaran bukan berarti tuli fisik, tetapi ketulian spiritual. Mereka mendengar ayat-ayat Al-Qur'an dan dakwah Rasulullah, tetapi informasi tersebut tidak mampu menembus kesadaran dan merangsang pemahaman. Bagi mereka, suara kebenaran hanyalah kebisingan tanpa makna.
4. غِشَاوَةٌ (Ghisyāwah - Penutup/Selimut)
Menariknya, Al-Qur'an menggunakan kata kerja *khatama* (menyegel) untuk hati dan pendengaran, tetapi menggunakan kata benda *ghisyāwah* (penutup/selimut) untuk penglihatan (*abshārihim*). Ini mungkin mengindikasikan bahwa pandangan fisik mereka terhijab oleh lapisan tebal penolakan dan hawa nafsu duniawi. *Ghisyawah* adalah tirai tebal yang mencegah mata ruhani mereka melihat tanda-tanda kebesaran Allah (Ayatullah) yang tersebar di alam semesta maupun dalam diri mereka sendiri.
5. عَذَابٌ عَظِيمٌ (Azhābun ‘azhīm - Siksa yang besar)
Ayat ini ditutup dengan konsekuensi final dari penyegelan spiritual ini: siksa yang sangat besar di akhirat. Siksa ini adalah balasan yang setimpal atas penolakan permanen terhadap rahmat dan petunjuk Ilahi yang telah diberikan berulang kali. Ini menegaskan bahwa keadaan kekafiran yang disegel bukanlah tanpa konsekuensi abadi.
Gambar SVG: Representasi simbolis penyegelan (Khatm) pada hati (pusat) dan penghalang pada indra penglihatan dan pendengaran.
III. Implikasi Teologis: Hidayah, Dhalalah, dan Kehendak Bebas
Ayat 7 seringkali menjadi titik fokus perdebatan teologis mengenai takdir (*Qadar*), kehendak bebas (*Ikhtiyar*), dan kriteria hidayah (*Hidayah*) serta kesesatan (*Dhalalah*). Jika Allah sendiri yang menyegel hati mereka, lantas di mana letak tanggung jawab manusia atas kekafiran mereka?
A. Konsep Penyegelan sebagai Akibat, Bukan Sebab Awal
Mayoritas ulama tafsir menegaskan bahwa penyegelan Ilahi (*Khatm*) bukanlah tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Allah sejak awal penciptaan seseorang, melainkan merupakan respons dan konsekuensi logis dari pilihan dan penolakan keras yang dilakukan oleh individu tersebut secara berulang-ulang.
Seandainya penyegelan terjadi sebelum adanya penolakan dan pembangkangan dari pihak hamba, maka siksa yang besar (*Azhābun ‘azhīm*) akan terasa tidak adil. Oleh karena itu, tafsir yang paling kuat menyatakan bahwa orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini adalah mereka yang:
- Telah berulang kali menerima seruan kebenaran.
- Telah memahami bukti-bukti kebenaran secara jelas (melalui fitrah dan wahyu).
- Secara sadar, dengan kehendak bebasnya, memilih untuk menolak dan mengingkari.
Tindakan penolakan yang terus-menerus ini menyebabkan hati mereka mengeras, dan akhirnya, Allah menetapkan kekafiran mereka sebagai kondisi permanen—sebuah bentuk hukuman di dunia sebelum hukuman di akhirat. Penyegelan ini adalah penarikan rahmat dan taufik untuk beriman, yang merupakan keadilan Ilahi bagi mereka yang menolak petunjuk-Nya setelah mereka menyaksikannya.
B. Perbedaan antara Khatm (Segel) dan Maradh (Penyakit)
Penting untuk membedakan antara Ayat 7 dan Ayat 10 dari Surah Al-Baqarah:
- Ayat 7 (Kafirun): Menggunakan *Khatm* (Segel). Ini merujuk pada kekafiran yang final dan absolut. Tidak ada harapan perbaikan, karena potensi hidayah telah ditutup.
- Ayat 10 (Munafiqun): Menggunakan *Maradh* (Penyakit). Hati orang munafik dikatakan sakit (*fī qulūbihim maraḍun*). Penyakit menunjukkan kondisi yang masih bisa disembuhkan atau diperburuk. Munafik masih memiliki ruang abu-abu, meskipun pada akhirnya mereka tetap berada pada kesesatan.
Penyegelan adalah tahapan akhir, ketika hati telah sepenuhnya berkarat oleh dosa dan ingkar, sehingga tidak ada lagi air hujan (wahyu) yang bisa meresap ke dalamnya.
C. Peran Sunnatullah dalam Hidayah
Para ulama juga melihat ayat ini dalam kerangka *Sunnatullah* (Hukum alam dan ilahi). Ada hukum sebab-akibat spiritual: Siapa yang mencari Allah dengan sungguh-sungguh, Allah akan membuka jalannya (*hidayatul irsyad*). Sebaliknya, siapa yang keras kepala dan menolak cahaya, Allah akan membiarkannya dalam kegelapan. Penyegelan adalah puncak dari proses ini, di mana kehendak Allah sejalan dengan kecenderungan buruk yang dipilih oleh hamba tersebut.
Hal ini juga terkait dengan konsep *Istidraj*—yaitu membiarkan seseorang dalam kesesatan dan kenikmatan duniawi, sehingga mereka mengira mereka berada di atas kebenaran, padahal mereka sedang digiring menuju kehancuran. Kekafiran yang disegel ini adalah bentuk *Istidraj* paling serius.
IV. Tafsir Mendalam Ulama Klasik Mengenai Khatm
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai ayat yang sarat makna ini, kita perlu merujuk pada pandangan para mufassir terdahulu, yang telah mengurai kedalaman linguistik dan teologisnya.
A. Pandangan Imam At-Tabari (W. 310 H)
At-Tabari menekankan bahwa makna *khatama* adalah menutup secara mutlak. Beliau berpendapat bahwa penyegelan ini terjadi setelah hamba menunjukkan kekufuran dan keengganan yang pasti. Tindakan Allah menyegel adalah penegasan terhadap realitas yang telah mereka pilih. At-Tabari menolak pandangan yang menyatakan bahwa penyegelan terjadi sebelum pilihan manusia, karena hal itu akan bertentangan dengan prinsip keadilan yang mendasari Al-Qur'an. Dengan kata lain, Allah hanya menyegel wadah yang sudah kosong dari iman, bukan yang masih memiliki benih keimanan.
B. Interpretasi Imam Al-Qurtubi (W. 671 H)
Al-Qurtubi dalam tafsirnya memperluas makna penyegelan dengan menghubungkannya pada aspek fisik dan spiritual. Beliau menjelaskan bahwa penyegelan pendengaran dan hati secara harfiah berarti Allah mencabut taufik (*assistance*) dari mereka untuk menggunakan indra tersebut demi kebaikan. Ini bukanlah pembekuan total kemampuan mental, melainkan penghapusan kemampuan mereka untuk memperoleh manfaat spiritual dari penggunaan akal dan indra yang sehat. Al-Qurtubi juga membahas perbedaan pendapat antara Qadariyah (yang menekankan kehendak bebas total) dan Jabariyah (yang menekankan takdir total), dan menetapkan bahwa posisi Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah tengah, di mana penyegelan adalah balasan atas pilihan awal yang buruk.
C. Penekanan Imam Ibn Kathir (W. 774 H)
Ibn Kathir, dalam tafsirnya, sering menghubungkan Ayat 7 dengan ayat-ayat lain yang membahas konsekuensi penolakan, seperti dalam Surah An-Nisa (4:155) dan Surah Al-An'am (6:110). Ibn Kathir menyatakan bahwa karena mereka menolak kebenaran dan kesaksian yang datang kepada mereka, dan mereka terus-menerus melakukan hal itu, Allah menghukum mereka dengan membalikkan hati mereka (pembalasan setimpal), menjadikan mereka tidak mampu memahami kebenaran lebih lanjut. Ini adalah pembalasan yang sesuai (جَزَاءً وِفَاقًا - *jazā’an wifāqan*).
D. Tafsir Ruhul Ma'ani oleh Al-Alusi (W. 1270 H)
Al-Alusi menyajikan perspektif yang lebih mendalam mengenai fungsi indra. Ia menjelaskan bahwa segel pada hati adalah hilangnya pemikiran yang benar, segel pada pendengaran adalah penolakan terhadap nasihat, dan penutup pada penglihatan (*ghisyawah*) adalah ketidakmampuan untuk melihat kebenaran yang jelas di alam semesta. Al-Alusi menyimpulkan bahwa keadaan ini merupakan peringatan bagi orang-orang beriman agar senantiasa menjaga hati mereka dari penolakan sekecil apa pun, karena penolakan kecil yang berulang dapat mengarah pada penyegelan total.
V. Analisis Lanjutan: Fungsi Hati, Pendengaran, dan Penglihatan dalam Islam
Penyebutan spesifik tiga elemen ini—hati, pendengaran, dan penglihatan—bukanlah kebetulan. Ketiganya merupakan saluran utama masuknya hidayah dan pengetahuan bagi manusia. Jika saluran-saluran ini terblokir, maka hubungan manusia dengan realitas spiritual terputus sepenuhnya.
A. Qalb (Hati): Pusat Kognisi Spiritual
Hati adalah ‘mata batin’ manusia. Ia berfungsi sebagai akal yang memproses data spiritual. Al-Qur'an berulang kali mencela mereka yang memiliki hati tetapi tidak menggunakannya untuk memahami: “...bagi mereka hati yang tidak mereka gunakan untuk memahami...” (QS. Al-A’raf: 179). Penyegelan hati berarti organ pemahaman spiritual telah berhenti bekerja, menjadikan seluruh eksistensi individu berorientasi pada dunia fisik semata.
Keimanan adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Ketika hati disegel, cahaya ini dipadamkan, dan hati menjadi gelap, diisi oleh keraguan (*shakk*), kemunafikan (*nifaq*), dan kekafiran (*kufr*). Proses penyegelan ini sangat gradual; dimulai dari setitik dosa yang tidak segera diiringi taubat, yang kemudian menjadi noda, lalu mengeras, hingga akhirnya menjadi segel yang kokoh.
B. Sam’ (Pendengaran): Gerbang Wahyu
Dalam sejarah kenabian, pendengaran adalah indra utama yang digunakan untuk menyampaikan risalah. Rasulullah menyampaikan wahyu melalui ucapan, dan para sahabat menerimanya melalui pendengaran mereka. Pendengaran yang disegel (secara spiritual) tidak mampu membedakan antara bimbingan dan bisikan syaitan. Ia hanya mendengarkan apa yang sejalan dengan hawa nafsu dan prasangka yang sudah ada di dalam hati yang disegel tersebut.
Penghalang pendengaran ini menciptakan isolasi spiritual. Mereka hidup di tengah komunitas yang beriman, mendengar panggilan salat, mendengar bacaan Al-Qur'an, namun bagi mereka, itu semua hanyalah suara asing. Mereka telah kehilangan kemampuan untuk ‘mendengar’ dengan hati.
C. Absār (Penglihatan): Saksi Ayatullah
Penglihatan adalah indra yang menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah (*Ayatullah*) di alam semesta—pergantian siang dan malam, penciptaan manusia, keteraturan jagat raya. Penutup (*ghisyāwah*) pada penglihatan berarti mata fisik mereka melihat, tetapi mata batin mereka buta. Mereka melihat keajaiban alam, tetapi menafsirkannya hanya sebagai kebetulan material, menolak untuk melihat campur tangan dan kebijaksanaan Sang Pencipta.
Ayat 7 mengajarkan bahwa kekafiran ekstrem adalah keadaan di mana semua saluran komunikasi spiritual telah ditutup, menyebabkan individu berada dalam penjara kegelapan total, tanpa jalan keluar kecuali melalui mukjizat Ilahi yang jarang terjadi setelah penyegelan.
VI. Konsekuensi Kekafiran yang Disegel dan Azab yang Besar
Akhir dari Ayat 7 adalah penegasan konsekuensi abadi: وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (Dan bagi mereka siksa yang besar). Besarnya siksa ini proporsional dengan besarnya rahmat dan petunjuk yang telah mereka tolak. Siksa yang besar ini mencakup lebih dari sekadar rasa sakit fisik; ia melibatkan penderitaan spiritual dan penyesalan abadi.
A. Kualitas Azab yang Azhīm (Besar)
Kata *‘azhīm* (besar/agung) sering digunakan dalam Al-Qur'an untuk menjelaskan sifat Allah (Al-‘Azhīm) atau urusan yang sangat penting. Ketika diterapkan pada siksa, ini menunjukkan kualitas penderitaan yang luar biasa, melampaui penderitaan duniawi. Hal ini meliputi:
- Penyesalan yang Tiada Akhir: Mereka menyadari kebenaran mutlak setelah terlambat, dan penyesalan ini menjadi siksa batin yang tak terperikan.
- Ketidakmampuan Bertobat: Karena keadaan spiritual mereka sudah tersegel, mereka tidak lagi memiliki kesempatan untuk kembali kepada Allah.
- Kepastian Kekal: Siksa ini bersifat kekal (*khālida fīhā*), mencerminkan finalitas penyegelan yang terjadi di dunia.
B. Pertimbangan Sifat Rahman dan Rahim Allah
Meskipun ayat ini terdengar keras dan final, penting untuk menempatkannya dalam konteks sifat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang (*Ar-Rahman Ar-Rahim*). Penyegelan ini adalah tindakan keadilan, bukan tirani. Itu adalah ‘pintu keluar’ terakhir yang ditutup setelah semua pintu rahmat dan peringatan telah mereka tendang dan lewati. Rahmat Allah mendahului murka-Nya, dan penyegelan hanya terjadi pada mereka yang telah mencapai batas tertinggi dari kekerasan hati dan kesombongan spiritual.
Penyegelan ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi umat Islam yang beriman, agar mereka senantiasa menjaga hati dari virus kesombongan, penolakan terhadap kebenaran yang jelas, dan cinta buta terhadap dunia. Selama hati masih berdetak dan nafas masih di tenggorokan, pintu taubat dan hidayah tetap terbuka—kecuali bagi mereka yang keadaannya telah ditetapkan oleh Allah sebagai yang tertutup secara permanen karena pilihan buruk mereka sendiri.
C. Relevansi Kontemporer: Kekafiran Modern
Dalam konteks modern, penyegelan hati dapat dimanifestasikan melalui:
- Sikap Sinisme Total: Menolak semua kebenaran agama tanpa mau meneliti, bersembunyi di balik sains atau filsafat materialistik.
- Fanatisme Duniawi: Keterikatan buta pada ideologi atau gaya hidup yang bertentangan dengan fitrah, sehingga menolak segala teguran moral atau spiritual.
- Egoisme Intelektual: Menganggap diri terlalu pintar untuk menerima ajaran yang dianggap ‘tradisional’ atau ‘tidak ilmiah,’ padahal bukti-bukti kebesaran Allah terpampang jelas.
Semua sikap ini, jika dilakukan secara terus-menerus dan disengaja, berpotensi menarik ‘segala’ Ilahi, menjadikan individu tersebut tuli terhadap panggilan hidayah di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern.
VII. Mekanisme Linguistik Khatm dan Ghisyawah
Keindahan dan ketepatan bahasa Al-Qur'an terlihat jelas dalam diksi yang dipilih dalam Ayat 7. Penggunaan *Khatm* (Segel) dan *Ghisyawah* (Penutup/Selimut) memberikan nuansa makna yang berbeda namun saling melengkapi, memperkuat gambaran keadaan spiritual mereka.
A. Analogi Khatm: Segel Kunci
Segel (*Khatm*) secara tradisional digunakan untuk mengunci wadah (misalnya guci atau peti) yang berisi sesuatu yang penting, atau untuk memverifikasi keaslian surat. Dalam kasus hati dan pendengaran, *khatm* mengimplikasikan bahwa hati telah diubah menjadi wadah yang tertutup rapat. Tidak hanya tidak bisa menerima kebenaran (segel mencegah masuk), tetapi juga tidak bisa mengeluarkan kebaikan (segel mencegah keluar). Proses ini menunjukkan tindakan aktif dan permanen dari Allah.
B. Analogi Ghisyawah: Selimut Penghalang
*Ghisyawah* adalah tirai atau selimut yang menutupi sesuatu. Ketika digunakan untuk penglihatan, ia menyiratkan bahwa indra tersebut masih ada dan berfungsi secara fisik, tetapi telah ditutupi oleh lapisan yang sangat tebal. Ini berbeda dari *khatm* yang sifatnya mengunci; *ghisyawah* sifatnya menghalangi pandangan. Mereka melihat Nabi Muhammad, mereka melihat Ka’bah, mereka melihat mukjizat (jika ada), tetapi penutup tebal prasangka dan kebencian menghalangi cahaya hidayah untuk sampai ke hati mereka.
Dapat disimpulkan bahwa hati dan pendengaran mengalami penguncian internal (*khatm*), sedangkan penglihatan mengalami penghalangan eksternal (*ghisyawah*). Gabungan ketiga kondisi ini memastikan bahwa individu tersebut benar-benar terisolasi dari kebenaran spiritual.
C. Hubungan Timbal Balik antara Hati dan Indra
Islam mengajarkan bahwa indra berfungsi sebagai ‘pintu’ menuju hati. Jika hati telah rusak (disegel), maka indra pun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Pendengaran yang sehat seharusnya membawa pesan kebenaran ke hati yang siap menerima. Penglihatan yang sehat seharusnya menangkap tanda-tanda kebesaran Allah dan mengirimkannya ke hati untuk diolah menjadi iman. Ketika hati telah tersegel, ia memancarkan kegelapan ke indra, sehingga meskipun mata dan telinga bekerja secara fisik, informasi yang masuk diproses sebagai dusta dan kesia-siaan.
Inilah siklus kesesatan: penolakan hati memicu disfungsi indra, dan disfungsi indra memperkuat penolakan hati, hingga mencapai titik penyegelan yang tidak bisa diubah.
VIII. Melindungi Qalb dari Penyegelan (Pelajarannya bagi Mukmin)
Meskipun Ayat 7 berbicara tentang nasib orang-orang kafir yang teguh, ia memberikan pelajaran yang sangat penting bagi orang beriman: betapa rapuhnya kondisi hati dan betapa mudahnya ia bisa tergelincir menuju kekerasan dan penolakan.
A. Menjaga Fitrah (Kesucian Asal)
Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu kecenderungan alami untuk mengakui keesaan Allah. Dosa dan penolakan yang disengaja adalah faktor utama yang mengotori fitrah. Untuk mencegah penyegelan, seorang Mukmin harus segera membersihkan hati dari noda dosa melalui taubat (*tawbah*) yang tulus. Taubat berfungsi sebagai penghapus noda yang, jika dibiarkan, akan mengeras menjadi segel.
B. Memaksimalkan Penggunaan Akal dan Indra untuk Iman
Hati yang hidup adalah hati yang senantiasa mencari ilmu dan petunjuk. Seorang mukmin harus secara aktif menggunakan pendengarannya untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an dan ceramah keagamaan, dan menggunakan penglihatannya untuk merenungkan keindahan ciptaan Allah. Berdiam diri, malas merenung, dan menghindari majelis ilmu adalah langkah awal menuju ketulian spiritual.
Seorang Mukmin tidak boleh menyaring wahyu dan menerima hanya yang ia sukai. Sikap menolak sebagian wahyu karena bertentangan dengan logika atau hawa nafsu pribadi, jika terus dilakukan, adalah perilaku yang meniru karakter orang kafir yang disebutkan dalam Ayat 7.
C. Pentingnya Konsistensi (Istiqamah)
Kekafiran yang disegel dalam Ayat 7 adalah hasil dari ketidak-konsistenan dan penolakan yang terus menerus. Kebalikan dari itu adalah *Istiqamah*, yaitu keteguhan dalam menjalankan ketaatan. *Istiqamah* menjaga hati tetap terbuka dan basah oleh iman, sehingga segel tidak memiliki kesempatan untuk terbentuk. Doa para nabi, “Ya Muqallib al-Qulūb, Thabbit Qalbī ‘alā Dīnik” (Wahai Yang Membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas agama-Mu), adalah pengakuan akan perlunya perlindungan Ilahi terus-menerus terhadap penyegelan hati.
Penyegelan adalah sebuah hukuman yang mengerikan, karena ia merampas karunia terbesar yang dimiliki manusia: kemampuan untuk menerima dan merespons kebenaran. Oleh karena itu, introspeksi diri mengenai kebersihan hati adalah kewajiban yang berkelanjutan.
IX. Perbandingan Konsep Segel dalam Al-Qur'an Lain
Ayat 7 Surah Al-Baqarah bukanlah satu-satunya tempat di mana konsep penyegelan hati disebutkan. Ayat-ayat serupa menguatkan makna bahwa ini adalah pola Ilahi yang konsisten terhadap mereka yang memilih kesesatan secara permanen.
A. Surah An-Nisa’ (4:155)
Ayat ini menyebutkan: فَبِمَا نَقْضِهِم مِّيثَٰقَهُمْ وَكُفْرِهِم بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَقَوْلِهِمْ قُلُوبُنَا غُلْفٌۢ بَلْ طَبَعَ ٱللَّهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ (Maka karena mereka melanggar janji itu dan karena kekafiran mereka terhadap ayat-ayat Allah, dan karena mereka mengatakan: 'Hati kami tertutup'. Bahkan sebenarnya Allah telah mengunci mati (mengecap) hati mereka karena kekafiran mereka itu...).
Dalam konteks ini, kata *thaba’a* (طبع) digunakan, yang maknanya sangat mirip dengan *khatama* (ختم), yaitu memberi cap atau menyegel. Ayat ini secara eksplisit mengaitkan penyegelan sebagai hukuman langsung atas ‘kekafiran mereka’ (*bi-kufrihim*). Ini menguatkan tesis bahwa penyegelan adalah akibat dari pilihan manusia, bukan penyebabnya.
B. Surah Al-Jatsiyah (45:23)
أَفَرَأَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍۢ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ وَقَلْبِهِۦ (Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan dibiarkan sesat oleh Allah berdasarkan pengetahuan-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya...)
Ayat ini menambahkan dimensi penting: penyegelan terjadi pada orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan (*ittakhadha ilāhahu hawāhu*). Orang tersebut secara sadar mengganti petunjuk Ilahi dengan keinginan pribadinya. Kesesatan yang terjadi (*aḍallahu Allāhu*) adalah karena Allah tahu persis kondisi hati mereka dan pilihan yang telah mereka buat (*‘alā ‘ilmin*).
C. Kesimpulan Intertekstual
Melalui perbandingan ini, jelas bahwa tema penyegelan hati dalam Al-Qur'an selalu berfungsi sebagai sanksi Ilahi atas penolakan, kesombongan, dan penyembahan hawa nafsu yang dilakukan secara sadar dan berulang kali. Al-Baqarah Ayat 7 menetapkan landasan teologis ini di awal mushaf, memberikan kontras yang tajam antara mereka yang menerima petunjuk dan mereka yang menolaknya secara total.
X. Memperdalam Makna “Azab yang Besar” (Azhābun ‘Azhīm)
Penutupan ayat dengan ancaman azab yang besar memberikan penekanan bahwa kondisi spiritual yang disegel di dunia berimplikasi langsung pada azab di akhirat. Azab ini bukan sekadar penderitaan fisik di neraka, tetapi merupakan penjelmaan dari kegagalan eksistensial dan spiritual.
A. Keterkaitan Dosa dan Ukuran Azab
Dalam Islam, keadilan mensyaratkan bahwa hukuman sesuai dengan kejahatan. Kekafiran yang disegel dalam Ayat 7 dianggap sebagai dosa terbesar, yaitu syirik dan kufur mutlak, karena ia menolak sumber kehidupan spiritual. Oleh karena itu, balasan yang diberikan adalah *‘Azhīm* (Besar). Azab ini mencerminkan besarnya nikmat hidayah yang diabaikan dan dibuang oleh mereka yang bersangkutan.
B. Neraka sebagai Cerminan Keadaan Spiritual
Para ulama tafsir kontemporer sering menjelaskan bahwa siksa akhirat adalah cerminan dari kondisi batin yang dibawa dari dunia. Jika di dunia hati mereka tertutup kegelapan, di akhirat mereka akan kekal dalam kegelapan. Jika di dunia mereka tuli terhadap kebenaran, di akhirat mereka akan mengalami siksaan pendengaran yang mengerikan. Azab yang besar tersebut adalah manifestasi fisik dan abadi dari penyegelan spiritual yang telah mereka pilih di kehidupan dunia.
Penyegelan adalah penolakan terhadap pemurnian. Neraka berfungsi sebagai tempat pemurnian bagi Mukmin yang berdosa, namun bagi orang kafir yang hatinya disegel, Neraka adalah tempat pemenuhan takdir yang mereka ciptakan sendiri melalui penolakan terhadap kebenaran.
C. Kesimpulan Akhir Ayat 7
Surah Al-Baqarah Ayat 7 berdiri sebagai batas pemisah yang jelas. Setelah Allah menjelaskan ciri-ciri orang yang berhasil (Al-Muttaqin), Dia segera menjelaskan ciri-ciri orang yang gagal total. Ayat ini adalah peringatan tentang bahaya penolakan yang gigih. Itu adalah cermin bagi setiap individu untuk memeriksa dirinya: apakah hatiku masih terbuka? Apakah pendengaranku masih sensitif terhadap panggilan kebenaran? Apakah mataku masih melihat tanda-tanda kebesaran Allah?
Kekuatan ayat ini terletak pada finalitasnya. Ia mengingatkan bahwa waktu untuk memilih adalah sekarang, dan penolakan yang terus menerus memiliki batas yang jika dilampaui, akan membawa konsekuensi yang tak terbayangkan besarnya, yaitu Azab yang Besar.
Ayat ini mendorong orang beriman untuk senantiasa berdoa memohon perlindungan dari pengerasan hati dan penyegelan spiritual, serta untuk menggunakan semua indra yang diberikan Allah demi mencari dan menerima cahaya hidayah, sehingga mereka tidak termasuk dalam golongan yang dihukum dengan penutupan abadi.