Tafsir Mendalam: Surah Al-Baqarah Ayat 70

Pelajaran Ketaatan dan Konsekuensi Keras Kepala

Simbol Kitab Suci dan Petunjuk Ilahi Sebuah gambar abstrak yang mewakili kitab suci Al-Qur'an yang terbuka, melambangkan petunjuk dan kejelasan ilahi.

Petunjuk Ilahi dan Kejelasan dalam Perintah.

Pendahuluan: Rangkaian Kisah Al-Baqarah

Surah Al-Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, tidak hanya menjadi fondasi syariat Islam, tetapi juga menyimpan narasi mendalam tentang sejarah umat terdahulu, khususnya Bani Israil. Di antara narasi yang paling terkenal adalah kisah tentang perintah penyembelihan sapi betina (Al-Baqarah). Kisah ini membentang dari ayat 67 hingga ayat 73, dan Ayat 70 merupakan titik klimaks dari penolakan dan penguluran waktu yang dilakukan oleh Bani Israil terhadap perintah Allah SWT.

Ayat ini menjadi cerminan dari sifat manusia yang cenderung mempersulit hal yang telah dimudahkan. Ketika perintah datang, respons yang ideal adalah ketaatan segera (sami’na wa ata’na). Namun, Bani Israil memilih jalan sebaliknya: mempertanyakan, mendebat, dan meminta rincian yang pada akhirnya memberatkan mereka sendiri. Analisis mendalam terhadap Ayat 70 tidak hanya mengungkap keindahan bahasa Al-Qur'an, tetapi juga menawarkan pelajaran universal tentang hubungan antara hamba dan Penciptanya, menekankan pentingnya kepatuhan tanpa keragu-raguan yang berlebihan.

Latar Belakang Perintah Penyembelihan Sapi

Perintah penyembelihan sapi ini muncul sebagai solusi atas kasus pembunuhan misterius yang terjadi di tengah Bani Israil. Mereka saling tuduh, dan untuk mengakhiri perselisihan tersebut, Allah memerintahkan mereka untuk menyembelih seekor sapi. Tujuan dasarnya adalah agar sebagian dari sapi itu dipukulkan kepada mayat, sehingga mayat tersebut hidup kembali sesaat dan memberitahukan siapa pembunuhnya. Ini adalah mukjizat yang menunjukkan kekuasaan Allah untuk menghidupkan yang mati, sekaligus memberikan keadilan.

Pada awalnya, perintah tersebut sangatlah umum: 'Sembelihlah seekor sapi'. Sapi apa pun akan mencukupi. Namun, sifat Bani Israil yang suka mendebat dan mencari-cari kesulitan membuat mereka mengajukan serangkaian pertanyaan spesifik yang berulang-ulang, mulai dari jenisnya, warnanya, hingga status kerjanya. Ayat 70 adalah tahap terakhir dari proses permintaan klarifikasi yang semakin mempersempit pilihan mereka.

Teks Ayat Suci dan Terjemahan

قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ
"Mereka berkata, 'Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami sapi apakah itu. Sesungguhnya sapi itu (kelihatannya) sama saja bagi kami, dan jika Allah menghendaki, niscaya kami mendapat petunjuk.'" (QS. Al-Baqarah: 70)

Ayat ini merekam dialog terakhir Bani Israil dengan Nabi Musa AS sebelum spesifikasi sapi tersebut benar-benar ditentukan secara rinci. Frasa kuncinya adalah: إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا (Sesungguhnya sapi itu kelihatannya sama saja bagi kami).

Analisis Tafsir Mendalam Ayat 70

1. Permintaan Klarifikasi yang Berulang (ادْعُ لَنَا رَبَّكَ)

Pengulangan permintaan mereka untuk Nabi Musa mendoakan agar Allah menjelaskan (ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا) menunjukkan kurangnya kesabaran dan keengganan mereka untuk menerima perintah secara sederhana. Mereka telah menanyakan tentang warna (Ayat 69) dan usia (Ayat 68), dan kini mereka kembali dengan alasan bahwa semua sapi terlihat sama.

Dalam pandangan ulama tafsir seperti Ibnu Katsir, penggunaan frasa ini, setelah serangkaian pertanyaan sebelumnya, menunjukkan adanya keengganan tersembunyi untuk melaksanakan perintah. Jika mereka benar-benar ingin patuh, mereka akan memilih sapi pertama yang memenuhi syarat minimum. Akan tetapi, mereka terus mencari pembenaran untuk menunda tindakan, yang pada akhirnya membawa mereka pada kesulitan yang tak terhindarkan.

2. Masalah Kesamaan (إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا)

Ini adalah inti dari Ayat 70. Bani Israil berdalih bahwa begitu banyak sapi yang ada di sekitar mereka, dan semua sapi tampak sama (تشابه - *tasyaabaha*). Mereka merasa kesulitan menentukan mana yang dimaksud oleh Allah, setelah berbagai spesifikasi telah diberikan.

Komentar para mufassir tentang poin ini sangat penting: Sapi tidak akan menjadi "sama" jika mereka tidak mempersulitnya. Ketika Allah hanya memerintahkan 'sapi', semua sapi adalah jawaban. Ketika mereka meminta 'warna kuning' (Ayat 69), batasnya sudah dipersempit. Kini, mereka kembali ke titik awal keraguan, menunjukkan bahwa keraguan mereka bukan berasal dari ketidakjelasan perintah, melainkan dari keinginan untuk menghindar atau menuntut kesempurnaan definisi. Dalam konteks ini, 'kesamaan' yang mereka rasakan adalah hasil dari kekakuan mental mereka sendiri, bukan ambiguitas Ilahi.

3. Makna Frasa 'Dan Jika Allah Menghendaki, Niscaya Kami Mendapat Petunjuk' (وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ)

Frasa ini merupakan penutup yang mengandung dua penafsiran utama:

A. Pengakuan Kelemahan dan Harapan Petunjuk:

Dalam tafsir yang lebih positif, Bani Israil mengakui bahwa tanpa bantuan dan kehendak Allah, mereka tidak akan mampu menemukan sapi yang dimaksud. Mereka menggunakan frasa *In Syaa Allah* (Jika Allah menghendaki) sebagai pengakuan akan ketergantungan mereka pada takdir dan petunjuk Ilahi untuk menuntun mereka pada kebenatan.

B. Ironi dan Sikap Acuh Tak Acuh:

Namun, mayoritas ulama tafsir melihat frasa ini dengan nada ironis, mengingat konteks keseluruhan kisah. Setelah tiga kali mengajukan pertanyaan yang memberatkan, penggunaan frasa 'In Syaa Allah' di sini bisa diartikan sebagai bentuk janji yang lemah atau bahkan sindiran. Seolah-olah mereka berkata, "Kami berharap kali ini kami akan mendapat petunjuk, setelah pertanyaan kami dijawab." Ini mencerminkan keragu-raguan mereka yang berkelanjutan, padahal Nabi Musa sudah memberikan petunjuk yang jelas dari Allah.

Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa meskipun mereka mengucapkan 'In Syaa Allah', konteksnya menunjukkan bahwa mereka belum sepenuhnya menyerah pada keragu-raguan. Mereka menempatkan syarat (kehendak Allah) setelah mereka menuntut klarifikasi yang berlebihan, menunjukkan bahwa proses ketaatan mereka masih bergantung pada terpenuhinya rasa ingin tahu mereka yang tidak perlu.

4. Respon Akhir Nabi Musa (Ayat 71)

Ayat 70 adalah permintaan terakhir. Respon Nabi Musa di Ayat 71 mengakhiri keraguan mereka dengan deskripsi yang sangat spesifik dan, secara finansial, sangat memberatkan: sapi yang belum pernah digunakan untuk membajak tanah, tidak digunakan untuk mengairi tanaman, tanpa cacat sedikit pun, dan warnanya kuning bersih yang menakjubkan.

Perluasan persyaratan dari sapi umum menjadi sapi yang langka ini adalah konsekuensi langsung dari pertanyaan berlebihan mereka di Ayat 67, 68, 69, dan 70. Jika mereka patuh pada perintah pertama, mereka hanya perlu mengorbankan sapi biasa. Kini, mereka dipaksa mencari sapi dengan deskripsi yang sangat spesifik dan harganya melambung tinggi, sebagai hukuman atas sikap keras kepala mereka.

Hikmah Filosofis dan Hukum dari Ayat 70

A. Konsekuensi Sikap Berlebihan (التنطع - At-Tanattu')

Pelajaran terpenting dari seluruh kisah Al-Baqarah, khususnya Ayat 70, adalah larangan dalam syariat untuk bersikap berlebihan atau memberat-beratkan diri dalam urusan agama (At-Tanattu'). Allah SWT, melalui Nabi-Nya, memberikan perintah yang jelas dan mudah. Manusia tidak perlu menggali rincian yang tidak diperintahkan atau meminta klarifikasi yang membuat perintah tersebut menjadi sulit.

Dalam tradisi Islam, terdapat peringatan keras mengenai hal ini. Rasulullah SAW bersabda, "Celakalah orang-orang yang berlebihan (al-mutanatti’uun)." Sikap Bani Israil adalah contoh nyata bagaimana Tanattu' mengubah ketaatan yang seharusnya ringan menjadi beban yang berat. Mereka adalah arsitek dari kesulitan mereka sendiri.

Analisis Lebih Jauh Mengenai Tanattu':

Sikap berlebihan ini muncul dari dua sumber: pertama, kurangnya keyakinan total pada hikmah perintah; kedua, keinginan untuk menunda atau menghindari pelaksanaan. Ketika Bani Israil meminta "sapi yang kelihatannya sama saja bagi kami," mereka sebenarnya mencari celah. Mereka tidak puas dengan parameter yang luas, melainkan menuntut definisi sempit yang, ironisnya, hampir mustahil dipenuhi. Ini mengajarkan bahwa keraguan yang tidak pada tempatnya dapat mengubah kemudahan syariat menjadi kesulitan yang diciptakan oleh diri sendiri.

B. Pentingnya Kejelasan dalam Berkomunikasi dengan Wahyu

Meskipun Al-Qur'an dan Sunnah menganjurkan kepatuhan segera, ia juga membedakan antara bertanya untuk mencari pemahaman praktis dan bertanya untuk mencari-cari kesalahan atau kesulitan.

Pertanyaan pertama mereka (tentang jenisnya) wajar. Pertanyaan kedua (tentang warnanya) mulai memberatkan. Pertanyaan ketiga (tentang penggunaan sapi) sudah masuk kategori Tanattu'. Ayat 70, di mana mereka mengeluhkan kesamaan semua sapi, menunjukkan bahwa niat mereka sudah bergeser dari mencari petunjuk menjadi mencari alasan. Petunjuk Ilahi hadir dengan kejelasan yang memadai, dan jika ada ambiguitas, Allah akan menyediakannya melalui Rasul-Nya. Namun, Al-Qur'an mengkritik mereka yang menolak mengambil yang mudah dan terus mendesak untuk rincian yang tidak relevan.

C. Konsep Ketaatan Mutlak (Tawakkal)

Kisah ini menegaskan konsep ketaatan mutlak (*Tawakkal*). Iman sejati adalah melaksanakan perintah tanpa perlu memahami sepenuhnya setiap detail filosofis di baliknya, terutama jika detail tersebut tidak diberikan. Tugas hamba adalah melaksanakan, bukan mempertanyakan mengapa harus sapi, mengapa harus dibunuh, atau mengapa sapi harus berwarna tertentu.

Sikap Bani Israil pada Ayat 70 ini kontras dengan sikap umat Nabi Muhammad SAW yang, ketika menerima perintah (misalnya, perubahan kiblat), langsung menjawab, "Kami dengar dan kami patuhi" (sami’na wa ata’na). Perbedaan respons ini menjadi perbandingan historis yang mendalam dalam teologi Islam.

Pelajaran Ketaatan Sempurna:

Seandainya Bani Israil segera menyembelih sapi mana pun pada saat perintah pertama diberikan (Ayat 67), mereka akan memenuhi kewajiban dan terhindar dari kesulitan mencari sapi yang harganya setinggi emas karena spesifikasi yang mereka minta sendiri.

Konteks Sejarah dan Psikologi Bani Israil

1. Kecenderungan untuk Mendebat Nabi (الجدل)

Sejarah Bani Israil, seperti yang digambarkan berulang kali dalam Al-Qur'an, ditandai dengan kecenderungan kuat untuk mendebat dan meragukan kenabian Musa AS. Kisah Al-Baqarah ini hanyalah salah satu contoh. Ketika mereka diperintahkan masuk ke Yerusalem, mereka juga menolak. Ketika mereka diberi manna dan salwa, mereka menuntut makanan lain. Sikap ini berakar pada ketidakmampuan untuk menerima otoritas Ilahi secara total.

Dalam konteks Ayat 70, keengganan untuk menerima bahwa 'semua sapi terlihat sama' adalah manifestasi dari psikologi mencari pembenaran. Mereka tidak ingin menerima bahwa perintah yang begitu besar (penyelesaian kasus pembunuhan) bisa diselesaikan dengan tindakan sesederhana menyembelih sapi biasa. Mereka merasa harus ada ritual yang lebih rumit, yang justru mereka ciptakan sendiri melalui pertanyaan-pertanyaan mereka.

2. Peran Nabi Musa sebagai Mediator

Ayat 70 menggunakan frasa "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami" (*Ud’u lana Rabbak*). Penggunaan kata 'Tuhanmu' daripada 'Tuhan kita' menunjukkan adanya jarak spiritual antara Bani Israil dan Allah SWT. Meskipun mereka adalah umat yang dipimpin oleh Nabi Musa, mereka masih melihat Musa sebagai satu-satunya penghubung yang valid, alih-alih membangun hubungan langsung dengan Tuhan yang sama. Ini mencerminkan kurangnya kedekatan pribadi dengan Sang Pencipta, yang menghasilkan keraguan dan permintaan mediasi terus-menerus.

Nabi Musa, meskipun lelah dengan pertanyaan mereka, tetap menjalankan tugasnya sebagai mediator kenabian, menyampaikan perintah akhir dari Allah SWT dengan rincian yang memberatkan sebagai konsekuensi logis dari sikap mereka.

3. Bahaya Mendalami Hal yang Tidak Diperintahkan

Salah satu pelajaran terbesar dari kisah ini adalah bahaya terlalu mendalami atau menuntut rincian tentang hal-hal yang tidak diwajibkan dalam syariat. Para fuqaha (ahli fikih) menetapkan kaidah bahwa sesuatu yang dibiarkan oleh syariat dalam keadaan umum (mutlak) harus diterima apa adanya.

Jika Bani Israil tidak bertanya, sapi akan tetap mutlak. Namun, ketika mereka bertanya di Ayat 70 tentang "sapi apakah itu" karena "semua sapi sama," mereka memaksa Nabi Musa untuk mendapatkan jawaban yang mempersempit ruang gerak mereka. Ini adalah prinsip universal: Jangan mencari-cari kesulitan dalam hidup beragama, sebab kesulitan itu mungkin akan diwajibkan padamu.

Implikasi Teologis dan Syariat dari Ayat 70

A. Penetapan Batasan Hukum (Tasydid)

Ayat 70 dan rangkaian kisah Al-Baqarah merupakan contoh klasik dalam Ushul Fiqh (Prinsip Hukum Islam) mengenai bagaimana umat dapat menyebabkan penetapan batasan hukum (*Tasydid*) yang awalnya tidak ada. Para ulama sepakat bahwa jika suatu perintah diberikan secara umum, maka melaksanakannya dalam bentuk apa pun yang memenuhi syarat minimum adalah sah dan mencukupi. Dengan meminta rincian, Bani Israil mengubah hukum dari kelonggaran menjadi kekakuan.

Imam Asy-Syafi'i, dalam membahas hukum yang dipersempit oleh pertanyaan, merujuk pada kisah ini. Ia menjelaskan bahwa jika Allah ingin sapi itu memiliki spesifikasi tertentu dari awal, Dia akan menyebutkannya. Karena Dia tidak menyebutkannya, maka semua sapi boleh. Dengan demikian, ketaatan Bani Israil pada Ayah 70 telah jauh lebih sulit daripada ketaatan yang seharusnya mudah pada Ayah 67.

B. Kekuasaan Allah dalam Menghidupkan yang Mati

Meskipun fokus Ayat 70 adalah pada ketaatan, hasil dari ketaatan itu (yang dicapai di Ayat 73) adalah manifestasi keagungan Allah dalam menghidupkan kembali mayat. Seluruh kesulitan yang mereka ciptakan sendiri harus dilalui agar mukjizat terbesar—membongkar rahasia pembunuhan dan menghidupkan mayat—dapat terwujud.

Ayat 70, meskipun dipenuhi keraguan manusia, berfungsi sebagai jembatan menuju pengakuan total akan kekuasaan Allah. Keraguan mereka pada akhirnya diselesaikan bukan hanya dengan definisi sapi, tetapi dengan bukti nyata (mukjizat) yang menyertai pengorbanan tersebut.

C. Peran Doa Nabi Musa

Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami." Ini menunjukkan bahwa mereka masih percaya pada kekuatan doa Nabi Musa. Namun, mereka tidak sadar bahwa setiap kali Musa berdoa untuk klarifikasi, spesifikasi yang datang selalu lebih sulit dari sebelumnya. Ini adalah ironi spiritual: mereka mencari keringanan melalui doa Nabi, tetapi karena niat mereka yang berbelit-belit, hasil doanya justru menambah beban.

Setiap jawaban yang datang dari Allah melalui Musa adalah kebenaran, tetapi kebenaran itu datang dengan harga yang lebih mahal karena tuntutan mereka yang tidak henti-hentinya. Ayat ini menyoroti bahwa doa dan permintaan harus disertai dengan hati yang ikhlas dan siap menerima perintah, bukan untuk mencari pembenaran atas penundaan.

D. Prinsip Kehati-hatian yang Berlebihan vs. Keyakinan

Dalam kehidupan modern, Ayat 70 sering digunakan untuk mengkritik birokrasi agama atau sikap individu yang cenderung meminta fatwa berlebihan untuk hal-hal yang jelas. Kecenderungan untuk mencari-cari detail minor (yang mereka sebut sebagai 'kesamaan' atau *tasyaabaha*) ketika perintah fundamental sudah jelas, dapat mengganggu fokus utama syariat, yaitu ketaatan hati dan jiwa.

Sikap Bani Israil adalah contoh dari kehati-hatian yang berlebihan, yang berujung pada keraguan. Keyakinan sejati mendorong kita untuk bergerak cepat setelah menerima perintah yang memadai, bukan menunggu sampai setiap kemungkinan dihilangkan dari keraguan.

Perbandingan dan Aplikasi Kontemporer Hikmah Ayat 70

1. Kontras dengan Umat Muhammad SAW

Para ulama selalu membandingkan respon Bani Israil dengan respon umat Nabi Muhammad SAW. Hadis-hadis menunjukkan bahwa Nabi sering kali menahan diri untuk tidak memberikan terlalu banyak detail atau hukum yang memberatkan agar tidak membebani umatnya. Beliau menekankan bahwa jika sesuatu ditinggalkan oleh syariat, itu adalah rahmat, dan janganlah mencari-cari kesulitan di dalamnya.

Perbedaan respons Bani Israil (bertanya sampai memberatkan diri) dan umat Muhammad SAW (mematuhi agar terhindar dari beban) menjadi garis pemisah antara umat yang mendapatkan rahmat dan umat yang mendapatkan kekakuan dalam hukum.

2. Aplikasi dalam Fikih Muamalah

Dalam urusan fikih kontemporer, pelajaran dari Ayat 70 relevan dalam menetapkan batasan-batasan dalam transaksi (muamalah) atau ibadah. Jika syariat memberikan kelonggaran (misalnya, mengenai jenis makanan halal), kita tidak perlu menuntut bukti kehalalan yang melampaui standar yang ditetapkan, kecuali ada keraguan yang sah dan mendasar.

Kisah ini mengajarkan para mufti (pemberi fatwa) untuk berhati-hati dalam menanggapi pertanyaan yang bersifat memberatkan. Jika penanya bermaksud mencari celah atau mempersulit diri, mufti harus mengarahkan kembali kepada kemudahan syariat, agar tidak menciptakan 'sapi' yang mustahil ditemukan.

3. Bahaya Intelektualisasi yang Berlebihan

Di era modern, Ayat 70 menjadi teguran bagi mereka yang terlalu mengandalkan akal dan intelektualisasi dalam menghadapi wahyu. Meskipun Islam menghargai akal, kepatuhan kadang-kadang harus melampaui logika duniawi. Perintah menyembelih sapi yang kemudian digunakan untuk menghidupkan mayat adalah perintah suprarasional. Dengan meminta detail yang rasional, Bani Israil kehilangan fokus pada tujuan akhir: mukjizat dan ketaatan.

Saat mereka berkata, "sapi itu kelihatannya sama saja bagi kami," mereka menunjukkan keengganan untuk menerima bahwa kesederhanaan dapat menghasilkan keajaiban. Mereka mencari kompleksitas, dan Allah memberikan kompleksitas tersebut sebagai ujian.

4. Pentingnya Niat yang Jelas

Niat Bani Israil pada Ayat 70, meskipun diselingi dengan 'In Syaa Allah', tidak sepenuhnya bersih dari keragu-raguan. Niat yang baik dan ikhlas untuk segera melaksanakan perintah adalah kunci untuk mendapatkan keringanan dan kemudahan dari Allah SWT. Sebaliknya, niat yang berbelit-belit atau menunda-nunda akan mendatangkan kesulitan, bahkan ketika perintahnya datang dari sumber yang paling suci.

Pelajaran ini bersifat abadi: Ketaatan sejati tidak mengenal tawar-menawar atau permintaan klarifikasi yang berlebihan. Ketika kita dihadapkan pada perintah, respons pertama haruslah penerimaan, dan keraguan harus segera diatasi dengan keyakinan, bukan dengan permintaan rincian yang akan membelenggu diri sendiri.

Kesimpulan Akhir: Pelajaran Abadi dari Ayat 70

Surah Al-Baqarah Ayat 70 adalah pilar penting dalam narasi historis Al-Qur'an. Ia bukan sekadar catatan sejarah tentang Bani Israil, melainkan peta jalan spiritual bagi setiap hamba. Ayat ini mengajarkan bahwa dalam hubungan dengan perintah Ilahi, kemudahan dan keringanan terletak pada kepatuhan yang segera dan tanpa syarat.

Sikap Bani Israil yang terus-menerus mengeluhkan 'kesamaan' sapi menunjukkan bahwa masalah sebenarnya bukan pada sapi itu sendiri, melainkan pada hati mereka yang penuh keraguan. Keraguan itu membuat perintah yang luas menjadi sempit, mengubah pilihan yang mudah menjadi kewajiban yang mahal. Konsekuensinya adalah mereka harus mencari sapi yang sangat langka, dan membayar harganya dengan mahal, hanya karena mereka gagal menerima perintah dalam kesederhanaannya yang asli.

Oleh karena itu, bagi setiap Muslim, Ayat 70 adalah pengingat konstan: Carilah kemudahan dalam syariat, dan janganlah Anda menjadi penyebab bagi kesulitan yang ditetapkan atas diri Anda sendiri. Terima petunjuk Allah dengan sepenuh hati, tanpa perlu menuntut setiap detail yang akan membebani perjalanan ketaatan Anda.

Kisah ini ditutup dengan kejelasan perintah, yang akhirnya membuat Bani Israil menemukan sapi yang dimaksud. Namun, pesan utamanya tetap bergema: Ketika perintah Allah datang, patuhilah, sebelum keraguan Anda mengubah kemudahan menjadi kesulitan, dan sebelum Anda harus mencari 'sapi langka' di tengah padang ketaatan yang seharusnya luas dan lapang.

Perluasan Analisis: Rantai Pertanyaan dan Eskalasi Hukum

Untuk memahami sepenuhnya dampak Ayat 70, kita harus menempatkannya dalam rangkaian pertanyaan yang dimulai dari Ayat 67. Perhatikan bagaimana setiap pertanyaan yang diajukan Bani Israil secara progresif mempersempit spesifikasi dan meningkatkan harga sapi:

  1. Ayat 67: Perintah Dasar. Allah memerintahkan: "Sembelihlah seekor sapi betina." (Implikasi: Sapi apa pun, muda atau tua, warna apa pun, murah).
  2. Ayat 68: Pertanyaan Pertama (Usia). Mereka bertanya: "Jelaskan kepada kami bagaimana (sapi) itu?" Musa menjawab: Sapi yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda, pertengahan antara keduanya. (Implikasi: Spesifikasi mulai dipersempit, harganya naik sedikit).
  3. Ayat 69: Pertanyaan Kedua (Warna). Mereka bertanya: "Jelaskan kepada kami apa warnanya?" Musa menjawab: Kuning tua yang indah, yang menyenangkan orang yang melihatnya. (Implikasi: Spesifikasi sangat dipersempit; sapi kuning cerah yang menarik jarang, harga mulai melambung).
  4. Ayat 70: Pertanyaan Ketiga (Aktivitas dan Kekaburan). Mereka bertanya: "Sapi itu kelihatannya sama saja bagi kami..." dan meminta klarifikasi terakhir. (Implikasi: Mereka menolak menerima batas yang telah ada, memaksa Allah memberikan spesifikasi final).
  5. Ayat 71: Jawaban Akhir. Allah menjelaskan: Sapi yang belum pernah dipakai membajak tanah, tidak digunakan mengairi tanaman, tanpa cacat, dan warnanya kuning bersih cemerlang. (Implikasi: Sapi perawan yang tidak pernah bekerja, tanpa noda, dan warna spesifik. Ini adalah sapi yang paling mahal dan langka, harganya setara beratnya emas, sebagai akibat langsung dari *tasyaabaha* yang mereka ciptakan).

Ayat 70 adalah titik balik di mana mereka menyatakan "kekaburan" (*tasyaabaha*) padahal kekaburan itu sudah lama hilang setelah jawaban di Ayat 69. Kekaburan yang mereka rasakan hanyalah refleksi dari keengganan mereka untuk menerima perintah. Mereka menggunakan klaim kesamaan untuk menuntut detail lebih lanjut, padahal kriteria 'kuning tua yang menyenangkan' sudah sangat spesifik. Ini adalah upaya terakhir untuk berargumentasi sebelum terpaksa menerima ketentuan yang paling ketat.

Dimensi Akhlak dalam Sikap Terhadap Wahyu

Kisah ini juga merupakan pelajaran etika (akhlak) dalam berinteraksi dengan sumber hukum agama. Sikap Bani Israil menunjukkan kurangnya *adab* (sopan santun) terhadap Nabi Musa AS dan terhadap perintah Ilahi. Mereka seharusnya menerima dengan kepasrahan, tetapi mereka memilih untuk menuntut dengan nada yang meragukan. Ini adalah kontras antara kepasrahan (Islam) dan negosiasi (sikap Bani Israil).

Jika seseorang meyakini bahwa perintah datang dari Dzat Yang Maha Tahu, maka setiap detail yang diberikan sudah sempurna. Jika detail itu umum, maka hal itu adalah rahmat. Jika hamba terus bertanya hingga detail itu menjadi sempit, itu menunjukkan ketidakpercayaan pada kemudahan yang diberikan di awal. Ayat 70 adalah titik di mana Allah, dalam kebijaksanaan-Nya, mengakhiri negosiasi manusiawi dan menetapkan batas final melalui Nabi Musa, batas yang seberat batu ujian bagi mereka.

Penyelesaian kisah ini, di mana mereka akhirnya menemukan sapi itu dengan susah payah, dan kemudian menggunakan bagiannya untuk menghidupkan mayat, berfungsi sebagai pembenaran atas seluruh proses. Mukjizat itu menunjukkan bahwa seluruh rincian, betapapun rumitnya, bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan menunjukkan kekuasaan Allah. Namun, kesulitan dalam menemukan sapi itu adalah hukuman pendidikan atas keras kepala mereka, bukan bagian yang diperlukan dari mukjizat itu sendiri.

Melampaui Batas Keraguan: Memahami 'Lamuhdaduun'

Frasa penutup Ayat 70, وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ (dan jika Allah menghendaki, niscaya kami mendapat petunjuk), juga perlu ditelaah dari sudut pandang linguistik dan teologis. Penggunaan partikel penegasan *lam* (لَـ) yang digabungkan dengan *in syaa Allah* menunjukkan adanya upaya untuk meyakinkan Musa bahwa kali ini mereka serius. Namun, keseriusan ini baru muncul setelah keputusasaan karena semua sapi terlihat sama. Mereka telah mencapai batas logis mereka, dan kini mereka kembali bersandar pada kehendak Ilahi.

Ini mengajarkan bahwa ketergantungan pada Allah (*Tawakkal*) tidak boleh menjadi alat tawar-menawar atau pembenaran untuk sikap keras kepala yang mendahului. Tawakkal yang benar adalah patuh pada perintah pertama, lalu berserah diri. Tawakkal Bani Israil di sini adalah tawakkal setelah mereka gagal dalam usaha rasionalisasi dan argumentasi mereka, yang menunjukkan kelemahan iman dan bukan kekuatan pasrah.

Secara keseluruhan, Ayat 70 Al-Baqarah adalah peringatan monumental dalam Al-Qur'an. Ia mengingatkan kita bahwa dalam beragama, kita harus memilih jalan kemudahan yang telah disediakan oleh Allah, menahan diri dari memberat-beratkan diri, dan selalu merespon perintah Ilahi dengan ketaatan penuh, bukan dengan keraguan yang menciptakan 'kesamaan' buatan di mana seharusnya ada kejelasan absolut. Kepatuhan adalah kunci menuju rahmat; argumentasi berlebihan adalah jalan menuju beban yang tak perlu.

Ayat ini menutup bagian negosiasi. Setelah Musa memberikan deskripsi akhir di Ayat 71, mereka akhirnya menyatakan, "Sekarang barulah engkau menerangkan (sapi) yang sebenarnya." Kalimat ini mengkonfirmasi interpretasi bahwa mereka sengaja mencari-cari alasan sebelumnya. Mereka terpaksa menerima, membayar harga yang mahal, dan melaksanakan perintah yang pada dasarnya sudah sederhana sejak awal. Inilah warisan abadi dari Al-Baqarah Ayat 70: Pelajaran tentang harga mahal dari sikap keras kepala yang tidak perlu.

🏠 Kembali ke Homepage