I. Pengantar: Rangkaian Kisah Sapi Bani Israel
Surah Al-Baqarah, yang berarti 'Sapi Betina', memperoleh namanya dari sebuah kisah panjang yang terentang dari ayat 67 hingga ayat 73. Kisah ini menceritakan perintah Allah SWT kepada Bani Israel melalui Nabi Musa AS untuk menyembelih seekor sapi betina guna mengungkap misteri pembunuhan yang terjadi di antara mereka. Ayat 71, yang menjadi fokus utama kajian ini, merupakan penutup dan penyelesaian dari serangkaian pertanyaan dan perdebatan yang dilakukan oleh Bani Israel dalam menanggapi perintah ilahi.
Kisah ini adalah cerminan abadi tentang psikologi ketaatan versus keraguan. Ketika perintah pertama diturunkan (Ayat 67), perintah tersebut bersifat umum: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." Namun, alih-alih bersegera menunaikan perintah tersebut, mereka justru mengajukan pertanyaan bertubi-tubi, meminta spesifikasi yang sebetulnya tidak diperlukan. Setiap pertanyaan yang mereka ajukan mengakibatkan perintah menjadi semakin sulit dan detail.
Ayat 71 adalah klimaks dari dialog ini. Setelah bertanya tentang warna (Ayat 69) dan ciri-ciri lain (Ayat 70), akhirnya mereka mendapatkan deskripsi yang sangat spesifik dan ketat, jauh lebih sulit daripada perintah awal yang sederhana. Ayat 71 adalah realisasi dari konsekuensi permintaan mereka sendiri untuk mendapatkan kejelasan yang berlebihan.
II. Teks Arab dan Terjemah Al-Baqarah Ayat 71
Dia (Musa) berkata, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak (pula) untuk mengairi tanaman, sapi yang sehat (tidak ada cacatnya) dan tidak ada belangnya sedikit pun." Mereka berkata, "Sekarang barulah engkau menerangkan hakikat (sapi yang sebenarnya) kepada kami." Lalu mereka menyembelihnya, setelah hampir saja mereka tidak melaksanakannya. (QS. Al-Baqarah, 2:71)
III. Analisis Linguistik dan Tafsir Kata Kunci
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah frasa-frasa kunci yang memberikan deskripsi akhir sapi yang harus dikorbankan. Deskripsi ini, yang muncul sebagai respons atas desakan Bani Israel, akhirnya menunjuk pada seekor sapi yang sangat spesifik dan, berdasarkan beberapa riwayat, sangat berharga.
A. Sapi yang Belum Pernah Bekerja: لَّا ذَلُولٌ تُثِيرُ الْأَرْضَ وَلَا تَسْقِي الْحَرْثَ
Frasa ini memberikan dua sifat esensial: tidak dijinakkan (*la dzalulun*) dan tidak digunakan untuk bertani.
- لَّا ذَلُولٌ (La Dzaluulun): Secara harfiah berarti 'tidak ditundukkan' atau 'tidak dijinakkan'. Ini mengindikasikan bahwa sapi tersebut adalah sapi muda atau sapi yang tidak pernah dipaksa bekerja di bawah kuk.
- تُثِيرُ الْأَرْضَ (Tutsirul Ardha): 'Menggemburkan tanah' atau 'membajak tanah'. Ini menyingkirkan semua sapi yang digunakan untuk pekerjaan pertanian yang berat.
- لَا تَسْقِي الْحَرْثَ (Wa la Tasqil Hartsa): 'Dan tidak digunakan untuk mengairi tanaman'. Sapi yang digunakan untuk memutar alat pengairan (seperti shaduf atau na'ura) juga dikesampingkan.
Kesimpulan dari deskripsi ini menurut para mufassir seperti Ibnu Katsir adalah bahwa sapi ini haruslah sapi yang masih ‘perawan’ dalam artian belum pernah mengalami pekerjaan keras dan berat. Hal ini menunjukkan nilai dan kemuliaan hewan tersebut, yang jauh lebih tinggi daripada sapi pekerja biasa.
B. Sapi yang Sehat dan Utuh: مُسَلَّمَةٌ (Musallamatun)
Kata musallamatun berasal dari akar kata salima (selamat, utuh, damai). Dalam konteks ini, ia membawa beberapa makna penting yang disepakati oleh mayoritas ulama tafsir:
- Sapi yang Utuh: Bebas dari segala cacat fisik, baik yang terlihat maupun tersembunyi.
- Sapi yang Sehat: Tidak menderita penyakit.
- Sapi yang Diserahkan: Dalam konteks lebih luas, sebagian mufassir menafsirkan ini sebagai sapi yang telah ‘diselamatkan’ atau dipersiapkan secara khusus, mungkin merujuk pada kisah riwayat mengenai kepemilikan sapi ini (kisah seorang yatim yang menjaga sapi tersebut).
C. Tanpa Belang Sedikit Pun: لَّا شِيَةَ فِيهَا (La shiyata fiha)
Kata shiyah (شِيَةَ) merujuk pada tanda, warna yang berbeda, atau belang yang menodai keseragaman warna.
Frasa ini secara definitif menekankan bahwa sapi tersebut harus berwarna tunggal, murni, dan seragam. Mengingat ayat sebelumnya (2:69) sudah menentukan warnanya 'kuning tua yang menyenangkan bagi orang yang melihatnya', ayat 71 mengunci spesifikasi ini dengan menuntut kemurnian total warna tersebut, tanpa bercak putih, hitam, atau warna lain yang memecah keindahan dan kesempurnaan warna tunggalnya.
IV. Tafsir Al-Jami' dan Hikmah Ketaatan Mutlak
A. Konsekuensi Permintaan Detail yang Berlebihan
Ayat 71 adalah puncak dari pelajaran moral yang diajarkan Allah kepada Bani Israel (dan kepada umat Islam). Perintah awal bersifat fleksibel dan mudah. Seandainya mereka menyembelih sapi jenis apa pun setelah perintah pertama, mereka pasti sudah menunaikan kewajiban mereka. Namun, mereka memilih jalan keraguan dan tuntutan spesifikasi. Setiap kali Nabi Musa memberikan jawaban yang berasal dari wahyu, mereka kembali bertanya, menunjukkan ketidakpuasan dan keragu-raguan.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa pengulangan pertanyaan mereka menunjukkan kerasnya hati dan keengganan untuk menerima kewajiban secara langsung. Al-Qur'an secara implisit mengajarkan prinsip Fiqh bahwa jika suatu perintah diberikan secara umum (mutlaq), maka tidak perlu mencari spesifikasi (taqyiid) kecuali jika ada dalil yang mengharuskannya. Mencari spesifikasi tanpa alasan yang kuat dapat menyebabkan kesulitan yang tidak perlu, sebagaimana terjadi pada Bani Israel.
"Apabila suatu perintah datang, hendaklah ia dilaksanakan dengan segera tanpa bertanya-tanya dan mencari detail yang menyulitkan. Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya sesuatu melainkan ia mudah bagi mereka." - Tafsir Ibnu Katsir (berdasarkan makna ayat)
B. Makna Ungkapan: قَالُوا الْآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ (Sekarang barulah engkau menerangkan hakikat)
Ungkapan ini, yang diucapkan oleh Bani Israel setelah Musa menyampaikan spesifikasi akhir (Ayat 71), sangat ironis. Itu menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tahu bahwa Musa telah menyampaikan kebenaran sejak awal, tetapi mereka menahan ketaatan sampai detail terakhir memuaskan rasa ingin tahu atau, lebih mungkin, sampai mereka tidak dapat lagi lari dari kewajiban tersebut.
Para mufassir menafsirkan frasa ini dalam dua dimensi:
- Penerimaan yang Terpaksa: Mereka mengakui bahwa ini adalah detail akhir yang mereka butuhkan untuk menemukan sapi yang dimaksud. Ini bukan pengakuan gembira, melainkan pengakuan yang frustrasi karena kini tugas itu menjadi sangat spesifik dan sulit.
- Kelemahan Karakter: Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa dalam pandangan mereka, kebenaran baru datang setelah semua detail, padahal kebenaran perintah (kewajiban menyembelih sapi) telah datang sejak ayat 67.
C. Menimbang Kisah di Balik Sapi Betina yang Berharga
Meskipun Al-Qur'an tidak merinci siapa pemilik sapi tersebut, banyak riwayat dari Isra’iliyat (yang digunakan untuk memperjelas, bukan sebagai dasar hukum) dan riwayat dari para Sahabat yang menguatkan bahwa sapi yang dicari ini ternyata dimiliki oleh seorang anak yatim yang sangat berbakti kepada ibunya. Sapi itu diwariskan kepadanya dan dianggap sebagai harta yang paling berharga.
Ketika Bani Israel akhirnya menemukan sapi yang memenuhi semua spesifikasi (tidak bekerja, mulus, kuning murni), mereka harus membayar harganya berkali-kali lipat dari harga sapi biasa. Sebagian riwayat menyebutkan harga sapi itu setara dengan berat kulitnya dalam emas.
Hikmah dari riwayat ini adalah: Kesulitan dan biaya yang mereka tanggung adalah akibat langsung dari penundaan dan pengajuan pertanyaan berlebihan mereka. Seandainya mereka patuh sejak awal, mereka bisa membeli sapi biasa dengan harga normal. Ketaatan yang ditunda menghasilkan kesulitan yang berlipat ganda.
V. Analisis Mendalam: وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ (Dan Hampir Saja Mereka Tidak Melaksanakannya)
Frasa penutup ayat 71, wa mā kādū yaf‘alūn (وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ), adalah salah satu aspek paling tajam dan signifikan dari kisah ini. Kata kerja kāda (كَادَ) dalam bahasa Arab menunjukkan makna 'hampir' atau 'nyaris'. Dengan bentuk negasi (wā mā kādū), artinya mereka ‘nyaris tidak mau melakukannya’ atau ‘mereka melakukannya dengan keengganan yang sangat besar setelah sekian banyak pertanyaan dan upaya pengelakan’.
A. Penafsiran Para Mufassir Terhadap Keengganan
Keengganan ini dianalisis oleh ulama dalam beberapa sudut pandang:
- Keterikatan Harta: Mereka enggan karena sapi yang akhirnya mereka temukan sangat mahal dan berharga, melebihi ekspektasi mereka. Setelah usaha mencari sapi yang spesifik, mereka sadar bahwa harga ketaatan ini tinggi.
- Kecenderungan Pengelakan: Keengganan ini mencerminkan sifat dasar Bani Israel dalam menghadapi perintah ilahi—selalu mencari celah atau jalan keluar. Walaupun sudah mendapatkan detail yang sangat spesifik dan tak terbantahkan, masih ada sisa keraguan dan keberatan dalam hati mereka.
- Sulitnya Spesifikasi: Proses pencarian itu sendiri sangat melelahkan dan membuat frustrasi, sehingga ketika mereka menemukannya, mereka telah kehilangan sebagian besar motivasi awal untuk melaksanakan kurban tersebut, melakukannya hanya karena terpaksa.
Al-Hasan Al-Basri berkomentar mengenai frasa ini: "Demi Allah, mereka tidak melakukannya kecuali karena keterpaksaan dan penekanan. Seandainya Allah tidak mengunci spesifikasi sedemikian rupa, mereka pasti tidak akan menyembelihnya."
B. Signifikansi Gramatikal Kata كَادَ (Kada)
Secara gramatikal, kāda termasuk dalam 'kata kerja hampir' (af'al al-muqarabah). Penggunaannya di sini memberikan nuansa dramatis. Ini bukan hanya menyatakan bahwa mereka akhirnya melakukan kurban, tetapi menekankan betapa tipisnya batas antara pelaksanaan dan pembangkangan total. Ini adalah peringatan keras bahwa meskipun perintah telah dilaksanakan, niat dan prosesnya sangat buruk dan penuh perlawanan.
Pelajaran yang bisa diambil di sini adalah bahwa ketaatan yang sempurna adalah ketaatan yang dilakukan dengan kerelaan hati dan tanpa penundaan. Ketaatan yang dipaksakan atau diwarnai keengganan menunjukkan penyakit spiritual yang serius.
VI. Analisis Linguistik dan Balaghah (Retorika)
Ayat 71 adalah mahakarya retorika Al-Qur'an. Setiap kata dipilih untuk mencapai dampak spiritual dan naratif yang maksimal. Analisis mendalam pada struktur bahasa Arab membantu kita memahami mengapa spesifikasi ini terasa begitu final dan mengikat.
A. Pengulangan إِنَّهُ يَقُولُ (Innana Yaqulu)
Pengulangan frasa "Sesungguhnya Dia (Allah) berfirman" yang muncul berulang kali sepanjang kisah ini (Ayat 68, 70, 71) berfungsi sebagai penegasan otoritas. Dalam Ayat 71, pengulangan ini memperkuat bahwa semua detail yang diberikan bukanlah rekayasa Musa, melainkan ketentuan langsung dari Tuhan, menghilangkan ruang bagi Bani Israel untuk berargumen lebih lanjut.
B. Struktur Negatif (La...)
Deskripsi sapi dalam ayat 71 banyak menggunakan bentuk negasi:
- لَّا ذَلُولٌ (Tidak ditundukkan)
- وَلَا تَسْقِي الْحَرْثَ (Dan tidak mengairi tanaman)
- لَّا شِيَةَ فِيهَا (Tidak ada belang padanya)
Penggunaan negasi yang berulang ini secara linguistik berfungsi untuk mengecualikan sapi tersebut dari kelas sapi pekerja yang umum. Ini menciptakan citra sapi yang berada di luar norma fungsional. Ini adalah sapi yang istimewa, murni dalam fungsinya (atau ketiadaan fungsinya) dan murni dalam penampilannya. Dalam retorika, pengecualian berulang ini menekankan betapa ketatnya kriteria yang harus dipenuhi.
C. Kata مُسَلَّمَةٌ (Musallamatun) sebagai Nama Sifat Pasif
Penggunaan kata sifat pasif musallamatun (yang telah diselamatkan/dijaga) menekankan bahwa sifat tanpa cacat ini bukanlah kebetulan, melainkan keadaan yang dipelihara atau dilindungi. Ini memberikan sapi tersebut aura kesakralan atau keistimewaan yang melebihi hewan biasa. Ia terhindar dari cacat yang mungkin didapatkan sapi pekerja.
D. Dampak Bunyi dan Ritme
Ayat 71, khususnya bagian deskriptif, memiliki ritme yang cepat dan tegas, kontras dengan sifat pertanyaan Bani Israel yang bertele-tele sebelumnya. Ketegasan bunyi ini seolah mencerminkan akhir dari kesabaran ilahi dan ketetapan perintah yang tidak bisa diganggu gugat lagi. Ini adalah penutup yang definitif terhadap perdebatan yang panjang.
Ilustrasi sapi yang sangat spesifik: tidak pernah bekerja (لا ذَلُولٌ) dan tanpa belang (لَّا شِيَةَ فِيهَا).
VII. Implikasi Fiqh dan Pelajaran Kontemporer
Kisah Al-Baqarah, khususnya penutup di ayat 71, memberikan fondasi penting dalam metodologi Fiqh (hukum Islam) dan pemahaman tentang hubungan antara hamba dan Pencipta.
A. Prinsip Kemudahan dan Kesulitan dalam Syariat
Ayat ini menegaskan prinsip bahwa pada dasarnya, perintah Syariat adalah mudah (yusr). Kesulitan (usr) sering kali muncul sebagai akibat dari tindakan manusia sendiri. Dalam hal ini, kesulitan untuk menemukan sapi yang sangat mahal dan spesifik timbul dari tuntutan Bani Israel, bukan dari kehendak awal Allah.
Prinsip ini sangat relevan dalam pembahasan mengenai fatwa dan ibadah. Jika dalil bersifat umum, maka membatasi penerapannya tanpa dalil lain adalah tindakan yang menyerupai perilaku Bani Israel yang dikritik dalam ayat ini. Fiqh Islam mengajarkan untuk menerima apa yang jelas dan tidak berlebihan mencari detail yang tidak diwajibkan.
B. Masalah Kepatuhan dan Penundaan (Tasahul)
Frasa wa mā kādū yaf‘alūn menjadi dalil moral terhadap bahaya penundaan (tasahul) atau ketaatan yang setengah hati.
Dalam konteks modern, hal ini berlaku bagi setiap perintah agama, mulai dari shalat tepat waktu, berhijab, hingga menunaikan zakat. Ketaatan sejati memerlukan kecepatan dan kesiapan hati, bukan penundaan hingga detik-detik terakhir dengan perasaan keberatan.
C. Pentingnya Niat dalam Pelaksanaan Perintah
Meskipun Bani Israel akhirnya menyembelih sapi tersebut, keengganan mereka menunjukkan bahwa ketaatan fisik saja tidak cukup. Kualitas ibadah sangat dipengaruhi oleh niat (niyyah) dan kondisi hati saat melaksanakan perintah. Walaupun mereka secara teknis menaati, mereka kehilangan pahala kerelaan dan kesiapan hati.
Pelajaran ini menjadi dasar bagi ulama etika (Tasawwuf) untuk menekankan bahwa ibadah harus dilakukan dengan khushu' (kekhusyukan) dan ihsan (melakukan yang terbaik, seolah-olah melihat Allah).
VIII. Konsolidasi Hikmah Abadi dari Al-Baqarah 71
Setelah melakukan analisis mendalam dari aspek linguistik, tafsir klasik, hingga implikasi hukum, kita dapat menyarikan beberapa hikmah universal yang ditawarkan oleh ayat 71, yang relevan bagi setiap individu dan komunitas di setiap zaman.
A. Keraguan Menghasilkan Kesulitan (Taklif Zaid)
Ayat ini adalah peringatan tegas terhadap dampak negatif dari keraguan yang tidak sehat dan pertanyaan yang bertujuan untuk pengelakan.
Ketika Allah SWT menetapkan suatu batas, kita dianjurkan untuk berhenti di batas itu. Pertanyaan yang berlebihan dapat meningkatkan beban (taklif) yang harus ditanggung oleh individu. Dalam riwayat yang sahih, Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan umatnya untuk tidak banyak bertanya mengenai hal-hal yang tidak disebutkan oleh Syariat, karena hal itu dapat berujung pada pengenaan aturan yang lebih berat.
Perbandingan dengan Kisah Lain
Kisah sapi ini sering dibandingkan dengan kisah Adam dan Hawa. Ketika Allah melarang mereka mendekati satu pohon, mereka tidak menanyakan "pohon jenis apa? Berapa jarak minimal yang harus dihindari?" Mereka menerima batasan itu. Sebaliknya, Bani Israel mencari celah, dan celah itu justru menjadi jurang kesulitan bagi mereka.
B. Karakteristik Sapi sebagai Simbol Kemurnian Kurban
Sapi yang disyaratkan dalam ayat 71—tidak bekerja, tanpa cacat, kuning murni—melambangkan kemurnian kurban yang dituntut oleh Allah.
- Tanpa Kerja: Melambangkan dedikasi penuh. Sapi itu tidak boleh memiliki fungsi duniawi yang berat, menunjukkan bahwa persembahan terbaik adalah yang paling berharga dan yang tidak tercampur dengan kegunaan sehari-hari.
- Tanpa Cacat (Musallamatun): Menunjukkan kesempurnaan. Kurban haruslah yang terbaik dari apa yang dimiliki, bebas dari aib.
- Tanpa Belang (La Shiyata Fiha): Melambangkan kejelasan dan kejujuran niat. Tidak ada yang samar atau tercampur dalam persembahan.
Meskipun persyaratan ini spesifik untuk Bani Israel dan kasus tersebut, prinsip kemurnian dan kesempurnaan dalam persembahan tetap menjadi fondasi dalam ibadah kurban (Qurban) yang dilakukan oleh umat Islam saat ini.
C. Keutamaan Kepatuhan yang Cepat (Al-Mubadarah)
Ayat ini mengajarkan keutamaan al-mubadarah, yaitu bersegera dalam melakukan kebaikan dan ketaatan. Penundaan Bani Israel, yang berlangsung melalui serangkaian pertanyaan (yang didokumentasikan dalam ayat 67 hingga 71), menghilangkan berkah dari ketaatan cepat.
Meskipun mereka akhirnya melaksanakan kurban, hasil yang mereka peroleh (sapi yang sangat mahal dan rasa keengganan) jauh berbeda dibandingkan jika mereka langsung patuh sejak awal, di mana sapi biasa akan mencukupi perintah tersebut.
D. Hukum Penyelesaian Perintah (Iktimal Al-Amr)
Secara hukum, ayat 71 adalah momen penyelesaian. Ini adalah titik di mana Allah memberikan semua informasi yang diperlukan untuk melaksanakan perintah, menghilangkan semua alasan untuk pengelakan. Setelah titik ini, pelaksanaan adalah keharusan mutlak.
Ini mengajarkan bahwa ketika kebenaran telah datang dan keraguan telah dihilangkan melalui bukti dan keterangan yang jelas, maka tidak ada lagi alasan untuk menunda atau menghindari kewajiban. Frasa “Sekarang barulah engkau menerangkan hakikat” menjadi pengakuan mereka bahwa semua keraguan telah terjawab, dan kini saatnya bertindak.
IX. Mendalami Perspektif Tafsir Klasik Terhadap Kisah Pelaksanaan
Para ulama klasik, seperti Imam At-Tabari dan Imam Fakhruddin Ar-Razi, memberikan penekanan khusus pada bagian akhir ayat 71: fa dzabahuha wa ma kadu yaf'alun (Lalu mereka menyembelihnya, setelah hampir saja mereka tidak melaksanakannya).
A. Penafsiran At-Tabari: Keengganan dan Pembangkangan Batin
Imam Muhammad ibn Jarir At-Tabari (w. 310 H) dalam Jami' al-Bayan fokus pada aspek psikologis Bani Israel. Menurut At-Tabari, keengganan mereka datang dari dua sumber:
- Sulitnya Menemukan: Sulitnya menemukan sapi yang spesifik, terutama yang tidak memiliki cacat sedikit pun dan tidak pernah bekerja, membuat mereka frustrasi.
- Harga yang Melambung: Ketika mereka menemukannya, mereka harus bernegosiasi dengan pemiliknya (anak yatim) dan membayar harga yang sangat tinggi, yang mereka anggap sebagai pemerasan akibat kebodohan mereka sendiri. At-Tabari menegaskan bahwa andai saja mereka tidak diberi detail akhir yang sedemikian mengikat, mereka akan menemukan alasan untuk tidak menyembelih sapi tersebut selamanya.
At-Tabari menyimpulkan bahwa tindakan mereka di penghujung ayat adalah ketaatan fisik yang dipaksakan oleh keadaan, bukan ketaatan spiritual yang lahir dari keimanan murni. Ini adalah perbedaan krusial yang ditangkap oleh Al-Qur'an.
B. Penafsiran Ar-Razi: Logika dan Keheranan
Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) dalam Mafatih al-Ghayb menganalisis ayat ini dari sudut pandang logika. Ar-Razi menanyakan mengapa Allah menetapkan spesifikasi yang begitu sulit bagi Bani Israel. Jawabannya terletak pada hukuman pedagogis.
Ar-Razi berpendapat bahwa setiap kali mereka mengajukan pertanyaan tambahan (seperti tentang warna, usia, atau fungsi), Allah memberikan jawaban yang sesuai dengan permintaan mereka, yang secara otomatis mengurangi jumlah sapi yang memenuhi syarat, hingga hanya tersisa satu atau sangat sedikit sapi di seluruh negeri yang memenuhi kriteria Ayat 71. Tujuan ilahi adalah untuk menunjukkan kepada mereka: inilah hasil dari sikap keras kepala dan kurangnya kepasrahan.
Pelajaran menurut Ar-Razi adalah bahwa mereka sebenarnya ‘hampir tidak melakukannya’ karena akal mereka memberontak terhadap harga dan kesulitan yang dihasilkan dari tindakan mereka sendiri, bukan karena perintah itu sendiri tidak masuk akal.
C. Tafsir Kontemporer: Sapi sebagai Simbol Idola dan Kepatuhan
Dalam tafsir kontemporer, seperti yang disajikan oleh Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur'an, kisah sapi ini dilihat sebagai kritik fundamental terhadap keterikatan Bani Israel pada materi dan simbol-simbol duniawi, bahkan setelah mereka menyaksikan mukjizat.
Qutb menekankan bahwa sapi di sini juga memiliki resonansi historis dengan penyembahan anak sapi emas (Al-'Ijl) yang mereka lakukan sebelumnya. Perintah untuk menyembelih sapi (apapun jenisnya) sejak awal seharusnya menjadi ujian kesetiaan total kepada Allah dan penolakan terhadap sisa-sisa penyembahan berhala. Keengganan mereka menyembelih (hingga ayat 71) menunjukkan bahwa ikatan mereka dengan simbol-simbol materi masih sangat kuat. Sapi yang akhirnya mereka korbankan adalah sapi yang sangat berharga secara materi, sehingga kurban itu benar-benar menguji nilai duniawi mereka.
X. Sintesis Filosofis: Ketaatan sebagai Ujian Keimanan
Al-Baqarah ayat 71 berfungsi sebagai mikrokosmos dari hubungan manusia dengan wahyu. Kisah ini bukan sekadar cerita historis; ia adalah cetak biru psikologi keimanan dan kepatuhan.
A. Transisi dari Syariat Fleksibel ke Syariat Kaku
Perjalanan dari ayat 67 (perintah umum) ke ayat 71 (perintah sangat spesifik) adalah perjalanan dari fleksibilitas ilahi yang ditawarkan kepada kekakuan yang diciptakan oleh manusia.
Fleksibilitas (kemudahan) adalah hadiah dari Allah kepada hamba yang patuh. Kekakuan (kesulitan) adalah hukuman pedagogis bagi hamba yang meragukan. Ayat 71 menandai titik ketika semua fleksibilitas telah hilang, dan mereka ditinggalkan dengan persyaratan yang paling berat dan mahal.
B. Peran Musa AS sebagai Mediator yang Sabar
Sepanjang kisah ini, Nabi Musa AS menunjukkan kesabaran yang luar biasa dalam memediasi perintah ilahi kepada kaum yang keras kepala. Setiap kali mereka bertanya, Musa menyampaikan jawaban wahyu tanpa frustrasi (meskipun Al-Qur'an mencatat bahwa beliau mungkin merasa berat hati).
Ayat 71 adalah penegasan final Musa: "Dia (Allah) berfirman..." Ini adalah penyerahan total kepada kehendak Ilahi, meskipun ia tahu betapa sulitnya itu bagi kaumnya. Ini mengajarkan bahwa tugas seorang pemimpin agama adalah menyampaikan kebenaran, seberapa pun sulitnya kebenaran itu diterima oleh pengikutnya.
C. Penutup Kisah: Pembenaran dan Pembelajaran
Ayat 71 tidak hanya menyelesaikan misteri sapi, tetapi juga misteri watak Bani Israel pada masa itu. Ayat ini membenarkan bahwa keengganan adalah sifat bawaan mereka dalam menghadapi wahyu, dan ketaatan hanya dicapai melalui pemaksaan dan penutupan semua jalan keluar.
Bagi umat Muhammad SAW, ayat ini adalah peringatan abadi untuk:
- Bersegera dalam ketaatan.
- Menerima perintah dalam bentuknya yang paling sederhana.
- Menghindari pertanyaan yang tidak perlu yang dapat memberatkan diri sendiri.
- Melaksanakan ibadah dengan kerelaan hati, bukan dengan keengganan (wa mā kādū yaf‘alūn).
Dengan demikian, Surah Al-Baqarah ayat 71 tetap menjadi salah satu ayat terpenting dalam Al-Qur'an yang menjelaskan hubungan mendasar antara perintah Tuhan dan respons manusia, menjadikan kepatuhan total sebagai esensi dari keimanan yang sejati. Kepatuhan yang sempurna menuntut penyingkiran keraguan dan penerimaan tulus, menjauhkan diri dari sikap "hampir tidak melaksanakannya."
Kisah ini, yang diakhiri dengan pelaksanaan kurban yang mahal dan enggan, adalah cerminan bagi setiap jiwa yang cenderung menunda dan meragukan kebenaran yang jelas. Pelajaran tentang spesifikasi, harga, dan keengganan ini merupakan warisan spiritual yang tak lekang oleh waktu, menegaskan bahwa jalan menuju keridaan Allah adalah jalan yang lurus, tanpa liku-liku pencarian celah atau penundaan yang disengaja. Ketaatan, dalam Islam, adalah tindakan hati sebelum menjadi tindakan fisik.
XI. Detil Fiqh Lanjutan Mengenai Kriteria Hewan Kurban
Meskipun kisah sapi Bani Israel bersifat spesifik, rincian yang diberikan dalam ayat 71 memiliki kaitan analogis dengan hukum kurban (Udhiyyah) dalam Syariat Islam. Perintah untuk mencari sapi yang sempurna—yang tidak digunakan untuk pekerjaan duniawi dan bebas dari cacat—mencerminkan pentingnya kualitas persembahan.
A. Analogi ‘Musallamatun’ dengan Syarat Bebas Aib
Kata musallamatun (سالمة - bebas dari cacat) menjadi dasar analogi (qiyas) dalam fiqh kurban. Para fuqaha (ahli fiqh) sepakat bahwa hewan yang dikurbankan (unta, sapi, kambing, domba) harus bebas dari aib yang mengurangi nilai dagingnya atau kualitas persembahannya.
Aib yang dimaksud, yang serupa dengan semangat musallamatun, mencakup:
- Cacat mata yang jelas (buta sebelah atau parah).
- Penyakit yang parah dan terlihat.
- Kekurusan yang ekstrem (yang menunjukkan kelemahan dan kualitas daging rendah).
- Pincang yang menghalangi hewan berjalan normal.
Kriteria dalam ayat 71, yang menuntut kesempurnaan mutlak (tanpa cacat, tanpa belang, tidak bekerja), menunjukkan bahwa standar kurban Bani Israel adalah yang tertinggi. Ini menekankan bahwa persembahan kepada Allah harus mencerminkan yang terbaik dari apa yang kita miliki.
B. Analogi ‘La Dzaluulun’ dengan Nilai Persembahan
Persyaratan bahwa sapi tersebut tidak boleh dzaluul (digunakan untuk membajak atau mengairi) menekankan bahwa hewan tersebut harus dijauhkan dari pekerjaan yang menurunkan statusnya. Dalam kurban Idul Adha, prinsip ini diterjemahkan menjadi anjuran untuk memilih hewan yang sehat, gemuk, dan berharga. Meskipun tidak wajib bahwa hewan kurban modern tidak boleh pernah bekerja, semangatnya adalah memberikan yang terbaik dan menghindari yang jelas-jelas bernilai rendah atau cacat akibat pekerjaan berat.
C. Pentingnya ‘La Shiyata Fiha’ dalam Kesatuan Niat
Persyaratan tanpa belang (la shiyata fiha) melambangkan kemurnian warna, yang bisa diinterpretasikan sebagai kemurnian niat dan kesatuan tujuan. Sebagaimana warna sapi itu tidak tercampur, niat pelaku kurban juga harus murni untuk Allah semata, tanpa campuran tujuan duniawi atau riya (pamer).
XII. Perbandingan Kebiasaan Bertanya dan Dampaknya
Kisah Al-Baqarah ayat 71 memberikan studi kasus tentang dua tipe pertanyaan dalam agama:
A. Pertanyaan untuk Pemahaman (Sual At-Tafahhum)
Ini adalah pertanyaan yang tulus dan diperlukan untuk memastikan pelaksanaan ibadah dengan benar. Dalam Islam, pertanyaan ini dianjurkan, seperti yang dilakukan para Sahabat kepada Nabi SAW mengenai tata cara shalat atau haji.
B. Pertanyaan untuk Pengelakan atau Pemberatan (Sual At-Ta'annut)
Pertanyaan Bani Israel yang berakhir pada ayat 71 jelas termasuk dalam kategori kedua. Mereka tidak bertanya karena ingin tahu cara melaksanakan perintah; mereka bertanya karena berharap detail yang baru akan mustahil dipenuhi, sehingga mereka bisa membatalkan kewajiban. Ini adalah upaya untuk menghindari tanggung jawab (taklif).
Konsekuensi dari Sual At-Ta'annut, seperti ditunjukkan oleh ayat 71, adalah peningkatan kesulitan. Al-Qur'an memperingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkanmu.” (QS. Al-Ma'idah, 5:101). Ayat 71 adalah contoh nyata dari kesulitan yang diakibatkan oleh pertanyaan yang tidak bermanfaat.
Para ulama fikih menekankan bahwa jika suatu perintah telah jelas, mencari-cari detail baru yang tidak didukung oleh dalil adalah tindakan yang mendekati sikap Bani Israel yang tercela. Kepasrahan dan penerimaan adalah kunci untuk mempertahankan kemudahan dalam Syariat.
XIII. Analisis Psikologi Keengganan (Wama Kadu Yaf'alun)
Penting untuk memahami lapisan psikologis di balik frasa 'hampir saja mereka tidak melaksanakannya'. Ini menunjukkan suatu pertentangan internal yang mendalam.
A. Konflik Kepatuhan Publik dan Penolakan Pribadi
Bani Israel dalam kisah ini terjebak antara tuntutan kepatuhan publik (di hadapan Musa dan masyarakat) dan penolakan pribadi (karena biaya yang mahal dan kesulitan yang ditimbulkan oleh pertanyaan mereka sendiri). Mereka akhirnya memilih ketaatan publik karena tidak ada lagi jalan keluar yang logis, namun hati mereka penuh keberatan.
Psikologi ini mengajarkan bahwa ketaatan yang dipaksakan cenderung meninggalkan residu pahit dan tidak menghasilkan manfaat spiritual penuh. Ketaatan yang didorong oleh takut malu atau terpaksa, meskipun sah secara hukum, kurang bernilai di mata spiritual dibandingkan ketaatan yang didorong oleh cinta dan kerelaan.
B. Penyesalan Akibat Pilihan Buruk
Keengganan mereka juga dapat ditafsirkan sebagai penyesalan. Mereka menyadari bahwa jika mereka patuh pada ayat 67, mereka bisa saja menyembelih sapi biasa yang murah. Kini, mereka harus membayar mahal karena keputusan kolektif mereka untuk menunda dan mencari celah. Penyesalan ini memperburuk keengganan mereka untuk melaksanakan kurban, meskipun mereka akhirnya melakukannya.
Pada akhirnya, ayat 71 bukan hanya menutup cerita sapi betina, melainkan membuka jendela menuju pemahaman tentang pentingnya keikhlasan, ketulusan, dan kecepatan dalam menanggapi seruan Ilahi. Nilai ketaatan terletak pada kesiapan jiwa, bukan sekadar pada gerak tubuh.