Harta Terbaik untuk Jalan Kebaikan

Analisis Mendalam Al-Baqarah Ayat 267 dan Filosofi Infaq

Inti Perintah dalam Al-Baqarah Ayat 267

Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 267 adalah salah satu landasan fundamental dalam etika berekonomi dan beramal dalam Islam. Ayat ini tidak sekadar memerintahkan umat Muslim untuk berinfaq, tetapi secara eksplisit menetapkan standar kualitas tertinggi dalam pemberian tersebut. Fokus utama ayat ini adalah pemurnian niat dan pembersihan harta melalui pengeluaran yang terbaik.

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ)

“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memejamkan mata (terpaksa).”

Ayat ini memuat tiga pilar utama: perintah berinfaq dari hasil usaha, perintah berinfaq dari hasil bumi, dan larangan mutlak menginfakkan harta yang buruk (Al-Khabits). Kualitas infaq secara langsung mencerminkan kualitas keimanan seseorang dan rasa hormatnya terhadap penerima, serta kesadarannya bahwa pemberian tersebut ditujukan kepada Allah SWT.

Prinsip Pertama: Menginfakkan dari ‘Tayyibat’ (Harta yang Baik)

Kata kunci sentral dalam ayat ini adalah ‘Tayyibat’, yang secara harfiah berarti hal-hal yang baik, suci, murni, dan berkualitas. Konsep ini memiliki dimensi ganda yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim yang hendak berinfaq.

Dimensi Hukum (Kehalalan Sumber)

Tayyibat yang pertama dan paling mendasar adalah kehalalan sumber harta. Harta yang diinfakkan harus diperoleh melalui cara yang sah, jujur, dan tidak melanggar syariat, bebas dari riba, penipuan, pencurian, atau eksploitasi. Apabila harta diperoleh secara haram, meskipun secara fisik barangnya berkualitas tinggi, infaq dari harta tersebut ditolak oleh Allah SWT. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Allah itu Maha Baik dan hanya menerima yang baik-baik (Tayyib).

Kesadaran bahwa infaq adalah ibadah yang mendekatkan diri kepada Sang Pencipta menegaskan bahwa media yang digunakan untuk mendekat haruslah suci. Infak dari harta haram tidak akan pernah membersihkan pelakunya, melainkan menambah beban dosa. Inilah pemahaman awal bahwa kualitas spiritual harta lebih didahulukan daripada kuantitas materi.

Dimensi Kualitas Materi dan Kondisi

Setelah sumbernya dipastikan halal, Tayyibat juga merujuk pada kualitas fisik barang yang diinfakkan. Ayat ini secara eksplisit menuntut agar yang dikeluarkan adalah barang yang masih layak, bermanfaat, dan memiliki nilai guna yang tinggi. Ini berarti infaq tidak boleh dijadikan tempat ‘membuang’ kelebihan, sisa, atau barang rusak yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh pemberi.

Ayat ini mengajarkan etika universal: perlakukan orang lain—khususnya mereka yang membutuhkan—sebagaimana Anda ingin diperlakukan. Jika kita sendiri enggan menerima barang yang buruk, mengapa kita berani memberikannya atas nama Allah?

Simbol Tayyibat (Harta yang Baik) Tayyibat

Prinsip Kedua: Larangan Memilih ‘Khabits’ (Harta yang Buruk)

Kontras dari Tayyibat adalah Al-Khabits, yang merujuk pada hal-hal yang buruk, menjijikkan, kotor, atau bernilai rendah. Ayat 267 secara tegas melarang niat untuk menjadikan harta yang buruk sebagai sasaran utama infaq.

Definisi Fiqih Mengenai Khabits

Dalam konteks infaq dan zakat, Khabits dapat diinterpretasikan dalam beberapa cara, bergantung pada mazhab fiqihnya, tetapi intinya adalah menghindari yang tidak layak:

  1. Yang Rusak atau Cacat: Barang yang kualitasnya sangat rendah sehingga tidak laku dijual atau tidak dapat digunakan secara optimal (misalnya, beras yang berkutu, buah yang busuk sebagian besar, pakaian sobek).
  2. Yang Haram Sumbernya: Meskipun dalam beberapa tafsir klasik Khabits lebih fokus pada kualitas fisik, banyak ulama modern menekankan bahwa harta haram (yang dicuri atau diperoleh secara zalim) adalah Khabits yang paling parah, dan infaq darinya adalah tertolak secara mutlak.
  3. Harta yang Tidak Disukai Pemberi: Barang yang tadinya kita miliki tetapi kita benci atau ingin segera singkirkan, bukan karena ingin berbagi, tetapi karena ingin membersihkan rumah atau inventaris.

Analisis Retorika: Tidak Mau Mengambilnya Kecuali Memejamkan Mata

Bagian akhir ayat ini menggunakan perumpamaan yang sangat kuat untuk menyentuh hati nurani: “padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memejamkan mata (terpaksa).”

Perumpamaan ini menggambarkan betapa rendahnya kualitas barang Khabits tersebut. Seseorang mungkin mau menerima barang buruk itu hanya jika ia terpaksa, atau ia tidak melihat kualitasnya (membutakan diri), atau karena harganya sangat murah (jika jual beli). Dalam konteks infaq, penerima mungkin terpaksa menerima karena sangat membutuhkan, namun perlakuan ini merendahkan martabat penerima dan merusak nilai infaq itu sendiri di sisi Allah.

Dengan kata lain, Allah SWT menuntut standar yang sama dalam memberi kepada orang lain, sebagaimana kita menuntut standar untuk diri kita sendiri. Memberikan yang terbaik adalah tanda penghormatan dan pengakuan atas martabat manusia, baik si miskin maupun si kaya, karena keduanya adalah hamba Allah.

Simbol Khabits (Harta yang Buruk) Khabits Dilarang

Konteks Historis dan Asbabun Nuzul

Untuk memahami kekuatan larangan dalam Al-Baqarah 267, penting untuk melihat konteks turunnya ayat ini (Asbabun Nuzul). Pada masa awal Islam, khususnya di Madinah, praktik sedekah seringkali dipengaruhi oleh kebiasaan lama.

Diriwayatkan bahwa para sahabat, setelah panen atau mendapatkan keuntungan, terkadang berniat mengeluarkan zakat atau sedekah dari hasil yang paling jelek, sementara hasil yang paling baik mereka simpan untuk diri mereka sendiri. Misalnya, seorang petani kurma akan menyisihkan kurma yang kering, busuk, atau sudah tidak enak untuk sedekah, sementara kurma terbaik (kurma kering yang berkualitas tinggi) disimpan untuk kebutuhan keluarga atau dijual dengan harga tinggi.

Ibnu Katsir dan mufassir lainnya menyebutkan bahwa ayat ini turun untuk menegur praktik ini, khususnya terkait infaq hasil pertanian. Ketika seorang sahabat datang membawa kurma yang buruk untuk infaq, ayat ini turun, menegaskan bahwa infaq harus berasal dari ‘tayyibat’ sebagaimana layaknya pemberian yang berharga.

Konteks ini menunjukkan bahwa perintah dalam ayat 267 bukan hanya anjuran moral, tetapi koreksi syariat terhadap kebiasaan yang merendahkan nilai ibadah dan hak penerima. Allah ingin mengubah pola pikir dari sekadar ‘membuang’ menjadi ‘berkorban’.

Perbedaan antara Zakat dan Sedekah dalam Konteks Tayyibat

Meskipun ayat ini menggunakan istilah umum 'infaq', prinsip Tayyibat berlaku mutlak baik untuk zakat wajib maupun sedekah sunnah.

Tafsir Mendalam Sisi Spiritual dan Psikologis

Perintah dalam Al-Baqarah 267 adalah ujian psikologis bagi keimanan. Ujian ini berpusat pada dua aspek: keterikatan pada dunia dan pemahaman hakikat rezeki.

Melepaskan Keterikatan Harta Terbaik

Manusia cenderung mencintai harta benda yang berkualitas tinggi. Ketika Allah memerintahkan untuk menginfakkan yang terbaik, ini memaksa seorang Muslim untuk memerangi kecintaan yang berlebihan terhadap materi. Memberikan sesuatu yang terbaik, yang kita cintai, menunjukkan bahwa cinta kita kepada Allah dan ketaatan kepada perintah-Nya lebih besar daripada cinta kita terhadap harta duniawi.

Ayat lain dalam Al-Qur'an (Ali Imran: 92) memperkuat prinsip ini: "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai." Al-Baqarah 267 berfungsi sebagai panduan praktis untuk mencapai kebajikan sempurna itu—yaitu dengan menginfakkan harta yang paling baik, bukan hanya harta yang paling banyak.

Kesadaran akan Sumber Rezeki

Ayat ini secara jelas menyatakan, "dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu." Frasa ini adalah pengingat bahwa semua rezeki, baik yang dihasilkan dari usaha keras (ma kasabtum) maupun yang datang dari alam (hasil bumi), asalnya adalah karunia Allah. Ketika seorang hamba menyadari bahwa semua yang ia miliki adalah pinjaman atau pemberian, ia akan lebih mudah melepaskan yang terbaik, karena ia tahu bahwa Allah-lah yang akan menggantikannya dengan yang lebih baik.

Infaq yang buruk, atau khabits, menunjukkan mentalitas kikir. Mentalitas ini beranggapan bahwa infaq adalah kerugian, sehingga harus diminimalkan dengan memberikan barang yang bernilai paling rendah. Sebaliknya, infaq dari tayyibat menunjukkan mentalitas investasi akhirat, di mana hamba yakin bahwa memberi adalah cara terbaik untuk menumbuhkan pahala.

Etika Pemberian dan Martabat Penerima

Islam sangat menjunjung tinggi martabat (izzah) orang miskin. Ketika kita memberi sesuatu yang buruk atau sudah tidak layak, hal itu secara implisit merendahkan penerima. Seolah-olah kita berkata, “Anda hanya pantas menerima sampah saya.” Infaq dari Tayyibat adalah cara untuk menjaga kehormatan penerima, memastikan bahwa mereka menerima hak mereka dengan tangan terbuka dan hati yang lapang, tanpa merasa dinistakan.

Pemberian yang baik menghasilkan keberkahan ganda: membersihkan harta pemberi dan memenuhi kebutuhan penerima dengan kualitas terbaik yang bisa mereka dapatkan.

Implikasi Ekonomi dan Sosial dari Al-Baqarah 267

Ajaran tentang Tayyibat tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga memiliki resonansi ekonomi dan sosial yang luas dalam komunitas Muslim.

Mendorong Kualitas Produksi

Jika setiap Muslim menyadari bahwa sebagian dari hasil terbaiknya harus dialokasikan untuk infaq, hal ini secara tidak langsung mendorong peningkatan kualitas produksi. Petani akan berupaya menghasilkan panen terbaik, pedagang akan menyediakan barang dagangan terbaik, karena mereka tahu bahwa infaq/zakat mereka akan dikeluarkan dari produk premium tersebut.

Jika umat Muslim hanya berinfaq dari barang yang sudah rusak atau kualitas rendah, pasar barang berkualitas akan stagnan, dan barang-barang yang beredar dalam sistem ekonomi akan dipenuhi dengan sisa-sisa yang tidak bermanfaat. Ayat 267 memastikan bahwa perputaran kekayaan melibatkan aset-aset yang bernilai.

Menciptakan Keadilan Distribusi

Keadilan distribusi bukan hanya tentang seberapa banyak harta yang berpindah, tetapi juga seberapa berkualitas harta yang didistribusikan. Ketika orang miskin menerima yang terbaik, kesenjangan kualitas hidup antara si kaya dan si miskin dapat dipersempit. Orang miskin berhak mendapatkan sandang, pangan, dan kebutuhan dasar yang berkualitas, sama seperti yang dinikmati oleh orang yang mampu.

Ayat ini mencegah praktik ‘zakat dumping’, di mana barang-barang yang sudah tidak layak pakai dipaksa masuk ke sistem distribusi sedekah hanya untuk menghindari pemusnahan atau kerugian pribadi, padahal hal itu tidak memberikan manfaat nyata bagi penerima.

Peran Pemerintah dan Lembaga Amil

Lembaga amil (pengelola zakat dan infaq) memegang peran penting dalam menegakkan prinsip Tayyibat. Mereka harus menolak sumbangan dalam bentuk khabits dan mengedukasi masyarakat bahwa standar pemberian haruslah tinggi. Jika lembaga amil menerima infaq yang buruk, mereka ikut andil dalam melanggengkan praktik yang dilarang oleh Al-Qur'an.

Transparansi dan standar kualitas yang ketat dalam penerimaan dan penyaluran infaq adalah kunci untuk memastikan kepatuhan terhadap Al-Baqarah 267. Hanya dengan demikian, tujuan membersihkan jiwa dan harta akan tercapai.

Penafsiran Modern dan Relevansi Kontemporer

Di era modern, di mana jenis harta dan bentuk infaq semakin beragam, prinsip Tayyibat dan Khabits perlu ditafsirkan lebih luas.

Tayyibat dalam Harta Digital dan Investasi

Dalam konteks modern, Tayyibat tidak hanya terbatas pada hasil bumi atau uang tunai, tetapi mencakup:

  1. Saham dan Obligasi: Infaq dari keuntungan investasi harus berasal dari perusahaan yang bergerak di bidang halal dan memiliki tata kelola yang baik (Tayyib secara sistem).
  2. Karya Intelektual: Jika seseorang berinfaq dengan ilmunya, yang diberikan haruslah ilmu yang bermanfaat, akurat, dan berkualitas tinggi, bukan informasi yang menyesatkan atau usang.
  3. Waktu dan Tenaga: Jika infaq berupa sumbangan waktu (volunteering), waktu yang diberikan haruslah waktu terbaik yang produktif, bukan sisa-sisa waktu luang yang sudah diisi dengan kelelahan.

Khabits dalam Konteks Pekerjaan

Interpretasi Khabits juga meluas hingga pada hasil kerja yang buruk atau meragukan:

Relevansi ayat ini di masa kini sangat kuat: ia menuntut integritas menyeluruh dalam semua aspek kehidupan, dari cara kita mencari nafkah hingga cara kita berbagi. Infaq dari yang terbaik adalah manifestasi dari profesionalisme spiritual.

Penekanan Linguistik dan Kekuatan Kata

Kekuatan ayat 267 juga terletak pada pilihan kata Arab yang digunakan, yang membawa makna yang dalam.

Anfiqu (Infakkanlah)

Penggunaan kata kerja perintah Anfiqu menunjukkan kewajiban umum untuk mengeluarkan harta, bukan hanya sebagai zakat (yang memiliki perhitungan spesifik), tetapi juga sebagai sedekah umum. Infak adalah proses yang berkelanjutan, mencakup semua jenis pengeluaran di jalan Allah.

Maa Kasabtum (Apa yang Kamu Usahakan)

Frasa ini menekankan bahwa infaq harus berasal dari hasil jerih payah dan usaha. Ini menentang mentalitas pasif dan mendorong umat untuk menjadi produsen kekayaan yang aktif dan sah. Usaha (kasb) mengandung makna tanggung jawab pribadi dalam mencari rezeki yang halal.

La Tayammamul Khabits (Janganlah Kalian Sengaja Memilih yang Buruk)

Kata Tayammamu (berasal dari kata kerja yang sama dengan tayamum, yaitu menyengaja atau mengarahkan) sangat penting. Ayat ini tidak hanya melarang memberikan khabits secara kebetulan, tetapi melarang niat dan usaha untuk mencari barang yang paling jelek dari harta kita untuk disedekahkan. Larangan ini adalah tentang motivasi internal. Jika seseorang hanya memiliki barang yang kualitasnya standar (bukan yang terbaik, tapi juga tidak buruk), ini masih dapat diterima. Tetapi jika ia memiliki barang terbaik dan barang terburuk, dan ia memilih yang terburuk, ia jatuh ke dalam larangan ini.

Tafsir Ibnu Jarir al-Tabari

Imam al-Tabari menjelaskan bahwa ayat ini melarang mengutamakan harta yang kotor, rendah nilainya, dan tidak disukai untuk disedekahkan, sementara harta yang berharga disimpan. Beliau menekankan bahwa perbuatan seperti itu adalah penghinaan kepada Allah karena kita mempersembahkan kepada-Nya apa yang kita anggap hina, padahal Dialah Pemilik segala kebaikan.

Keselarasan dengan Tujuan Syariah (Maqasid Syariah)

Perintah dalam ayat 267 sejalan dengan tujuan syariah untuk memelihara harta (hifz al-maal) dan memelihara kehormatan (hifz al-irdh). Dengan menginfakkan yang terbaik, kita memastikan bahwa harta yang tersisa adalah harta yang suci dan harta yang dibelanjakan untuk orang lain memberikan manfaat maksimal, menjaga martabat mereka dan mencapai keadilan sosial.

Perbandingan dengan Ayat-Ayat Infaq Lainnya

Al-Baqarah 267 tidak berdiri sendiri; ia melengkapi dan memperkuat ajaran infaq yang ditemukan di bagian lain dalam Al-Qur'an, menciptakan sebuah sistem etika pemberian yang komprehensif.

Keseimbangan Antara Kualitas dan Kerahasiaan

Ayat-ayat sebelumnya (seperti Al-Baqarah 261-266) berfokus pada balasan berlipat ganda atas infaq, syarat-syarat infaq (tidak mengungkit-ungkit), dan perbandingan antara sedekah yang baik dengan yang sia-sia.

Ayat 267 menambahkan dimensi fundamental yang hilang: dimensi kualitas materi. Ayat ini mengajarkan bahwa niat dan cara pemberian yang benar tidaklah cukup jika barang yang diberikan itu sendiri tidak bernilai. Kebaikan harus seimbang antara niat (ikhlas), cara (tidak menyakiti), dan materi (tayyibat).

Menjauhi Sikap Kikir yang Terselubung

Tindakan memberikan khabits adalah bentuk kekikiran yang terselubung. Si pemberi mungkin terlihat sebagai orang yang dermawan karena ia ‘memberi’, tetapi ia sebetulnya sedang membuang beban finansialnya (meminimalisir kerugian) sambil berharap mendapatkan pahala. Allah SWT menolak formalitas amal tanpa substansi dan pengorbanan yang tulus. Infak adalah pengorbanan, bukan pembuangan.

Pentingnya Kekuatan Hati

Infaq yang murni berasal dari keimanan yang kokoh bahwa Allah adalah Al-Karim (Yang Maha Pemurah) dan Al-Ghaniy (Yang Maha Kaya). Ketika seseorang berinfaq dari Tayyibat, ia menunjukkan kepercayaan penuh bahwa Allah akan menggantinya (sebagaimana janji dalam Al-Baqarah 268, yang berfokus pada ketakutan terhadap kemiskinan). Pemberian yang terbaik adalah antitesis terhadap bisikan setan yang menakut-nakuti dengan kemiskinan.

Studi Kasus Fiqih: Aplikasi dalam Zakat Pertanian

Karena ayat 267 secara spesifik menyebut “apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu,” maka aplikasinya dalam zakat pertanian (zakat al-zuru’ wa al-thimar) menjadi sangat krusial.

Kasus Kurma dan Gandum

Ketika seorang petani memanen kurma, panennya akan menghasilkan beberapa tingkatan kualitas: kurma premium (yang paling manis dan besar), kurma standar, dan kurma yang cacat atau busuk (disebut hashaf atau ju'al). Menurut prinsip 267, tidak diperbolehkan menjadikan kurma cacat sebagai seluruh atau sebagian besar zakatnya, kecuali jika seluruh panennya memang berkualitas rendah (suatu kondisi yang jarang terjadi jika petani merawat tanamannya dengan baik).

Zakat harus diambil dari kualitas rata-rata atau yang terbaik. Jika zakat dikeluarkan dari yang terburuk (khabits), maka kewajiban zakatnya belum gugur, dan ia tetap berhutang zakat dari kualitas yang lebih baik.

Kasus Pakaian atau Barang Lain

Jika infaq dilakukan dalam bentuk pakaian, infaq Tayyibat berarti memberikan pakaian yang bersih, layak pakai, dan sesuai dengan musim. Infaq Khabits berarti memberikan pakaian yang sudah robek, kotor, atau tidak ada yang mau memakainya kecuali terpaksa.

Prinsip ini sangat fleksibel dan mencakup semua bentuk harta, menuntut agar kita melihat infaq sebagai ‘hadiah’ yang dipersembahkan kepada Allah melalui tangan orang yang membutuhkan.

Hukum Menukar Harta Khabits

Bagaimana jika seseorang secara tidak sengaja menerima harta khabits sebagai infaq? Jika lembaga amil menerima harta yang buruk, para ulama menyarankan agar lembaga tersebut tidak menyalurkannya kepada penerima (mustahik), tetapi menjualnya (jika masih bernilai) dan menggunakan uang hasil penjualannya untuk membeli barang yang berkualitas baik (tayyibat) untuk didistribusikan. Tujuannya adalah memastikan bahwa yang sampai ke tangan mustahik selalu yang terbaik.

Memperluas Pemahaman ‘Tayyibat’ dalam Konteks Hidup

Jika kita menerapkan prinsip Tayyibat secara universal, ia akan mempengaruhi bukan hanya harta, tetapi seluruh aspek kehidupan seorang Muslim.

Tayyibat dalam Ucapan

Ucapan yang baik (qawlan tayyiban) adalah infaq verbal. Kita diperintahkan untuk berbicara dengan sopan, menghindari ghibah (gosip), fitnah, atau kata-kata kotor. Memberikan ucapan yang baik kepada orang lain adalah bentuk sedekah lisan yang paling berkualitas. Kebalikannya adalah khabits dalam ucapan, yaitu perkataan yang menyakitkan atau merendahkan.

Tayyibat dalam Amalan

Amalan yang baik adalah amalan yang dilakukan dengan ikhlas (niat yang suci) dan sesuai dengan tuntunan syariat. Kualitas ibadah diukur dari sejauh mana kita menyempurnakan rukun, syarat, dan sunnahnya, bukan hanya menyelesaikan formalitasnya. Melakukan shalat dengan tergesa-gesa atau membaca Al-Qur’an tanpa tadabbur adalah bentuk khabits dalam kualitas amal, meskipun secara lahiriah itu adalah ibadah.

Tayyibat dalam Hubungan Sosial

Perlakuan yang terbaik kepada orang tua, pasangan, tetangga, dan rekan kerja adalah bentuk infaq sosial yang tayyib. Memperlakukan mereka dengan cinta, hormat, dan kesabaran yang tertinggi, bukan hanya memberikan sisa-sisa perhatian kita. Menginfakkan waktu terbaik kita untuk keluarga dan masyarakat adalah aplikasi langsung dari etika Tayyibat.

Dengan demikian, Al-Baqarah 267 adalah ayat multidimensional yang menjadi pondasi bagi integritas spiritual, ekonomi, dan sosial seorang Muslim. Ayat ini menuntut konsistensi: jika kita ingin yang terbaik dari Allah (ampunan, surga, dan rezeki), maka kita harus memberikan yang terbaik dari apa yang kita miliki kepada-Nya.

Penutup dan Penguatan Pesan Inti

Pesan inti dari Al-Baqarah Ayat 267 adalah sebuah panggilan untuk kualitas, pengorbanan, dan kesadaran diri. Ayat ini mengingatkan kita bahwa infaq bukanlah proses pelepasan beban, melainkan proses pengorbanan yang tulus, di mana yang terbaik dari yang kita cintai dipersembahkan kembali kepada Pemilik hakiki.

Ketika seorang hamba memilih untuk berinfaq dari Tayyibat, ia sesungguhnya telah lulus dalam ujian keimanan yang berat. Ia telah menaklukkan kekikiran, menghormati martabat sesama manusia, dan mengukuhkan keyakinannya pada janji Allah tentang penggantian dan keberkahan yang berlipat ganda.

Sebaliknya, barang siapa yang sengaja memilih Khabits untuk diinfakkan, ia tidak hanya merugikan penerima, tetapi juga merugikan dirinya sendiri di hadapan Allah, karena ia memperlakukan ibadah ini dengan sikap meremehkan, seolah-olah Allah hanya pantas menerima sisa-sisa kehidupan kita.

Marilah kita senantiasa merenungi makna ayat ini dalam setiap pengeluaran harta kita. Apakah yang saya berikan ini adalah yang terbaik yang saya miliki? Apakah saya rela mengambil barang ini untuk diri saya sendiri? Jika jawabannya ya, maka infaq tersebut adalah Tayyibat, dan insya Allah, diterima di sisi-Nya.

“Infakkanlah yang terbaik, karena sesungguhnya apa yang kalian infakkan adalah bekal hakiki yang akan kalian temukan di akhirat.”

🏠 Kembali ke Homepage