Menganalisis Tiga Dosa Utama yang Menyebabkan Kerugian Sejati (Al-Khāsirūn)
Surah Al-Baqarah Ayat 27 merupakan sambungan langsung dari pembahasan mengenai sifat-sifat orang-orang fasik (orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah) yang disebutkan pada ayat 26. Jika ayat sebelumnya berbicara tentang bagaimana Allah tidak malu menjadikan nyamuk atau yang lebih kecil sebagai perumpamaan, ayat 27 ini secara eksplisit menguraikan ciri-ciri perilaku yang secara definitif menempatkan seseorang dalam kategori "orang yang merugi" (al-khāsirūn).
Ayat ini menyebutkan tiga tindakan fundamental yang menjadi pilar kefasikan dan kerugian abadi. Tiga tindakan ini saling terkait, menunjukkan sebuah proses degradasi spiritual yang dimulai dari pengkhianatan janji, berlanjut pada pemutusan ikatan sosial, dan berpuncak pada perbuatan destruktif di tengah masyarakat dan alam semesta. Memahami korelasi antara ketiga elemen ini adalah kunci untuk memahami konsep kerugian sejati dalam pandangan Islam.
Skema Proses Kerugian Sejati menurut Al-Baqarah 2:27.
Tindakan pertama dan mendasar yang dicela oleh ayat ini adalah melanggar janji Allah (ahdallāh) setelah janji itu diperkuat (mīṡāqihī). Frasa ini memiliki cakupan makna yang sangat luas dalam teologi Islam, tidak hanya merujuk pada perjanjian formal tetapi juga ikrar spiritual dan kewajiban universal.
Dalam konteks tafsir, "Janji Allah" di sini dapat diinterpretasikan dalam beberapa tingkatan:
Frasa "min ba'di mīṡāqihī" (setelah perjanjian itu teguh) menunjukkan bahwa pelanggaran ini dilakukan secara sadar, setelah ada pengetahuan dan pengakuan yang kuat. Ini bukan sekadar kelalaian, melainkan penolakan sistematis terhadap kebenaran yang telah diyakini atau disepakati. Kerugian yang dialami oleh orang yang melanggar janji ini adalah kerugian dalam aspek identitas spiritualnya sendiri; ia telah menukar kebenaran (iman) dengan keduniaan sementara (kekafiran atau kefasikan).
Di era modern, pelanggaran janji Allah berwujud dalam berbagai bentuk, mencerminkan hilangnya kesadaran akan tanggung jawab ilahiah:
Pelanggaran janji adalah bibit awal. Ketika manusia memutuskan hubungannya dengan janji ilahi (iman dan amanah), ia mulai kehilangan panduan moral, yang kemudian mengarah pada tindakan kedua.
Setelah pengkhianatan spiritual, langkah berikutnya bagi orang-orang fasik adalah pengkhianatan sosial. Ayat ini menekankan pentingnya menjaga koneksi atau hubungan (al-wusl). Ini adalah salah satu konsep terpenting dalam etika Islam, melampaui sekadar silaturahim (hubungan kekerabatan).
Perintah untuk menghubungkan (an yūṣala) mencakup spektrum luas koneksi yang menopang tatanan masyarakat dan spiritualitas:
Hubungan paling utama adalah menjaga komunikasi dan ketaatan kepada Allah melalui ibadah. Memutuskan hubungan ini berarti meninggalkan shalat, mengabaikan dzikir, dan tidak merenungkan ayat-ayat-Nya. Jika hubungan dengan sumber cahaya spiritual ini terputus, maka seluruh hubungan horizontal lainnya akan kehilangan fondasi etisnya. Orang yang memutuskan hubungan vertikal ini cenderung mementingkan diri sendiri dan menganggap ibadah sebagai beban, bukan sebagai sarana koneksi.
Ini adalah dimensi yang paling sering ditafsirkan dari ayat ini, meliputi:
Hubungan yang harus dihubungkan juga mencakup institusi kebaikan: menyambungkan dana zakat kepada yang berhak, menghubungkan kebenaran ilmu kepada orang yang bodoh, dan menghubungkan keadilan kepada orang yang dizalimi. Memutuskan hubungan fungsional ini, misalnya, dengan menghalangi ilmu atau menghambat distribusi keadilan, sama saja dengan melanggar perintah ayat ini.
Pemutusan hubungan ini secara fundamental menghasilkan isolasi, yang tidak hanya dirasakan oleh individu tetapi juga oleh masyarakat. Individu yang terisolasi secara spiritual dan sosial akan lebih rentan terhadap egoisme dan kekerasan. Ketika silaturahim diabaikan, masyarakat akan terbagi-bagi menjadi kelompok-kelompok yang saling curiga dan bermusuhan. Ini adalah kondisi sosial yang sangat subur bagi timbulnya tindakan ketiga: kerusakan di muka bumi.
Tafsir klasik menekankan bahwa orang fasik sering kali memutuskan hubungan hanya karena didorong oleh hawa nafsu, kebencian, atau ketamakan. Mereka mengutamakan kepentingan pribadi di atas kewajiban sosial dan spiritual yang telah ditetapkan oleh Allah. Ini adalah esensi dari sifat individualisme yang ekstrem yang ditentang oleh ajaran Islam, karena ia memandang manusia bukan sebagai bagian dari sistem kosmik dan sosial yang terintegrasi, melainkan sebagai entitas yang mandiri dan bebas dari tanggung jawab kolektif.
Pelanggaran janji (internal) dan pemutusan hubungan (sosial) pada akhirnya bermuara pada kerusakan (fasad) di dunia nyata. Fasad fil-ardh adalah puncak dari kefasikan, menjadikannya tindakan yang tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga merugikan seluruh ciptaan. Istilah fasad sangat komprehensif, mencakup semua jenis gangguan terhadap keseimbangan (mizan) yang telah ditetapkan Allah.
Fasad (Kerusakan) adalah lawan dari shalah (kebaikan atau perbaikan). Kerusakan mencakup setiap tindakan yang menyebabkan ketidakseimbangan, baik secara moral, fisik, maupun sosial.
Ini adalah kerusakan yang paling mendalam, yaitu merusak akidah, menyebarkan kesyirikan, bid’ah, dan segala bentuk penyimpangan kepercayaan yang merusak fondasi spiritual masyarakat. Dalam tafsir, inilah bentuk fasad yang paling parah, karena ia menghancurkan tujuan eksistensi manusia sebagai khalifah Allah.
Ini mencakup ketidakadilan, penindasan, fitnah, menyebarkan kebohongan, dan menciptakan kekacauan sipil. Ketika hukum tidak ditegakkan secara adil, ketika yang kuat menindas yang lemah, dan ketika para penguasa korup, maka fasad sosial telah terjadi. Pemutusan hubungan di level 2 berkontribusi langsung pada fasad ini, karena tanpa ikatan sosial yang kuat, setiap orang akan berusaha meraih keuntungan pribadi meskipun harus merugikan orang lain.
Penyebaran informasi palsu (hoaks) yang memecah belah umat dan menciptakan kebencian antarkelompok adalah manifestasi modern dari fasad sosial. Hal ini merusak kepercayaan publik dan menghilangkan kemampuan masyarakat untuk bersatu demi kebaikan.
Kerusakan ekonomi meliputi riba, penimbunan harta, monopoli, praktik bisnis yang curang, dan korupsi yang meluas. Ketika kekayaan hanya beredar di kalangan orang kaya (sebagaimana diperingatkan dalam Al-Hasyr 59:7), dan ketika hak-hak pekerja diabaikan, itu adalah fasad. Kerusakan ekonomi menciptakan kesenjangan sosial yang ekstrem, yang pada gilirannya memicu ketidakstabilan dan kekerasan.
Ini adalah kerusakan alam, seperti polusi, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, dan kerusakan ekosistem. Manusia adalah khalifah (pengelola) bumi, dan tugasnya adalah menjaga keseimbangan. Ketika manusia merusak bumi (hutan, laut, udara) demi keuntungan sesaat, ia melanggar janji amanah Allah dan secara fisik menyebabkan fasad yang berdampak pada keberlangsungan hidup seluruh makhluk.
Ayat 27 menunjukkan hubungan sebab-akibat yang jelas: Pelanggaran janji ilahi menyebabkan pemutusan koneksi kemanusiaan, dan pemutusan koneksi ini pada gilirannya melahirkan kerusakan yang nyata di muka bumi. Orang fasik tidak hanya berdosa dalam kesendiriannya, tetapi dosa mereka memiliki dampak domino yang merusak tatanan kosmik.
Keinginan untuk mendominasi, menipu, dan mengumpulkan kekayaan secara tidak sah adalah hasil dari hati yang telah memutuskan janji spiritual. Hati yang telah rusak ini tidak lagi sensitif terhadap penderitaan orang lain atau keseimbangan alam, sehingga kerusakan menjadi jalan hidup mereka.
Kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang fasik ini bersifat sistematis dan terus-menerus. Mereka tidak hanya melakukan satu tindakan kejahatan, tetapi menciptakan sistem dan struktur yang melanggengkan ketidakadilan. Misalnya, menciptakan undang-undang yang melegalkan penindasan, atau menciptakan sistem keuangan yang mengeksploitasi kaum miskin. Ini adalah fasad pada level institusional, yang menjadi peringatan keras bagi setiap generasi.
Ayat 27 menyimpulkan dengan pernyataan tegas: Ulā'ika humul-khāsirūn (Mereka itulah orang-orang yang merugi). Kata al-khāsirūn (orang-orang yang merugi) dalam konteks Al-Qur'an memiliki bobot yang jauh lebih berat daripada sekadar kegagalan materi.
Kerugian sejati yang dimaksud di sini adalah kerugian abadi yang mencakup empat aspek utama:
Ayat ini menggunakan penekanan (dengan kata humul - merekalah) untuk memastikan bahwa kerugian ini adalah definisi mutlak bagi mereka yang memiliki tiga sifat tersebut. Kerugian ini bukanlah kerugian sementara dalam perdagangan, tetapi kerugian yang bersifat permanen, melibatkan kehilangan diri sendiri dan tujuan hidup yang sebenarnya.
Para mufasir sering membandingkan kerugian ini dengan kegagalan dalam berdagang. Seorang pedagang yang cerdas menginvestasikan modalnya (umur, potensi, kesehatan) untuk mendapatkan keuntungan (pahala dan surga). Orang fasik, sebaliknya, tidak hanya gagal mendapatkan keuntungan, tetapi mereka menghabiskan modal mereka untuk mendapatkan kerugian (dosa dan siksa). Mereka menukar barang berharga (ketaatan) dengan barang murahan (duniawi yang cepat lenyap), sehingga pada Hari Kiamat mereka akan mendapati bahwa neraca amal mereka benar-benar kosong atau bahkan defisit besar.
Kerugian ini juga bersifat psikologis. Orang yang melanggar janji dan memutuskan hubungan akan hidup dalam kegelisahan, kekecewaan, dan kecurigaan, bahkan di dunia. Kehidupan mereka dipenuhi kekacauan, yang merupakan cerminan dari fasad yang mereka ciptakan. Mereka merugi di dunia karena kehilangan kedamaian, dan merugi di akhirat karena kehilangan pahala.
Ayat 27 tidak hanya mencantumkan tiga dosa, melainkan menggambarkan sebuah sindrom atau pola perilaku yang sistematis. Ketiga sifat ini—melanggar janji, memutuskan hubungan, dan berbuat kerusakan—adalah tiga tahap spiral ke bawah menuju kerugian abadi.
Oleh karena itu, fasad adalah hasil yang tak terhindarkan dari pengkhianatan spiritual dan isolasi sosial. Ayat ini mengajarkan bahwa kefasikan bukanlah tindakan tunggal, tetapi keadaan jiwa yang tercermin dalam tiga level: hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia, dan hubungan dengan alam.
Ayat ini sering ditafsirkan sebagai ciri-ciri orang munafik. Orang munafik adalah orang yang mengaku beriman (menegakkan janji secara lahiriah) namun melanggarnya dalam hati dan tindakan. Mereka memutuskan tali persaudaraan dengan sesama mukmin melalui pengkhianatan dan tipu daya, dan mereka berusaha menciptakan kekacauan (fasad) dengan memprovokasi perselisihan dan menyebarkan kebohongan di kalangan umat Islam.
Peringatan ini relevan bagi setiap individu muslim: menjaga integritas spiritual (janji) adalah syarat mutlak untuk menjaga kohesi sosial (hubungan), yang pada gilirannya melindungi kita dari menjadi agen kerusakan. Jika kita jujur pada janji kita kepada Allah, kita akan otomatis berhati-hati dalam menjaga hubungan baik dengan sesama dan alam.
Meskipun diturunkan 14 abad yang lalu, pesan Ayat 27 mengenai janji, koneksi, dan kerusakan sangat relevan dengan tantangan global kontemporer, yang ditandai dengan krisis kepercayaan dan degradasi lingkungan.
Pada skala internasional, pelanggaran janji Allah terwujud dalam pengabaian hukum internasional, penolakan terhadap hak asasi manusia universal, dan pengkhianatan terhadap perjanjian perdamaian. Negara-negara atau pemimpin yang melanggar perjanjian secara sepihak untuk keuntungan politik atau ekonomi telah melakukan fasad politik global. Dalam konteks ayat ini, setiap pihak yang melanggar janji (kontrak) yang sah, baik itu perjanjian dagang, perjanjian iklim, atau perjanjian gencatan senjata, telah menempatkan diri mereka dalam kategori al-khāsirūn.
Teknologi informasi, meskipun memiliki potensi untuk menghubungkan dunia, ironisnya sering kali memicu pemutusan hubungan sosial sejati. Ketergantungan pada koneksi virtual sering menggantikan silaturahim fisik, melemahkan ikatan kekeluargaan dan persahabatan yang otentik. Individualisme yang ekstrem, yang mengagungkan hak pribadi di atas kewajiban komunal, adalah bentuk kontemporer dari "memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan."
Ketika manusia terputus dari komunitasnya, empati menurun, dan sikap egois meningkat, menciptakan tanah subur bagi fasad berupa perundungan daring, isolasi sosial, dan polarisasi ideologis yang ekstrem.
Krisis iklim, polusi plastik, dan hilangnya keanekaragaman hayati adalah contoh paling nyata dari fasad fil-ardh. Ini adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh ketamakan manusia yang melanggar janji Allah untuk menjadi pengelola bumi yang adil. Eksploitasi yang tidak berkelanjutan adalah manifestasi konkret dari hati yang telah memutuskan hubungan dengan tanggung jawabnya sebagai khalifah. Dampak dari fasad lingkungan ini bersifat global dan jangka panjang, mengancam kehidupan generasi mendatang, sehingga benar-benar memenuhi kriteria kerugian abadi jika tidak dihentikan.
Ayat 27 menantang setiap masyarakat untuk mengukur tingkat spiritual dan moralnya, bukan hanya dari jumlah tempat ibadah, tetapi dari kualitas perjanjian yang ditepati, kuatnya ikatan sosial, dan seberapa jauh mereka menjauhkan diri dari perbuatan yang merusak (fasad).
Sebagai kontras terhadap tiga ciri kefasikan, ketaatan (imān dan islāh) dibangun di atas tiga pilar perbaikan yang wajib dilakukan oleh orang-orang beriman:
Keimanan sejati mengharuskan penepatan semua janji, baik kepada Allah maupun kepada manusia. Ini mencakup integritas total, di mana perkataan sesuai dengan perbuatan (siddiq), dan niat sesuai dengan pelaksanaan (ikhlas). Penepatan janji ini adalah fondasi moral yang memastikan bahwa setiap tindakan berikutnya dibangun di atas kebenaran.
Proses ini memerlukan introspeksi dan penegasan kembali komitmen terhadap Islam setiap hari, memastikan bahwa janji fitrah dan syariat tidak tergerus oleh godaan duniawi. Penepatan janji adalah benteng spiritual pertama melawan kerugian.
Orang beriman secara aktif mencari cara untuk memperkuat semua koneksi yang diperintahkan Allah. Ini adalah tugas proaktif untuk membangun jembatan persaudaraan, memperbaiki hubungan keluarga yang retak, dan berkontribusi pada harmoni komunitas. Ketaatan ini menuntut pengorbanan ego, memaafkan, dan mengutamakan kepentingan kolektif di atas kepentingan diri. Melalui silaturahim yang kokoh, masyarakat akan mencapai kekuatan dan daya tahan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan eksternal.
Dalam konteks modern, ini berarti menjembatani kesenjangan sosial-ekonomi, menghubungkan sumber daya kepada yang membutuhkan, dan memastikan bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang terpinggirkan dari akses terhadap kebaikan dan keadilan.
Jika fasad adalah kerugian, maka islāh (perbaikan) adalah keuntungan. Tugas orang beriman adalah tidak hanya menjauhi fasad tetapi juga secara aktif melakukan perbaikan di muka bumi. Perbaikan ini mencakup melawan ketidakadilan, menjaga lingkungan, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, dan menegakkan hukum yang adil. Ini adalah pekerjaan berkelanjutan untuk memastikan bahwa alam semesta tetap berada dalam keseimbangan yang telah ditetapkan Allah.
Orang yang beriman adalah agen perubahan yang membawa ketertiban di tengah kekacauan, keadilan di tengah penindasan, dan keseimbangan di tengah eksploitasi. Mereka adalah kebalikan dari al-khāsirūn; mereka adalah al-muflihūn (orang-orang yang beruntung).
Kerugian yang dialami oleh orang-orang fasik tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui proses bertahap: awalnya meremehkan janji, kemudian mengabaikan orang lain, hingga akhirnya menjadi sumber malapetaka. Sebaliknya, keuntungan abadi diperoleh melalui konsistensi dalam penepatan janji, kasih sayang dalam menjalin hubungan, dan keberanian dalam menegakkan perbaikan.
Pelajaran mendalam dari ayat 27 adalah bahwa setiap individu harus secara sadar memilih jalur ketaatan atau kefasikan. Pilihan ini berdampak tidak hanya pada nasib pribadi di akhirat tetapi juga pada kualitas kehidupan di dunia ini. Sifat-sifat ini (pelanggaran janji, pemutusan ikatan, dan fasad) adalah indikator jelas dari penyakit hati yang harus segera diobati dengan taubat, penegasan kembali komitmen, dan tindakan perbaikan nyata.
Kerugian sejati, sebagaimana ditekankan, adalah kerugian total yang mencakup dimensi material dan spiritual. Dalam perspektif Islam, hidup di dunia adalah kesempatan berharga yang dapat diinvestasikan dalam kebaikan. Mereka yang menyia-nyiakan kesempatan ini, menukar kebenaran dengan kesesatan dan persaudaraan dengan permusuhan, sungguh telah memilih jalur kehancuran yang tak berujung.
Ayat Al-Baqarah 2:27 berfungsi sebagai peringatan universal bagi seluruh umat manusia mengenai bahaya mengabaikan prinsip-prinsip etika dasar. Prinsip-prinsip ini bersifat interdependen dan wajib dijaga untuk menjaga integritas spiritual dan sosial.
Janji (Ahd) adalah tali penghubung antara Pencipta dan ciptaan. Ketika tali ini diputus, manusia kehilangan fondasi ontologisnya. Kehilangan fondasi ini menghilangkan rasa takut kepada Tuhan dan rasa tanggung jawab (accountability), sehingga memungkinkan semua kejahatan berikutnya. Tanpa komitmen pada Janji Allah, moralitas menjadi relatif dan kepentingan diri menjadi mutlak. Inilah sebabnya mengapa pelanggaran janji diletakkan sebagai dosa pertama dan paling mendasar.
Konsep menghubungkan apa yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan (yūṣala) adalah panggilan untuk membangun komunitas yang kuat dan welas asih. Di tengah polarisasi dan individualisme, tugas ini menjadi semakin mendesak. Umat diperintahkan untuk menyingkirkan perbedaan-perbedaan kecil dan fokus pada kesamaan-kesamaan mendasar demi menjaga persatuan umat (ukhuwah). Hanya dalam persatuan dan solidaritas sejati, fasad dapat diperangi.
Setiap tindakan eksploitasi dan ketidakadilan, meskipun dilakukan di sudut tersembunyi, pada akhirnya akan memicu kekacauan global. Ayat ini adalah pengingat bahwa tidak ada dosa yang sepenuhnya bersifat pribadi; setiap pelanggaran janji dan pemutusan hubungan akan memiliki dampak eksternal yang merusak tatanan bumi. Orang beriman adalah penjaga (protector) bumi, bukan penghancurnya (destroyer).
Kesimpulannya, Al-Baqarah 2:27 menawarkan diagnosis komprehensif tentang sumber kerugian sejati: kerugian itu berakar pada pengkhianatan iman (janji), diekspresikan melalui isolasi dan kebencian (pemutusan hubungan), dan dipraktikkan melalui kezaliman dan kerusakan (fasad). Mereka yang memilih jalan ini telah memilih kerugian mutlak, baik di dunia fana maupun di akhirat yang abadi. Mereka benar-benar, al-khāsirūn.
Tafsir mengenai ayat ini harus mendorong kaum muslimin untuk selalu meninjau kembali komitmen spiritual mereka, memperbaiki hubungan sosial mereka, dan berpartisipasi aktif dalam gerakan islāh (perbaikan) di mana pun mereka berada, sebagai upaya nyata untuk menjauhkan diri dari ciri-ciri orang-orang yang merugi.
Tiga sifat ini terus berulang dalam sejarah manusia, menjadi siklus kehancuran peradaban. Ketika masyarakat melupakan janji suci mereka, mereka akan jatuh ke dalam perpecahan, dan dari perpecahan itu muncullah tirani dan kerusakan lingkungan yang tidak terkendali. Jalan menuju kerugian adalah mudah, namun jalan menuju keberuntungan (al-muflihūn) menuntut ketekunan dalam menepati janji, ketulusan dalam menghubungkan, dan keberanian dalam memperbaiki.
Ayat ini adalah mercusuar yang menerangi jalan bagi orang-orang yang beriman, menunjukkan dengan jelas batas antara ketaatan yang menyelamatkan dan kefasikan yang menghancurkan. Setiap kali seorang muslim mempertimbangkan tindakan, ia harus mengukur: Apakah ini menguatkan janji? Apakah ini menyambungkan ikatan? Apakah ini membawa perbaikan atau kerusakan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menentukan apakah seseorang menuju kerugian abadi atau menuju keuntungan hakiki di sisi Allah SWT.
Merenungkan kedalaman makna dari "mereka itulah orang-orang yang merugi" seharusnya menjadi motivasi terbesar untuk menjauhi segala bentuk pengkhianatan, pemutusan, dan fasad. Sebab, tidak ada kerugian yang lebih besar daripada menyadari pada Hari Perhitungan bahwa seluruh investasi hidup di dunia telah menghasilkan defisit yang kekal.
Penting untuk dipahami bahwa konsep "janji" dalam konteks ini mencakup setiap level kesepakatan etis dan moral yang telah disumpahkan manusia di hadapan Allah. Ketika seseorang memutuskan untuk menipu, berbohong, atau mengkhianati, ia tidak hanya merusak hubungan dengan individu lain, tetapi secara fundamental ia telah merusak hubungannya dengan Allah, Sang Pemilik Janji tertinggi.
Kerusakan yang diakibatkan oleh fasikun bersifat berkelanjutan. Mereka mewariskan masalah, bukan solusi. Mereka menanam benih perpecahan, bukan persatuan. Dan inilah warisan kerugian yang harus diwaspadai oleh setiap generasi. Untuk keluar dari lingkaran fasad, diperlukan revolusi spiritual yang dimulai dari penegasan kembali janji kepada Allah, diikuti oleh rekonsiliasi sosial, dan diakhiri dengan tindakan nyata perbaikan ekologis dan etis di masyarakat.
Sifat-sifat ini (melanggar janji, memutuskan hubungan, berbuat kerusakan) adalah deskripsi yang sangat kuat mengenai kondisi manusia yang teralienasi dari tujuan penciptaannya. Keterasingan ini menghasilkan kekosongan batin yang diisi dengan keserakahan dan kezaliman, yang kemudian tumpah ruah menjadi bencana bagi orang lain dan lingkungan. Kerugian mereka bersifat total, mencakup jiwa, harta, waktu, dan tempat kembali abadi.
Pesan utama dari Al-Baqarah 2:27 adalah ajakan untuk hidup dengan integritas, koneksi, dan kontribusi positif. Hiduplah sebagai orang yang menepati janji, penyambung hubungan, dan agen perbaikan (muslihūn), agar tidak termasuk dalam barisan orang-orang yang merugi (al-khāsirūn).