Surah Al-Baqarah (Sapi Betina) merupakan surah terpanjang dalam Al-Qur'an, yang membahas spektrum luas hukum, akidah, dan etika sosial. Di antara permata ajarannya, terdapat satu ayat yang berfungsi sebagai peringatan keras sekaligus panggilan mendesak bagi setiap mukmin: seruan untuk berinfaq sebelum terlambat. Ayat 254 ini tidak hanya mengajarkan pentingnya berbagi, tetapi juga menempatkan aksi tersebut dalam konteks waktu yang sangat krusial, menghubungkannya langsung dengan realitas kehidupan abadi setelah kematian.
Gambar 1: Ilustrasi Tangan Memberi dan Aliran Rezeki.
Ayat ini diturunkan setelah serangkaian ayat tentang jihad dan peperangan, namun maknanya melampaui konteks militer. Ia menegaskan bahwa perjuangan spiritual dan sosial melalui harta benda adalah wajib dan harus didahulukan.
“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari (Kiamat) yang pada hari itu tidak ada lagi jual-beli, tidak ada lagi persahabatan, dan tidak ada lagi pertolongan (syafaat), kecuali bagi orang yang diizinkan Allah. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 254)
Untuk memahami kedalaman pesan ayat ini—dan untuk memenuhi tuntutan pembahasan yang komprehensif—kita harus membedah setiap frasa, karena setiap kata mengandung makna teologis, etis, dan fiqih yang sangat berat. Ayat ini terdiri dari tiga komponen utama: seruan (iman), perintah (infaq dari rezeki), dan peringatan (Hari Kiamat).
Panggilan ini adalah kehormatan sekaligus tanggung jawab. Ketika Allah SWT memulai ayat dengan seruan ini, ulama tafsir menyatakan bahwa itu menandakan bahwa perintah yang akan datang sangat penting dan hanya dapat dilaksanakan oleh mereka yang benar-benar mengakui keimanan mereka. Ini adalah isyarat bahwa infaq bukanlah sekadar kebijakan sosial, melainkan bukti nyata (aksioma) dari pengakuan tauhid seseorang.
Keimanan sejati tidak hanya diucapkan di lidah (tasdiq bil lisan) tetapi harus dibuktikan melalui tindakan (amal). Ayat ini menempatkan infaq (pengeluaran harta) sejajar dengan rukun Islam yang lain. Mengapa? Karena harta adalah fitnah (ujian) terbesar bagi manusia. Orang yang rela melepaskan sebagian harta yang ia cintai demi ketaatan kepada Allah, berarti ia telah menempatkan Allah di atas segala kecintaan duniawinya. Infaq, dalam konteks ini, menjadi barometer keikhlasan dan tingkat kepercayaan seorang hamba terhadap janji rezeki dan ganjaran dari Tuhan.
Panggilan ini juga menyiratkan bahwa tanggung jawab finansial terhadap masyarakat adalah tugas kolektif orang-orang beriman. Kewajiban ini melampaui zakat wajib; ia mencakup shadaqah, wakaf, dan segala bentuk pengeluaran untuk kemaslahatan umat. Ini adalah fondasi etika ekonomi Islam: kekayaan harus bergerak, tidak boleh menumpuk hanya pada segelintir orang. Dengan demikian, "Wahai orang-orang yang beriman" adalah seruan untuk membangun sebuah masyarakat yang saling menopang dan adil secara ekonomi.
Frasa ini mengandung dua poin teologis yang fundamental: perintah infaq dan pengakuan bahwa semua harta adalah milik Allah (rizq).
Kata infaq (أَنفِقُوا) berasal dari akar kata N-F-Q (نفق) yang berarti habis, keluar, atau terowongan. Secara terminologi syariah, infaq adalah mengeluarkan harta untuk kepentingan syar’i. Perbedaan utamanya dengan zakat adalah, infaq bisa mencakup pengeluaran wajib (zakat, nafkah) dan pengeluaran sunnah (sedekah sukarela). Namun, dalam konteks ayat yang berdiri sendiri dan mendesak ini, ia mencakup semua bentuk pengorbanan finansial yang membawa manfaat ukhrawi.
Bagian terkuat dari frasa ini adalah مِمَّا رَزَقْنَاكُم (mim mā razaqnākum - dari apa yang Kami rezekikan kepadamu). Ini adalah penegasan kepemilikan. Manusia cenderung merasa bahwa rezeki adalah hasil murni dari usaha kerasnya. Al-Qur'an secara tegas membantah anggapan ini; rezeki (rizq) berasal dari Allah. Frasa ini mengajarkan kerendahan hati: kita hanya diminta mengembalikan sebagian kecil dari apa yang telah dipercayakan kepada kita oleh Pemilik sejati.
Penekanan pada kata ‘sebagian’ (مِنْ / min) mengindikasikan bahwa Islam tidak menuntut seluruh harta, tetapi pengeluaran yang proporsional. Ini adalah keseimbangan antara memenuhi kebutuhan diri dan keluarga, dan menunaikan hak Allah serta hak sosial yang melekat pada harta tersebut.
Ini adalah jantung peringatan dalam ayat 254. Perintah berinfaq harus segera dilakukan—saat ini, di dunia—karena ada batas waktu (deadline) yang tidak dapat digeser. Hari yang dimaksud adalah Hari Kiamat atau Hari Perhitungan (Yawm al-Qiyamah). Urgensi terletak pada kenyataan bahwa amal shaleh hanya dapat dikerjakan selama masa penangguhan (hidup di dunia).
Gambar 2: Simbol Waktu dan Urgensi Beramal Sebelum Hari Kiamat.
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan tiga fungsi sosial dan ekonomi dunia yang sama sekali tidak berlaku lagi di Akhirat. Tiga penolakan ini memberikan gambaran yang mengerikan tentang isolasi dan keputusasaan bagi mereka yang datang tanpa bekal amal.
Hari Kiamat bukanlah pasar tempat seseorang dapat membeli keselamatan, menebus dosa, atau menawar ganjaran. Di dunia, kesalahan finansial dapat ditutup dengan denda atau ganti rugi; kesalahan spiritual dapat ditutup dengan sedekah penebusan. Di Akhirat, jendela transaksi ditutup total. Tidak ada lagi kesempatan untuk beramal atau menukar harta demi keuntungan rohani. Amalan yang dibawa adalah stok terakhir yang tidak bisa di-top up.
Ini menolak segala bentuk pemikiran bahwa kekayaan duniawi dapat digunakan sebagai alat penjamin di sisi Allah. Kekuatan ekonomi yang dulu digunakan untuk mendominasi kini tidak bernilai sepeser pun. Hanya amal saleh yang tulus, khususnya infaq yang dilakukan saat hidup, yang akan menjadi mata uang yang sah.
Kata Khullah (خُلَّةٌ) memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar persahabatan biasa (shadaqah). Khullah adalah persahabatan intim, ikatan yang sangat kuat, bahkan melebihi ikatan kekeluargaan dalam beberapa konteks. Allah memperingatkan bahwa pada Hari itu, ikatan terkuat yang dibangun di dunia—termasuk persahabatan bisnis, politik, atau bahkan persahabatan akrab—akan terputus.
Setiap jiwa akan sibuk dengan dirinya sendiri (Yaum al-Farri min Akhihi). Tidak ada sahabat yang bersedia menanggung sedikit pun dosa sahabatnya, bahkan jika ia adalah orang yang paling dicintai di dunia. Manusia akan menyadari bahwa satu-satunya persahabatan yang langgeng adalah persahabatan yang dibangun atas dasar ketaqwaan dan amal saleh.
Pengecualian bagi aturan ini adalah persahabatan yang tulus karena Allah, yang mana hadis-hadis Nabi SAW menyebutkan bahwa mereka yang saling mencintai karena Allah akan berada di bawah naungan-Nya. Namun, persahabatan duniawi yang bersifat transaksional atau hanya berdasarkan kesenangan akan hancur lebur.
Syafaat adalah perantara atau pembelaan. Ayat 254 ini secara tegas menyatakan bahwa di Hari Kiamat, tidak ada syafaat yang bisa bekerja secara mandiri tanpa izin mutlak dari Allah SWT. Ini penting untuk menolak pemahaman syirik bahwa manusia bisa mengandalkan ‘orang suci’ atau ‘perantara’ tanpa harus beramal. Ayat ini menegaskan kembali prinsip tauhid: kekuasaan sepenuhnya milik Allah.
Namun, perlu dicatat bahwa ayat ini tidak menafikan syafaat secara absolut. Ayat-ayat lain (seperti Al-Baqarah 255) menjelaskan bahwa syafaat hanya terjadi dengan izin-Nya (illā bi-idhnih). Oleh karena itu, penolakan syafaat di ayat 254 berfungsi sebagai peringatan: jangan mengandalkan syafaat, karena pintu untuk mendapatkannya—yaitu melalui amal saleh di dunia—telah ditutup bagi mereka yang lalai.
Intinya, harta, kekuasaan, dan koneksi sosial yang berguna di dunia (jual-beli, persahabatan, perantara) menjadi nol besar di hadapan keadilan Ilahi. Hanya amal, yang diwakili oleh infaq tulus, yang tersisa.
Perintah infaq dalam ayat ini diletakkan di tengah-tengah pembahasan penting mengenai akidah, seperti Ayat Kursi (255) yang berbicara tentang keesaan Allah, dan kisah Thalut dan Jalut yang membahas kepemimpinan. Ini menunjukkan bahwa kedermawanan finansial adalah pilar teologis yang sama pentingnya dengan tauhid dan kepemimpinan yang adil.
Ketika Allah memerintahkan kita berinfaq dari ‘apa yang Kami rezekikan kepadamu’, ini adalah ujian syukur. Orang yang bersyukur mengakui bahwa kekayaan bukanlah prestasi pribadi semata, melainkan anugerah yang harus dipertanggungjawabkan. Infaq adalah cara konkret untuk ‘mengucapkan terima kasih’ kepada Sang Pemberi Rezeki. Tanpa infaq, rasa syukur hanya menjadi pengakuan lisan yang dangkal.
Dalam ilmu tasawuf dan etika Islam, infaq adalah salah satu sarana utama tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Harta memiliki daya tarik yang kuat; ia bisa menjadi racun yang menimbulkan kesombongan dan kikir. Dengan mengeluarkan sebagian harta, seorang mukmin melatih dirinya untuk melepaskan keterikatan pada dunia fana. Ia membersihkan jiwanya dari penyakit materialisme dan membersihkan hartanya dari potensi hak-hak orang lain yang belum tertunaikan.
Banyak manusia enggan berinfaq karena takut miskin atau merasa rugi. Namun, Islam mengajarkan konsep yang terbalik: setiap yang diinfakkan adalah investasi abadi. Allah SWT menjamin penggantian (QS. Saba’ [34]: 39) dan pelipatgandaan pahala (QS. Al-Baqarah [2]: 261). Oleh karena itu, orang yang menahan diri dari infaq seolah-olah menolak untuk menanam benih amal yang akan menghasilkan buah di Hari yang paling dibutuhkan.
Ayat 254 ditutup dengan pernyataan yang sangat keras: menggabungkan antara kekafiran (al-Kāfirūn) dengan kezaliman (ẓālimūn). Apa hubungannya antara menahan infaq dengan kekafiran dan kezaliman?
Kekafiran (kufr) secara harfiah berarti menutupi atau mengingkari kebenaran. Orang yang menahan hartanya, padahal ia tahu bahwa harta itu berasal dari Allah dan bahwa sebagian darinya adalah hak orang miskin, berarti ia sedang ‘menutupi’ atau ‘mengingkari’ hakikat rezeki dan perintah Allah. Ia bertindak seolah-olah ia adalah pemilik mutlak. Dalam konteks ini, menolak perintah infaq menjadi bentuk kekafiran praktis.
Zalim adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Menahan hak fakir miskin, hak umat, atau hak Allah dalam harta adalah bentuk kezaliman. Kezaliman ini merugikan tiga pihak:
Oleh karena itu, penutup ayat ini berfungsi sebagai peringatan bahwa masalah infaq bukan sekadar etika sosial, tetapi masalah akidah. Kegagalan dalam menginfakkan rezeki yang diberikan Allah adalah kegagalan untuk memahami tauhid secara utuh, dan ini merupakan kezaliman yang akan dipertanggungjawabkan di Hari Kiamat.
Bagaimana ajaran Al-Baqarah 254 dapat diterapkan dalam kehidupan modern? Ayat ini memberikan kerangka kerja yang luas mengenai manajemen kekayaan seorang Muslim.
Meskipun zakat adalah bentuk infaq yang wajib dan memiliki aturan yang jelas (nishab dan haul), perintah dalam Ayat 254 bersifat umum dan mendesak. Tafsir ulama sepakat bahwa seruan ini mencakup infaq sunnah (sedekah, sumbangan pembangunan, bantuan bencana) yang berfungsi untuk menutup kekurangan dalam kewajiban zakat dan untuk memperkuat solidaritas umat.
Dalam masyarakat modern yang kompleks, kebutuhan sosial tidak selalu tertutupi oleh mekanisme zakat formal saja. Pendidikan, kesehatan publik, dan penelitian ilmiah seringkali membutuhkan dana filantropis yang besar. Ayat 254 mendorong mukmin untuk melihat infaq sebagai tanggung jawab berkelanjutan, bukan hanya kewajiban tahunan yang minimal.
Rezeki (rizq) dalam ayat ini tidak terbatas pada uang tunai atau emas. Ia mencakup segala sesuatu yang diberikan Allah kepada kita: waktu, ilmu, kesehatan, dan posisi. Oleh karena itu, perintah ‘Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu’ juga berarti:
Ini memperluas makna infaq dari sekadar transaksi moneter menjadi gaya hidup yang berorientasi pada pengorbanan dan pelayanan kepada Allah dan sesama, yang semuanya harus dilakukan SEBELUM Hari Kiamat.
Para ekonom Muslim melihat infaq sebagai mekanisme stabilisasi ekonomi. Ketika harta disalurkan dari yang kaya kepada yang membutuhkan, daya beli meningkat, perputaran uang terjadi, dan kesenjangan berkurang. Ayat 254, dengan tekanan waktunya, memaksa umat untuk segera menyuntikkan dana ke dalam peredaran sosial, mencegah penimbunan (iktināz) yang dilarang dalam Islam. Penimbunan adalah kezaliman, sementara infaq adalah keadilan.
Untuk benar-benar menghayati urgensi Ayat 254, kita harus merenungkan secara mendalam tentang sifat Hari Kiamat yang disifati sebagai hari tanpa transaksi, tanpa persahabatan, dan tanpa syafaat yang tidak diizinkan.
Di dunia, kita terbiasa menyelesaikan masalah dengan uang. Uang membeli makanan, kesehatan, dan bahkan pengaruh hukum. Ayat 254 merobek ilusi ini. Ia menegaskan bahwa seluruh sistem nilai material akan runtuh total. Kekayaan Firaun, perbendaharaan Qarun, dan kekuatan bank dunia tidak akan mampu membeli satu detik pun kelegaan dari siksaan atau satu tetes pun air di padang mahsyar.
Perenungan ini harus memicu perubahan radikal dalam prioritas hidup: mengapa menghabiskan seluruh energi mengejar sesuatu yang dijamin akan menjadi nol nilainya pada hari yang paling penting?
Manusia adalah makhluk sosial. Di dunia, kita menemukan kenyamanan dalam keluarga, pasangan, dan teman. Ayat ini secara spesifik mencabut dua sumber kenyamanan terbesar: khullah (persahabatan erat) dan syafa'ah (pertolongan dari luar). Ini menekankan bahwa keselamatan adalah urusan personal antara hamba dan Rabb-nya. Di hari itu, setiap orang akan berdiri sendiri, telanjang secara spiritual, di hadapan perhitungan Ilahi.
Peringatan ini seharusnya mendorong mukmin untuk mengalihkan investasi hubungan dari yang bersifat duniawi semata (bisnis, popularitas) menjadi hubungan yang berorientasi Akhirat, di mana satu-satunya ikatan yang tersisa adalah ikatan ketaqwaan.
Perintah infaq tidak hanya bermakna hukum (fiqih) atau teologi (akidah), tetapi juga memiliki dimensi psikologis mendalam yang memotivasi manusia untuk bertindak sebelum terlambat.
Banyak kebaikan tertunda karena manusia selalu berkata, "Nanti, jika aku lebih kaya," atau "Nanti, jika aku sudah pensiun." Ayat 254 adalah antitesis terhadap mentalitas penundaan ini. Dengan menetapkan Hari Kiamat sebagai batas waktu yang absolut dan tidak dapat ditawar, Allah menggerakkan hati manusia untuk segera bertindak. Kita tidak dijamin hidup hingga besok, apalagi hingga kita mencapai puncak kekayaan. Infaq harus dilakukan saat kita masih memiliki kekuatan dan kesempatan, saat kita masih sehat dan mencintai harta tersebut.
Inti dari Al-Baqarah 254 adalah urgensi: Infaq adalah tindakan masa kini untuk investasi masa depan abadi. Menunda infaq berarti berjudi dengan kesempatan terakhir untuk membeli tiket keselamatan.
Untuk berinfaq saat sedang membutuhkan atau saat kekayaan sedang berlimpah sama-sama membutuhkan keberanian moral. Ketika kita kaya, kita takut kehilangan; ketika kita miskin, kita takut tidak cukup. Ayat ini mengajarkan bahwa keberanian sejati adalah menantang ketakutan kehilangan rezeki dengan mempercayai janji Allah untuk mengganti dan melipatgandakan. Ini adalah sebuah lompatan iman yang membuktikan bahwa keyakinan akan janji Allah lebih kuat daripada kecintaan pada materi.
Surah Al-Baqarah Ayat 254 adalah salah satu ayat yang paling kuat yang mengatur hubungan antara iman, harta, dan waktu. Ia menyajikan argumen yang sangat logis: jika Anda percaya pada hari akhir yang kekal, dan Anda tahu bahwa di hari itu tidak ada yang bisa menyelamatkan Anda kecuali amal yang Anda kirimkan dari dunia, maka sungguh bodoh jika Anda menahan investasi terbaik yang bisa Anda lakukan saat ini.
Kezaliman (ẓulm) yang disebutkan pada akhir ayat adalah puncaknya: orang yang lalai berinfaq saat masih memiliki waktu, uang, dan kesempatan, adalah orang yang paling zalim terhadap dirinya sendiri. Ia menelantarkan jiwanya dan menggadaikan kebahagiaan abadinya demi kenikmatan fana.
Perintah Allah, أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمٌ, bukan sekadar anjuran kebaikan, melainkan strategi bertahan hidup spiritual. Setiap mukmin didorong untuk menjadikan infaq sebagai bagian integral dari rutinitas hidupnya, memastikan bahwa sebelum batas waktu tak terhindarkan tiba, ia telah mengisi lumbung amalnya dengan investasi yang tak akan pernah basi: harta yang dikeluarkan dengan tulus di jalan Allah.
Infaq, oleh karena itu, adalah tindakan menukarkan yang pasti fana (harta dunia) dengan yang pasti kekal (pahala Akhirat), dan ini adalah transaksi yang hanya bisa dilakukan saat ini. Waktu terus berjalan, dan hari tanpa jual-beli itu semakin mendekat bagi setiap individu.
Diskusi tentang Al-Baqarah 254 menuntut kita untuk tidak hanya berkutat pada tafsir linguistik, tetapi juga pada bagaimana perintah yang mendesak ini menciptakan sebuah tsaqafah (budaya) kebaikan yang berkelanjutan. Ketika kita berbicara tentang menginfakkan rezeki, kita berbicara tentang siklus abadi yang dimulai dari ketaatan dan berakhir pada pahala yang berlipat ganda.
Jika ayat ini menuntut urgensi, lantas bagaimana seorang Muslim menentukan prioritas pengeluarannya? Meskipun setiap sedekah mendatangkan pahala, ulama fiqih menetapkan hirarki yang harus dipertimbangkan untuk mengoptimalkan kepatuhan terhadap Ayat 254:
Ayat 254 mendorong mukmin untuk melihat daftar ini bukan hanya sebagai daftar, tetapi sebagai panggilan mendesak. Jangan tunggu kebutuhan mendesak muncul; sediakan dana infaq secara proaktif untuk poin 4 dan 5, memastikan bahwa investasi Akhirat selalu berjalan.
Ayat 254 secara halus memerangi penyakit spiritual yang disebut al-ghurur (tertipu atau ilusi). Manusia tertipu oleh dua hal: ilusi kekekalan di dunia dan ilusi pengampunan tanpa amal. Orang yang tertipu berpikir bahwa mereka masih punya banyak waktu, atau bahwa kedudukan sosial mereka di dunia (atau koneksi ke orang saleh) akan menyelamatkan mereka di Akhirat.
Dengan tegas meniadakan jual-beli, khullah, dan syafaat yang tidak diizinkan, Allah memotong semua tali penyelamat palsu. Pesan yang tersisa hanyalah: bekerjalah sekarang, karena nanti, ilusi-ilusi dunia tidak akan berfungsi.
Jika kita merenungkan ulang frasa مِمَّا رَزَقْنَاكُم (dari apa yang Kami rezekikan kepadamu), kita menyentuh inti dari filsafat ekonomi Islam. Harta adalah ujian amanah. Ujian ini memiliki durasi yang sangat terbatas: seumur hidup.
Ketika seseorang berinfaq, ia tidak ‘kehilangan’ harta; ia justru sedang memenuhi salah satu syarat pemeliharaan amanah. Harta yang dikeluarkan dengan ikhlas segera dicatat sebagai modal abadi dan diganti dengan pahala yang berlipat ganda. Ini adalah satu-satunya transaksi di alam semesta di mana pengeluaran justru menambah kekayaan hakiki seseorang.
Dunia (dunia) disebut demikian karena sifatnya yang ‘rendah’ atau ‘terdekat’. Ini adalah satu-satunya dimensi realitas di mana manusia diberikan kebebasan memilih untuk beramal. Di alam Barzakh atau di Akhirat, pilihan untuk beramal sudah dicabut. Oleh karena itu, perintah infaq menjadi mendesak karena ia adalah kunci emas yang hanya dapat digunakan selama kita berada di ‘ruang tunggu’ dunia ini.
Para ulama tafsir menekankan bahwa penyesalan terbesar penduduk neraka bukanlah atas kemewahan yang tidak mereka nikmati, melainkan atas kesempatan beramal yang mereka sia-siakan. Mereka akan memohon, “Ya Tuhan kami, kembalikan kami (ke dunia), niscaya kami akan beramal saleh, tidak seperti yang pernah kami kerjakan.” (QS. As-Sajdah [32]: 12). Ayat 254 datang jauh sebelum permohonan itu terucap, memberikan peringatan keras untuk menghindari penyesalan tersebut.
Ayat 254 adalah landasan etika Islam melawan penumpukan harta yang berlebihan tanpa adanya penyaluran sosial. Jika harta ditimbun dan tidak diinfakkan, ia menjadi aset yang beku dan tidak produktif, membawa bahaya ganda:
Konteks penempatan ayat ini—setelah ayat-ayat peperangan dan sebelum Ayat Kursi—sangat strategis. Ayat ini mengajarkan bahwa kemenangan fisik dan spiritual tidak akan tercapai tanpa kemauan untuk mengorbankan apa yang paling dicintai: harta. Orang yang takut berinfaq adalah orang yang tidak siap berkorban, dan orang yang tidak siap berkorban tidak akan pernah mencapai kemenangan hakiki, baik dalam jihad fisik maupun jihad melawan hawa nafsu.
Penolakan terhadap khullah pada Hari Kiamat membawa kita pada perenungan mendalam tentang kualitas hubungan yang kita bina di dunia. Hubungan yang dibangun atas dasar kepentingan duniawi—kekuasaan, kekayaan, atau kesenangan sesaat—pasti akan putus dan saling bermusuhan pada Hari Kiamat (QS. Az-Zukhruf [43]: 67).
Namun, Infaq memiliki peran sebagai perekat sosial yang abadi. Ketika seseorang berinfaq, ia menciptakan ikatan kasih sayang sejati dengan penerima, dengan Allah, dan dengan komunitasnya. Infaq adalah bentuk khullah yang sah di Akhirat. Harta yang diinfakkan akan menjadi saksi yang mendampingi di alam kubur dan penolong di Hari Berbangkit.
Oleh karena itu, jika Ayat 254 memperingatkan kita tentang kegagalan khullah duniawi, ia juga secara implisit mendorong kita untuk membangun khullah ukhrawi melalui kedermawanan dan amal saleh.
Pertanyaan ini kembali kepada seruan awal: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا. Mengapa hanya orang beriman yang diperintahkan, sementara infaq juga membawa manfaat sosial bagi semua orang?
Jawabannya terletak pada motivasi. Orang kafir mungkin memberi sedekah, tetapi motivasi mereka biasanya adalah reputasi, manfaat pajak, atau rasa kasihan kemanusiaan semata. Amal mereka tidak akan bernilai di sisi Allah karena mereka tidak memiliki fondasi tauhid.
Sebaliknya, Allah memerintahkan orang beriman karena hanya orang beriman yang dapat menjadikan infaq sebagai ibadah, melakukannya dengan niat ikhlas (lillahi ta'ala) dan dengan keyakinan penuh pada Hari Pembalasan. Hanya amal yang dibangun di atas pondasi iman yang dapat menjadi modal yang tidak bisa dicabut kembali di Hari yang tiada lagi jual-beli.
Keseluruhan pesan Ayat 254 adalah sebuah arsitektur spiritual yang rapi dan logis. Ia mulai dari identitas (iman), bergerak ke tindakan (infaq dari rezeki), dan diakhiri dengan peringatan tegas tentang waktu (sebelum Hari Kiamat) serta konsekuensi dari kelalaian (kezaliman). Ayat ini adalah mercusuar yang menerangi jalan menuju keselamatan abadi, yang kuncinya terletak pada pengorbanan finansial di masa kini.
Kajian mendalam ini menegaskan kembali bahwa setiap kesempatan untuk berinfaq yang terlewatkan adalah kerugian yang tak ternilai harganya. Setiap rezeki yang ditahan adalah beban, bukan aset. Urgensi adalah kata kunci. Infakkanlah hari ini, sebelum tiba hari di mana penyesalan tidak lagi berarti apa-apa.
Dalam konteks modern, di mana godaan materi semakin kuat dan masa depan semakin tidak pasti, peringatan Al-Baqarah 254 menjadi semakin relevan. Ia menantang kita untuk bertanya pada diri sendiri: Apakah kita menjalani hidup sebagai pemilik atau sebagai pengelola amanah? Dan apakah kita sudah menginvestasikan rezeki kita ke bank yang pasti memberikan keuntungan abadi, yaitu di Jalan Allah, sebelum jendela transaksi ditutup selamanya?
Meskipun kita fokus pada Al-Baqarah 254, urgensi infaq dan ancaman Hari Kiamat di mana harta tak berguna diulang dalam banyak ayat. Pengulangan ini menunjukkan betapa sulitnya bagi manusia untuk melepaskan diri dari jeratan kecintaan pada harta, dan betapa vitalnya pesan infaq bagi keselamatan individu dan komunitas. Ayat 254 merangkum esensi dari peringatan ini dalam tiga penolakan yang sangat kuat: tidak ada nilai pengganti (jual-beli), tidak ada pembelaan emosional (persahabatan), dan tidak ada bantuan dari luar (syafaat tanpa izin).
Manusia secara naluriah menyukai tumpukan harta (QS. Al-Adiyat [100]: 8). Ayat 254 datang sebagai terapi paksa untuk membalikkan naluri ini. Infaq wajib dan sunnah dirancang untuk melatih hati agar terbiasa memberi, sehingga mematahkan rantai kekikiran. Jika kita gagal berinfaq saat memiliki harta, maka saat tiba Hari Kiamat, penyesalan kita akan semakin pedih karena kita tahu bahwa kita memiliki kunci kebebasan, tetapi kita menolak menggunakannya.
Hari Kiamat, seperti yang digambarkan di sini, adalah hari kebenaran brutal. Ia menelanjangi semua kemunafikan dan ilusi. Orang yang berinfaq di dunia hanya untuk pamer (riya') akan menyadari bahwa transaksi mereka batal, karena niat mereka busuk. Sebaliknya, orang yang memberi secara sembunyi-sembunyi, tanpa mengharapkan pujian, akan menemukan bahwa harta kecil yang mereka infakkan telah berubah menjadi gunung ganjaran yang tak tertandingi.
Jika Allah Maha Pengampun, mengapa Dia menetapkan hari yang sangat ketat, tanpa negosiasi? Ini adalah manifestasi dari Keadilan-Nya yang sempurna. Dunia adalah tempat ujian. Jika seseorang diberi seluruh umur, kekayaan, dan kesempatan untuk beramal (yaitu infaq) tetapi ia menolak, maka tidak adil jika ia diberi kesempatan kedua untuk ‘membeli’ keselamatan di akhir ujian. Hari Kiamat adalah penegasan kedaulatan Tuhan dan keadilan total, di mana segala usaha untuk menyuap, meminta bantuan, atau menipu adalah mustahil.
Oleh karena itu, infaq bukanlah ‘opsi tambahan’ bagi orang beriman; ia adalah bagian intrinsik dari kontrak iman. Kontrak ini harus dipenuhi sebelum masa tenggang habis.
Setiap Rupiah yang diinfakkan hari ini memiliki konsekuensi jangka panjang, tidak hanya bagi individu tetapi bagi keseluruhan umat. Infaq yang disalurkan dengan benar membangun infrastruktur kebaikan yang akan menuai pahala abadi. Misalnya, dana infaq untuk pendidikan akan menghasilkan generasi ulama, dokter, dan insinyur Muslim yang bermanfaat, dan pahala dari setiap ilmu yang mereka gunakan akan terus mengalir kembali kepada si penginfaq, bahkan setelah ia meninggal.
Ini adalah implementasi paling murni dari menghindari penyesalan di Hari Kiamat. Jika seseorang tahu bahwa amal jariyahnya terus bekerja untuknya, maka ia tidak perlu khawatir akan kebangkrutan amal pada hari di mana semua transaksi dihentikan.
Mari kita kembali menganalisis tiga penolakan kunci dalam ayat ini, menggunakan sudut pandang linguistik untuk memahami ketegasan pesannya.
Struktur kalimat dalam bahasa Arab menggunakan partikel lā (لا) yang diikuti oleh kata benda yang berarti penolakan total dan universal. Penolakan terhadap bai’un (jual beli) berarti penolakan terhadap seluruh sistem ekonomi dan negosiasi berbasis nilai. Anda tidak bisa menawarkan pahala puasa Anda kepada ibu Anda untuk mendapatkan pahala shalatnya; Anda tidak bisa membayar uang tebusan untuk dosa Anda. Semua kepemilikan duniawi telah lenyap.
Khullah adalah tingkat tertinggi dari cinta dan kepercayaan, sebagaimana Nabi Ibrahim dinamakan Khalilullah (Kekasih Allah). Penolakan terhadap khullah adalah penolakan terhadap ikatan emosional terkuat yang seringkali menjadi sandaran di dunia. Di Akhirat, hubungan ini akan berubah menjadi pertanggungjawaban. Jika persahabatan itu menyebabkan Anda terjerumus dalam dosa (misalnya, menimbun harta bersama), maka sahabat tersebut akan menjadi musuh Anda.
Syafaat sering kali diartikan sebagai "pengajuan permohonan." Di dunia, kita mengajukan permohonan ke pengadilan, ke atasan, atau ke pemimpin. Ayat 254 memastikan bahwa sistem hierarki dan koneksi duniawi ini sepenuhnya non-aktif. Syafaat hanya terjadi jika Allah mengizinkan pemberi syafaat (seperti Nabi Muhammad SAW) dan mengizinkan penerima syafaat. Ini adalah hak prerogatif Ilahi, bukan hak yang dapat diperjualbelikan atau diakses melalui koneksi sosial.
Tiga penolakan ini—ekonomi, emosional, dan politik/sosial—secara kolektif mencabut semua bentuk interaksi manusia yang dapat digunakan untuk menghindari konsekuensi amal buruk. Infaq adalah satu-satunya tindakan yang mendahului dan mengatasi tiga penolakan ini, karena infaq adalah transaksi langsung dengan Allah yang telah selesai sebelum batas waktu (Hari Kiamat) tiba.
Al-Baqarah Ayat 254 adalah peta jalan menuju persiapan akhir. Ia merangkum seluruh etos spiritual Islam: hidup adalah kesempatan terbatas untuk berinvestasi. Investasi terbaik adalah infaq dari rezeki yang telah Allah berikan.
Apabila kita memahami bahwa waktu adalah musuh yang tak terhindarkan, dan bahwa hari yang dimaksud akan datang bagi kita masing-masing melalui kematian atau Kiamat besar, maka tidak ada alasan untuk menunda. Kehati-hatian yang berlebihan terhadap harta justru mengarah pada risiko terbesar: kebangkrutan spiritual di Hari Kiamat.
Oleh karena itu, setiap mukmin harus secara aktif mencari peluang untuk berinfaq, baik besar maupun kecil, wajib maupun sunnah, hari ini juga. Infaq adalah satu-satunya bentuk kekayaan yang akan tetap utuh, bahkan ketika seluruh alam semesta materi telah hancur dan nilai tukar duniawi menjadi nol. Jadikanlah infaq sebagai bukti keimanan, sebelum hari yang tiada lagi jual-beli, persahabatan, dan pertolongan, menelan semua kesempatan untuk bertobat dan beramal.
Perintah ini adalah kasih sayang terbesar dari Allah kepada hamba-Nya. Ia bukan beban, melainkan jalan keluar. Ia adalah kesempatan emas untuk mengamankan tempat di Surga dengan menukar sebagian kecil dari rezeki fana dengan ganjaran abadi yang tak terhingga nilainya. Jangan sampai kita termasuk golongan yang zalim karena lalai terhadap hak Allah dan hak sesama dalam rezeki yang kita pegang.
Pesan tegas dari Surah Al-Baqarah 254 terus bergema: **Bergegaslah berinfaq, karena waktu penangguhanmu akan segera berakhir.**
Untuk menjalankan perintah infaq dengan semangat yang sesungguhnya, perubahan mentalitas dari "saya memiliki" menjadi "saya mengelola" sangatlah penting. Ayat 254, dengan frasa 'dari apa yang Kami rezekikan kepadamu', secara radikal menantang pemikiran kapitalistik modern yang mengagungkan kepemilikan pribadi mutlak. Dalam Islam, kepemilikan adalah fungsional, bukan absolut. Allah adalah Pemilik sejati, dan manusia hanyalah manajer yang diberi tanggung jawab untuk mengelola harta sesuai dengan kehendak Pemilik.
Apabila manajer mengabaikan instruksi Pemilik (yaitu menahan infaq), maka ia dianggap melanggar amanah, yang berujung pada kezaliman. Kezaliman ini diperparah oleh ancaman waktu; manajer tersebut telah menghabiskan waktu yang terbatas untuk memenuhi amanah tersebut.
Di dunia, orang-orang bekerja keras untuk mempersiapkan dana pensiun, asuransi kesehatan, dan dana hari tua. Namun, seringkali mereka lupa mempersiapkan dana hari tua yang paling penting: Hari Akhirat. Infaq adalah satu-satunya dana pensiun yang dijamin akan berfungsi di hari yang tiada lagi mata uang. Dana ini tidak dipengaruhi oleh inflasi, krisis global, atau keruntuhan bursa saham. Nilainya hanya akan berlipat ganda, asalkan dilakukan dengan tulus ikhlas.
Kekhawatiran yang menahan infaq—takut jatuh miskin—adalah kekhawatiran yang salah tempat. Kekurangan yang sesungguhnya bukanlah kekurangan di dompet, melainkan kekurangan amal di catatan kiri dan kanan pada Hari Perhitungan.
Ayat 254 bukan hanya ditujukan kepada individu super kaya; ia ditujukan kepada "Wahai orang-orang yang beriman" secara keseluruhan. Ini mendorong setiap Muslim, sesuai kemampuannya, untuk menjadi bagian dari solusi sosial. Infaq adalah mekanisme sirkulasi darah dalam tubuh umat Islam. Ketika sirkulasi ini lancar, komunitas menjadi sehat, kuat, dan berdaya. Ketika sirkulasi ini terhambat (karena kekikiran), umat menjadi lemah dan rentan terhadap penyakit sosial.
Budaya kedermawanan yang didorong oleh ayat ini menciptakan siklus positif: memberi meningkatkan keberkahan (barakah), keberkahan meningkatkan rezeki, dan rezeki yang meningkat harus diinfakkan kembali, sehingga siklus ini terus berjalan dan memastikan keseimbangan antara individu dan masyarakat.
Pesan utama Al-Baqarah 254 adalah sebuah seruan untuk tindakan segera, berdasarkan kesadaran penuh akan keniscayaan akhirat. Jangan biarkan hari tanpa transaksi, tanpa sahabat sejati, dan tanpa pertolongan yang pasti, menangkap Anda dalam keadaan tak berbekal.
Akhir dari ayat ini, وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ, menjadi penutup yang menyengat. Kekafiran dan kezaliman adalah dua sisi mata uang yang sama. Orang yang kafir terhadap perintah infaq adalah orang yang zalim terhadap dirinya sendiri dan masyarakat, dan kezaliman ini adalah bekal terburuk untuk menghadapi Hari Perhitungan. Hanya dengan menginfakkan rezeki kita hari ini, kita dapat memastikan bahwa kita berdiri di sisi orang-orang yang beruntung, bukan di sisi orang-orang yang zalim.
Penerapan Ayat 254 secara konsisten adalah bukti tertinggi dari penyerahan diri total (Islam), yang mana tindakan materiil kita selaras dengan pengakuan spiritual kita. Infaq bukan hanya kewajiban, tetapi hak istimewa yang hanya diberikan selama kita masih bernafas.
Pengulangan dan penekanan ini menjadi pilar utama dalam pemahaman utuh terhadap perintah Ilahi ini. Tidak ada satu pun celah untuk menawar, menunda, atau menipu dalam memenuhi panggilan ini. Jawabannya haruslah tindakan, dan tindakan itu haruslah dilakukan sekarang. Infaq, infaq, infaq. Sebelum datangnya hari yang dijanjikan.