Mukadimah: Ayat Terbaik di dalam Al-Qur'an
Di antara sekian banyak ayat yang terkandung dalam Al-Qur'anul Karim, terdapat satu ayat yang secara universal diakui dan diagungkan oleh umat Islam sebagai ayat yang paling mulia, yaitu Ayat Al-Kursi, bagian dari Surah Al-Baqarah ayat 255. Ayat ini bukanlah sekadar rangkaian kalimat, melainkan manifestasi padat dari seluruh konsep tauhid, inti ajaran Islam mengenai keesaan dan kekuasaan mutlak Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Keutamaannya telah ditegaskan melalui berbagai riwayat sahih, termasuk hadits yang menyatakan bahwa ayat ini adalah yang teragung dalam Kitabullah. Pengakuan ini berasal dari kedalaman makna yang terkandung di dalamnya, yang mencakup hampir semua sifat-sifat fundamental Allah (Asmaul Husna) yang wajib diketahui dan diimani oleh seorang Muslim. Ayat ini menjadi poros yang memutar pemahaman tentang Sang Pencipta, memancarkan cahaya yang menyingkap tabir kebodohan dan syirik.
Ayat Al-Kursi datang dalam konteks Surah Al-Baqarah, surah terpanjang yang berfungsi sebagai petunjuk dan undang-undang bagi komunitas Muslim yang baru terbentuk. Ayat 255 terletak setelah pembahasan penting mengenai jihad, infaq, dan kisah-kisah kenabian, seolah-olah menjadi puncak teologis yang menegaskan bahwa semua perintah dan larangan yang telah dijelaskan haruslah didasarkan pada keyakinan teguh terhadap Allah yang Mahakuasa, yang tidak memerlukan bantuan, tidak terikat oleh kelemahan, dan tidak terkalahkan oleh apapun.
Untuk memahami keagungan Ayat Kursi, kita perlu melakukan penyelaman tafsir yang mendetail, mengurai setiap kata dan frasa. Dalam kajian ini, kita akan membedah Ayat Al-Baqarah 255, menelusuri implikasi teologisnya, serta memahami bagaimana ayat ini menjadi benteng pertahanan spiritual bagi setiap mukmin.
Pilar Pertama: Analisis Linguistik Kata Demi Kata (Tafsir Mufradat)
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus membedah Ayat Kursi menjadi unit-unit kata (mufradat) dan memahami kedalaman bahasa Arab klasik yang digunakan. Setiap kata membawa bobot makna teologis yang luar biasa.
1. Allahu Laa Ilaaha Illa Huwa (Allah, tidak ada Tuhan selain Dia)
Ini adalah pondasi tauhid. Lafal "Allah" adalah Nama Dzat yang paling agung (Ism Adh-Dhat), yang mencakup semua Nama dan Sifat lainnya. Frasa "Laa ilaaha illa Huwa" adalah negasi (peniadaan) segala bentuk ketuhanan palsu, diikuti dengan penetapan (itsbat) bahwa hanya Dia yang berhak disembah. Ini adalah inti dari syahadat, yang menyatakan kemutlakan tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat.
Kedalaman Makna "Ilaah"
Kata 'ilaah' berasal dari akar kata 'aliha' yang berarti mencintai, menyembah, atau berlindung. Jadi, 'ilaah' adalah Dzat yang dicintai, ditaati, diagungkan, dan menjadi tempat bergantung. Ketika kita meniadakan 'ilaah' selain Allah, kita meniadakan potensi ketergantungan atau penyembahan kita kepada makhluk atau konsep duniawi, memfokuskan totalitas spiritual kita hanya kepada-Nya.
2. Al-Hayyu (Yang Maha Hidup Kekal)
Al-Hayy adalah salah satu Asmaul Husna yang paling penting. Ini menunjukkan kehidupan yang sempurna, tidak didahului oleh ketiadaan, dan tidak diakhiri oleh kematian. Kehidupan Allah adalah esensi-Nya, bukan sesuatu yang diterima atau dipinjam. Hidup-Nya meliputi semua makna kesempurnaan dan kemuliaan.
Implikasi "Al-Hayyu"
Jika Dia adalah Yang Maha Hidup, maka semua makhluk hidup hanyalah pantulan sementara dari kehidupan-Nya. Kehidupan makhluk adalah fana dan terbatas, sedangkan kehidupan Allah (Al-Hayy) adalah abadi (Baqa'). Ini menghilangkan ilusi bahwa makhluk dapat memberikan kehidupan atau kekal, mengembalikan segala urusan kembali kepada Dzat yang kekal abadi.
3. Al-Qayyum (Yang Terus Menerus Mengurus)
Al-Qayyum berasal dari kata 'qama', yang berarti berdiri atau mengatur. Al-Qayyum berarti Dia berdiri sendiri (mandiri) dan Dia pula yang membuat segala sesuatu berdiri (mengatur, memelihara, dan mengurus). Sifat ini mencakup dua aspek:
- Kemandirian Mutlak (Qiyamuhu binafsihi): Allah tidak membutuhkan siapa pun atau apa pun.
- Pemeliharaan Mutlak (Qiyamuhu bi ghayrihi): Allah memelihara, mengatur, dan memberikan eksistensi kepada seluruh alam semesta, detik demi detik.
Kombinasi Al-Hayyu dan Al-Qayyum disebut oleh para ulama sebagai ‘Ismullah Al-A’zham’ (Nama Allah Yang Maha Agung) karena mencakup sifat Dzat (Hayy) dan sifat perbuatan (Qayyum). Seluruh alam bergantung pada gabungan dua sifat agung ini.
4. Laa Ta'khudzuhu Sinatun wa Laa Nawm (Tidak mengantuk dan tidak tidur)
Frasa ini adalah penafian terhadap kelemahan (tanziih). Sinatun (سِنَةٌ) adalah kantuk ringan atau mengantuk, sedangkan Nawm (نَوْمٌ) adalah tidur pulas. Dengan meniadakan keduanya, Al-Qur'an menegaskan kesempurnaan pengawasan (Hifz) dan pemeliharaan (Qayyumiyah) Allah. Kantuk dan tidur adalah kelemahan yang menghalangi makhluk dari pengurusan, tetapi Dzat yang Maha Sempurna tidak pernah luput sedikit pun dari pengawasan-Nya atas miliaran galaksi dan detail terkecil dalam kehidupan manusia.
5. Lahu Maa Fis-Samaawaati wa Maa Fil-Ardh (Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi)
Ini adalah penegasan kepemilikan mutlak (Al-Mulk). Segala sesuatu yang ada di alam semesta, baik yang besar maupun yang kecil, yang terlihat maupun yang tersembunyi, adalah milik Allah. Kepemilikan ini tidak terbatas pada penciptaan (khaliqiyyah) saja, tetapi juga kekuasaan (sulthaan) dan hak untuk mengatur (hukm).
6. Man Dzal-ladzii Yasyfa’u ‘Indahu Illaa Bi Idznih (Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya)
Bagian ini menegaskan kedaulatan (Hakimiyyah) Allah. Syafaat (perantaraan atau pertolongan) adalah konsep kunci dalam akhirat. Ayat ini membatasi secara mutlak bahwa bahkan intervensi yang paling mulia sekalipun—yakni syafaat para nabi, rasul, dan orang saleh—hanya dapat terjadi jika Allah mengizinkan. Ini menghancurkan keyakinan syirik bahwa ada pihak yang dapat memaksa atau menekan kehendak Allah, atau bahwa makhluk dapat memberikan pertolongan tanpa restu-Nya.
7. Ya’lamu Maa Bayna Aydiihim wa Maa Khalfahum (Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka)
Ini adalah penegasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, baik masa lalu, masa kini, maupun masa depan (Azaliyyah). 'Di hadapan mereka' (masa kini dan masa depan) dan 'di belakang mereka' (masa lalu) mencakup seluruh dimensi ruang dan waktu. Ilmu Allah adalah sempurna dan menyeluruh (Al-’Alim), tidak seperti ilmu manusia yang terbatas dan terputus-putus.
8. Wa Laa Yuhiithuuna Bi Syay’im Min ‘Ilmihii Illa Bimaa Sya’a (Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya)
Ayat ini berfungsi sebagai pembatas antara ilmu Khalik dan ilmu makhluk. Makhluk tidak mungkin mencapai hakikat ilmu Allah. Bahkan ilmu yang dimiliki oleh makhluk, termasuk malaikat dan para nabi, adalah hasil pemberian dan izin-Nya semata. Ini mengingatkan manusia akan kerendahan dan keterbatasan akal mereka di hadapan samudra Ilmu Ilahi.
9. Wasi’a Kursiyyuhus-Samaawaati wal-Ardh (Kursi-Nya meliputi langit dan bumi)
Inilah frasa yang memberikan nama pada ayat ini. Kursi (Kursi atau Singgasana) secara harfiah berarti tempat pijakan kaki. Mayoritas ulama salaf menafsirkan Kursi sebagai entitas nyata yang merupakan ciptaan agung Allah yang memegang kendali atas langit dan bumi, berbeda dengan Arsy (Singgasana) yang lebih besar dan merupakan batas tertinggi alam semesta. Ukuran Kursi yang melingkupi langit dan bumi menunjukkan betapa kecilnya seluruh jagat raya di hadapan keagungan penciptaan Allah.
10. Wa Laa Ya’uuduhu Hifzhuhumaa (Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya)
Kata ya’uuduhu (يَئُودُهُ) berarti memberatkan atau menyusahkan. Meskipun Kursi meliputi langit dan bumi yang begitu besar, dan meskipun Allah mengurus segala detail dari triliunan ciptaan, penjagaan dan pemeliharaan (Al-Hifz) itu sama sekali tidak memberatkan-Nya. Hal ini menguatkan kembali sifat Al-Qayyum, bahwa Dia mengatur alam semesta tanpa kelelahan, tanpa kesulitan, dan tanpa memerlukan istirahat.
11. Wa Huwal-‘Aliyyul-‘Azhiim (Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar)
Ayat ditutup dengan dua nama agung yang merangkum segala yang telah disebutkan. Al-’Aliyy (Maha Tinggi) menegaskan ketinggian Dzat, kedudukan, dan kekuasaan-Nya di atas segala sesuatu. Al-‘Azhiim (Maha Besar) menegaskan kebesaran dan keagungan yang sempurna, yang membuat segala hal di hadapan-Nya menjadi kecil dan remeh. Penutup ini adalah penegasan bahwa semua sifat yang disebutkan sebelumnya adalah milik Dzat yang secara inheren Tinggi dan Agung.
Pilar Kedua: Tujuh Tema Teologis Sentral
Ayat Al-Kursi dapat dikelompokkan menjadi tujuh tema besar yang membentuk fondasi tauhid dalam Islam. Pemahaman mendalam terhadap tujuh pilar ini adalah kunci untuk menginternalisasi keagungan Ayat 255.
1. Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah (Ayat 1: Keesaan Ketuhanan)
Ayat pertama, "Allahu Laa Ilaaha Illa Huwa," adalah deklarasi mutlak mengenai uluhiyah (hak untuk disembah). Ini bukan sekadar pengakuan lisan, tetapi komitmen hidup bahwa tidak ada satu pun objek, kekuatan, atau individu di alam semesta yang layak menerima ibadah, doa, ketaatan mutlak, dan rasa cinta sebagaimana yang diberikan kepada Allah. Rububiyah (ketuhanan dalam penciptaan dan pemeliharaan) mendasari uluhiyah. Karena hanya Dia yang menciptakan dan memelihara (Rububiyah), maka hanya Dia yang berhak disembah (Uluhiyah). Ini adalah siklus integral tauhid yang diusung Ayat Kursi.
2. Kesempurnaan Sifat Dzat (Ayat 2: Al-Hayy Al-Qayyum)
Pasangan nama Al-Hayy dan Al-Qayyum adalah jaminan bahwa sistem alam semesta tidak akan pernah runtuh. Sifat hidup (Hayy) berarti Dia tidak mungkin mati atau lenyap, sementara sifat mengurus (Qayyum) berarti Dia tidak mungkin lalai atau lemah. Kesempurnaan ini menolak segala bentuk antropomorfisme (penyerupaan Allah dengan makhluk). Jika Dia butuh tidur, maka Dia lemah; jika Dia bisa mati, maka Dia terbatas. Ayat ini menutup pintu bagi imajinasi manusia yang cenderung membatasi Dzat Ilahi.
3. Kedaulatan Mutlak (Ayat 3: Kepemilikan dan Pengawasan)
Pernyataan bahwa segala sesuatu di langit dan di bumi adalah milik-Nya menegaskan kedaulatan (Sovereignty). Dalam konteks ini, manusia, meskipun diberi kehendak bebas, tetap berada di bawah kekuasaan dan hukum-Nya. Kedaulatan ini diperkuat dengan penolakan terhadap tidur dan kantuk. Ini berarti manajemen alam semesta adalah sempurna, tanpa ada jeda atau kekosongan kekuasaan.
4. Batasan Syafaat (Ayat 4: Intervensi Ilahi)
Frasa tentang syafaat sangat penting karena membedakan tauhid dari praktik-praktik agama lain yang mengandalkan perantara. Dalam Islam, perantara (syafi’) tidak memiliki kekuatan independen. Mereka hanya diizinkan untuk berbicara atau bertindak jika Allah mengizinkan. Ini memurnikan praktik doa dan ibadah, memastikan bahwa doa diarahkan langsung kepada Sumber Kekuatan (Allah), bukan kepada perantara, meskipun perantara tersebut mulia.
Filsafat Izin Ilahi
Izin Allah (bi idznih) adalah kunci. Ayat ini mengajarkan bahwa bahkan cinta dan kedekatan yang dimiliki oleh para nabi tidak menempatkan mereka di posisi di mana mereka dapat memberikan pertolongan tanpa restu Ilahi. Mereka adalah hamba yang dimuliakan, namun tetap tunduk pada kehendak Raja Diraja.
5. Ilmu Yang Meliputi Segala Sesuatu (Ayat 5: Al-’Alim)
Ilmu Allah meliputi maa bayna aydiihim (apa yang akan terjadi) dan maa khalfahum (apa yang telah terjadi). Ini mencakup pengetahuan tentang niat tersembunyi, masa lalu yang terlupakan, dan takdir yang belum terwujud. Ilmu ini bersifat Azali (kekal) dan tidak memerlukan proses belajar, mengingat, atau meneliti.
Keterbatasan Ilmu Makhluk
Penegasan bahwa makhluk hanya mengetahui apa yang Dia kehendaki mengingatkan manusia akan keangkuhan intelektual. Ilmu manusia, meskipun canggih, hanyalah setetes air dari samudra Ilmu Ilahi. Ayat ini mendorong kerendahan hati dalam pencarian ilmu dan pengakuan bahwa sumber segala pengetahuan adalah Dia.
6. Keagungan Ciptaan dan Kekuasaan (Ayat 6: Kursi dan Pemeliharaan)
Penggambaran Kursi yang meliputi langit dan bumi adalah sarana untuk memberikan gambaran keagungan Dzat kepada akal manusia yang terbatas. Ukuran yang tak terbayangkan ini menunjukkan betapa masifnya kekuasaan Allah. Yang lebih penting, pemeliharaan (Hifz) atas seluruh entitas kosmik tersebut sama sekali tidak membebani-Nya. Ini adalah puncak dari sifat Al-Qayyum yang bekerja tanpa henti dan tanpa kesulitan.
7. Puncak Sifat (Ayat 7: Al-’Aliyy Al-’Azhiim)
Penutup ayat ini berfungsi sebagai cap kebenaran. Al-’Aliyy menolak segala bentuk perbandingan yang menyetarakan Allah dengan makhluk (tasybih). Dia tinggi dalam Dzat, derajat, dan kekuasaan. Al-‘Azhiim menegaskan bahwa semua Nama dan Sifat yang telah disebutkan berakar pada Kebesaran yang tak terbatas. Jika seseorang merenungkan kekal-Nya, kemandirian-Nya, dan ilmu-Nya, ia akan menyadari bahwa Dzat yang memiliki sifat-sifat ini pastilah Maha Tinggi dan Maha Besar.
Pilar Ketiga: Tafsir Komparatif Ayat Al-Kursi
Para mufassir sepanjang sejarah telah memberikan perhatian khusus pada Ayat Al-Kursi. Tafsir mereka membantu kita melihat kedalaman konteks dan keagungan spiritualnya.
1. Tafsir Ibn Katsir: Fokus pada Nama Allah
Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya sangat menekankan bahwa Ayat Kursi mencakup sepuluh kalimat, di mana setiap kalimat menjelaskan tentang Nama dan Sifat Allah. Beliau menegaskan bahwa Ayat Kursi adalah ayat teragung karena secara padat menyajikan bukti-bukti tauhid dan menolak segala bentuk syirik.
- Kesempurnaan Hidup: Ibn Katsir menjelaskan bahwa Al-Hayy (Maha Hidup) adalah yang menciptakan segala sesuatu dan senantiasa hidup, dan Al-Qayyum (Maha Mengurus) adalah yang mengurus dan menjaga segala sesuatu tanpa bantuan. Penegasan ini membantah keyakinan filsuf tertentu yang membatasi peran Allah setelah penciptaan.
- Penolakan Keterbatasan: Penolakan terhadap kantuk dan tidur merupakan penolakan terhadap kelemahan (naqs) secara total. Jika manusia atau dewa butuh istirahat, itu menandakan kelelahan dan batas kemampuan. Allah mutlak terbebas dari hal ini.
2. Tafsir At-Tabari: Fokus pada Kepemilikan dan Kekuasaan
Imam At-Tabari fokus pada aspek kepemilikan. Frasa “Lahu Maa Fis-Samaawaati wa Maa Fil-Ardh” (Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi) diuraikan sebagai hak mutlak Allah untuk mengatur, menghidupkan, mematikan, dan menetapkan hukum. Karena Dia adalah pemilik segalanya, maka hanya perintah-Nya yang valid. At-Tabari juga memberikan perhatian besar pada makna Kursi, cenderung pada penafsiran bahwa ia adalah tempat pijakan kaki (entitas fisik yang besar), dan menolak penafsiran bahwa Kursi hanyalah simbol kekuasaan.
3. Tafsir Ar-Razi: Pendekatan Rasional dan Filosofis
Fakhruddin Ar-Razi, dengan latar belakang rasionalnya, membagi Ayat Kursi menjadi tiga bagian utama yang saling mendukung:
- Bagian Keagungan Dzat (Hayy & Qayyum): Membuktikan bahwa Allah adalah Wajib Al-Wujud (Wujud yang wajib ada) dan meniadakan segala sifat kekurangan (tidur/kantuk).
- Bagian Keagungan Kekuasaan (Mulk & Syafa’ah): Membuktikan bahwa Dia memiliki kuasa penuh atas alam semesta dan menolak klaim bahwa ada yang dapat mempengaruhi kekuasaan-Nya.
- Bagian Keagungan Ilmu (Ilmu & Kursi): Membuktikan ilmu-Nya yang tak terbatas dan bagaimana ilmu tersebut terwujud dalam pemeliharaan seluruh ciptaan, termasuk Kursi yang luas.
Ar-Razi melihat Ayat Kursi sebagai sintesis logis dan teologis sempurna mengenai Allah.
4. Tafsir Modern (Sayyid Qutb): Fokus pada Energi dan Kehidupan
Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Qutb menekankan Ayat Kursi sebagai gambaran akan energi kehidupan dan kesadaran yang terus-menerus. Kombinasi Al-Hayy (kehidupan tak terhingga) dan Al-Qayyum (pengurusan tanpa henti) menciptakan citra Kosmos yang dikelola oleh satu Dzat yang tidak pernah lelah atau lalai. Bagi Qutb, Ayat Kursi adalah penegasan bahwa hukum alam semesta beroperasi di bawah kehendak yang sadar, bukan sekadar kebetulan mekanis.
Penyelidikan komparatif ini menunjukkan bahwa baik ulama salaf maupun khalaf sepakat bahwa Ayat Al-Kursi adalah ringkasan teologis paling lengkap mengenai Dzat Allah, mencakup tauhid dalam segala dimensinya.
Pilar Keempat: Keutamaan dan Relevansi Spiritual
Ayat Al-Kursi bukan hanya pelajaran teologi yang kering; ia adalah sumber kekuatan spiritual, perlindungan, dan kedamaian hati bagi seorang mukmin. Keutamaannya ditegaskan langsung oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
1. Ayat Paling Agung dalam Al-Qur'an
Sebuah hadits masyhur meriwayatkan ketika Rasulullah bertanya kepada Ubay bin Ka'ab mengenai ayat mana yang paling agung dalam Al-Qur'an, Ubay menjawab, "Ayat Al-Kursi." Rasulullah membenarkan jawaban tersebut, menjelaskan bahwa keagungannya terletak pada penegasan tauhid yang sempurna dan peniadaan segala bentuk kelemahan dari Allah. Keagungan ini berarti bahwa membaca dan merenungkannya akan memberikan manfaat spiritual tertinggi.
2. Benteng dari Setan (Hifz dan Perlindungan)
Salah satu keutamaan yang paling dikenal adalah fungsinya sebagai perlindungan (hifz) dari gangguan setan. Kisah Abu Hurairah tentang penjagaan harta zakat, di mana setan mengajarkan kepadanya untuk membaca Ayat Kursi sebelum tidur agar dilindungi hingga pagi hari, adalah bukti nyata. Ini menunjukkan bahwa kekuatan lafal Ayat Kursi memiliki efek langsung dalam menolak energi negatif dan bisikan jahat.
Mekanisme Perlindungan
Perlindungan ini bekerja karena setan tidak tahan mendengar pengakuan kekuasaan dan keagungan Allah yang begitu murni dan total. Ayat Kursi menjelaskan bahwa Allah adalah Al-Qayyum, yang mengurus tanpa kantuk; jika Dia mengurus, maka tidak ada celah bagi setan untuk masuk atau menguasai seorang hamba yang berlindung dengan ayat tersebut.
3. Kunci Masuk Surga Setelah Kematian
Sebuah hadits yang diriwayatkan An-Nasa'i menyatakan bahwa siapa pun yang membaca Ayat Kursi setiap selesai shalat fardhu, maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga kecuali kematian. Ini menekankan pentingnya Ayat Kursi dalam ibadah rutin. Ayat ini berfungsi sebagai penegasan iman (tauhid) pada saat-saat paling suci dalam sehari, yaitu setelah berinteraksi langsung dengan Allah dalam shalat.
4. Sumber Kedamaian dan Kekuatan
Bagi mukmin yang sedang menghadapi kesulitan atau kegelisahan, merenungkan Ayat Kursi adalah terapi spiritual. Mengetahui bahwa Dzat yang mengurus alam semesta adalah Yang Maha Hidup (Al-Hayy) dan Maha Mengurus (Al-Qayyum), dan bahwa Dia mengetahui semua yang terjadi (Al-’Alim), memberikan ketenangan batin. Keyakinan ini menghilangkan kecemasan, karena urusan terberat sekalipun tidak memberatkan-Nya (Wa Laa Ya’uuduhu Hifzhuhumaa).
Pilar Kelima: Perbedaan Kursi dan Arsy
Salah satu poin tafsir yang memerlukan klarifikasi adalah perbedaan antara Kursi yang disebutkan dalam ayat 255 dan Arsy (Singgasana) yang disebutkan di banyak ayat lain (misalnya Al-A’raf: 54). Meskipun keduanya sering diterjemahkan sebagai ‘singgasana’ dalam bahasa Indonesia, dalam terminologi teologis Islam, keduanya memiliki hakikat dan tingkatan yang berbeda.
Hakikat Kursi
Seperti dijelaskan sebelumnya, Kursi adalah ciptaan agung yang sangat besar. Berdasarkan riwayat dari sahabat dan ulama Salaf, khususnya Ibn Abbas radhiyallahu 'anhu, Kursi adalah tempat pijakan kaki (mawdhi' al-qadamain) Allah. Ini menunjukkan Kursi adalah entitas fisik yang diciptakan, yang berfungsi sebagai batas dan tanda kekuasaan.
Ayat Kursi sendiri mengatakan, "Wasi’a Kursiyyuhus-Samaawaati wal-Ardh." (Kursi-Nya meliputi langit dan bumi). Ini menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta kita—langit dan bumi beserta seluruh isinya—berada di dalam atau di bawah lingkup Kursi.
Hakikat Arsy (Singgasana Tertinggi)
Arsy adalah Singgasana Tertinggi, yang keberadaannya berada di atas Kursi, dan di atas seluruh alam semesta. Arsy adalah makhluk terbesar yang pernah diciptakan Allah dan merupakan atap bagi seluruh ciptaan. Allah beristiwa (bersemayam) di atas Arsy dengan cara yang sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa diserupakan dengan makhluk.
Dalil-dalil menunjukkan bahwa Arsy lebih besar daripada Kursi. Sebuah riwayat dari Abu Zar Al-Ghifari (walaupun diperdebatkan kesahihannya, tetapi maknanya diterima ulama) menyatakan perbandingan Kursi dengan Arsy seperti cincin yang dilemparkan di padang pasir yang luas. Ini secara kuat menunjukkan superioritas dan kebesaran Arsy dibandingkan Kursi.
Implikasi Teologis Perbedaan
Pembedaan ini penting untuk memahami skala kekuasaan Allah. Ayat Kursi menekankan kekuasaan dan pemeliharaan Allah atas alam semesta kita (langit dan bumi). Sementara itu, Arsy melambangkan ketinggian, keagungan, dan istimewanya Dzat Allah di luar batasan waktu dan ruang yang kita kenal. Kursi adalah perwujudan kekuatan pemeliharaan-Nya, sementara Arsy adalah puncak perwujudan keagungan Dzat-Nya.
Oleh karena itu, ketika Ayat Al-Baqarah 255 menyatakan bahwa Kursi meliputi langit dan bumi, ini adalah penegasan yang cukup untuk membuat manusia takjub dan tunduk, tanpa harus membahas entitas yang lebih besar lagi, yaitu Arsy. Fokusnya tetap pada pengawasan total Allah atas domain yang dikenal oleh manusia.
Memurnikan Pemahaman "Di Sisi-Nya"
Konsep Kursi dan Arsy terkait erat dengan pemahaman tentang "‘Indahu" (di sisi-Nya) dalam frasa syafaat. Tempat-tempat ini, meskipun memiliki dimensi fisik (sebagai makhluk), juga melambangkan kedekatan dan kekuasaan. Orang yang beribadah dan memohon syafaat harus ingat bahwa permohonan tersebut diajukan di sisi Dzat yang menguasai makhluk raksasa seperti Kursi dan Arsy. Ini mengeliminasi keraguan akan kemampuan-Nya untuk menjawab doa.
Pilar Keenam: Integrasi Ayat Kursi dalam Konsep Tauhid
Ayat Kursi adalah alat integrasi yang sempurna bagi seluruh cabang tauhid. Ini bukan hanya daftar sifat, tetapi mekanisme yang menghubungkan iman kepada Allah dengan praktik kehidupan sehari-hari (ibadah).
1. Tauhid Asma wa Sifat (Nama dan Sifat)
Ayat ini adalah sumber primer dari tauhid Asma wa Sifat. Dalam satu ayat pendek, ia menyebutkan:
- Nama Dzat: Allah
- Sifat Kehidupan: Al-Hayy (Sempurna, Abadi)
- Sifat Pengaturan: Al-Qayyum (Mandiri, Pengurus)
- Sifat Kekuasaan: Al-Malik (Kepunyaan langit dan bumi)
- Sifat Ilmu: Al-'Alim (Mengetahui masa lalu dan masa depan)
- Sifat Ketinggian: Al-'Aliyy (Maha Tinggi)
- Sifat Keagungan: Al-'Azhiim (Maha Besar)
- Sifat Penafian Kelemahan: Penolakan kantuk dan tidur, dan penolakan kelelahan dalam memelihara.
Membaca dan merenungkan ayat ini adalah bentuk ibadah yang paling langsung kepada tauhid Asma wa Sifat, karena memaksa pikiran untuk mengakui kesempurnaan-Nya dan menolak segala bentuk kekurangan.
2. Aplikasi Praktis Tauhid Uluhiyah
Ketika seorang Muslim membaca, "Man Dzal-ladzii Yasyfa’u ‘Indahu Illaa Bi Idznih," ia diingatkan bahwa tidak ada yang memiliki hak intervensi kecuali seizin Allah. Hal ini secara otomatis mencerahkan praktik doa dan ibadah. Jika seseorang sakit, ia tidak akan bergantung pada jimat atau kekuatan paranormal, karena ia tahu bahwa hanya kekuatan Ilahi yang sah dan berizin yang dapat memberikan kesembuhan atau pertolongan.
Melepaskan Ketergantungan Palsu
Ketergantungan manusia pada materi, kekayaan, atau jabatan adalah bentuk syirik tersembunyi (syirik khafi). Ayat Kursi berfungsi sebagai detoksifikasi, mengingatkan bahwa semua sumber daya tersebut hanyalah bagian dari "Maa Fis-Samaawaati wa Maa Fil-Ardh" (milik-Nya). Ketergantungan sejati harus diarahkan kepada Pemilik mutlak, Al-Hayy Al-Qayyum.
3. Menanggapi Tantangan Skeptisisme
Di era modern, ketika sains mencoba menjelaskan alam semesta tanpa Tuhan, Ayat Kursi memberikan jawaban teologis yang kuat. Penegasan bahwa Kursi-Nya melingkupi seluruh kosmos dan bahwa Dia memeliharanya tanpa lelah adalah bantahan terhadap ide 'Tuhan yang absen' (deisme) atau teori bahwa alam semesta beroperasi secara independen setelah diciptakan. Sebaliknya, alam semesta adalah sebuah entitas yang diatur (Qayyum) setiap saat.
Oleh karena itu, Ayat Kursi bukan hanya ayat hafalan, melainkan kerangka kerja epistemologis yang mengatur cara seorang Muslim memandang realitas, kekuasaan, dan asal usul ilmu pengetahuan.
Kesimpulan Mendalam: Kekuatan Tiada Batas
Ayat Al-Baqarah 255, atau Ayat Al-Kursi, berdiri tegak sebagai monumen verbal keagungan Allah. Ayat ini merangkum esensi tauhid dalam sebelas frasa yang ringkas namun maha kuat, menjadikan ia sebagai ayat teragung di dalam Al-Qur'an.
Dari penegasan mutlak ketuhanan (Laa Ilaaha Illa Huwa), hingga penamaan ganda yang mewakili kesempurnaan Dzat dan Perbuatan (Al-Hayy Al-Qayyum), hingga penolakan segala bentuk kelemahan dan keterbatasan manusia (Laa Ta'khudzuhu Sinatun wa Laa Nawm), setiap bagian Ayat Kursi dirancang untuk memuliakan Sang Pencipta dan merendahkan kesombongan makhluk.
Melalui Ayat Kursi, kita memahami bahwa kekuasaan Allah bersifat universal (Lahu Maa Fis-Samaawaati wa Maa Fil-Ardh), pengurusan-Nya bersifat abadi dan tanpa jeda (Wa Laa Ya’uuduhu Hifzhuhumaa), dan ilmu-Nya melingkupi segala sesuatu, baik yang tersembunyi maupun yang terlihat. Semua ini ditegaskan dengan dua nama agung yang menjadi penutup sempurna: Al-'Aliyy (Maha Tinggi) yang melampaui segala batas, dan Al-'Azhiim (Maha Besar) yang keagungan-Nya tak terlukiskan.
Bagi mukmin, Ayat Kursi adalah lebih dari sekadar perlindungan; ia adalah afirmasi harian akan identitas spiritual. Dengan membacanya secara rutin, seorang hamba memperbarui sumpah setianya kepada tauhid murni, menguatkan jiwanya dari godaan dan keraguan, dan menempatkan seluruh hidupnya di bawah pengawasan Dzat yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Ayat ini adalah kunci menuju pemahaman yang lebih dalam tentang keindahan dan kebesaran Rabbul 'Alamin, dan merupakan peta jalan menuju kesempurnaan iman.
Keagungan yang terpancar dari Ayat Al-Kursi adalah panggilan bagi kita semua untuk tidak pernah merasa kecil dalam menghadapi masalah dunia, sebab kita memiliki pelindung yang kekuasaan-Nya meliputi langit dan bumi, dan yang tidak pernah terlelap sedetik pun dalam mengurus urusan kita. Ini adalah kekuatan tiada batas yang tersedia bagi setiap jiwa yang beriman.
Penegasan Ulang Nilai-Nilai Utama
Ayat Kursi menegaskan nilai-nilai yang harus melekat pada diri seorang Muslim, yaitu:
- Keikhlasan Total: Karena hanya Dia yang Maha Hidup dan Mengurus, ibadah harus diarahkan hanya kepada-Nya, tanpa perantara.
- Ketenangan Hati: Karena Dia tidak pernah tidur dan memelihara tanpa kelelahan, segala kekhawatiran tentang masa depan atau keraguan terhadap takdir akan terhapuskan.
- Kerendahan Diri Intelektual: Karena ilmu makhluk sangat terbatas dibandingkan Ilmu-Nya, manusia didorong untuk rendah hati dan mengakui bahwa misteri terbesar alam semesta berada di bawah kehendak Ilahi.
- Kepasrahan Penuh: Karena segala sesuatu milik-Nya, seorang hamba harus pasrah terhadap keputusan dan ketentuan-Nya, mengetahui bahwa Pemilik mutlak adalah Maha Bijaksana.
Maka, marilah kita senantiasa merenungkan ayat agung ini, menjadikannya bukan hanya bacaan lisan tetapi juga inti dari keyakinan batiniah kita, agar kita termasuk dalam golongan orang-orang yang senantiasa berada dalam penjagaan dan naungan Al-’Aliyyul-‘Azhiim.