Surah Al-Baqarah adalah surah Madaniyah terpanjang dalam Al-Qur'an, berfungsi sebagai cetak biru (blueprint) bagi kehidupan komunitas Muslim. Ayat-ayat awalnya membagi manusia menjadi tiga golongan: orang-orang bertakwa, orang-orang kafir, dan orang-orang munafik. Setelah menjelaskan sifat-sifat kelompok-kelompok ini, Al-Qur'an kemudian beralih pada seruan universal kepada seluruh umat manusia untuk beribadah kepada Pencipta mereka. Seruan agung ini terkandung dengan indah dan mendalam dalam Al-Baqarah ayat 22, sebuah ayat yang tidak hanya menawarkan deskripsi kosmik tetapi juga menyajikan argumen teologis yang tak terbantahkan mengenai Keesaan Allah (Tauhid).
Ayat ini merupakan salah satu dalil aqli (bukti rasional) terkuat dalam Al-Qur'an mengenai Tauhid Rububiyah (Keesaan Allah dalam penciptaan, kepemilikan, dan pengaturan). Ayat ini secara sistematis menghadirkan empat bukti penciptaan yang saling berkaitan sebelum mencapai kesimpulan teologis yang mutlak.
Struktur Al-Baqarah 22 dibagi menjadi lima bagian krusial. Tiga bagian awal menjelaskan nikmat penciptaan yang kasat mata, bagian keempat menjelaskan hasil dari nikmat tersebut, dan bagian kelima adalah perintah syariat yang merupakan konsekuensi logis dari empat poin sebelumnya.
Kata firāshan bermakna hamparan, alas tidur, atau tempat yang nyaman untuk beristirahat. Penafsiran para ulama mengenai kata ini sangat luas, mencakup aspek fisik, biologis, dan bahkan geologis. Allah SWT menggambarkan bumi bukan sekadar benda mati, melainkan sebagai tempat yang disiapkan secara sempurna untuk mendukung kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Konsep hamparan ini membawa pemahaman tentang stabilitas, kesuburan, dan kemudahan. Bumi tidak terlalu keras sehingga sulit digarap, dan tidak terlalu lembut sehingga tidak bisa ditempati. Ia memiliki keragaman topografi yang memungkinkan berbagai bentuk kehidupan dan peradaban.
Makna Stabilitas dan Dinamika: Para ahli tafsir menekankan bahwa deskripsi 'hamparan' tidak bertentangan dengan fakta bahwa bumi adalah benda yang bergerak (rotasi dan revolusi). Sebaliknya, Allah menjadikan gerakan ini sedemikian rupa sehingga kita tidak merasakannya secara mengganggu, menjadikannya 'hamparan' yang stabil dalam konteks kehidupan sehari-hari. Ia memiliki gravitasi yang menahan kita, atmosfer yang melindungi kita, dan kerak bumi yang menyediakan sumber daya mineral. Jika bumi terlalu miring, terlalu cepat berotasi, atau permukaannya terlalu ekstrem, kehidupan tidak akan mungkin ada. Inilah bukti keesaan dan kesempurnaan pengaturan Allah.
Konsep firāshan juga mencakup kemudahan dalam mencari rezeki dan bepergian. Manusia dapat membangun rumah, bercocok tanam, dan menjelajah permukaan bumi tanpa kesulitan berarti. Ini adalah bukti pertama dan paling dekat dari kasih sayang Allah, yang menyediakan alas bagi eksistensi kita.
Dalam konteks modern, ketika kita memahami kompleksitas lempeng tektonik, siklus air, dan medan magnet bumi yang melindungi kehidupan dari radiasi kosmik, makna 'hamparan' ini semakin mendalam. Siapakah selain Allah yang mampu merancang sistem sedemikian rupa sehingga memberikan kenyamanan absolut di tengah mekanisme kosmik yang luar biasa dahsyat? Jawabannya menunjuk langsung kepada Keesaan-Nya.
Gambar SVG: Konsep Bumi sebagai hamparan yang dilindungi oleh Langit sebagai atap.
Kata binā’an berarti bangunan, struktur yang dibangun, atau atap. Langit di sini diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di atas kita, termasuk atmosfer, lapisan ozon, dan juga cakrawala kosmik yang luas. Langit digambarkan sebagai atap, memberikan perlindungan esensial bagi kehidupan di bumi.
Ayat ini menunjukkan bahwa langit memiliki fungsi yang terstruktur dan terorganisir, bukan sekadar ruang kosong. Fungsi utama 'atap' ini adalah perlindungan. Lapisan atmosfer berfungsi sebagai perisai yang membakar meteor dan menghalangi radiasi berbahaya dari matahari. Tanpa lapisan-lapisan langit yang dirancang secara teliti, kehidupan di bumi akan langsung musnah akibat suhu ekstrem atau bombardir kosmik.
Perspektif Tafsir Kosmologi: Para ulama klasik, seperti Ibnu Katsir, menafsirkan binā’an sebagai langit yang dikuatkan dan diangkat tanpa tiang (sebagaimana disebutkan dalam ayat lain). Ini adalah metafora yang kuat tentang kekuasaan mutlak Allah. Dalam tafsir kontemporer, penafsiran ini sering dihubungkan dengan ilmu astronomi dan meteorologi, di mana setiap lapisan langit—troposfer, stratosfer, mesosfer, dsb.—memainkan peran vital dalam menjaga keseimbangan ekologi bumi. Perlindungan yang diberikan oleh langit ini adalah anugerah yang harus disyukuri, yang menegaskan bahwa hanya Sang Pencipta Atap inilah yang berhak disembah.
Kesempurnaan arsitektur kosmik ini adalah bukti kedua yang menuntut perenungan. Jika manusia tidak bisa membangun atap pelindung yang sempurna di atas sebuah planet, bagaimana mungkin mereka menyekutukan Dzat yang telah membangun atap semesta ini?
Setelah menjelaskan tempat tinggal (bumi) dan pelindung (langit), ayat ini membahas sumber daya esensial: air. Air, yang turun dari langit (yang dalam konteks ini berarti awan yang berada di atmosfer), adalah sumber segala kehidupan (QS. Al-Anbiya: 30). Turunnya hujan adalah fenomena yang seolah sederhana namun melibatkan siklus hidrologi yang kompleks, yang sepenuhnya berada di bawah kendali Allah SWT.
Signifikansi Siklus Air: Hujan tidak hanya membersihkan udara dan mengisi cadangan air tanah, tetapi juga merupakan kunci vital bagi fotosintesis dan produksi pangan. Para mufassir menekankan bahwa hujan turun dengan ukuran yang tepat; tidak terlalu banyak sehingga menimbulkan banjir bandang yang menghancurkan, dan tidak terlalu sedikit sehingga menyebabkan kekeringan yang mematikan. Pengaturan presisi ini menunjukkan kekuasaan yang absolut, Tauhid Rububiyah yang sempurna.
Air yang turun adalah air yang bersih dan suci, esensi dari kelangsungan hidup. Ia membawa pesan harapan dan pertumbuhan. Dalam ayat ini, air adalah perantara (sebab) Allah untuk mengakhiri kesulitan dan memulai kembali kehidupan. Inilah bukti ketiga dari kemurahan dan kekuasaan Allah yang harusnya menghilangkan keraguan akan keesaan-Nya.
Gambar SVG: Ilustrasi awan menurunkan hujan yang menumbuhkan buah-buahan (rizqan lakum).
Hasil akhir dari rangkaian penciptaan dan pengaturan ini adalah rizqan lakum, rezeki untukmu. Air yang turun dari langit bertemu dengan bumi yang subur, menghasilkan beraneka ragam buah-buahan dan tanaman. Kata thamarāt (buah-buahan) di sini tidak hanya merujuk pada buah pohon, tetapi juga hasil bumi yang secara umum menjadi sumber nutrisi, pangan, dan kekayaan bagi manusia.
Yang luar biasa dari poin ini adalah keragaman dan kekayaan rezeki tersebut. Dari satu sumber air yang sama, dan dari tanah yang berdekatan, muncul berbagai rasa, warna, bentuk, dan fungsi tanaman. Buah anggur berbeda dengan kurma, gandum berbeda dengan padi. Perbedaan yang sempurna dan melimpah ruah ini adalah manifestasi langsung dari sifat Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki) Allah.
Dalam konteks teologis, rezeki ini berfungsi sebagai pengingat konstan akan ketergantungan manusia kepada Sang Pencipta. Manusia hanya bisa berusaha menanam dan mengolah, tetapi yang menentukan hasil akhir, yang menurunkan air, dan yang mengatur proses pertumbuhan adalah Allah semata. Mengakui rezeki ini berarti mengakui Pemberi Rezeki.
Rezeki sebagai Ujian: Rezeki yang diberikan Allah bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik tetapi juga ujian keimanan. Apakah manusia akan menggunakan rezeki tersebut untuk bersyukur dan taat, ataukah ia akan melupakan sumbernya dan menyekutukan Allah dengan yang lain? Ayat ini secara halus menyiratkan bahwa menikmati rezeki tanpa mengakui Pemberi Rezeki adalah pengkhianatan intelektual dan spiritual.
Setelah menyajikan empat bukti penciptaan yang bersifat a posteriori (berdasarkan pengamatan), ayat ini mencapai klimaksnya dengan kesimpulan yang lugas: "Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu (andādan) bagi Allah, padahal kamu mengetahui."
Transisi dari deskripsi kosmik (Rububiyah) ke perintah ibadah (Uluhiyah) sangat tajam dan logis. Karena Dialah satu-satunya yang menciptakan, mengatur, dan menyediakan segala kebutuhan dasar, maka hanya Dialah satu-satunya yang berhak disembah. Tidak ada satu pun dari sekutu-sekutu yang disembah manusia (patung, pemimpin, hawa nafsu, materi) yang mampu menciptakan bumi, membangun langit, atau menurunkan setetes air hujan pun.
Makna Kata 'Andādan': Kata andād (bentuk jamak dari nidd) berarti sekutu, tandingan, atau yang setara. Ini adalah sekutu yang dijadikan setara dengan Allah dalam hal ketuhanan, ibadah, atau kekuasaan. Ini tidak hanya merujuk pada penyembahan berhala secara fisik, tetapi juga segala bentuk syirik, termasuk syirik khafi (tersembunyi) seperti riya (pamer dalam ibadah) atau bergantung secara spiritual pada selain Allah.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa andād adalah orang-orang yang disamakan derajatnya dengan Allah dalam peribadatan dan ketaatan, meskipun mereka mengakui bahwa Allah adalah Pencipta. Ini adalah inti dari syirik: mengakui Allah sebagai pencipta (Rububiyah) tetapi menyamakan selain Dia dalam ibadah (Uluhiyah).
Pernyataan Akhir: Wa Antum Ta’lamūn (Padahal Kamu Mengetahui): Frasa penutup ini adalah teguran moral yang sangat kuat. Allah tidak memerintahkan manusia untuk percaya tanpa dasar; sebaliknya, Dia memerintahkan untuk tidak menyekutukan-Nya karena manusia telah mengetahui, melalui akal dan pengamatan mereka sendiri (atas bumi, langit, dan rezeki), bahwa hanya Allah yang memiliki kekuatan mutlak. Keadaan 'mengetahui' ini membuat tindakan syirik menjadi dosa yang sangat besar, karena ia dilakukan bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena kebodohan yang disengaja atau pembangkangan hati.
Implikasi dari frasa ini adalah bahwa setiap orang, bahkan kaum musyrikin Makkah pada masa pewahyuan, mengakui bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi (QS. Az-Zukhruf: 9). Maka, jika mereka mengakui Allah sebagai Pencipta, secara rasional mereka harus mengakui-Nya sebagai satu-satunya yang berhak disembah. Al-Baqarah 22 menutup pintu bagi segala alasan rasional untuk berbuat syirik.
Kekuatan ayat ini juga terletak pada keindahan bahasa Arab (balaghah) yang digunakan. Pilihan kata-kata oleh Allah SWT sangat presisi dan penuh makna, memperkuat argumen Tauhid.
Kata kerja ja’ala (جعل) yang digunakan menunjukkan tindakan penciptaan yang melibatkan penetapan atau penentuan fungsi. Ini bukan sekadar 'menciptakan' (khalaqa), tetapi 'menjadikan' sesuatu untuk tujuan tertentu, yakni kenyamanan manusia. Ini menekankan aspek desain dan perencanaan ilahi. Bumi dijadikan hamparan; fungsinya diatur agar sesuai dengan kebutuhan manusia.
Penggunaan metafora rumah atau tempat tinggal (hamparan dan atap) menunjukkan kedekatan dan kemurahan Allah. Dia tidak menciptakan alam semesta yang acuh tak acuh, melainkan sebuah 'rumah' yang diperlengkapi. Rumah ini memiliki alas yang nyaman (bumi) dan perlindungan yang kokoh di atasnya (langit). Metafora ini sangat relatable dan mudah dipahami oleh semua tingkatan masyarakat, dari yang paling terpelajar hingga yang paling sederhana.
Ayat ini mengikuti urutan logis yang tidak terputus:
Struktur narasi yang sempurna ini dalam ilmu balaghah disebut sebagai husn al-bayan (keindahan penjelasan), di mana premis-premisnya sedemikian kuat sehingga kesimpulannya menjadi tak terhindarkan. Keindahan linguistik ini membuktikan bahwa kalam tersebut berasal dari Dzat yang Maha Sempurna dalam pengetahuan dan ekspresi.
Para ulama tafsir telah memberikan interpretasi mendalam terhadap Al-Baqarah 22, memastikan bahwa pesan Tauhid ini tertanam kuat dalam pemahaman umat Islam. Tiga pendekatan utama menonjol:
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai argumen langsung untuk melawan penyembahan berhala. Beliau menekankan bahwa Allah memanggil semua manusia untuk beribadah kepada-Nya dengan menunjukkan bukti-bukti kreasi-Nya yang besar. Menurut Ibnu Katsir, barang siapa yang melakukan empat hal tersebut (menciptakan bumi, langit, air, dan rezeki), dialah yang berhak disembah. Karena tidak ada satu pun selain Allah yang bisa melakukannya, maka tidak boleh ada andād (sekutu) bagi-Nya. Ibnu Katsir juga menekankan bahwa firāshan menyiratkan kerendahan hati bumi dan kemudahannya untuk didiami, berlawanan dengan langit yang memiliki kebesaran dan kekuatan sebagai binā’an.
Imam Al-Qurtubi fokus pada aspek hukum (ahkam) dan keimanan. Beliau membahas secara ekstensif makna dari 'mengetahui' (wa antum ta’lamūn). Menurut Al-Qurtubi, pengetahuan yang dimaksud di sini adalah pengetahuan bawaan (fitrah) dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan. Setiap manusia, secara fitrah, mengetahui adanya Pencipta. Ketika musyrikin Makkah mengakui bahwa Allah adalah Pencipta (Tauhid Rububiyah), maka mereka seharusnya mengetahui bahwa hanya Dia yang berhak menerima ibadah (Tauhid Uluhiyah). Kegagalan mereka untuk menyembah hanya kepada Allah adalah pelanggaran yang disadari.
Imam At-Tabari, sebagai penafsir yang sangat fokus pada aspek linguistik, memperluas makna andād. Beliau mencatat bahwa andād adalah sekutu yang dijadikan tandingan dalam pengagungan dan penyembahan, seolah-olah mereka memiliki kekuasaan serupa dengan Allah. At-Tabari juga menyoroti bahwa ayat ini membuktikan bahwa manusia tidak memiliki kontrol atas sumber daya esensialnya—air. Kebutuhan mutlak manusia terhadap air hujan yang diatur oleh Allah adalah bukti ketergantungan total kita kepada-Nya.
Konsensus dari tafsir klasik adalah bahwa ayat 22 Al-Baqarah ini berfungsi sebagai jembatan yang kuat dari pengakuan Rububiyah menuju penegasan Uluhiyah. Ia membumikan keyakinan monoteistik dengan argumen yang dapat diuji oleh panca indra.
Meskipun Al-Qur'an bukanlah buku sains, deskripsi penciptaan dalam ayat 22 menunjukkan keakuratan yang mencengangkan jika dilihat dari lensa ilmu pengetahuan modern, menegaskan kemukjizatannya.
Ilmu geofisika modern menunjukkan bahwa bumi memiliki karakteristik yang unik di tata surya: atmosfer yang tebal, medan magnet yang kuat (melindungi dari angin matahari), dan siklus geologis yang vital (seperti lempeng tektonik yang mendaur ulang karbon dan nutrisi). Semua ini menjadikan bumi 'hamparan' yang sempurna. Jika poros bumi sedikit berbeda, atau kecepatannya sedikit berubah, kehidupan akan punah. Konsep firāshan kini dipahami sebagai pengaturan parameter kosmik yang sangat halus (fine-tuning) yang hanya bisa dilakukan oleh Dzat Yang Maha Kuasa.
Sains modern mengkonfirmasi bahwa atmosfer bertindak sebagai 'atap' multisistem. Lapisan ozon (bagian dari binā'an) menyaring sinar ultraviolet yang mematikan. Termosfer dan ionosfer melindungi dari partikel berenergi tinggi. Langit juga berfungsi sebagai ruang bagi sistem cuaca yang mendistribusikan panas dan kelembaban di seluruh planet. Struktur langit yang berlapis dan kokoh ini adalah bukti fisik dari janji Allah dalam ayat ini.
Kebutuhan air dan keragaman hasil bumi adalah bukti keterlibatan aktif Allah dalam pemeliharaan. Air adalah pelarut universal, dan tanpa siklus air yang terus-menerus dan efisien, bumi akan menjadi gurun tandus. Keterkaitan antara awan (yang menghasilkan air) dan tanah (yang menghasilkan buah) menunjukkan rantai rezeki yang sempurna dan tak terputus, menegaskan bahwa semua makhluk adalah tanggungan Allah.
Pengkajian modern tidak mengurangi makna tafsir klasik, melainkan memperkayanya. Ayat 22 Al-Baqarah berdiri kokoh sebagai tantangan kepada para ilmuwan dan filsuf untuk mengakui bahwa tatanan dan kesempurnaan alam semesta ini menuntut adanya Perancang Tunggal.
Ayat ini bukan sekadar informasi kosmik; ia adalah seruan untuk perubahan perilaku dan penyempurnaan akidah. Ada beberapa pelajaran praktis yang harus diinternalisasi oleh seorang Muslim:
Pengakuan terhadap bumi sebagai hamparan, langit sebagai atap, dan buah-buahan sebagai rezeki harus memicu rasa syukur yang mendalam. Syukur (syukr) tidak hanya diucapkan, tetapi diwujudkan dalam ketaatan. Jika Allah telah menyediakan segalanya, maka membalasnya dengan menyekutukan-Nya adalah bentuk kufur nikmat yang paling parah.
Perintah 'Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah' adalah inti dari ajaran Islam. Penerapan ayat ini menuntut pemeriksaan diri secara konstan: Apakah ada sesuatu selain Allah yang kita takuti lebih dari-Nya? Apakah kita mencari rezeki dengan cara yang bertentangan dengan perintah-Nya, karena kita lebih percaya pada upaya kita sendiri atau pada manusia lain daripada pada janji Allah sebagai Pemberi Rezeki?
Syirik modern meliputi: mengikuti hawa nafsu secara mutlak, mendewakan ideologi sekuler yang menolak peran Tuhan, meyakini keberuntungan atau jimat sebagai sumber kekuatan, dan riya dalam ibadah. Ayat 22 menuntut pemurnian niat (ikhlas) dan penyerahan diri total kepada Allah, yang merupakan inti dari Tauhid Uluhiyah.
Ayat ini mendorong tadabbur, yakni perenungan atas ciptaan. Seorang Muslim harus melihat keindahan dan tatanan di sekelilingnya, bukan sebagai kebetulan, melainkan sebagai tanda (ayat) yang menunjuk kepada Kekuasaan Ilahi. Setiap kali melihat awan, mencicipi buah, atau merasakan stabilitas bumi, ia harus teringat pada ayat 22 dan memperbaharui syahadatnya.
Bagi mereka yang diragukan keimanannya (seperti kelompok munafik yang dibahas di ayat-ayat sebelumnya), ayat ini memberikan dasar keyakinan yang kuat. Ini adalah obat bagi keraguan. Bukti-bukti yang disajikan begitu nyata dan universal sehingga tidak ada alasan bagi akal sehat untuk menolaknya.
Kesimpulan dari Al-Baqarah 22 adalah bahwa alam semesta adalah saksi bisu keesaan Allah. Seluruh tatanan kosmik yang mendukung kehidupan kita adalah argumen yang berkelanjutan dan tak berujung tentang mengapa hanya Allah, Sang Pencipta dan Pengatur, yang berhak disembah. Tugas manusia adalah menerima bukti yang jelas ini dengan hati yang tunduk dan akal yang berserah diri.
Al-Baqarah 22 sering dikutip sebagai salah satu ayat fundamental dalam mendefinisikan Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah. Ayat ini tidak berdiri sendiri, melainkan berinteraksi secara harmonis dengan ayat-ayat lain yang memiliki tema serupa, menciptakan jaringan argumen yang komprehensif.
Ayat Kursi menggambarkan keagungan sifat-sifat Allah (Asma wa Sifat) secara metafisik, menegaskan bahwa Dia tidak mengantuk, tidak tidur, dan memiliki segala sesuatu. Al-Baqarah 22 memberikan bukti empiris atas kekuasaan tersebut. Jika Ayat Kursi adalah deklarasi keagungan, maka Al-Baqarah 22 adalah demonstrasi lapangan dari keagungan tersebut (penciptaan bumi dan langit). Keduanya adalah pilar utama dalam pemahaman Tauhid dalam Surah Al-Baqarah.
Surah Ar-Rahman berulang kali menanyakan, "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" Ayat 22 Al-Baqarah menyediakan daftar awal dari nikmat-nikmat tersebut: bumi, langit, air, dan buah-buahan. Dalam kedua surah, pengakuan atas nikmat penciptaan harus diikuti dengan pengakuan atas hak mutlak Allah untuk disembah.
Ayat 22 ini secara khusus menargetkan kelompok musyrikin yang mengakui adanya Allah (Pencipta) tetapi tetap menyembah perantara. Allah menantang logika mereka: bagaimana mungkin menyembah patung atau dewa yang tidak dapat menciptakan sehelai rumput pun, sementara meninggalkan Dzat yang menciptakan seluruh sistem kosmik yang menopang hidup mereka? Ayat ini menunjukkan bahwa musyrikin Makkah secara kognitif kontradiktif, dan tindakan mereka adalah bentuk kebodohan meskipun mereka 'mengetahui'.
Kedalaman teologis Al-Baqarah 22 menjadikannya rujukan penting dalam literatur akidah. Ia mengajarkan bahwa iman harus dibangun di atas dasar yang kokoh, yakni pengamatan rasional terhadap bukti-bukti yang terhampar di alam semesta. Dari hamparan bumi yang lembut hingga kokohnya atap langit, segala sesuatu bersaksi akan Keesaan-Nya. Pengakuan ini adalah langkah pertama dan terpenting menuju jalan ketakwaan yang diridhai Allah.
Keseluruhan Surah Al-Baqarah ayat 22 merupakan sebuah khotbah kosmik yang ringkas namun mendalam. Ia mengarahkan pandangan manusia dari hal-hal kecil (seperti buah-buahan di tangan kita) hingga hal-hal yang agung (struktur langit), semuanya untuk mencapai satu tujuan filosofis dan spiritual: hanya ada satu Tuhan yang patut diibadahi.
Setiap detail penciptaan—kelembutan bumi yang dapat kita injak, kekuatan atmosfer yang menahan bahaya, hingga mukjizat air yang mengubah benih mati menjadi kehidupan yang berlimpah—adalah tanda-tanda yang tidak dapat disangkal. Kita hidup dalam kemewahan fasilitas yang disediakan secara gratis oleh Dzat Yang Maha Kuasa.
Oleh karena itu, kesimpulan final ayat ini harus menjadi pegangan hidup: falā taj‘alū li-llāhi andādan wa antum ta‘lamūn. Janganlah kalian mencari tandingan bagi Allah. Setelah semua bukti ini terhampar di hadapan kita, menyekutukan Allah adalah sebuah pilihan sadar untuk menolak kebenaran, sebuah penyimpangan akal yang menyakitkan. Hendaknya setiap individu Muslim senantiasa merenungkan ayat mulia ini sebagai penegasan ulang janji kita kepada Allah SWT bahwa kita hanya akan beribadah kepada-Nya dan tidak akan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, selamanya.