Surah Al-Baqarah, ayat ke-221, merupakan salah satu landasan hukum yang paling fundamental dalam Islam terkait kriteria memilih pasangan hidup. Ayat ini bukan sekadar sebuah anjuran, melainkan sebuah perintah ilahi yang menggarisbawahi pentingnya tauhid (keesaan Allah) sebagai fondasi utama dalam ikatan pernikahan. Konteks ayat ini mengajarkan umat Muslim untuk selalu mendahulukan kualitas keimanan, bahkan jika dibandingkan dengan daya tarik fisik, kekayaan, atau status sosial yang ditawarkan oleh pihak yang tidak beriman.
Ayat ini berfungsi sebagai pedoman abadi, memastikan bahwa keluarga Muslim yang dibentuk memiliki kesamaan spiritual yang mendalam, yang pada gilirannya akan menjamin ketenangan (sakinah) dan memelihara agama bagi keturunan mereka. Pemahaman yang komprehensif terhadap Al-Baqarah 221 memerlukan penyelaman ke dalam teks Arab, tafsir klasik dan modern, serta implikasi fikihnya yang luas.
Prioritas keimanan adalah cahaya dalam kegelapan dunia.
Teks Ayat dan Terjemahannya
Wa lā tankiḥul-musyrikāti ḥattā yu'minn. Wa la'amatum mu'minatun khairum mim musyrikatiw wa lau a'jabatkum. Wa lā tunkiḥul-musyrikīna ḥattā yu'minū. Wa la'abdum mu'minun khairum mim musyrikiw wa lau a'jabakum. Ulā'ika yad'ūna ilan-nār, wallāhu yad'ū ilal-jannati wal-magfirati bi'idnih, wa yubayyinu āyātihī lin-nāsi la'allahum yatazakkarūn.
Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang mukmin lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan mukmin) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang mukmin lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, padahal Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.
Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Meskipun Al-Qur'an diturunkan sebagai panduan universal, banyak ayat yang memiliki konteks spesifik yang melatarbelakanginya. Ayat 221 Surah Al-Baqarah ini diyakini diturunkan sebagai respons terhadap praktik pernikahan yang umum terjadi di kalangan Quraisy pada masa awal Islam, di mana status sosial dan kekayaan seringkali lebih diutamakan daripada keyakinan tauhid.
Kisah Marthad bin Abi Marthad Al-Ghanawi
Salah satu riwayat masyhur yang sering dikaitkan dengan ayat ini adalah kisah sahabat Marthad bin Abi Marthad. Sebelum masuk Islam, Marthad memiliki hubungan dengan seorang wanita musyrikah bernama Anaq. Setelah hijrah ke Madinah, Marthad meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk kembali ke Mekah dan menikahi Anaq. Saat itu, Anaq masih dalam keadaan musyrik dan terkenal memiliki kecantikan serta status yang terhormat.
Rasulullah ﷺ menahan Marthad dan bersabda, "Janganlah kamu menikahinya." Kemudian, ayat ini turun, memberikan larangan eksplisit. Kisah ini menegaskan bahwa larangan tersebut berlaku universal dan mutlak, menempatkan keimanan sebagai syarat utama pernikahan, bahkan jika daya tarik dan kasih sayang sudah terjalin sebelumnya. Larangan ini bertujuan melindungi akidah para sahabat dari potensi erosi spiritual yang dibawa oleh pasangan yang menyekutukan Allah.
Analisis Fikih: Larangan Mutlak Terhadap Musyrik
Ayat 221 ini menetapkan sebuah kaidah fikih yang sangat jelas: pernikahan antara seorang Muslim/Muslimah dengan seorang musyrik/musyrikah adalah **haram dan tidak sah (bāṭil)**. Larangan ini bersifat timbal balik (lak-laki Muslim dilarang menikahi musyrikah, dan perempuan Muslimah dilarang dinikahkan dengan musyrik).
1. Definisi "Musyrik"
Untuk memahami larangan ini, penting untuk membedakan antara musyrik (orang yang menyekutukan Allah dengan tuhan lain) dan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Secara historis, tafsir dan fikih memegang pandangan bahwa:
- Musyrik (Msyrikin): Mencakup penyembah berhala, penyembah api (Majusi), atau mereka yang tidak memiliki kitab suci yang diakui dalam syariat Islam, dan secara tegas menyekutukan Allah. Pernikahan dengan golongan ini dilarang mutlak berdasarkan Al-Baqarah 221.
- Ahli Kitab (Ahlul Kitāb): Merujuk pada umat Yahudi dan Nasrani. Hukum menikahi perempuan Ahli Kitab (bagi laki-laki Muslim) diatur oleh ayat lain, yaitu Surah Al-Maidah ayat 5, yang memperbolehkannya dengan syarat tertentu.
Namun, para ulama menegaskan bahwa larangan bagi perempuan Muslimah untuk menikah dengan laki-laki Ahli Kitab tetap berlaku, berdasarkan larangan umum pada bagian kedua Al-Baqarah 221 yang melarang menikahkan perempuan mukmin dengan laki-laki musyrik, dan juga berdasarkan ijma' (konsensus) ulama. Alasannya sangat kuat: dalam pernikahan Islam, suami adalah kepala keluarga dan memiliki otoritas dalam hal pendidikan agama, dan dikhawatirkan suami non-Muslim akan merusak akidah istrinya atau keturunannya.
2. Keutamaan Hamba Sahaya Mukmin
Inti penekanan dalam ayat ini terletak pada perbandingan yang kontras:
"Sungguh, hamba sahaya perempuan yang mukmin lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu."
Pernyataan ini adalah penegasan revolusioner pada masa itu. Pada masyarakat Quraisy, status sosial, kekayaan, dan kebebasan adalah tolok ukur utama dalam perjodohan. Seorang perempuan merdeka dari suku terpandang—meskipun musyrikah—secara otomatis lebih dihormati daripada seorang hamba sahaya (amah) yang miskin, meskipun ia mukminah.
Ayat ini membalikkan standar tersebut sepenuhnya. Ia mengajarkan bahwa nilai seorang individu di sisi Allah (dan seharusnya juga dalam pandangan Muslim) tidak ditentukan oleh harta atau martabat duniawi, melainkan oleh keimanan (iman) dan ketakwaan (taqwa). Ketaatan seorang hamba sahaya kepada Allah lebih bernilai daripada kemewahan seorang ratu yang menyekutukan-Nya.
3. Hikmah Larangan: Memelihara Dien (Agama)
Al-Qur'an sendiri memberikan alasan tegas di akhir ayat: "Mereka mengajak ke neraka, padahal Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya."
Larangan ini bukan sekadar peraturan formal, melainkan mekanisme perlindungan spiritual. Pernikahan adalah ikatan paling intim dan mendasar dalam hidup. Jika pasangan memiliki perbedaan fundamental dalam pandangan ketuhanan, maka seluruh struktur keluarga akan rentan:
- Pengaruh Akidah: Pasangan musyrik secara sadar atau tidak sadar akan mempengaruhi akidah pasangannya, terutama dalam situasi konflik atau kesulitan.
- Pendidikan Anak: Anak-anak akan dibingungkan oleh dua pandangan hidup yang bertentangan. Salah satu kewajiban terbesar orang tua Muslim adalah mendidik anak dalam tauhid; hal ini tidak mungkin dilakukan secara efektif jika salah satu orang tua secara aktif mempraktikkan syirik.
- Tujuan Hidup: Tujuan hidup pasangan musyrik adalah kenikmatan duniawi yang fana (yang sering diinterpretasikan sebagai ajakan menuju "neraka" di akhirat), sementara tujuan hidup seorang mukmin adalah mencari ridha Allah dan surga. Dua tujuan ini tidak dapat berjalan selaras dalam satu bahtera rumah tangga.
Tafsir Kontemporer dan Penerapan
Para mufassir kontemporer, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur'an, menekankan bahwa ayat ini menuntut loyalitas total kepada akidah. Beliau menjelaskan bahwa daya tarik fisik atau materi (*walau a’jabatkum*) adalah godaan yang harus ditaklukkan demi harga diri agama. Ketika keimanan menjadi prioritas utama, seorang Muslim harus rela meninggalkan apa pun yang menarik perhatiannya di mata duniawi jika hal itu berpotensi merusak tauhid.
Studi Kasus Fikih: Batasan Ahli Kitab di Era Modern
Meskipun Al-Maidah 5 memperbolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi), banyak ulama kontemporer yang menyerukan kehati-hatian ekstrem dalam penerapannya, terutama di masyarakat non-Muslim, karena beberapa faktor:
- Kondisi Ahli Kitab Saat Ini: Sebagian ulama berpendapat bahwa praktik keagamaan Ahli Kitab modern telah banyak terkontaminasi oleh bentuk-bentuk syirik yang parah (seperti Trinitas yang dianggap syirik dalam pandangan tauhid murni), sehingga sulit membedakan antara mereka dengan musyrik yang dilarang dalam Al-Baqarah 221.
- Ancaman terhadap Keturunan: Dalam masyarakat di mana nilai-nilai non-Islam dominan, pernikahan campur (meski dengan Ahli Kitab) sangat berisiko menyebabkan anak-anak terdidik dalam agama selain Islam.
- Kepentingan Dakwah: Tujuan pernikahan dalam Islam bukan hanya pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi juga menciptakan basis dakwah dan pembinaan. Hal ini jauh lebih mudah dicapai dengan pasangan yang seakidah.
Maka, meskipun secara hukum dasar fikih laki-laki Muslim boleh menikahi Ahli Kitab, Al-Baqarah 221 mengajarkan prinsip preferensi: memilih pasangan yang betul-betul mukmin (termasuk muwahhidin yang taat) adalah pilihan yang *lebih baik* (khairun) dan lebih dianjurkan oleh Allah.
Pernikahan yang dibangun atas tauhid adalah kekuatan spiritual keluarga.
Studi Mendalam: Pilihan Bahasa dalam Ayat
Kata kunci dalam ayat ini, *khairun* (lebih baik), adalah bentuk perbandingan yang sangat kuat. Ketika Allah menggunakan kata ini, itu berarti ada dua pilihan, tetapi salah satunya secara inheren memiliki keunggulan spiritual yang jauh melampaui keunggulan duniawi lainnya. Dalam konteks Al-Baqarah 221, "lebih baik" menunjukkan bahwa keimanan adalah satu-satunya mata uang yang bernilai abadi.
Membandingkan Kata 'Amah' (Hamba Sahaya) dan 'Musyrikah' (Wanita Musyrik)
Pilihan kata 'Amah' dan 'Abd' (hamba sahaya) secara strategis menantang norma sosial. Hamba sahaya adalah golongan yang paling rendah statusnya di masyarakat Arab pra-Islam. Dengan mengatakan bahwa hamba sahaya mukmin adalah *lebih baik* daripada perempuan musyrik yang menarik dan merdeka, Allah menetapkan prinsip syariat yang mengungguli adat dan tradisi.
Poin ini diperluas oleh ulama tafsir seperti Imam Al-Qurtubi dan Imam At-Tabari, yang menegaskan bahwa fokus syariat adalah pada hati dan akidah, bukan pada tampilan luar, kekayaan, atau garis keturunan. Dalam timbangan Allah, bahkan kebebasan pribadi pun tidak dapat mengalahkan nilai tauhid yang murni.
Implikasi Kata ‘Idhnihi’ (Dengan Izin-Nya)
Di akhir ayat, Allah menyatakan: "Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya." Penggunaan frasa "dengan izin-Nya" (bi'idhnih) menunjukkan bahwa seruan Allah untuk memilih keimanan dan menjauhi syirik adalah bagian dari rencana Ilahi untuk memberikan rahmat dan jalan menuju keselamatan. Ini adalah penegasan otoritas dan kekuasaan mutlak Allah dalam menentukan jalan kebahagiaan sejati.
Penjelasan Fiqh Tambahan dan Sempurna (At-Tawassu' fil Fiqh)
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman hukum yang terkandung dalam Al-Baqarah 221, kita harus menelaah berbagai mazhab fikih dan bagaimana mereka menangani masalah ini, terutama dalam konteks perdebatan antara Ahli Kitab dan Musyrik.
1. Pandangan Empat Mazhab Utama mengenai Musyrikah
Keempat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) sepakat secara *ijma'* bahwa pernikahan Muslim dengan perempuan musyrikah (penyembah berhala, penganut agama pagan, atau mereka yang tidak memiliki kitab suci) adalah **batal dan haram**. Jika pernikahan telah terjadi, wajib segera dipisahkan (faskh) tanpa perlu talak, karena akadnya tidak sah sejak awal.
Para Fuqaha menegaskan bahwa jika seorang musyrikah masuk Islam saat masih dalam ikatan pernikahan dengan seorang Muslim, maka akad yang lama diakui sah. Namun, jika ia masuk Islam setelah masa iddah-nya berlalu (jika mereka telah berpisah), maka perlu akad baru. Hal ini menunjukkan betapa krusialnya syarat keimanan di momen akad.
2. Masa Iddah dan Konversi
Jika seorang wanita musyrik menikah dengan Muslim, dan kemudian masuk Islam, para ulama membahas apakah pernikahan mereka dianggap sah. Pendapat yang kuat adalah, jika konversi terjadi sebelum consummatio (bersetubuh), pernikahan tersebut batal dan memerlukan akad baru jika ingin dilanjutkan. Jika konversi terjadi setelah bersetubuh, jumhur ulama berpendapat pernikahan itu dipertahankan, karena keimanan telah memenuhi syarat yang diperintahkan dalam ayat: *ḥattā yu'minn* (sampai mereka beriman).
3. Kekhususan Larangan bagi Wanita Mukminah
Ayat 221 melarang laki-laki musyrik menikahi perempuan mukminah (*Wa lā tunkiḥul-musyrikīna ḥattā yu'minū*). Larangan ini, menurut konsensus ulama, bersifat universal dan mencakup semua non-Muslim, termasuk Ahli Kitab. Ini adalah perbedaan hukum signifikan: laki-laki Muslim memiliki kelonggaran terbatas menikahi Ahli Kitab, tetapi perempuan Muslimah dilarang total menikahi non-Muslim manapun.
Alasan fundamentalnya, yang ditekankan dalam Fiqh Muqaran (Perbandingan Fikih), adalah karena Islam memberikan hak talak dan kepemimpinan (*qawwamah*) kepada suami. Jika suami adalah non-Muslim, ia secara fundamental tidak dapat dipercaya untuk memelihara dan melindungi agama istrinya serta anak-anak mereka. Sementara, perempuan yang dinikahi laki-laki Muslim berada di bawah perlindungan hukum Islam, yang menjamin hak-hak agamanya.
4. Ancaman dan Peringatan Keras
Ayat ini menutup dengan peringatan keras: *Ulā'ika yad'ūna ilan-nār* (Mereka mengajak ke neraka). Para ulama tafsir menjelaskan bahwa "ajakan ke neraka" ini tidak hanya berupa ajakan verbal. Kehidupan sehari-hari, pola pikir, nilai, dan prioritas seorang musyrik atau non-mukmin berbeda drastis. Koeksistensi intim dalam pernikahan dengan perbedaan fundamental dalam hal ketuhanan akan secara bertahap menyeret pasangannya menjauh dari jalan Allah. Ini adalah bahaya yang sangat halus dan tersembunyi, yang jauh lebih berbahaya daripada ancaman fisik.
Oleh karena itu, menjauhi pernikahan tersebut adalah tindakan preventif (sadd adz-dzarā'i) yang diwajibkan demi menjaga integritas agama seseorang.
Pelajaran Spiritual dan Pendidikan (Tarbiyah) dari Ayat
Melampaui hukum-hukum formal, Al-Baqarah 221 memberikan pelajaran etika dan spiritual yang mendalam bagi setiap Muslim dalam mengambil keputusan besar dalam hidup:
1. Prioritas Utama: Dien (Agama)
Ayat ini mengajarkan bahwa dalam setiap keputusan hidup, terutama pernikahan, agama harus menjadi pertimbangan pertama, kedua, dan terakhir. Hadits Nabi Muhammad ﷺ memperkuat hal ini: "Wanita dinikahi karena empat perkara: hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang memiliki agama, niscaya kamu beruntung." Ayat 221 adalah justifikasi al-Qur'aniah yang tegas terhadap prinsip ini.
2. Pengujian Nafsu (Hawa Nafs)
Frasa *walau a’jabatkum* (meskipun dia menarik hatimu) adalah ujian terhadap nafsu dan keinginan duniawi. Dalam kehidupan, kita sering dihadapkan pada pilihan yang secara fisik atau materi sangat menarik (cantik, kaya, berkuasa), tetapi cacat secara spiritual. Ayat ini menuntut seorang mukmin untuk mengendalikan hawa nafsunya dan memilih apa yang diridhai Allah, meskipun pilihan yang lain terasa lebih menggoda secara instan.
3. Nilai Sejati di Sisi Allah
Perbandingan hamba sahaya mukmin dan orang merdeka musyrik mengajarkan prinsip kesetaraan yang radikal dalam Islam: tidak ada superioritas bagi bangsa Arab atas non-Arab, kulit putih atas kulit hitam, atau orang kaya atas orang miskin, kecuali berdasarkan takwa dan keimanan. Seorang hamba sahaya yang rendah hatinya tetapi beriman memiliki kedudukan spiritual yang tak terbandingkan lebih tinggi daripada orang paling berkuasa di dunia yang syirik.
Pemahaman ini harus membentuk cara Muslim memandang dunia dan berinteraksi. Kita didorong untuk mencari kualitas hati, bukan kualitas harta. Kita diajarkan untuk menghormati orang yang taat, meskipun mereka tidak memiliki apa-apa, dan menjauhi mereka yang durhaka, meskipun mereka memiliki segalanya.
Integrasi Ayat 221 dengan Prinsip Keluarga Muslim
Pernikahan dalam Islam disebut sebagai *mithāqan ghalīzhā* (perjanjian yang kuat) dan bertujuan mencapai *sakinah* (ketenangan), *mawaddah* (cinta), dan *raḥmah* (kasih sayang). Ketiga elemen ini sulit diwujudkan jika ada perbedaan fundamental dalam akidah.
Dampak Akidah terhadap Ketenangan (Sakinah)
Ketenangan sejati dalam rumah tangga berasal dari keselarasan tujuan. Jika kedua pasangan shalat menghadap kiblat yang sama, membaca kitab yang sama, dan memiliki harapan akhirat yang sama, mereka akan menemukan kedamaian batin. Sebaliknya, rumah tangga yang terbagi keyakinannya akan selalu diselimuti ketegangan filosofis, terutama saat menghadapi musibah atau memutuskan pendidikan anak.
Surah Al-Baqarah 221 memastikan bahwa sebelum membangun rumah tangga, fondasi tauhid sudah kokoh. Fondasi inilah yang akan menopang sakinah, bahkan ketika tantangan finansial atau kesehatan datang melanda.
Menghadapi Tantangan Modern: Pernikahan Beda Agama
Di era globalisasi, godaan untuk menikahi musyrik atau non-Muslim semakin besar. Tekanan budaya, romantisisme media, dan desakan untuk 'toleransi' seringkali mengaburkan garis hukum yang ditetapkan Al-Qur'an. Ayat 221 berfungsi sebagai batas yang tidak boleh dilanggar. Seorang Muslim harus menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam kompromi akidah, melainkan dalam kepatuhan kepada perintah Allah.
Ketika seseorang tergoda oleh kecantikan atau harta pasangan yang tidak beriman, ia harus kembali merenungkan ultimatum Ilahi: pilihan ini adalah pilihan antara surga dan neraka. Kenyataan bahwa Allah menyandingkan pilihan pasangan dengan seruan menuju surga dan neraka menunjukkan betapa seriusnya dampak pilihan pernikahan terhadap nasib akhirat seseorang.
Kesimpulannya, Surah Al-Baqarah ayat 221 adalah pilar utama dalam hukum keluarga Islam. Ayat ini menegaskan larangan mutlak menikahi musyrik, menempatkan keimanan sebagai nilai tertinggi yang melampaui seluruh pertimbangan duniawi. Melalui ayat ini, Allah Swt. membimbing umat-Nya untuk memilih pasangan yang bukan hanya menyenangkan mata, tetapi yang jiwanya telah berserah diri kepada Allah, demi keselamatan dunia dan akhirat.
Ayat ini adalah pengingat bahwa keputusan pernikahan adalah keputusan agama dan bukan hanya keputusan emosional atau sosial. Dengan memilih pasangan yang mukmin, kita memilih jalan menuju maghfirah (ampunan) dan jannah (surga), sebagaimana janji Allah Swt. kepada mereka yang mengambil pelajaran dari ayat-ayat-Nya.
Penelitian mendalam terhadap ayat ini dari berbagai sudut pandang—filologi, tafsir, dan fikih—memberikan wawasan yang tak terbatas mengenai keagungan hukum Islam. Ia membatasi potensi kerusakan spiritual dan sosial yang timbul dari ikatan yang tidak seimbang dalam hal keyakinan fundamental. Kepatuhan terhadap larangan menikahi musyrik adalah manifestasi nyata dari ketulusan iman seseorang dan komitmennya terhadap ajaran tauhid. Dalam konteks yang lebih luas, ayat ini mengajarkan umat Muslim untuk selalu memandang keimanan sebagai kekayaan terbesar, melebihi segala bentuk kemewahan dan kehormatan duniawi yang ditawarkan.
Prinsip yang ditekankan dalam ayat ini bukanlah prinsip diskriminasi sosial, melainkan prinsip perlindungan akidah. Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama, namun dalam ikatan pernikahan yang menuntut penyatuan hidup dan pendidikan keturunan, standar keyakinan harus dipertahankan secara ketat. Hal ini adalah demi kemaslahatan individu dan generasi yang akan datang. Dalam masyarakat yang semakin plural, godaan untuk mengabaikan batasan ini demi kenyamanan sosial atau cinta sesaat menjadi sangat kuat. Namun, Al-Baqarah 221 berdiri tegak sebagai benteng yang mengingatkan bahwa kesempurnaan dan keberkahan rumah tangga hanya dapat diraih ketika keduanya berdiri di atas landasan tauhid yang murni.
Para ahli fikih terus mendiskusikan implikasi dari ayat ini, terutama dalam kasus-kasus kontemporer di mana definisi ‘musyrik’ dan ‘Ahli Kitab’ menjadi kabur. Namun, esensi hukum tetap tidak berubah: larangan menikahi penyembah berhala, pagan, atau siapa pun yang secara eksplisit menyekutukan Allah adalah mutlak. Ini adalah harga yang harus dibayar untuk memelihara kemurnian agama. Seorang Muslim yang taat memahami bahwa kerugian duniawi yang ditanggung karena mengikuti perintah Allah jauh lebih kecil dibandingkan kerugian spiritual yang ditimbulkan oleh ketidaktaatan dalam urusan pernikahan.
Ayat ini juga memberikan penghiburan dan jaminan spiritual. Ia menjamin bahwa pilihan yang didasarkan pada keimanan—meskipun terlihat 'rendah' di mata masyarakat, seperti menikahi hamba sahaya mukmin—akan menghasilkan keberkahan abadi. Sebaliknya, memilih yang menarik secara duniawi tetapi cacat akidah adalah undangan menuju kesengsaraan. Ini adalah pengajaran tentang nilai hakiki yang seharusnya menjadi pedoman hidup setiap mukmin: fokus pada apa yang menyenangkan Allah, bukan apa yang menyenangkan pandangan manusia.
Secara retoris, susunan kalimat dalam ayat 221 sangat efektif. Dimulai dengan larangan (wa lā tankiḥū), diikuti oleh perbandingan keutamaan yang kontras, dan diakhiri dengan alasan teologis yang definitif (ajakan menuju Surga versus ajakan menuju Neraka). Struktur ini memastikan bahwa pesan tersebut tersampaikan dengan otoritas dan hikmah yang tidak terbantahkan. Ia tidak hanya memberitahu apa yang harus dilakukan, tetapi juga menjelaskan mengapa, menghubungkan tindakan duniawi yang paling pribadi (pernikahan) dengan konsekuensi eskatologis yang paling besar (Surga dan Neraka).
Pemahaman mendalam mengenai Al-Baqarah 221 juga relevan dalam konteks gerakan dakwah. Seorang Muslim yang teguh pada prinsip ini akan menjadi contoh bagi komunitasnya tentang bagaimana memprioritaskan akidah dalam semua aspek kehidupan. Mereka mengajarkan bahwa integritas spiritual tidak dapat ditawar. Ini adalah bentuk jihad pribadi (jihad an-nafs) untuk melawan godaan dunia yang seringkali menempatkan keindahan fisik atau kekayaan di atas kebenaran akidah.
Diskusi mengenai pernikahan campur (interfaith marriage) seringkali melibatkan perdebatan seputar toleransi dan cinta kasih. Islam memang mengajarkan toleransi terhadap semua umat beragama dalam interaksi sosial. Namun, pernikahan adalah ibadah dan akad yang unik, yang menuntut kesatuan fundamental. Al-Baqarah 221 menetapkan batas antara toleransi sosial dan integrasi spiritual. Cinta kasih yang sesungguhnya adalah memilih apa yang terbaik bagi pasangan kita di akhirat, dan bagi seorang Muslim, hal itu adalah mempertahankan tauhid tanpa kompromi.
Para ulama ushul fikih menekankan bahwa larangan dalam ayat ini termasuk dalam kategori larangan yang membawa kemudaratan besar bagi agama (mafsadah kubra). Ketika sebuah hukum bertujuan melindungi lima tujuan utama syariat (Maqasid Syari'ah)—yaitu agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal)—ayat 221 secara langsung melindungi tujuan agama dan keturunan. Dengan mencegah pernikahan dengan musyrik, Islam melindungi agama individu dan agama keturunan mereka dari bahaya penyimpangan akidah.
Oleh karena itu, setiap Muslim yang hendak melangkah ke jenjang pernikahan dianjurkan untuk menjadikan Al-Baqarah 221 sebagai cermin batin. Mereka harus bertanya pada diri sendiri: Apakah pilihan pasangan saya ini membawa saya lebih dekat ke Surga, atau malah berisiko menyeret saya ke dalam "ajakan neraka"? Jawaban atas pertanyaan ini harus didasarkan pada iman, bukan pada daya tarik sementara yang bersifat duniawi. Ini adalah intisari dari hikmah Ilahi yang terkandung dalam ayat yang mulia ini.
Keputusan untuk menikah dengan seorang mukmin, meskipun ia tidak memiliki kemewahan dunia, adalah investasi jangka panjang dalam spiritualitas. Keberkahan dalam rumah tangga seperti itu jauh lebih besar. Cinta yang tumbuh dari kesamaan akidah adalah cinta yang abadi dan berorientasi akhirat. Sementara cinta yang didasarkan pada daya tarik fisik semata, tanpa fondasi tauhid, adalah cinta yang rapuh dan mudah hancur oleh badai kehidupan. Inilah alasan mengapa Al-Qur'an memilih kata *khairun*—lebih baik—sebagai penekanan nilai. Pilihan terbaik selalu adalah pilihan yang mendahulukan Allah dan Rasul-Nya.
Penjelasan yang lebih rinci dari Imam Ibn Katsir, salah satu mufassir terbesar, juga menegaskan bahwa larangan ini tidak memberikan pengecualian apapun bagi orang yang kaya atau berstatus tinggi. Bahkan jika seorang musyrik menawarkan kekayaan luar biasa atau kecantikan yang memesona, larangan tersebut tetap berlaku. Keimanan tidak dapat dibeli dengan harta, dan akidah tidak dapat ditukar dengan daya tarik. Pernikahan adalah sebuah kapal yang harus berlayar menuju akhirat, dan kedua nakhodanya harus memiliki peta yang sama, yaitu tauhid.
Penting untuk menggarisbawahi lagi bahwa larangan dalam ayat ini berlaku dua arah, memperkuat kesetaraan spiritual antara laki-laki dan perempuan Muslim. Kedua-duanya sama-sama dilarang menjalin ikatan suci dengan pasangan musyrik. Baik laki-laki Muslim maupun perempuan Muslimah, kewajiban untuk menjaga kemurnian akidah dalam rumah tangga adalah sama beratnya. Ini adalah perlindungan timbal balik yang diwajibkan oleh syariat.
Larangan ini menjadi semakin relevan dalam dinamika sosial kontemporer di mana banyak masyarakat menghapus batas-batas keagamaan demi alasan kemanusiaan universal. Meskipun Islam menghargai kemanusiaan, ia juga menuntut ketaatan dalam ranah ibadah dan akad. Pernikahan, sebagai salah satu bentuk ibadah terpanjang, tidak dapat disamakan dengan hubungan sosial biasa. Ia memerlukan keselarasan yang total dalam keyakinan. Oleh karena itu, Al-Baqarah 221 terus menjadi pengingat tegas akan batasan sakral ini.
Keseluruhan pesan ayat 221 ini adalah sebuah pemurnian terhadap nilai-nilai pernikahan. Ia mengajarkan umat untuk menjauhi materialisme dan hedonisme dalam pemilihan pasangan. Ia menuntut agar hati nurani seorang Muslim terikat erat dengan visi akhirat, menjadikan semua keputusan hidup, termasuk keputusan paling pribadi, sebagai sarana mencapai keridhaan Allah. Ketika visi ini diadopsi, hamba sahaya yang beriman akan benar-benar terlihat ‘lebih baik’ daripada wanita musyrik yang paling menawan sekalipun, karena mata hati telah dibuka untuk melihat nilai yang abadi.
Demikianlah, Al-Baqarah 221 bukan hanya sebuah pasal hukum; ia adalah sebuah deklarasi nilai. Deklarasi bahwa iman melampaui segala sesuatu, dan bahwa pintu menuju surga dimulai dari rumah tangga yang dibangun di atas fondasi tauhid. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang mengambil pelajaran (yatazakkarūn) dari ayat-ayat Allah yang terang ini.
Lanjutan pembahasan fikih tentang pernikahan yang tidak sah menurut ayat 221 seringkali melibatkan implikasi bagi anak-anak yang lahir dari akad yang batal. Jika akad pernikahan itu haram dan batal (seperti pernikahan dengan musyrikah), maka secara umum anak yang lahir dari hubungan tersebut akan tetap dianggap sebagai anak yang sah menurut beberapa mazhab fikih, dalam rangka melindungi keturunan (*hifdh al-nasl*), namun pernikahan itu sendiri tetap wajib dibubarkan. Ini menunjukkan bahwa syariat berusaha keras menyeimbangkan antara perlindungan akidah (melalui pembatalan akad) dan perlindungan sosial (melalui pengakuan garis keturunan).
Namun, ancaman spiritual terhadap keturunan tetap ada. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan dualisme akidah menghadapi perjuangan yang jauh lebih besar untuk mempertahankan tauhid murni. Hal inilah yang menjadi pertimbangan utama ulama dalam menegaskan larangan ini, menunjukkan pandangan jangka panjang Islam terhadap keberlanjutan umat (ummah). Ayat 221 adalah sebuah visi pembangunan peradaban, dimulai dari unit terkecil: keluarga beriman.
Penyebutan kata 'Marthad' dalam Asbabun Nuzul mengingatkan kita bahwa perintah ini diturunkan untuk mengatasi dilema emosional. Marthad mencintai Anaq, dan Anaq menarik hatinya. Larangan dari Rasulullah ﷺ, yang kemudian dikukuhkan oleh ayat ini, mengajarkan bahwa cinta dan nafsu harus tunduk pada hukum Ilahi. Tidak ada cinta duniawi yang dapat membenarkan risiko kehilangan akhirat. Dalam Islam, cinta sejati adalah cinta yang membantu pasangan mencapai Surga. Jika sebuah hubungan berisiko menjauhkan salah satu pihak dari Allah, maka hubungan tersebut adalah fitnah yang harus dihindari, betapapun manisnya ia di awal.
Dengan demikian, Surah Al-Baqarah ayat 221 memberikan cetak biru moral bagi Muslim di seluruh dunia, tidak hanya sebagai hukum, tetapi juga sebagai peringatan keras dan janji agung. Peringatan akan bahaya syirik dalam rumah tangga, dan janji bahwa kepatuhan kepada tauhid akan membawa pada ampunan Allah dan pintu-pintu Surga. Ini adalah petunjuk yang tak lekang oleh waktu, memastikan bahwa umat Islam senantiasa menjaga kesucian akidahnya di tengah hiruk pikuk pilihan duniawi.