Mengupas Tuntas Surah Al-Baqarah Ayat 219

Pilar Hukum dan Etika Sosial dalam Islam

Pendahuluan: Kontinuitas Hukum dalam Al-Baqarah

Surah Al-Baqarah (Sapi Betina) merupakan surah terpanjang dalam Al-Qur’an, yang mencakup spektrum luas mulai dari akidah, kisah para nabi, hingga detail hukum syariat yang mengatur kehidupan individu dan masyarakat. Ayat 219 menempati posisi krusial dalam konteks ini, berfungsi sebagai jembatan antara persoalan harta benda, sosial, dan penetapan hukum. Ayat ini tidak hanya memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat, tetapi juga meletakkan dasar bagi dua larangan sosial terbesar dan satu perintah etika ekonomi yang fundamental: larangan *khamr* (minuman memabukkan), larangan *maysir* (perjudian), serta tuntunan untuk berinfak dari *al-afwu* (kelebihan harta).

Ayat 219 menunjukkan prinsip penting dalam syariat: penetapan hukum seringkali bersifat bertahap (tadrij) dan selalu didasarkan pada pertimbangan maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar. Tiga isu yang diangkat dalam ayat ini — alkohol, judi, dan sedekah — semuanya berakar pada praktik sosial masyarakat Arab pra-Islam (Jahiliyyah) yang memerlukan penataan ulang secara revolusioner namun bijaksana.

Memahami Al-Baqarah 219 adalah memahami cara pandang Islam terhadap harta, akal, dan interaksi sosial. Ayat ini mengajarkan bahwa apa pun yang mendatangkan bahaya yang lebih besar daripada manfaatnya, harus ditinggalkan, dan sebaliknya, apa pun yang dapat memberikan manfaat sosial dan spiritual yang lebih besar, harus diupayakan secara konsisten.

Teks Ayat dan Analisis Sintaksis

Teks Arab Al-Baqarah Ayat 219

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

Terjemahan Makna

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan maysir. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu (tentang) apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan (al-Afwu)." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.

Pembedahan Linguistik Kunci

Ayat ini terbagi menjadi dua pertanyaan utama, yang masing-masing dijawab dengan prinsip yang mendalam:

  1. Khawatir dan Maysir: Dosa Lebih Besar dari Manfaat (*Ithmun Akbaru min Naf’ihima*): Penggunaan kata ‘Ithm’ (dosa/kejahatan) yang dilekatkan pada Khamr dan Maysir menunjukkan dimensi spiritual dan sosial dari praktik ini. Frasa ‘Manāfi’u lin-nās’ (beberapa manfaat bagi manusia) mengakui adanya manfaat duniawi sekunder—seperti penghasilan cepat dari judi atau kegembiraan sesaat dari khamr—tetapi secara tegas menegaskan bahwa kerugian (dosa) yang ditimbulkan jauh melampaui manfaat tersebut. Ini adalah deklarasi hukum yang berdasar pada prinsip 'menghindari mafsadat didahulukan daripada meraih maslahat'.
  2. Infak: Kelebihan Harta (*Al-Afwu*): Jawaban atas pertanyaan infak adalah tunggal dan padat: ‘Al-Afwu’. Dalam konteks linguistik Arab klasik, al-afwu berarti kelebihan, sisa, atau sesuatu yang mudah didapatkan tanpa kesulitan besar. Ini bukan sekadar perintah untuk berinfak, melainkan tuntunan etika bahwa infak yang paling ideal dan memberatkan diri adalah infak dari harta yang sudah tidak dibutuhkan lagi untuk memenuhi kebutuhan primer seseorang dan keluarganya, menjamin kemudahan dan kelapangan bagi pemberi.

Analisis Hukum 1: Larangan Khamr (Minuman Memabukkan)

Ayat 219 merupakan tahap awal dari proses bertahap pelarangan minuman memabukkan dalam Islam. Meskipun ayat ini belum menetapkan haram secara mutlak, pernyataannya yang lugas bahwa dosanya lebih besar daripada manfaatnya sudah menjadi sinyal kuat untuk menjauhi kebiasaan tersebut. Ini mencerminkan kebijaksanaan syariat dalam mengubah kebiasaan masyarakat yang telah mengakar kuat.

Konsep Tadrij (Bertahap) dalam Pelarangan

Proses pelarangan Khamr melalui empat tahap dalam Al-Qur’an:

  1. Tahap Peringatan (Al-Baqarah 219): Mengedepankan aspek perbandingan manfaat dan mudarat.
  2. Tahap Pembatasan Waktu (An-Nisa 43): Larangan mendekati salat dalam keadaan mabuk, membatasi konsumsi secara praktis.
  3. Tahap Larangan Mutlak (Al-Ma’idah 90-91): Penetapan bahwa khamr dan maysir adalah najis (*rijs*) dan perbuatan setan, dihubungkan dengan dosa besar dan perintah untuk menjauhinya sepenuhnya (*fajtanibūh*).
Ayat 219 adalah landasan filosofis di mana larangan mutlak kemudian didirikan. Ia mengajarkan bahwa keputusan hukum bukan berdasarkan larangan sewenang-wenang, melainkan berdasarkan prinsip universal untuk menjaga akal dan ketertiban sosial.

Definisi Fiqh Khamr dan Sifat Memabukkan

Dalam fikih, definisi khamr melampaui sekadar minuman yang terbuat dari anggur. Mayoritas ulama (Jumhur) mengikuti prinsip yang ditegaskan oleh hadis Nabi Muhammad SAW: "Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram." Prinsip ini memastikan bahwa larangan tersebut bersifat abadi dan meliputi semua zat atau minuman, baik fermentasi, distilasi, atau bahan kimia modern, yang memiliki efek menutup akal (*khimār*).

Imam Abu Hanifah awalnya memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai minuman yang terbuat selain dari anggur dan kurma, namun pandangan yang paling dominan dan disepakati oleh mayoritas mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) adalah bahwa kadar sedikit maupun banyak dari zat yang memabukkan adalah haram. Ini didasarkan pada kaidah: "Apa yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun haram."

Kerusakan (Mafsadat) Akibat Khamr

Mafsadat yang ditekankan oleh ayat 219 adalah dimensi sosial, psikologis, dan spiritual:

  • Kerusakan Akal (*Hifzhul ‘Aql*): Tujuan utama syariat (Maqasid Syariah) adalah menjaga akal. Khamr merusak kemampuan berpikir, mengambil keputusan, dan membedakan yang benar dan salah, yang merupakan prasyarat fundamental bagi tanggung jawab manusia (taklif).
  • Kerusakan Sosial: Khamr sering memicu permusuhan dan kebencian antarindividu, sebagaimana disebutkan dalam Al-Maidah 91. Dalam keadaan mabuk, seseorang mudah melakukan kekerasan, perceraian, atau mengabaikan kewajiban terhadap keluarga dan masyarakat.
  • Kerusakan Ekonomi: Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk menafkahi keluarga atau meningkatkan kesejahteraan dihabiskan untuk membeli zat yang merusak, menimbulkan kemiskinan dan keruntuhan finansial individu.

Elaborasi Mendalam Fiqh tentang Jenis-jenis Intoksikan

Isu khamr telah diperluas dalam fikih untuk mencakup narkotika dan zat adiktif lainnya. Jika di masa Nabi SAW fokusnya adalah minuman fermentasi, para fuqaha kontemporer sepakat bahwa semua zat yang merusak akal dan tubuh secara permanen atau sementara, termasuk ganja, kokain, heroin, dan obat-obatan terlarang lainnya, termasuk dalam kategori hukum khamr karena berbagi *‘illat* (sebab hukum) yang sama, yaitu memabukkan atau merusak akal. Hukumannya pun, menurut pandangan sebagian besar ulama, disamakan dengan hukuman bagi peminum khamr (hadd).

Keseimbangan Mudarat dan Manfaat Ilustrasi keseimbangan antara manfaat dan mudarat. Timbangan miring, menunjukkan sisi kerusakan (X) jauh lebih berat daripada sisi manfaat (centang). X Ithmun Akbaru min Naf’ihima

Ilustrasi perbandingan dosa dan manfaat (Ithmun Akbaru min Naf’ihima).

Implikasi Modern dari Larangan Khamr

Dalam konteks kontemporer, larangan ini meluas ke industri yang menghasilkan, mendistribusikan, atau mempromosikan barang-barang yang memabukkan. Prinsip Islam yang tegas melarang tidak hanya konsumsi tetapi juga partisipasi dalam rantai pasoknya (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Ini berarti, secara etika ekonomi Islam, investasi, pekerjaan, atau transaksi yang terkait dengan industri khamr adalah haram, karena membantu dalam penyebaran mafsadat yang dinilai lebih besar daripada manfaat ekonominya.

Larangan ini merupakan perlindungan sosial yang holistik, memastikan bahwa fondasi masyarakat—yaitu akal sehat dan ketertiban—tidak runtuh akibat kesenangan sesaat. Islam menuntut individu untuk sadar penuh dalam menjalankan tugas kehambaan dan sosialnya, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan jika akal tertutup oleh zat asing.

Analisis Hukum 2: Larangan Maysir (Perjudian)

Seiring dengan khamr, maysir (judi) juga dilarang keras dalam ayat 219. Maysir secara etimologi berarti mudah atau cepat. Dalam konteks syariat, maysir didefinisikan sebagai setiap bentuk permainan atau transaksi yang melibatkan pertaruhan (taruhan) harta di mana hasilnya ditentukan oleh kebetulan atau spekulasi yang tidak pasti, di mana salah satu pihak menang dan pihak lain pasti rugi tanpa menghasilkan nilai tambah riil.

Perbedaan Maysir dan Bisnis (Gharar)

Kritik utama Islam terhadap maysir terletak pada konsep 'transfer kekayaan tanpa hak' (*akl mal al-bāṭil*). Dalam bisnis yang sah, pertukaran terjadi atas dasar nilai, upaya, dan tanggung jawab. Dalam maysir, kekayaan berpindah semata-mata karena keberuntungan, tanpa ada kontribusi produktif oleh pihak yang menang.

Maysir memiliki hubungan erat dengan konsep *gharar* (ketidakpastian atau risiko yang berlebihan) dalam fikih muamalah. Meskipun *gharar* minor diperbolehkan dalam transaksi sehari-hari (misalnya, sedikit ketidakpastian dalam jual beli buah di pohon), *gharar* yang dominan dan sengaja dipertaruhkan untuk mendapatkan keuntungan cepat dilarang keras. Maysir adalah bentuk ekstrem dari *gharar*.

Dampak Sosial dan Ekonomi Maysir

Sama seperti khamr, ayat 219 mengakui bahwa maysir mungkin memiliki 'manfaat' bagi manusia—misalnya, hiburan atau kesempatan meraih kekayaan instan. Namun, kerugiannya jauh lebih besar:

  • Ketergantungan dan Kemalasan: Maysir mendorong individu untuk mencari kekayaan melalui jalan pintas, menumbuhkan sifat malas dan menolak bekerja keras secara produktif.
  • Keruntuhan Keluarga: Banyak penjudi menghabiskan harta benda, warisan, bahkan menggadaikan kebutuhan primer keluarga mereka demi mengejar kemenangan yang jarang terjadi, menyebabkan perceraian dan kemiskinan struktural.
  • Permusuhan: Maysir menghasilkan permusuhan yang tajam. Pihak yang kalah sering kali merasa dicurangi atau dendam, sementara pihak yang menang cenderung sombong. Al-Qur’an menyebutkan bahwa maysir adalah alat setan untuk menanamkan permusuhan.

Maysir dalam Konteks Modern

Interpretasi larangan maysir dalam fikih kontemporer sangat relevan. Larangan ini tidak hanya berlaku pada permainan kartu atau dadu, tetapi juga mencakup:

  1. Lotere dan Undian Berhadiah Murni: Jika partisipan harus membayar (membeli tiket) tanpa mendapatkan nilai barang yang sebanding, dan hasilnya bergantung sepenuhnya pada peluang.
  2. Asuransi Komersial Spekulatif: Bentuk asuransi yang menyerupai taruhan, meskipun asuransi yang bersifat ta’awun (gotong royong) diperbolehkan.
  3. Spekulasi Pasar Keuangan Berisiko Tinggi (Gharar Fakhish): Transaksi keuangan, seperti beberapa jenis *futures* atau *derivatives* yang tidak memiliki aset riil sebagai dasarnya dan murni bertujuan mendapatkan keuntungan dari fluktuasi harga dalam waktu singkat, sering diklasifikasikan sebagai maysir atau haram karena *gharar* yang ekstrem.

Larangan maysir melindungi masyarakat dari destabilisasi ekonomi yang disebabkan oleh transfer kekayaan yang tidak adil. Islam menekankan bahwa kekayaan harus diperoleh melalui usaha yang sah, perdagangan yang adil, dan produksi yang memberikan nilai tambah, bukan melalui eksploitasi peluang buta.

Para ulama tafsir seperti Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir sepakat bahwa kombinasi larangan khamr dan maysir dalam satu ayat menunjukkan bahwa keduanya adalah penyakit sosial yang saling terkait. Keduanya merusak moralitas, akal, dan stabilitas finansial, menjadikan individu rentan terhadap dosa-dosa lainnya.

Hubungan Kausalitas antara Khamr dan Maysir

Psikologi sosial menunjukkan bahwa khamr sering kali menurunkan hambatan moral, yang memudahkan individu untuk terlibat dalam perilaku berisiko tinggi seperti maysir. Seseorang yang kehilangan akal sehat karena alkohol akan lebih berani mengambil risiko finansial dalam perjudian. Oleh karena itu, syariat Islam menyerang kedua akar keburukan ini secara simultan, meskipun dalam ayat 219 penekanannya masih pada perbandingan mudarat dan manfaat sebelum larangan absolut di Al-Ma’idah.

Larangan ini adalah manifestasi dari pemeliharaan agama (*hifzh al-din*), akal (*hifzh al-aql*), dan harta (*hifzh al-mal*). Khamr menyerang akal, maysir menyerang harta. Dengan melarang keduanya, Islam membangun masyarakat yang rasional, stabil secara finansial, dan bertanggung jawab secara moral.

Analisis Etika 3: Perintah Infak dari Al-Afwu (Kelebihan Harta)

Bagian kedua dari Al-Baqarah 219 bergeser dari larangan (negatif) ke perintah (positif). Setelah melarang dua sumber kerugian terbesar, Allah SWT mengajarkan praktik ekonomi yang paling bermanfaat: infak. Para sahabat bertanya, "Apa yang kami infakkan?" Jawaban Allah adalah singkat namun penuh makna: "Katakanlah: Yang lebih dari keperluan (Al-Afwu)."

Makna Al-Afwu dalam Perspektif Fiqh dan Tafsir

Secara bahasa, *al-afwu* berarti mudah, sisa, atau kelebihan. Dalam konteks infak, para mufassir dan fuqaha menafsirkannya dalam beberapa cara yang saling melengkapi:

  1. Kelebihan dari Kebutuhan Primer: Mayoritas ulama, termasuk Ibnu Abbas dan Mujahid, menafsirkan *al-afwu* sebagai harta yang tersisa setelah seseorang memenuhi kebutuhan dasar dirinya, keluarganya, dan tanggungan wajibnya. Ini mengajarkan keseimbangan: sedekah tidak boleh dilakukan hingga mengorbankan kewajiban yang lebih dekat (keluarga).
  2. Harta yang Tidak Menimbulkan Kesulitan: *Al-afwu* juga merujuk pada harta yang disedekahkan tanpa menimbulkan kesulitan atau penyesalan bagi pemberi. Ini menekankan aspek keikhlasan dan kerelaan dalam berinfak.
  3. Harta yang Baik dan Halal: Sebagian ulama mengaitkan *al-afwu* dengan kualitas harta yang diinfakkan, merujuk pada bagian yang terbaik dan mudah didapatkan.
Prinsip 'Al-Afwu' mengajarkan bahwa kewajiban utama seorang Muslim adalah menjaga stabilitas keuangannya sendiri dan keluarganya. Setelah itu, barulah kelebihan harta tersebut dianjurkan untuk didistribusikan kepada yang membutuhkan. Ini adalah etika ekonomi yang realistis dan bertanggung jawab.

Hubungan Infak Al-Afwu dan Zakat

Penting untuk dicatat bahwa ayat 219 diturunkan sebelum penetapan kewajiban Zakat (infak wajib) secara detail. Ayat ini mendorong infak sunnah (sukarela), yang disebut *sadaqah*. Ketika kewajiban Zakat ditetapkan (biasanya dikaitkan dengan Surah At-Taubah dan detail sunnah), perintah infak dari *al-afwu* tetap relevan, tetapi beralih fungsi menjadi anjuran untuk bersedekah di luar batas minimal zakat.

Zakat adalah hak fakir miskin yang harus dikeluarkan dari harta yang telah mencapai nisab dan haul. Sementara infak *al-afwu* adalah dorongan moral untuk terus berbagi kelebihan, menjaga harta agar tidak menumpuk dan menjadi sumber kerusakan (seperti yang ditakutkan oleh larangan *maysir*).

Filosofi Distribusi Kekayaan dalam Islam

Infak dari *al-afwu* adalah mekanisme ekonomi Islam untuk menciptakan peredaran harta yang sehat. Jika khamr dan maysir menyebabkan harta beredar di tangan segelintir orang melalui cara yang merusak, infak memastikan bahwa kelebihan harta didistribusikan kembali kepada masyarakat luas. Ini adalah pencegahan terhadap ketimpangan sosial yang parah.

Ketika seseorang menyedekahkan yang berlebih, ia sedang melakukan pemurnian diri (tazkiyatun nafs) dari sifat kikir dan rakus. Ia mengakui bahwa semua harta adalah pinjaman dari Allah dan ia hanya mengelola sebagian kecil dari kekayaan tersebut. Dengan demikian, infak menjadi ibadah sosial yang mentransformasi hati.

Praktik Infak di Masa Rasulullah SAW

Ayat ini ditafsirkan oleh para sahabat dengan sangat literal. Beberapa sahabat yang kaya raya, setelah ayat ini turun, memutuskan untuk menyedekahkan hampir seluruh harta mereka, hanya menyisakan yang paling minimal. Meskipun ini menunjukkan antusiasme yang luar biasa, Rasulullah SAW kemudian mengajarkan prinsip moderasi. Kisah Sa'ad bin Abi Waqqas yang ingin mewasiatkan seluruh hartanya, lalu dilarang oleh Nabi dan hanya diizinkan sepertiga, menunjukkan bahwa konsep *al-afwu* harus dijalankan dengan bijak, memastikan generasi penerus dan keluarga juga terjamin kehidupannya.

Infak yang ideal adalah infak yang dilakukan secara terus menerus, tidak hanya pada saat berlimpah, tetapi sesuai kemampuan untuk memberikan yang terbaik. Etika infak menuntut kepekaan sosial, di mana seorang Muslim tidak akan tidur nyenyak jika ia tahu tetangganya kelaparan sementara ia memiliki kelebihan makanan atau harta.

Aliran Harta (Al-Afwu) Ilustrasi aliran sedekah dari kelebihan harta. Tangan di atas memberi kepada tangan di bawah, melambangkan sedekah dari surplus. Infak Al-Afwu

Infak dari kelebihan harta (Al-Afwu) menciptakan peredaran ekonomi yang adil.

Integrasi dan Hikmah Universal Al-Baqarah 219

Ayat 219 adalah contoh sempurna dari pendekatan syariat yang komprehensif. Syariat tidak hanya memerintahkan atau melarang, tetapi juga memberikan alasan yang rasional dan etis di baliknya. Struktur ayat ini—diawali dengan pertanyaan, dijawab dengan prinsip perbandingan kerugian dan keuntungan, dan ditutup dengan perintah etika—mencerminkan pendekatan pedagogis yang mendalam.

Prinsip Ushul Fiqh: Mengutamakan Penghindaran Mudarat

Penetapan hukum terhadap khamr dan maysir menjadi dasar bagi kaidah ushul fiqh yang sangat penting: *Dar’u al-Mafāsid Muqaddam ‘alā Jalbi al-Masālih* (Menghindari kerusakan didahulukan daripada meraih manfaat). Meskipun khamr mungkin mendatangkan manfaat ekonomi dalam perdagangan, atau maysir mendatangkan manfaat psikologis berupa kegembiraan sementara, kerusakan sosial dan moral yang ditimbulkannya jauh lebih besar. Syariat memilih untuk menutup pintu menuju keburukan, bahkan jika harus mengorbankan manfaat duniawi yang minor.

Keterkaitan Antar Dua Bagian Ayat

Larangan terhadap khamr dan maysir (penyebab kemiskinan dan ketidakadilan) disandingkan dengan perintah infak (solusi terhadap kemiskinan dan ketimpangan). Ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya melarang keburukan, tetapi juga menyediakan alternatif yang etis dan konstruktif.

Seseorang yang kecanduan khamr dan maysir akan membuang hartanya secara tidak produktif. Sebaliknya, seseorang yang taat pada perintah infak dari *al-afwu* akan memastikan hartanya menjadi berkah dan produktif secara sosial. Ayat ini mengarahkan umat dari pola pikir konsumtif, egois, dan destruktif menuju pola pikir distributif, bertanggung jawab, dan membangun.

Tujuan Akhir: Tafakkur (Berpikir)

Ayat ditutup dengan frasa: *“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.”* (لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ). Ini adalah instruksi langsung untuk menggunakan akal yang telah dilindungi dari khamr. Hukum-hukum Allah bukanlah dogma buta, melainkan subjek untuk refleksi mendalam (tafakkur). Muslim dituntut untuk memahami mengapa larangan itu ada dan bagaimana perintah itu bermanfaat bagi dirinya dan komunitasnya.

Tafakkur dalam konteks ini berarti merenungkan dampak jangka panjang dari setiap tindakan. Berpikir tentang bagaimana khamr dan maysir menghancurkan potensi manusia, dan bagaimana infak membangun kembali persaudaraan dan solidaritas. Ayat 219 adalah seruan untuk hidup sadar dan penuh pertimbangan, menimbang konsekuensi moral dan sosial dari setiap pilihan ekonomi dan gaya hidup.

Penjelasan Mendalam Mengenai Tafsir Kontemporer

Para mufassir modern sering menggunakan ayat ini sebagai landasan untuk etika bisnis dan kesehatan publik. Larangan khamr kini diperluas untuk mencakup perang melawan semua bentuk adiksi yang merusak fungsi akal dan sosial, seperti penyalahgunaan obat resep dan pornografi yang merusak kemampuan berpikir jernih. Larangan maysir digunakan untuk mengevaluasi pasar keuangan, memastikan bahwa sistem kapital tidak menciptakan bentuk-bentuk perjudian baru yang legal namun destruktif terhadap masyarakat luas. Intinya, 219 adalah panduan prinsip universal yang melampaui konteks turunnya ayat, menjadikannya relevan sepanjang masa.

Ayat ini mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan kualitas hidup (kesehatan, mental, dan finansial). Larangan dan perintahnya bukan untuk mempersulit, melainkan untuk membebaskan manusia dari rantai keterikatan material yang merusak diri dan orang lain, serta mendorong mereka menuju kemuliaan dan tanggung jawab sosial.

Penutup: Mewujudkan Komitmen Sosial

Surah Al-Baqarah 219 berdiri sebagai mercusuar etika sosial dan ekonomi dalam Al-Qur’an. Ia memposisikan akal sebagai anugerah yang harus dijaga dari khamr, harta sebagai amanah yang harus dilindungi dari maysir, dan kelebihan harta sebagai potensi kebaikan yang wajib didistribusikan melalui infak. Pemahaman yang mendalam terhadap ayat ini menuntun seorang Muslim menuju kehidupan yang seimbang, produktif, dan penuh makna sosial.

Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah bahwa perilaku individu memiliki konsekuensi sosial yang luas. Keputusan untuk menjauhi kebiasaan merusak dan keputusan untuk berbagi kelebihan harta adalah dua sisi mata uang yang sama-sama esensial dalam membangun masyarakat Islam yang adil dan makmur. Dengan menimbang mudarat dan manfaat secara jujur, dan dengan secara konsisten berbagi dari *al-afwu*, umat Islam mewujudkan visi Islam tentang keadilan universal.

🏠 Kembali ke Homepage