Tafsir Ayat 223 Surah Al-Baqarah: Landasan Hukum, Etika, dan Filosofi Kehidupan Berumah Tangga

Ladang Hati dan Petunjuk Ilahi

Ladang Kehidupan (Harth) dan Petunjuk Ilahi.

Pendahuluan: Kontinuitas Hukum dalam Al-Qur'an

Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, tidak hanya menyajikan pilar-pilar akidah dan kisah para nabi, tetapi juga menjadi sumber utama legislasi (hukum) Islam yang mengatur kehidupan sosial, ekonomi, hingga ranah privat. Ayat 223 dari surah ini merupakan bagian krusial yang membahas hukum-hukum terkait pernikahan, khususnya mengenai hak dan etika hubungan intim antara suami dan istri. Ayat ini datang sebagai penegasan dan koreksi terhadap tradisi pra-Islam yang keliru, sekaligus meletakkan fondasi etis yang menghubungkan tindakan paling intim dengan tujuan spiritual tertinggi: takwa dan Hari Akhir.

Ayat ini seringkali disalahpahami atau disederhanakan hanya pada aspek kebolehan hukum semata. Padahal, kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya jauh lebih mendalam, melibatkan analogi pertanian yang kaya makna filosofis dan penekanan moral yang tak terpisahkan. Ayat ini mengajarkan bahwa bahkan dalam urusan paling duniawi dan fisik sekalipun, niat harus selalu terikat pada dimensi ukhrawi. Untuk memahami kedalaman ini, kita perlu membedah setiap frasa, mengkaji latar belakang historisnya, dan menelusuri penafsiran para ulama dari masa ke masa.

Teks dan Terjemah Ayat Al-Baqarah 223

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

"Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (amal yang baik) untuk dirimu sendiri. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman." (QS. Al-Baqarah: 223)

Latar Belakang Historis (Asbabun Nuzul)

Ayat ini diturunkan untuk merespons kebiasaan dan keyakinan keliru yang berkembang di masyarakat Arab, khususnya di kalangan Yahudi dan sebagian kaum Anshar. Terdapat keyakinan bahwa berhubungan intim dengan istri dari arah belakang (tetapi tetap pada jalan kelahiran) akan menyebabkan anak yang lahir bermata juling atau memiliki kelainan. Keyakinan ini dibantah secara tegas oleh ayat ini, yang memberikan kebebasan kepada suami dan istri untuk memilih cara (posisi) apapun yang disukai, selama masih dalam batas-batas yang disyariatkan, yaitu pada tempat tumbuhnya benih (farji).

Menurut riwayat dari Jabir bin Abdullah, kaum Yahudi berkata, “Jika seseorang mendatangi istrinya dari belakang (di jalan yang sama), maka anak yang lahir akan juling.” Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat ini menegaskan bahwa Islam menghapus batasan-batasan artifisial yang tidak berlandaskan wahyu, selama tujuannya adalah memelihara keturunan dan memenuhi hak pasangan. Ini adalah deklarasi kebebasan etis dalam hubungan suami istri, yang diikat hanya oleh tujuan utama pernikahan.

Analisis Linguistik Mendalam: Memahami Metafora 'Ladang' (Harth)

1. Nisaukum (نِسَاؤُكُمْ): Istri-istrimu

Kata ini merujuk pada pasangan sah dalam ikatan pernikahan. Penggunaan kata jamak ini menekankan status dan hak wanita sebagai mitra yang dihormati, bukan objek. Pilihan kata ini menuntut adanya perlakuan yang adil dan beradab dalam pelaksanaan hak-hak suami istri.

2. Harthun (حَرْثٌ): Ladang/Tempat Bercocok Tanam

Inilah inti metafora ayat. *Harth* secara harfiah berarti tanah yang siap untuk ditanam, tempat membajak, atau tempat menabur benih. Penggunaan metafora ini sangat kaya makna:

Metafora 'ladang' ini jauh dari merendahkan; sebaliknya, ia mengangkat fungsi biologis menjadi sebuah tindakan yang berorientasi pada hasil jangka panjang dan nilai keberlanjutan. Ini adalah pandangan yang sangat positif dan konstruktif terhadap peran wanita dalam melahirkan dan membesarkan generasi.

3. Anna Syi'tum (أَنَّىٰ شِئْتُمْ): Kapan Saja dan Dengan Cara Apa Pun

Kata Anna memiliki dua interpretasi utama dalam bahasa Arab Klasik, dan keduanya digunakan dalam tafsir ayat ini:

  1. Kaiyfa (كيف): Bagaimana atau dengan cara apa. Ini merujuk pada posisi atau postur hubungan intim (depan, belakang, miring).
  2. Mataa (متى): Kapan atau pada waktu apa. Ini merujuk pada kebolehan waktu, kecuali pada saat-saat terlarang seperti haid atau nifas (yang diatur ayat sebelumnya, Al-Baqarah 222).

Konsensus ulama menggunakan kedua makna ini, selama tindakan tersebut tetap dilakukan pada harth (tempat tanam) yang sah. Frasa ini menegaskan kebebasan memilih cara, menolak dogma-dogma yang membatasi kenikmatan yang halal, dan mendorong keharmonisan serta pemenuhan kebutuhan psikologis pasangan.

Pembahasan mengenai Anna Syi'tum menjadi poros utama dalam menghilangkan segala bentuk paksaan atau batasan yang tidak syar'i dalam ranah privat. Kebebasan ini merupakan manifestasi rahmat Allah untuk menjaga keintiman dan menghilangkan kebosanan, sekaligus sebagai pengakuan bahwa pemenuhan kebutuhan seksual adalah hak bersama yang harus dicapai melalui kesepakatan dan kerelaan. Ini adalah dasar dari etika relasi yang didasarkan pada muwaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang), bukan sekadar pemenuhan insting hewani belaka. Perintah ini mengarah pada penciptaan suasana psikologis yang aman dan nyaman, di mana kedua belah pihak merasa dihargai dan diakui kebutuhannya.

Implikasi Fiqh (Hukum) dan Batasan Syariat

Meskipun ayat ini memberikan kebebasan yang luas ('Anna Syi'tum'), kebebasan tersebut tetap terikat pada kaidah-kaidah syar'i. Ayat ini sering dibahas dalam Bab Nikah, khususnya sub-bab Adab Al-Jima' (Etika Berhubungan Intim).

1. Penetapan Tempat yang Diperbolehkan (Al-Mahal)

Para Fuqaha (ahli hukum Islam) sepakat bahwa batas permissibilitas adalah penggunaan metafora Harth (ladang/tempat tumbuh benih), yaitu farji (vagina). Segala tindakan di luar ini dianggap dilarang (haram) berdasarkan ijma' (konsensus) ulama, didukung oleh hadis-hadis penjelas, terutama larangan keras terhadap hubungan anal (dubur).

"Siapa saja yang mendatangi istrinya melalui duburnya, maka ia telah melakukan tindakan yang dikutuk." (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud).

Larangan ini bukan hanya masalah fikih, tetapi juga isu etika dan kesehatan. Dubur bukanlah tempat untuk menanam benih, dan penggunaannya dianggap menyimpang dari tujuan pernikahan (melahirkan keturunan) dan bertentangan dengan fitrah. Keharaman ini bersifat mutlak di kalangan empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali).

2. Kebolehan Posisi (Anna Syi'tum sebagai Kaiyfa)

Tafsir Anna Syi'tum sebagai 'cara apa pun' memberikan legitimasi terhadap semua posisi yang dilakukan di farji, baik dari depan, belakang, miring, atau posisi lain, asalkan dilakukan atas dasar kerelaan dan kenyamanan kedua pihak. Hal ini mencerminkan fleksibilitas syariat yang mengakui variasi kebutuhan manusia.

3. Larangan di Masa Haid dan Nifas

Ayat 223 tidak berdiri sendiri; ia harus dibaca bersama Ayat 222 (yang mendahuluinya) yang melarang hubungan intim saat haid. Kebolehan 'kapan saja' (Anna Syi'tum sebagai Mataa) dikecualikan pada masa haid, nifas, atau ketika sedang berihram (haji/umrah). Ayat 222 berbunyi: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, 'Itu adalah kotoran.' Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhi wanita di waktu haid." Ini menunjukkan bahwa kebebasan di Ayat 223 adalah kebebasan dalam kerangka kesucian dan batasan fisik.

4. Diskusi Fiqh Kontemporer Mengenai 'Pendahuluan'

Meskipun fokus utama ayat adalah penetapan kebolehan tempat dan cara, ulama juga membahas pentingnya ‘pendahuluan’ (foreplay). Ayat ini, melalui penekanan etis pada taqwa, menyiratkan bahwa hubungan intim harus diawali dengan kelembutan dan perlakuan yang baik. Imam Ghazali dalam karyanya, Ihya' Ulumiddin, menekankan bahwa suami memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa istri mencapai kepuasan yang sama, jika tidak lebih, daripada dirinya. Ini adalah etika hubungan yang melampaui sekadar pemenuhan hak biologis, melainkan pencapaian kesalingan emosional.

Dalam konteks fikih, hak istri untuk mendapatkan kepuasan seksual (istimta’) adalah hak yang diakui. Apabila suami hanya mementingkan kepuasan pribadinya tanpa memperhatikan hak istri, maka ia dianggap lalai terhadap etika (adab) yang dituntut oleh syariat. Fiqh modern menekankan bahwa frasa "ladang bagimu" menyiratkan tanggung jawab suami untuk 'mengolah' ladang tersebut dengan baik, yang mencakup aspek emosional dan fisik sebelum dan selama hubungan intim.

Perbedaan antara mazhab dalam interpretasi minoritas mengenai posisi bukanlah perbedaan substansial, melainkan perbedaan dalam penekanan etis. Misalnya, meskipun mayoritas ulama menyatakan kebolehan berhubungan dari arah belakang (asal tetap di farji), sebagian ulama klasik, seperti dari kalangan Maliki, cenderung menilainya sebagai makruh tanzih (dibenci namun tidak haram) jika tanpa kebutuhan yang mendesak, demi menjaga martabat dan menghindari keserupaan dengan tindakan terlarang. Namun, pandangan yang dominan dan paling kuat didasarkan pada hadis yang secara eksplisit menyatakan bahwa posisi tersebut diperbolehkan, asalkan berada pada jalur yang benar, merujuk pada keumuman makna Anna Syi'tum.

5. Hak dan Kewajiban Timbal Balik

Ayat 223, dengan analogi ladang, menempatkan suami sebagai pengelola dan istri sebagai ladang. Namun, ini tidak berarti suami memiliki hak mutlak tanpa kewajiban. Sebagai pengelola, suami wajib menjaga kesuburan ladang (kesehatan fisik dan psikis istri) dan istri wajib menyediakan akses kepada ladang (memenuhi kebutuhan suami), kecuali ada uzur syar'i. Pelanggaran terhadap kewajiban timbal balik ini dapat berujung pada gugatan dalam sistem peradilan Islam, menyoroti keseimbangan hak yang tersembunyi dalam frasa yang tampak otoritatif.

Diskusi mengenai hak nafkah batin dalam Fiqh adalah salah satu pilar utama yang diturunkan dari ayat ini. Nafkah batin bukan hanya tentang pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi juga tentang pemeliharaan ikatan emosional dan spiritual. Kewajiban suami untuk mendatangi istrinya harus diimbangi dengan kewajiban untuk berlaku mu'asyarah bil ma'ruf (bergaul dengan baik), sebagaimana diperintahkan dalam ayat lain dalam Al-Qur'an. Ini berarti bahwa hubungan intim harus menjadi ekspresi cinta dan kasih sayang, bukan sekadar pemenuhan tuntutan. Jika hubungan intim dilakukan tanpa memperhatikan perasaan pasangan, maka meskipun secara hukum sah, ia melanggar adab dan etika yang dituntut oleh semangat ayat 223.

Dalam konteks hukum perceraian (talak), kegagalan salah satu pihak untuk memenuhi hak nafkah batin dapat menjadi alasan yang sah untuk mengajukan fasakh (pembatalan pernikahan) di hadapan qadhi (hakim). Ini menunjukkan betapa seriusnya syariat memandang pemenuhan hak ini sebagai salah satu tujuan utama dari ikatan pernikahan, yaitu memelihara ketenangan jiwa dan menghindarkan pasangan dari fitnah. Ketidakmampuan atau keengganan yang disengaja untuk memenuhi kebutuhan pasangan dianggap sebagai salah satu bentuk kedzaliman dalam rumah tangga.

Para ulama juga membahas interval waktu yang wajar bagi suami untuk menjima'i istrinya, terutama jika suami sering bepergian. Umar bin Khattab RA, berdasarkan riwayat, menetapkan batas waktu maksimal empat bulan bagi seorang tentara untuk meninggalkan istrinya tanpa izin, karena ini adalah waktu yang dianggap wajar bagi seorang wanita untuk menahan diri dari kebutuhan fisik dan emosional. Meskipun ini bukan hukum yang ditetapkan secara eksplisit dalam nash, ini menjadi rujukan penting dalam Fiqh, menyoroti bahwa ayat 223 bukan hanya memberikan izin bagi suami untuk mendatangi ladangnya, tetapi juga menetapkan kewajiban etis dan praktis untuk menjaga 'ladang' tersebut tetap subur dan terawat, baik secara fisik maupun emosional.

Kajian mendalam terhadap tafsir kontemporer juga menyoroti aspek kesetaraan. Meskipun metafora ladang seringkali dilihat dari perspektif maskulin (suami yang mendatangi), penafsiran modern menegaskan bahwa 'Anna Syi'tum' harus dipahami sebagai kebebasan bersama, di mana keinginan dan kenyamanan istri juga memegang peran sentral. Jika istri memiliki alasan yang sah atau kondisi fisik yang tidak memungkinkan, ia memiliki hak untuk menolak tanpa dicap sebagai durhaka (nusyuz), asalkan penolakan itu tidak bersifat sewenang-wenang. Fiqh menekankan pentingnya komunikasi dan kesalingpengertian (tafahum) sebagai kunci utama pelaksanaan hak dan kewajiban ini, sehingga rumah tangga menjadi representasi ideal dari konsep baiti jannati (rumahku surgaku).

Dimensi Spiritual: Prinsip Taqwa dan Persiapan Akhirat

Bagian kedua dari ayat 223 adalah bagian yang paling sarat dengan makna spiritual dan etika: "Dan utamakanlah (amal yang baik) untuk dirimu sendiri. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman."

1. Wa Qaddimu Li Anfusikum (وَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ): Mendahulukan Amal Baik

Frasa ini secara harfiah berarti "dahulukanlah sesuatu untuk dirimu sendiri." Ulama tafsir menafsirkan frasa ini dalam beberapa dimensi:

  1. Dimensi Keturunan: Maksud utamakan adalah niatkan hubungan intim untuk menghasilkan keturunan yang saleh yang akan menjadi amal jariyah bagi orang tua setelah meninggal. Ini mengubah tindakan fisik menjadi investasi spiritual.
  2. Dimensi Niat dan Adab: Utamakanlah adab-adab mulia, seperti membaca doa sebelum berhubungan (seperti doa untuk dijauhkan dari setan), dan perlakuan baik terhadap pasangan. Tindakan yang diawali dengan niat baik dan doa menjadi amal saleh yang 'didahulukan' ke akhirat.
  3. Dimensi Keintiman Sejati: Utamakanlah kebaikan dan kelembutan. Jangan perlakukan pasangan dengan kasar atau semena-mena. Ini adalah 'amal baik' yang menghasilkan pahala dalam interaksi rumah tangga.

Pentingnya frasa ini adalah mengaitkan tindakan yang bersifat duniawi (pemenuhan syahwat) dengan tujuan ukhrawi. Allah tidak hanya memberikan izin, tetapi juga petunjuk bagaimana mengubah izin itu menjadi pahala. Ini adalah ciri khas ajaran Islam, di mana tidak ada pemisahan kaku antara spiritualitas dan kehidupan fisik. Keintiman yang dilakukan dengan niat mencari keturunan saleh atau sekadar menjaga kehormatan diri dan pasangan adalah ibadah.

2. Wattahqullaha (وَاتَّقُوا اللَّهَ): Perintah Bertakwa

Perintah bertakwa diletakkan persis setelah membahas kebebasan hubungan intim. Mengapa? Karena kebebasan tanpa batas dapat menjerumuskan pada kesewenang-wenangan atau pelanggaran etika. Takwa berfungsi sebagai rem (pembatas) dan motivator:

Dengan kata lain, takwa adalah kesadaran internal bahwa setiap tindakan privat diawasi oleh Allah SWT. Hubungan suami istri, yang paling tersembunyi dari pandangan publik, harus menjadi tempat di mana takwa dipraktikkan dengan intensitas tertinggi.

Konsep takwa di sini adalah manifestasi dari ihsan—beribadah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, Dia pasti melihatmu. Dalam konteks hubungan intim, ihsan berarti melakukan tindakan tersebut dengan kesadaran penuh bahwa Allah adalah saksi, sehingga etika dan kelembutan dijaga dengan sebaik-baiknya. Ini adalah derajat spiritual tertinggi yang harus dicapai dalam pernikahan.

3. Wa'lamu Anakum Mulaaquhu (وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلَاقُوهُ): Kesadaran Akan Hari Pertemuan

Ayat ini menutup dengan pengingat akan Hari Pertemuan (Hari Kiamat). Pengingat ini merupakan klimaks dari nasihat etis tersebut. Kesadaran bahwa kita akan bertemu Allah dan dimintai pertanggungjawaban atas setiap perbuatan—bahkan dalam kamar tidur—adalah jaminan bahwa takwa akan dijalankan secara konsisten.

Keterkaitan antara kebebasan dalam hubungan intim dan Hari Akhir sangatlah mendalam: pernikahan adalah institusi yang penuh amanah. Amanah terbesar adalah memperlakukan pasangan dengan adil dan menghasilkan keturunan saleh. Jika amanah ini dijalankan dengan baik, ia akan menjadi modal di Hari Pertemuan. Jika dilanggar (misalnya dengan kekerasan, paksaan, atau pelanggaran batas), ia menjadi hutang yang harus dipertanggungjawabkan.

Pertemuan dengan Allah (Mulaaquhu) adalah titik balik dari seluruh filosofi hidup Muslim. Di sini, Allah mengingatkan bahwa hak dan kewajiban yang diatur dalam Al-Qur'an bukanlah sekadar undang-undang sosial, tetapi merupakan bagian dari perjanjian abadi antara hamba dan Penciptanya. Ketika pasangan melaksanakan hak dan kewajiban mereka—termasuk dalam keintiman—dengan niat mencari keridhaan Allah dan dalam batas takwa, mereka secara efektif sedang berinvestasi untuk kekekalan. Tindakan yang diawali dengan basmalah dan diakhiri dengan syukur adalah bekal yang disiapkan (Qaddimu) untuk diri sendiri di hadapan Allah SWT.

Pengingat ini juga berfungsi sebagai penenang jiwa bagi mereka yang menjalankan amanah pernikahan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Mereka yang mungkin menghadapi kesulitan atau tantangan dalam rumah tangga diingatkan bahwa pahala mereka telah disimpan (didahulukan) dan akan dilipatgandakan di sisi Allah. Ini memberikan motivasi yang melampaui kepuasan duniawi semata.

Filosofi Ladang (Harth): Pernikahan Sebagai Institusi Pendidikan Generasi

Pilihan kata Harth (ladang) oleh Al-Qur'an bukanlah kebetulan. Ini adalah pilihan kata yang mengandung filosofi mendalam tentang fungsi pernikahan dalam masyarakat Islam. Ladang bukan hanya tempat menghasilkan buah, tetapi juga simbol proses dan investasi jangka panjang.

1. Proses dan Waktu Tanam

Pertanian adalah proses yang membutuhkan kesabaran. Benih ditanam, dirawat, dan dijaga dari hama. Demikian pula, pernikahan adalah proses mendidik jiwa dan karakter. Hubungan intim, yang bertujuan menghasilkan keturunan, hanyalah permulaan. Proses mendidik anak-anak (panen dari ladang) memerlukan kerja keras bertahun-tahun.

Metafora ini menegaskan bahwa setiap tindakan yang dilakukan pasangan suami istri di ranah privat akan memiliki dampak pada kualitas 'panen' mereka (keturunan). Jika hubungan mereka dilandasi ketakwaan, maka lingkungan psikologis dan spiritual bagi anak akan menjadi subur. Sebaliknya, kekerasan atau ketidakadilan akan menghasilkan 'tanah yang tandus' atau 'panen yang buruk'.

2. Kontrol Kualitas dan Niat

Petani yang baik selalu memilih benih terbaik. Dalam konteks pernikahan, 'benih' di sini mencakup niat yang murni dan etika yang diterapkan dalam setiap interaksi. Kualitas amal baik (Qaddimu Li Anfusikum) yang didahulukan oleh pasangan adalah penentu kualitas benih yang ditanam. Oleh karena itu, hubungan intim yang dilakukan dengan kesadaran penuh dan niat baik (misalnya, meniatkan agar anak yang lahir menjadi mujahid atau ulama) adalah tindakan yang jauh lebih mulia daripada sekadar pemuasan hawa nafsu.

3. Peran Sentral Wanita sebagai Ladang

Dalam metafora ini, wanita (istri) diibaratkan sebagai tanah. Tanah memiliki nilai yang sangat tinggi; ia adalah penerima benih, pengembang, dan pelindung kehidupan. Analogi ini memberikan penghormatan terhadap peran biologis wanita sebagai ibu dan pengasuh utama. Tanah tidak boleh dicemari, diabaikan, atau disalahgunakan. Petani yang bijak tidak akan merusak ladangnya. Ini adalah argumen etis yang kuat terhadap kekerasan dalam rumah tangga atau eksploitasi seksual.

Jika kita memperluas pemahaman tentang peran wanita sebagai ladang, kita menemukan bahwa Islam menolak konsep bahwa wanita hanyalah objek pemuas nafsu. Sebaliknya, ia adalah pusat reproduksi biologis dan spiritual. Penghargaan terhadap 'ladang' menuntut pemenuhan hak-hak istri yang meliputi nafkah, kasih sayang, dan penghormatan. Para mufassir menekankan bahwa seorang suami harus memastikan bahwa ladangnya 'siap' untuk ditanami, yang berarti memperhatikan kondisi emosional dan fisik istri. Memperlakukan istri dengan kelembutan adalah bagian integral dari menjaga kesuburan 'ladang' tersebut.

Penggunaan kata Harth juga menyiratkan bahwa hubungan suami istri harus memiliki orientasi masa depan. Ladang ditanami hari ini untuk dipanen besok. Demikian pula, pernikahan dan keintiman harus berorientasi pada hasil akhir yang abadi, yaitu generasi yang beriman dan pahala di akhirat. Ini membedakan hubungan yang dihalalkan dalam Islam dari sekadar hubungan fisik tanpa tujuan yang lebih tinggi, menekankan aspek maqasid asy-syari’ah (tujuan syariat) dalam pernikahan.

Pandangan Para Mufassir Klasik dan Kontemporer

Ayat 223 telah menjadi subjek pembahasan intensif oleh para ulama tafsir selama berabad-abad. Meskipun mereka sepakat pada intinya, penekanan mereka bervariasi tergantung pada konteks sosial dan fokus keilmuan mereka.

1. Tafsir Ibnu Katsir (Fokus pada Riwayat Hadits)

Imam Ibnu Katsir fokus pada Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat). Beliau mengumpulkan riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa ayat ini diturunkan untuk menghilangkan kesalahpahaman tentang posisi hubungan intim, khususnya riwayat dari Ibnu Umar, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang memperkuat interpretasi 'Anna Syi'tum' sebagai kebebasan posisi. Ibnu Katsir menggunakan hadis untuk membatasi kebebasan ini: kebebasan posisi ya, tetapi kebebasan tempat tidak (tetap di farji). Bagi Ibnu Katsir, hadis adalah penjelas utama keumuman ayat Al-Qur'an.

Beliau juga menyoroti pentingnya 'Qaddimu Li Anfusikum' dengan merujuk pada doa sebelum jima', sebagaimana disebutkan dalam hadis, yang tujuannya adalah memohon perlindungan dari setan bagi pasangan dan keturunan mereka. Dengan demikian, Ibnu Katsir melihat tindakan intim ini sebagai ibadah yang harus diawali dengan permohonan kepada Allah.

2. Tafsir Al-Qurtubi (Fokus pada Fiqh dan Ijma')

Imam Al-Qurtubi, seorang ulama Maliki, banyak membahas implikasi hukum dari ayat ini. Beliau mendiskusikan secara ekstensif larangan berhubungan melalui dubur, mengutip konsensus ulama dan hadis-hadis yang mengutuk tindakan tersebut. Al-Qurtubi menekankan bahwa metafora 'ladang' secara tegas membatasi area yang diperbolehkan. Ladang hanya menghasilkan benih di satu tempat, dan tempat lain tidak akan subur (dalam artian syar'i).

Al-Qurtubi juga membahas peran istri dalam ketaatan, namun segera menyeimbangkannya dengan hak istri untuk diperlakukan dengan baik. Dalam pandangan Al-Qurtubi, kebebasan yang diberikan oleh ayat ini adalah kebebasan yang bertanggung jawab, di mana hak suami untuk mendapatkan keintiman tidak boleh melanggar hak istri atas penghormatan dan kenyamanan.

3. Tafsir Al-Maraghi (Fokus pada Sosial dan Etika)

Syekh Ahmad Mustafa Al-Maraghi, dalam tafsir modernnya, menempatkan ayat ini dalam konteks pembebasan wanita dari dogma dan tradisi yang opresif. Beliau menekankan bahwa ayat ini memberikan hak yang sama bagi wanita dan pria untuk menikmati hubungan yang sah, menghilangkan rasa malu yang tidak perlu terkait dengan pemenuhan kebutuhan alami. Al-Maraghi menafsirkan 'Qaddimu Li Anfusikum' sebagai perintah untuk menjaga kebersihan batin dan niat, memastikan bahwa motif di balik hubungan adalah membangun keluarga Muslim yang kuat, bukan sekadar memuaskan hawa nafsu secara egois.

4. Tafsir Al-Mizan (Fokus pada Filosofi)

Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i (ulama Syi'ah kontemporer), dalam tafsirnya, melihat Harth sebagai simbol kesatuan kosmik. Beliau menekankan bahwa hubungan intim, ketika dijalankan sesuai syariat dan niat yang benar, adalah jalan menuju kesempurnaan spiritual. Pengingat tentang takwa dan Hari Akhir adalah penanda bahwa prokreasi (penciptaan) adalah partisipasi manusia dalam rencana Ilahi, dan karenanya harus dilakukan dengan niat yang paling suci.

Perbedaan antara mufassir dalam mendefinisikan batas-batas 'Anna Syi'tum' seringkali berkisar pada penekanan pada aspek linguistik. Mereka yang berfokus pada akar kata 'Anna' sebagai 'bagaimana' (Kaiyfa) cenderung lebih menekankan kebolehan posisi, sementara yang memasukkan unsur 'kapan' (Mataa) menekankan pengecualian waktu (haid). Namun, kesepakatan kolektif mereka adalah bahwa kebebasan ini adalah rahmat Allah yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga dan memenuhi tuntutan fitrah manusia.

Diskusi yang paling kaya dalam tradisi tafsir adalah mengenai pemaknaan 'Qaddimu Li Anfusikum'. Imam Fakhruddin Ar-Razi, dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib, mengajukan argumen rasional bahwa mencari keturunan yang baik adalah amal yang paling utama, karena anak yang saleh akan mendoakan orang tuanya. Ini adalah investasi yang terus menerus (amal jariyah) yang melebihi segala amal kebajikan materi lainnya. Ar-Razi menyimpulkan bahwa Islam mengangkat derajat tindakan fisik yang paling mendasar menjadi tindakan ibadah yang memiliki konsekuensi abadi.

Lebih lanjut, konteks ayat ini dalam Al-Baqarah sangat penting. Ayat ini muncul setelah pembahasan tentang talak, iddah, dan hukum pernikahan lainnya, menunjukkan bahwa Allah menyediakan solusi yang jelas untuk semua aspek kehidupan berumah tangga. Ini menegaskan bahwa dalam Islam, tidak ada ruang abu-abu, dan semua kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan seksual, diakomodasi dan disucikan melalui bingkai hukum dan etika.

Kesimpulan: Keseimbangan Antara Fisik dan Spiritual

Ayat 223 dari Surah Al-Baqarah adalah salah satu ayat paling komprehensif yang mengatur hubungan intim dalam Islam. Ia memberikan izin yang luas ('Anna Syi'tum') sambil menetapkan batasan yang jelas (metafora Harth dan larangan saat haid), sehingga memastikan keadilan, kesehatan, dan kesucian dalam hubungan suami istri.

Pelajaran terpenting dari ayat ini adalah penyatuan antara tindakan fisik yang paling intim dan tujuan spiritual tertinggi. Melalui frasa "Dan utamakanlah untuk dirimu sendiri," dan "bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu akan menemui-Nya," Al-Qur'an secara efektif menaikkan status hubungan suami istri dari sekadar pemuasan biologis menjadi ibadah yang mendatangkan pahala dan berfungsi sebagai persiapan vital menuju Hari Akhir.

Keluarga yang dibangun atas dasar pemahaman mendalam terhadap ayat ini akan menjadi keluarga yang tidak hanya harmonis secara fisik, tetapi juga kokoh secara spiritual. Mereka memahami bahwa setiap pelukan, setiap sentuhan, dan setiap niat baik adalah benih yang mereka tanam hari ini, yang buahnya akan mereka petik di Jannah (Surga) kelak. Inilah rahasia di balik firman Allah: kemudahan dalam pelaksanaan hukum, diimbangi dengan kewajiban takwa yang menjamin kemuliaan abadi bagi orang-orang yang beriman.

Ayat ini berfungsi sebagai peta jalan menuju pernikahan yang sukses dalam pandangan Islam, di mana kebahagiaan duniawi (sakinah) dan keberuntungan ukhrawi (pahala) tidak dipandang sebagai dua entitas yang terpisah, melainkan sebagai hasil yang terintegrasi dari kehidupan yang dijalani dalam kesadaran Ilahi. Dengan memahami dan mengamalkan hikmah di balik analogi 'ladang', setiap Muslim dan Muslimah dapat memastikan bahwa rumah tangga mereka menjadi pabrik kebaikan, penghasil generasi yang saleh, dan bekal terbaik yang mereka 'dahulukan' untuk diri mereka sendiri di hadapan Sang Pencipta pada Hari Perhitungan.

Kebebasan yang disyariatkan dalam ayat ini bukan kebebasan anarkis, melainkan kebebasan yang terstruktur. Struktur ini memberikan perlindungan kepada wanita dari pelecehan atau perlakuan tidak manusiawi, dan sekaligus memberikan ruang bagi pasangan untuk berekspresi secara sehat dan alami. Pada akhirnya, Al-Baqarah 223 adalah representasi sempurna dari ajaran Islam: holistik, adil, etis, dan selalu berorientasi pada kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Kepada orang-orang yang beriman dan mengamalkan prinsip-prinsip ini, Allah menjanjikan kabar gembira, yaitu kabar gembira kesuksesan abadi.

🏠 Kembali ke Homepage