AL-BAQARAH AYAT 187

Tafsir Mendalam tentang Batasan, Keintiman, dan Hikmah Puasa Ramadhan

I. Pendahuluan: Sebuah Revolusi Syariat di Bulan Ramadhan

Ibadah puasa Ramadhan merupakan salah satu pilar fundamental dalam struktur keimanan seorang Muslim. Ayat-ayat mengenai puasa, yang tercantum dalam Surah Al-Baqarah, tidak hanya menetapkan kewajiban, tetapi juga secara progresif membangun pemahaman umat Islam mengenai esensi pengorbanan dan pengekangan diri.

Di antara ayat-ayat penetapan puasa, Surah Al-Baqarah ayat 187 memegang posisi yang sangat sentral dan krusial. Ayat ini datang sebagai jawaban atas kebingungan dan kesulitan yang dialami oleh para sahabat Nabi ﷺ di awal penetapan puasa. Sebelum turunnya ayat ini, ada pemahaman yang ketat dan salah kaprah bahwa setelah berbuka (maghrib) hingga sahur, segala bentuk hubungan intim dan bahkan makan setelah tidur malam pertama kali, dilarang secara mutlak. Syariat yang ketat ini ternyata menimbulkan kesulitan yang luar biasa, mengingat fitrah manusia dan kebutuhan alamiahnya.

Ayat 187, dengan bahasa yang indah dan penuh rahmat, memberikan klarifikasi ilahi yang meringankan (takhyif) beban syariat dan menyeimbangkan antara tuntutan spiritual dengan kebutuhan fisik manusiawi. Ia menetapkan batas-batas yang jelas: kapan pengekangan dimulai, kapan ia berakhir, dan bagaimana pernikahan menjadi fondasi kekuatan dalam menjalankan ibadah.

Kajian mendalam terhadap Al-Baqarah 187 tidak hanya terbatas pada hukum (fiqh) mengenai waktu sahur dan berbuka. Lebih dari itu, ia membuka tirai makna filosofis mengenai hubungan suami istri sebagai "pakaian" (libas), pengakuan Allah terhadap kelemahan manusia (pengkhianatan terhadap diri sendiri), dan penegasan bahwa tujuan akhir dari seluruh aturan ini adalah pencapaian ketakwaan (*la'allakum tattaqun*).

Seluruh kerangka artikel ini akan menelusuri setiap frasa dari ayat yang mulia ini, membongkar konteks historisnya (*Asbabun Nuzul*), menganalisis kedalaman linguistiknya, dan menarik implikasi fiqh serta spiritual yang menjangkau kehidupan modern.

II. Teks Mulia dan Terjemahan Al-Baqarah 187

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٔانَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Terjemahan Kementerian Agama RI:

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, lalu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan serta minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. Tetapi janganlah kamu campuri mereka, sedang kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Ilustrasi Pakaian Suami Istri dan Keseimbangan Fitrah هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ (Pakaian) Kehalalan di Malam Puasa

Visualisasi Konsep *Libasul Lakum* sebagai Simbol Perlindungan dan Keseimbangan Fitrah Manusia.

III. Analisis Linguistik dan Sintaksis

Untuk memahami kedalaman ayat 187, kita harus membedah beberapa frasa kunci dari sudut pandang bahasa Arab klasik, yang seringkali membawa makna berlapis:

A. "Uhilla Lakum Al-Rafath" (Dihalalkan bagi kamu Rafath)

Kata kunci di sini adalah الرفث (Al-Rafath). Secara harfiah, *rafath* merujuk pada pembicaraan yang eksplisit atau senonoh mengenai hubungan seksual. Namun, dalam konteks Al-Qur'an dan puasa, ia adalah kinayah (metafora) yang merujuk langsung pada hubungan intim (jima’). Penggunaan kata *rafath* di sini adalah bentuk rahmat ilahi, menghindari penggunaan kata yang terlalu vulgar, sekaligus mengingatkan bahwa hal ini adalah sesuatu yang privat dan suci di antara suami istri, yang kini dihalalkan setelah sebelumnya dianggap terlarang di malam Ramadhan.

Kata أُحِلَّ (Uhilla) adalah kata kerja pasif (majruul), yang menunjukkan bahwa penghalalan ini datang dari sumber otoritas tertinggi, yaitu Allah SWT. Ini bukan sekadar izin, melainkan penetapan hukum yang menghilangkan beban hukum sebelumnya.

B. "Hunna Libasul Lakum wa Antum Libasul Lahunna" (Mereka Pakaian bagimu, dan Kamu Pakaian bagi Mereka)

Inilah inti filosofis dari ayat ini, sebuah metafora yang sangat kaya makna. لِبَاسٌ (Libas) berarti pakaian. Interpretasi para mufassir terhadap frasa ini sangat luas, yang dapat dirangkum dalam empat dimensi utama, yang masing-masing memerlukan penjelasan mendalam:

1. Pakaian sebagai Perlindungan (Sitr/Covering)

Sebagaimana pakaian melindungi tubuh dari panas dan dingin, pasangan hidup melindungi pasangannya dari perbuatan dosa, khususnya zina. Pasangan menyediakan wadah yang sah untuk pemenuhan hasrat fitrah, sehingga menjaga kesucian diri dan masyarakat. Pakaian juga menutupi aib. Suami istri diwajibkan untuk menutupi kekurangan, kesalahan, dan rahasia pasangannya.

2. Pakaian sebagai Kedekatan (Qurb)

Pakaian adalah hal yang paling dekat dengan kulit kita. Ini melambangkan kedekatan fisik, emosional, dan spiritual yang tak terpisahkan dalam pernikahan. Hubungan ini haruslah sangat intim, nyaman, dan saling melengkapi. Metafora ini menekankan bahwa dalam pernikahan, tidak ada sekat, melainkan penyatuan yang sangat dekat, seolah-olah kedua jiwa menjadi satu dalam selembar kain.

3. Pakaian sebagai Keindahan dan Penghiasan (Zinah)

Pakaian memberikan keindahan dan kehormatan. Pasangan hidup memberikan kehormatan dan martabat satu sama lain di mata masyarakat. Kehadiran pasangan adalah pelengkap yang menyempurnakan identitas seseorang, membuat hidup menjadi lebih teratur dan indah.

4. Pakaian sebagai Keseimbangan (Tawazun)

Pakaian adalah kebutuhan pokok. Begitu juga pernikahan. Allah menggunakan perumpamaan ini untuk menegaskan bahwa kebutuhan seksual dan emosional adalah fitrah yang tidak boleh diabaikan, bahkan ketika sedang menjalani pelatihan spiritual intensif seperti Ramadhan. Keseimbangan antara ruh dan jasad adalah kunci syariat Islam. Pakaian mengingatkan bahwa puasa adalah menahan diri di siang hari, bukan mematikan fitrah di malam hari.

Mufassir klasik, seperti Ibnu Abbas dan Qatadah, menekankan aspek perlindungan dari dosa. Namun, para mufassir kontemporer, seperti Sayyid Qutb, lebih menyoroti aspek kedekatan dan penyatuan jiwa, menjadikan pernikahan sebagai inti dari ketenangan (*sakinah*).

C. "Takkhtanuna Anfusakum" (Kalian Mengkhianati Diri Sendiri)

Frasa تَخْتَانُونَ (Takkhtanuna) berarti "melakukan khianat" atau "berbohong". Konteksnya merujuk pada saat para sahabat, karena beratnya larangan awal, terkadang melakukan hubungan intim setelah Maghrib atau makan setelah tidur, lalu merasa berdosa atau menyembunyikannya. Allah mengakui kelemahan fitrah manusia ini.

Penggunaan kata "mengkhianati diri sendiri" sangat mendalam. Ketika seseorang melanggar aturan agama karena dorongan fitrah yang kuat, dia bukan hanya melanggar perintah, tetapi juga mengkhianati janji spiritual yang dibuatnya dengan Tuhannya, sehingga menyebabkan kecemasan dan rasa bersalah yang mengganggu jiwa. Ayat ini hadir sebagai pengampunan (taubat) dan penghapusan rasa bersalah (*wa 'afa 'ankum*).

D. "Al-Khaytul Abyadh min Al-Khaytul Aswad" (Benang Putih dari Benang Hitam)

Ini adalah metafora yang paling ikonik dalam ayat ini, merujuk pada pemisahan antara malam (hitam) dan fajar (putih). Secara harfiah, ini adalah batas visual yang membedakan kegelapan malam dengan cahaya pertama subuh. Rasulullah ﷺ mengklarifikasi bahwa ini merujuk pada: الفجر الصادق (Al-Fajr As-Sadiq), fajar yang sesungguhnya (cahaya horizontal yang menyebar), bukan *Fajr Kadzib* (cahaya vertikal palsu yang sebentar hilang).

Penetapan batas waktu ini sangat presisi. Seluruh aktivitas yang dihalalkan (makan, minum, hubungan intim) harus berhenti tepat ketika benang putih fajar mulai tampak jelas. Frasa ini tidak hanya memberikan batasan fisik, tetapi juga pelajaran penting tentang disiplin waktu dan kejelasan syariat.

IV. Konteks Historis dan Sebab Turunnya Ayat (Asbabun Nuzul)

Pemahaman mengenai mengapa ayat ini diturunkan sangat penting untuk mengapresiasi rahmat di dalamnya. Pada awal penetapan puasa di Madinah, aturannya sangat ketat, berdasarkan praktik puasa Yahudi dan tradisi Arab pra-Islam tertentu. Aturan awal tersebut menetapkan dua larangan utama setelah Maghrib:

  1. Hubungan suami istri dilarang sepanjang malam Ramadhan.
  2. Makan, minum, dan berhubungan intim diizinkan hanya sampai shalat Isya atau sampai seseorang tidur pertama kali, mana yang lebih dulu terjadi. Setelah itu, larangan berlaku hingga Maghrib berikutnya.

Kisah Kesulitan Para Sahabat

Dua kisah utama yang diriwayatkan oleh para mufassir, seperti yang dicatat dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Al-Jassas, menyoroti kesulitan ini:

1. Kisah Umar bin Khattab dan Kesulitan Hubungan Intim

Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab r.a. pernah menceritakan kepada Rasulullah ﷺ bahwa ia merasa sangat sulit menahan diri, dan setelah tidur, ia bangun dan melakukan hubungan intim dengan istrinya di malam hari Ramadhan. Karena ia mengira bahwa larangan dimulai saat ia tidur, ia merasa telah "mengkhianati dirinya" dan melanggar aturan puasa. Ia datang kepada Nabi ﷺ dengan rasa bersalah yang mendalam.

Ini menunjukkan betapa kuatnya fitrah manusia. Ketika aturan awal (yang tidak sesuai dengan fitrah) diterapkan, ia menyebabkan tekanan psikologis dan moral, bahkan pada pribadi sekuat Umar.

2. Kisah Qais bin Shirmah Al-Anshari dan Kesulitan Makan

Qais bin Shirmah Al-Anshari, seorang Anshar, bekerja keras di ladangnya sepanjang hari. Ketika Maghrib tiba, ia pulang ke rumah dan bertanya apakah ada makanan. Istrinya berkata tidak ada dan bergegas menyiapkan makanan. Karena kelelahan yang ekstrem, Qais tertidur sebelum istrinya kembali membawa makanan. Ketika ia terbangun, istrinya memberitahunya bahwa ia tidak boleh makan lagi, karena aturan menetapkan larangan dimulai saat tidur.

Keesokan harinya, Qais jatuh pingsan karena sangat lemah. Kejadian ini, yang menunjukkan betapa sulitnya aturan awal bagi pekerja keras, menyebabkan para sahabat mengadu kepada Rasulullah ﷺ.

Rahmat Allah Turun

Sebagai respons langsung terhadap kesulitan yang dialami para sahabat ini, Allah menurunkan Al-Baqarah 187, yang secara eksplisit menghapus kedua larangan tersebut dan menggantinya dengan satu batasan yang jelas dan adil: segala sesuatu dihalalkan dari Maghrib hingga terbitnya Fajar Sadiq.

Ayat ini adalah bukti nyata fleksibilitas dan kemurahan syariat Islam. Islam tidak bertujuan untuk menyiksa atau mematikan fitrah. Sebaliknya, ia mengatur fitrah agar selaras dengan tujuan spiritual. Pengakuan Allah bahwa umat Islam "mengkhianati diri sendiri" (*takkhtanuna anfusakum*) adalah bentuk empati ilahi yang luar biasa, diikuti dengan pernyataan pengampunan dan penghapusan kesulitan.

Sejak saat itu, waktu ibadah puasa ditetapkan secara definitif: pengekangan dimulai dari Fajar Sadiq dan berakhir saat Matahari terbenam (malam).

V. Tafsir Tematik Mendalam dan Implikasi Hukum (Fiqh)

A. Penetapan Waktu dan Hukum Sahur

Ayat 187 secara tegas menetapkan batas waktu sahur: "dan makan serta minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar."

1. Definisi Fajar Sadiq (Fajar yang Benar)

Dalam Fiqh, puasa dimulai saat *Fajr Sadiq*. Jika seseorang masih makan atau minum setelah *Fajr Sadiq*, puasanya batal dan ia wajib mengqadha. Para ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) sepakat mengenai hal ini. Namun, ada pengecualian halus:

Perintah makan dan minum hingga fajar adalah perintah wajib untuk memastikan bahwa kita memiliki energi yang cukup untuk beribadah di siang hari. Rasulullah ﷺ bersabda, "Bersahurlah, karena di dalam sahur terdapat berkah." (HR. Bukhari dan Muslim).

B. Kehalalan Hubungan Suami Istri dan Prinsip Tauhid

Ayat ini tidak hanya mengizinkan *rafath* di malam hari, tetapi juga memerintahkan: "Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu."

1. Mencari Apa yang Ditetapkan Allah (*Wabtaghu ma kataballahu lakum*)

Frasa ini memiliki dua tafsiran utama, yang keduanya diakui oleh ulama:

2. Hukum Junub Hingga Subuh

Berdasarkan ayat ini, hubungan intim boleh dilakukan hingga detik-detik akhir sebelum Fajar Sadiq. Jika fajar terbit saat pasangan masih junub (belum mandi wajib), puasa mereka tetap sah. Kewajiban mandi wajib (*ghusl*) adalah syarat sahnya shalat, bukan syarat sahnya puasa. Rasulullah ﷺ sendiri terkadang mendapati fajar terbit saat beliau masih junub karena hubungan dengan istrinya, lalu beliau mandi setelah subuh dan melanjutkan puasa (HR. Bukhari).

C. Batasan I’tikaf dan Kesucian Masjid

Bagian terakhir dari ayat ini memberikan batasan khusus: "Tetapi janganlah kamu campuri mereka, sedang kamu beriktikaf dalam masjid."

1. I’tikaf sebagai Pengekangan Total

I’tikaf (berdiam diri di masjid dengan niat ibadah) adalah pengekangan total dari segala urusan duniawi, termasuk hubungan intim, bahkan di malam hari. Selama i’tikaf, masjid dianggap sebagai batas suci dan tempat berpisah sementara dari kehidupan rumah tangga.

2. Hukum Batalnya I’tikaf

Jika seseorang yang sedang beriktikaf melakukan hubungan intim, i’tikafnya batal seketika. Larangan ini bahkan mencakup sentuhan yang mengarah pada syahwat. Para ulama fiqh menekankan bahwa ini adalah bentuk perlindungan terhadap kesucian masjid dan fokus total pada ibadah. Jika hubungan intim terjadi karena lupa atau paksaan, i’tikaf tersebut batal menurut jumhur ulama, namun dosa sengaja tidak ditanggung.

D. Penutup Ayat: Batas-Batas Allah (Hududullah)

Ayat ditutup dengan peringatan tegas: "Itulah batas-batas (ketentuan) Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa."

Pernyataan ini memiliki makna hukum dan spiritual. Secara hukum, larangan mendekati batas (فَلَا تَقْرَبُوهَا) lebih kuat daripada larangan melanggarnya (فَلَا تَعْتَدُوهَا). Ini berarti seorang Muslim harus menjaga jarak aman dari pelanggaran. Contoh paling jelas adalah menjaga jarak dari syubhat (perkara samar-samar) saat Fajar Sadiq, atau menjauhi segala hal yang dapat membatalkan i’tikaf.

Tujuan akhirnya, "agar mereka bertakwa" (لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ), mengikat kembali seluruh aturan puasa. Puasa, dengan segala kehalalan dan larangannya, adalah alat untuk membentuk kesadaran diri (muraqabah) terhadap kehadiran Allah, yang merupakan definisi tertinggi dari takwa.

Ilustrasi Batas Waktu Fajar (Benang Putih dan Hitam) Malam (Diizinkan) GARIS FAJAR SADIQ Siang (Puasa)

Visualisasi Metafora Benang Putih dari Benang Hitam, Batasan Waktu Puasa.

VI. Ekstensi Fiqh: Rincian Hukum dalam Mazhab Empat

Meskipun ayat 187 tampak jelas, para fuqaha (ahli fiqh) telah merincikan berbagai situasi dan kondisi yang muncul dari pelaksanaan ayat ini, khususnya terkait waktu dan interaksi suami istri.

A. Masalah Waktu (Taqsim Al-Waqt)

1. Hubungan Intim Saat Terbit Fajar

Jika pasangan sedang berhubungan intim dan tiba-tiba Fajar Sadiq terbit:

2. Hukum Niat Puasa yang Terlambat

Ayat ini menekankan bahwa puasa dimulai dari Fajar. Berdasarkan ini, jumhur ulama sepakat bahwa niat puasa Ramadhan harus dilakukan sebelum Fajar (di malam hari), karena puasa adalah satu ibadah utuh yang dibatasi oleh waktu spesifik. Jika seseorang lupa berniat di malam hari, puasanya tidak sah menurut Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali.

B. Implikasi Konsep Libasul Lakum dalam Fiqh Mu’amalat

1. Hak Pasangan di Malam Ramadhan

Konsep *libasul lakum* menegaskan bahwa pemenuhan kebutuhan seksual adalah hak yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak di luar jam puasa. Tidak boleh ada penolakan tanpa alasan syar'i yang kuat. Para ulama menegaskan bahwa Ramadhan tidak boleh dijadikan alasan untuk menangguhkan kewajiban marital, selama dilakukan pada waktu yang dihalalkan (malam hari).

2. Batasan Selama I’tikaf dan Fiqh Wanita

Larangan mendekati istri saat i’tikaf (waktu siang maupun malam) mencakup wanita yang sedang beri’tikaf juga. Ini adalah disiplin diri yang bertujuan untuk memutus total keterikatan dengan urusan rumah tangga, bahkan sentuhan yang mendatangkan syahwat.

Jika seorang suami pulang sebentar ke rumah untuk buang hajat atau keperluan mendesak saat i’tikaf, ia harus tetap menjaga batasan. Batasan *Hududullah* (larangan mendekati) pada ayat ini menjadi dasar kuat bagi para fuqaha untuk melarang sentuhan syahwat atau ciuman bagi yang sedang beri’tikaf, meskipun hal tersebut tidak membatalkan puasa biasa.

C. Tafsir Qatadah dan Prinsip Rahmat

Qatadah, seorang tabi’in besar, menjelaskan bahwa ayat ini adalah keringanan terbesar. Sebelum ayat ini, para sahabat hidup dalam ketakutan bahwa nafsu mereka akan membatalkan ibadah mereka. Ketika Allah mengakui kelemahan mereka dan memberikan izin, hal itu menghilangkan kecemasan, sehingga mereka dapat beribadah di siang hari dengan hati yang tenang, mengetahui bahwa kebutuhan mereka akan dipenuhi pada malam harinya. Ini adalah cerminan dari prinsip dasar syariat: menghilangkan kesulitan (*daf'ul haraj*).

Kajian fiqh pada ayat 187 ini menunjukkan bahwa syariat Islam bukanlah seperangkat aturan yang kaku, melainkan sistem yang dinamis, responsif terhadap fitrah manusia, dan selalu mengarah pada kemudahan serta ketenangan jiwa.

VII. Dimensi Spiritual: Menyeimbangkan Ruh dan Jasad

Ayat Al-Baqarah 187 adalah pelajaran psikologi spiritual yang mendalam. Ia mengajarkan bahwa spiritualitas yang sehat tidak menuntut penolakan total terhadap materi atau fitrah, melainkan pengelolaan yang bijaksana atasnya. Keseimbangan ini adalah ciri khas Islam.

A. Penerimaan Allah terhadap Kelemahan Manusia

Pernyataan "Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu" adalah inti dari rahmat dalam ayat ini. Ini adalah pengakuan bahwa manusia diciptakan dengan kecenderungan (syahwah) dan kelemahan (khiyanat terhadap diri sendiri). Allah, Sang Pencipta, tahu bahwa aturan yang terlalu berat tidak akan berkelanjutan.

Ini mengajarkan umat Islam untuk tidak merasa putus asa jika mereka sesekali terpeleset atau merasa lemah, asalkan mereka segera bertaubat dan mencari keringanan yang telah Allah sediakan. Taubat (*fataba ‘alaykum*) dan pengampunan (*wa ‘afa ‘ankum*) datang sebelum penetapan hukum baru. Ini menunjukkan bahwa rahmat mendahului hukum.

B. Pernikahan sebagai Ibadah Holistik

Jika puasa adalah ibadah pengekangan diri, maka kehalalan hubungan suami istri di malam hari adalah ibadah pemenuhan diri. Puasa melatih ruh, sementara keintiman di malam hari melestarikan fitrah. Keduanya saling menguatkan.

Konsep *libasul lakum* menaikkan status pernikahan ke tingkat spiritual yang sangat tinggi. Pernikahan adalah:

  1. Penutup Dosa: Pasangan melindungi satu sama lain dari perbuatan haram.
  2. Sumber Ketenangan (*Sakinah*): Malam hari Ramadhan menjadi waktu untuk mencari ketenangan emosional setelah pengekangan fisik di siang hari. Ketenangan ini sangat penting agar ibadah tarawih, qiyamul lail, dan tadarus dapat dilakukan dengan fokus penuh.
  3. Sarana Penguatan Diri: Keintiman yang sehat mengisi ulang energi psikologis, menjauhkan dari stres puasa, dan menyiapkan individu untuk menghadapi tantangan spiritual esok hari.

C. Menjaga Batas (Hudud) dan Muraqabah

Peringatan tentang *Hududullah* (batas-batas Allah) adalah pelajaran moral tertinggi. Batas ini tidak diciptakan untuk membatasi kebahagiaan, melainkan untuk melindungi kemaslahatan (kebaikan universal). Menghormati batas waktu Fajar, menjaga batasan dalam i’tikaf, dan memahami hak-hak pasangan adalah manifestasi dari takwa.

Praktik menjaga jarak dari batas (فَلَا تَقْرَبُوهَا) melatih kesadaran diri yang ekstrem (*muraqabah*). Ini melatih Muslim untuk selalu berhati-hati, bahkan di zona yang hampir halal. Kesadaran inilah yang dibawa ke luar Ramadhan, membentuk karakter yang selalu waspada terhadap pelanggaran syariat.

Ayat 187, pada akhirnya, adalah ayat keseimbangan. Ia mengajarkan bahwa puasa adalah jembatan menuju takwa, yang dibangun di atas fondasi pengakuan terhadap fitrah manusia dan rahmat Allah yang luas.

VIII. Relevansi Kontemporer dan Penerapan Ayat 187

Di era modern, di mana garis antara malam dan siang seringkali kabur akibat cahaya buatan dan jadwal kerja yang fleksibel, pemahaman yang tepat terhadap Al-Baqarah 187 menjadi semakin penting.

A. Akurasi Waktu Fajar

Di masa lalu, masyarakat bergantung pada pengamatan langsung 'benang putih dari benang hitam'. Saat ini, kita bergantung pada jadwal astronomis dan perhitungan ilmiah. Penting untuk memastikan bahwa jadwal imsakiyah yang digunakan benar-benar didasarkan pada Fajar Sadiq astronomis, dan bukan Fajar Kadzib, atau sekadar waktu pengekangan yang terlalu dini.

Perbedaan Fiqh muncul mengenai penetapan waktu Imsak (waktu menahan diri sebelum Fajar Sadiq). Meskipun sebagian masyarakat menetapkan Imsak 10-15 menit sebelum Fajar, secara hukum (berdasarkan ayat 187), semua aktivitas dihalalkan hingga Fajar Sadiq terbit. Praktik Imsak dini adalah upaya kehati-hatian (*ihtiyat*), bukan kewajiban syar’i yang mutlak.

B. Tantangan Modern dalam Konsep *Libas*

Di tengah tekanan sosial modern yang sering mengabaikan ikatan pernikahan, konsep *libasul lakum* berfungsi sebagai pengingat fundamental tentang peran sakral suami istri:

C. Penerapan Prinsip *Laa Taqrabuha* (Jangan Mendekatinya)

Prinsip menjaga jarak dari batas hukum berlaku luas dalam kehidupan kontemporer. Contohnya:

Dalam masalah ekonomi, *laa taqrabuha* berarti menjauhi transaksi yang memiliki unsur syubhat (samar-samar antara halal dan haram), meskipun belum secara eksplisit haram. Dalam masalah interaksi sosial, ini berarti menjauhi situasi pergaulan bebas atau *khalwat* (berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram) yang dapat mengarah pada zina, bahkan jika tindakan haram belum terjadi.

Ayat 187, yang terfokus pada aturan puasa, sejatinya memberikan cetak biru universal mengenai cara menjalani hidup sesuai tuntunan Allah: dengan kejelasan hukum, pengakuan terhadap fitrah, dan selalu bertujuan pada ketakwaan tertinggi.

Kita menutup pembahasan ini dengan menggarisbawahi betapa agungnya syariat Allah, yang tidak pernah melampaui kemampuan hamba-Nya, tetapi justru memberikan solusi yang paling seimbang, paling manusiawi, dan paling menguatkan bagi perjalanan spiritual mereka menuju keridhaan-Nya.

Ayat 187 adalah sebuah deklarasi keagungan ilahi yang memandang fitrah manusia dengan penuh kasih sayang. Dengan memahami batasan ini, kita tidak hanya melaksanakan puasa secara fisik, tetapi juga membangun pernikahan sebagai benteng ibadah, dan menjadikan Ramadhan sebagai sekolah yang mendidik kita untuk hidup dalam kesadaran spiritual sejati, jauh dari rasa bersalah yang tidak perlu, dan selalu dalam naungan ampunan-Nya.

🏠 Kembali ke Homepage