Etika Harta dan Keadilan Finansial: Analisis Mendalam Surah Al-Baqarah Ayat 188

Timbangan Keadilan dan Larangan Korupsi Sebuah timbangan keadilan (mizan) dengan koin di satu sisi, dilintasi garis silang merah tebal, melambangkan larangan tegas terhadap pengambilan harta secara tidak sah dan suap.

Gambar: Timbangan Keadilan dan Larangan Terhadap Harta Batil (Korupsi dan Suap)

Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur’an, memuat pedoman yang komprehensif mengenai tata kelola kehidupan, mulai dari ibadah hingga interaksi sosial dan ekonomi. Di tengah rangkaian ayat-ayat yang membahas puasa, Haji, dan hukum keluarga, muncul sebuah peringatan tajam yang sangat relevan dengan integritas moral dan sistem peradilan: ayat 188. Ayat ini bukan sekadar larangan sepele; ia adalah fondasi utama etika keuangan Islam, yang secara eksplisit menghubungkan kejahatan ekonomi dengan kejahatan hukum, menjadikannya salah satu ayat paling penting dalam konteks pemberantasan korupsi, suap, dan segala bentuk ketidakadilan finansial.

Pedoman yang diturunkan dalam ayat ini melampaui batas-batas individual, menjangkau tatanan masyarakat, sistem peradilan, dan bahkan integritas para pemegang kekuasaan. Ini adalah peringatan keras yang ditujukan kepada setiap individu untuk menjaga kejernihan sumber pendapatan mereka dan integritas dalam proses perolehan harta. Memahami kedalaman ayat 188 berarti memahami betapa seriusnya pandangan Islam terhadap perampasan hak orang lain, baik melalui cara-cara terang-terangan maupun melalui manipulasi sistem hukum.

وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Terjemahan Literal: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188)

I. Analisis Linguistik dan Komponen Kunci Ayat

Untuk memahami sepenuhnya dampak hukum dan moral dari Al-Baqarah 188, kita harus membedah setiap frasa kunci. Kekuatan ayat ini terletak pada pilihan kata-kata Arab yang sangat spesifik, yang membawa makna berlapis dan implikasi mendalam bagi fiqih muamalah dan pidana.

1. Larangan Menggunakan Kata 'Memakan' (لا تأكلوا)

Penggunaan kata kerja تأكلوا (memakan) adalah metafora linguistik yang sangat kaya. Meskipun secara harfiah berarti 'memakan', dalam konteks harta, ia merujuk pada 'mengambil manfaat', 'menggunakan', atau 'menguasai'. Metafora ini memiliki efek retoris yang kuat: memakan harta secara ilegal disamakan dengan memasukkan racun ke dalam diri. Tindakan memakan menunjukkan penyerapan total dan penghancuran harta tersebut, serta implikasi bahwa keharaman itu akan menjadi bagian dari daging dan darah pelakunya, mempengaruhi spiritualitas dan amalannya.

Para mufasir menekankan bahwa larangan ini tidak hanya berlaku pada konsumsi fisik, tetapi pada segala bentuk pemanfaatan. Jika seseorang menggunakan uang hasil curian untuk investasi, membeli properti, atau menafkahi keluarga, semua tindakan itu termasuk dalam kategori 'memakan' harta batil, karena harta itu telah beralih manfaat dan kepemilikan secara tidak sah.

2. Makna Harta (أموالكم) dan Kepemilikan

Frasa أموالكم بينكم (harta di antara kamu) menggunakan pronomina jamak "kamu", yang menunjukkan bahwa meskipun harta itu secara spesifik dimiliki oleh individu, pada dasarnya, dalam konteks masyarakat Islam, harta tersebut harus dilihat sebagai bagian dari sistem ekonomi komunal yang wajib dijaga integritasnya. Kerusakan pada harta individu adalah kerusakan pada stabilitas sosial secara keseluruhan.

Menariknya, Al-Qur'an menggunakan "harta kalian" ketika membahas larangan mengambilnya secara batil. Ini menunjukkan bahwa ketika seseorang mengambil harta orang lain secara zalim, dia merusak ikatan persaudaraan seolah-olah dia merusak hartanya sendiri. Ini adalah penekanan pada persatuan dan kepemilikan komunal secara etis, bahkan dalam sistem kepemilikan pribadi.

3. Pintu Gerbang Kehancuran: Jalan Batil (بالباطل)

Inti dari larangan ini adalah بالباطل (dengan jalan yang batil). Batil adalah lawan dari *haqq* (kebenaran). Segala bentuk transaksi atau perolehan harta yang tidak sesuai dengan syariat, melanggar prinsip keadilan, atau tidak memenuhi rukun akad yang sah, adalah batil. Jalan batil ini mencakup cakupan yang sangat luas, lebih dari sekadar pencurian fisik. Mufasir membagi kategori batil menjadi beberapa jenis utama yang harus dihindari:

  1. Riba (Bunga): Penambahan jumlah pinjaman tanpa adanya risiko bisnis yang syar'i.
  2. Gharar (Ketidakpastian/Spekulasi Berlebihan): Transaksi yang mengandung risiko yang tidak perlu dan spekulasi yang ekstrem, seperti judi atau asuransi yang melanggar prinsip keadilan.
  3. Penipuan (Ghash): Menyembunyikan cacat barang, memalsukan timbangan, atau memberikan informasi palsu dalam negosiasi.
  4. Perampasan dan Pencurian: Pengambilan harta secara paksa atau tersembunyi.
  5. Akad Batil: Transaksi yang secara hukum Islam tidak sah, misalnya penjualan barang yang belum dimiliki.
  6. Eksploitasi dan Penindasan: Pengambilan keuntungan yang berlebihan dari kondisi terdesak pihak lain.

Dengan demikian, frasa بالباطل berfungsi sebagai payung etika yang mencakup seluruh aspek hukum ekonomi, memastikan bahwa perputaran harta dalam masyarakat didasarkan pada prinsip kerelaan ('an taradhin) dan keadilan mutlak.

4. Senjata Korupsi: Mengumpankan kepada Hakim (وتدلوا بها إلى الحكام)

Frasa yang paling spesifik dan paling relevan dengan isu korupsi adalah وتدلوا بها إلى الحكام. Secara harfiah, *Tudlu* (atau *Idla*) berasal dari kata kerja yang berarti 'menurunkan timba ke dalam sumur'. Metafora ini sangat kuat: ia menggambarkan tindakan menawarkan, menyodorkan, atau mengajukan harta. Dalam konteks ini, frasa tersebut memiliki dua interpretasi utama yang sering dibahas oleh mufasir:

  1. Suap (Risywah): Ini adalah tafsir yang paling umum. 'Menurunkan timba' di sini berarti menyuap hakim atau pejabat berwenang agar mereka mengeluarkan putusan yang menguntungkan, bahkan ketika pelakunya tahu bahwa klaimnya tidak sah. Harta (suap) adalah timba yang digunakan untuk menarik keputusan yang tidak adil dari sumur peradilan.
  2. Mengajukan Kasus Batil: Tafsir kedua, yang sedikit lebih luas, menyatakan bahwa larangan ini mencakup tindakan mengajukan tuntutan atau kasus perdata di depan pengadilan, padahal seseorang tahu bahwa klaimnya palsu atau tidak memiliki dasar hukum yang benar. Ini adalah korupsi dalam proses hukum itu sendiri, bahkan jika tidak ada suap eksplisit yang terjadi.

Bagian ayat ini secara spesifik menargetkan korupsi institusional, menunjukkan bahwa kejahatan bukan hanya dilakukan oleh pencuri di jalanan, tetapi juga oleh mereka yang mampu memanipulasi sistem hukum menggunakan harta sebagai alat. Risywah atau suap, dalam pandangan Islam, bukan hanya dosa besar tetapi juga merusak tatanan sosial, menghilangkan kepercayaan publik terhadap keadilan, dan mematikan moral para penegak hukum.

II. Implikasi Etis dan Hukum: Tiga Tingkatan Kejahatan

Ayat 188 menyajikan kejahatan finansial dalam tiga tingkatan yang saling berkaitan, mulai dari individu hingga institusi dan kesadaran moral.

1. Kejahatan Pertama: Batil Interpersonal (لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل)

Ini adalah fondasi etika. Ia melarang segala bentuk pengambilalihan harta yang tidak didasarkan pada kerelaan dan transaksi yang sah. Kejahatan di tingkat ini melibatkan interaksi langsung antar individu, seperti penipuan dalam jual beli atau penggelapan amanah. Prinsip dasarnya adalah bahwa harta harus diperoleh melalui usaha yang sah (kasb al-halal) atau sebagai hadiah, bukan melalui paksaan, tipu daya, atau pelanggaran akad.

Perluasan konsep 'Batil Interpersonal' meliputi banyak aspek muamalah kontemporer. Misalnya, penyalahgunaan informasi internal (insider trading) di pasar modal dianggap batil karena melanggar prinsip kesetaraan informasi. Begitu pula, pemerasan atau penggunaan kekuatan untuk menekan pihak yang lemah dalam negosiasi harga termasuk dalam kategori memakan harta secara batil. Mufasir klasik menekankan bahwa bahkan sumpah palsu untuk menghindari pembayaran utang yang sah pun termasuk dalam larangan ini.

2. Kejahatan Kedua: Manipulasi Institusi (وتدلوا بها إلى الحكام)

Ini adalah tingkat kejahatan yang lebih serius karena melibatkan instrumen negara (hakim, penguasa, pejabat). Ketika harta batil digunakan sebagai suap, tujuannya bukan hanya mengambil harta individu, tetapi juga merusak mekanisme keadilan yang seharusnya melindungi hak individu. Suap mengubah hakim—yang seharusnya menjadi pelindung kebenaran—menjadi alat kezaliman.

Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi menekankan bahwa larangan ini mencakup baik pemberi suap maupun penerima suap. Hadis Nabi Muhammad SAW secara tegas melaknat *ar-Rāshi* (pemberi suap), *al-Murtashi* (penerima suap), dan *ar-Rā'ish* (perantara suap). Dengan melibatkan penguasa, kejahatan ini memiliki dampak multiplikatif: ia menciptakan preseden buruk, meruntuhkan kepercayaan publik, dan memungkinkan kezaliman terus berlangsung di bawah selubung legitimasi hukum.

Dalam konteks modern, ‘hakim’ tidak hanya merujuk pada pengadilan syariah, tetapi juga seluruh pejabat publik, regulator, inspektur pajak, dan anggota legislatif yang memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan hukum atau administratif. Penggunaan uang untuk melicinkan izin yang melanggar aturan, memenangkan tender yang tidak adil, atau menghindari sanksi hukum yang sah, semuanya termasuk dalam ranah Idla' ila al-Hukkam.

3. Kejahatan Ketiga: Menyadari Perbuatan Dosa (وأنتم تعلمون)

Klimaks ayat ini adalah frasa penutup: وأنتم تعلمون (padahal kamu mengetahui). Kesadaran ini meningkatkan derajat dosa dan memperberat hukuman di sisi Tuhan. Seseorang mungkin melakukan kesalahan finansial karena ketidaktahuan (jahalah), namun, melakukan korupsi, suap, atau mengambil harta batil sambil mengetahui bahwa tindakan itu salah dan melanggar hukum Tuhan, menunjukkan kesombongan spiritual dan kebejatan moral yang disengaja.

Frasa ini menuntut pertanggungjawaban moral sepenuhnya. Ini adalah pengingat bahwa keputusan pengadilan di dunia (qada') mungkin mengesahkan pengambilan harta tersebut, tetapi pengetahuan batin tentang kebatilan (haqiqah) tidak dapat dihapus. Dalam fiqih, sering ditekankan: "Keputusan hakim tidak menghalalkan yang haram." Artinya, jika seseorang memenangkan sengketa dengan sumpah palsu atau suap, putusan tersebut sah secara formal di dunia, tetapi harta yang diperoleh tetap haram di mata Allah, dan ia wajib mengembalikannya.

Ayat ini berfungsi sebagai pengawas internal (self-regulation) bagi setiap Muslim, mengingatkan mereka bahwa saksi terbesar atas setiap transaksi adalah diri mereka sendiri dan Tuhan yang Maha Mengetahui. Ini adalah seruan untuk kejujuran transparan, bukan sekadar kepatuhan hukum yang minimalis.

III. Perluasan Konsep Batil dalam Fiqih Muamalah Kontemporer

Prinsip la ta'kulu amwalakum bil batil harus diterapkan secara dinamis pada kompleksitas ekonomi modern. Konsep 'batil' berfungsi sebagai kerangka etika yang menolak segala bentuk perolehan kekayaan yang tidak didasarkan pada nilai tambah riil, risiko yang adil, dan kejujuran mutlak.

1. Batil dan Pasar Modal

Dalam konteks pasar modal, banyak aktivitas yang dapat jatuh ke dalam kategori batil, meskipun legal di beberapa yurisdiksi sekuler. Misalnya:

Setiap transaksi di pasar yang menghilangkan prinsip kerelaan, mengandung unsur ketidakadilan struktural, atau melibatkan kebohongan, secara tegas dilarang oleh semangat Al-Baqarah 188.

2. Batil dalam Sektor Publik dan Perpajakan

Konteks *Idla' ila al-Hukkam* tidak hanya terbatas pada suap untuk memenangkan sengketa pribadi, tetapi juga pada korupsi yang melibatkan kas negara (mal al-'Am). Hal ini mencakup:

  1. Penggelapan Pajak (Tax Evasion): Kecurangan yang disengaja untuk menghindari kewajiban pajak yang sah. Meskipun pajak (dharibah) seringkali merupakan kewajiban sekuler, jika negara memiliki sistem fiskal yang sah dan beroperasi sesuai keadilan, penggelapan adalah bentuk memakan harta milik publik secara batil.
  2. Mark-up dan Pengadaan Fiktif: Praktik penggelembungan harga proyek pemerintah atau menciptakan proyek fiktif (ghost project) untuk mencuri dana publik. Ini adalah bentuk pencurian berskala besar yang menggunakan sistem administrasi sebagai sarana.
  3. Nepotisme dan Kolusi: Menggunakan kekuasaan untuk memberikan pekerjaan, kontrak, atau konsesi kepada kerabat atau pihak yang berkolusi, mengabaikan prinsip meritokrasi dan keadilan persaingan. Ini adalah bentuk suap politik (bribery of influence).

Ayat 188 mengajarkan bahwa integritas dalam pengelolaan harta publik adalah cerminan dari ketakwaan. Jika harta publik dianggap sebagai harta 'orang lain' (أموال الناس), maka pengambilannya secara batil adalah dosa ganda: dosa kezaliman dan dosa merusak amanah publik.

3. Batil dan Hak Pekerja

Hubungan antara pengusaha dan pekerja juga diatur oleh larangan harta batil. Memakan harta batil dalam konteks ini berarti:

Ayat 188 menciptakan kewajiban moral yang ketat bagi para pengusaha untuk memastikan bahwa keuntungan mereka tidak dibangun di atas penderitaan atau ketidakadilan terhadap tenaga kerja.

IV. Perbedaan antara Qada' (Putusan Hakim) dan Haqiqah (Kebenaran Ilahi)

Salah satu pelajaran hukum yang paling fundamental dari ayat 188 adalah pemisahan tegas antara legitimasi formal (putusan pengadilan) dan kebenaran substansial (keadilan di hadapan Tuhan).

1. Batasan Kekuatan Hakim

Ayat ini diturunkan pada masa di mana masyarakat sering kali mengandalkan hakim untuk menyelesaikan perselisihan finansial. Namun, Rasulullah SAW, dalam banyak hadis, memperjelas batasan kekuasaan hakim terkait ayat ini. Hadis terkenal menyatakan: "Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, dan kalian membawa perselisihan kepada saya. Mungkin sebagian kalian lebih pandai bersilat lidah (dalam berhujjah) daripada yang lain, sehingga aku memutuskan untuknya berdasarkan apa yang kudengar. Barang siapa yang aku putuskan baginya hak milik saudaranya (padahal itu batil), maka sesungguhnya aku memutuskannya bagian dari api neraka."

Pernyataan ini adalah penafsiran operasional langsung dari ayat 188. Meskipun hakim memutuskan berdasarkan bukti formal yang diajukan (yang mungkin dimanipulasi melalui suap atau kebohongan), putusan tersebut hanya sah di mata manusia. Jika pemenang sengketa tahu betul bahwa ia telah mengambil hak orang lain secara batil, ia telah memenuhi syarat تأكلوا فريقاً من أموال الناس بالإثم (memakan sebagian harta orang lain dengan dosa) dan وأنتم تعلمون (padahal kamu mengetahui).

2. Konsekuensi Hukum di Akhirat

Tindakan memakan harta batil—meskipun dibenarkan oleh pengadilan dunia—menimbulkan utang abadi yang harus dipertanggungjawabkan di Akhirat (yaum al-qiyamah). Dosa ini termasuk dalam kategori *haqqun ādamī* (hak-hak manusia), yang tidak diampuni hanya dengan tobat kepada Allah, melainkan harus dikembalikan kepada pemiliknya atau mendapatkan maaf dari pemilik harta tersebut.

Jika harta yang diperoleh melalui suap atau kebohongan telah habis atau lenyap, kewajiban untuk menggantinya (dhamān) tetap ada. Hal ini mendorong umat Muslim untuk senantiasa mengutamakan kejujuran batin (taqwa) di atas formalitas hukum.

3. Peran Kesaksian Palsu dan Bukti Manipulatif

Larangan suap (Idla' ila al-Hukkam) secara implisit juga melarang segala sarana yang digunakan untuk memanipulasi putusan, termasuk kesaksian palsu (shahadah az-zur) dan pemalsuan dokumen. Kesaksian palsu adalah bentuk memakan harta orang lain secara batil karena ia secara langsung mengubah hasil putusan hukum, merampas hak yang sah dari korban. Para ulama fiqih sepakat bahwa saksi palsu harus dihukum berat, dan putusan yang didasarkan pada kesaksian itu harus dibatalkan jika kebohongan terungkap, dan harta harus dikembalikan.

V. Analisis Korupsi sebagai Manifestasi Global dari Batil

Dalam era globalisasi, korupsi telah menjadi tantangan etika universal. Tafsir Al-Baqarah 188 menyediakan kerangka teologis yang kuat untuk melawan kejahatan ini, melabelinya sebagai dosa besar (ism) yang dilakukan dengan kesadaran penuh (ta'lamun).

1. Korupsi Skala Besar (Grand Corruption)

Korupsi skala besar—yang melibatkan pejabat tinggi, transfer dana internasional, dan kebijakan negara—adalah perwujudan paling ekstrem dari *Idla' ila al-Hukkam*. Dalam kasus-kasus seperti ini, harta yang disuapkan atau dicuri bukanlah sekadar milik satu individu, tetapi milik seluruh rakyat (amwal an-nas).

Ketika seorang pejabat menerima suap untuk memberikan izin monopoli atau menjual aset negara dengan harga yang jauh lebih rendah dari nilai pasar, ia tidak hanya memakan harta batil tetapi juga merusak struktur keadilan ekonomi bangsa. Dampaknya terasa dalam bentuk kemiskinan struktural, layanan publik yang buruk, dan hilangnya kesempatan bagi warga negara yang jujur.

2. Pencucian Uang dan Pembersihan Harta Batil

Pencucian uang (money laundering) adalah upaya modern untuk menyembunyikan sifat haram dari harta yang diperoleh secara batil. Tujuannya adalah membuat harta yang diperoleh melalui pencurian, suap, atau perdagangan ilegal terlihat sah di mata hukum, sehingga pelakunya dapat 'memakannya' tanpa rasa takut. Praktik ini secara langsung bertentangan dengan prinsip wa antum ta'lamun, karena proses pencucian uang didasarkan pada pengetahuan penuh tentang sumber harta yang haram.

Islam menuntut transparansi dan kejernihan sumber harta (*tahqiq al-masdar*). Tindakan pencucian uang adalah upaya kolektif untuk membenarkan kebatilan, menjadikannya salah satu kejahatan finansial yang paling dibenci dalam kerangka etika Al-Qur'an.

3. Dampak Sosiologis Korupsi (Ism)

Ayat 188 menghubungkan tindakan mengambil harta batil dengan الإثم (al-Ism) atau dosa. Ism adalah konsep yang luas, mencakup dosa moral, kejahatan, dan konsekuensi negatif. Secara sosiologis, korupsi dan suap menghasilkan rantai dosa yang merusak:

Oleh karena itu, perjuangan melawan korupsi, yang secara teologis diuraikan dalam Al-Baqarah 188, adalah bagian integral dari upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab (madinah fadilah).

VI. Prinsip Pencegahan dan Tindakan Kolektif

Larangan dalam ayat ini tidak hanya menuntut pertobatan individu, tetapi juga mendorong pembentukan sistem yang resisten terhadap kebatilan dan korupsi. Pencegahan kejahatan finansial harus dilakukan pada tingkat sistemik.

1. Penguatan Sistem Hukum dan Peradilan

Ayat 188 menempatkan tanggung jawab yang berat pada 'Hakim' (penguasa/pejabat). Oleh karena itu, langkah-langkah pencegahan harus mencakup:

2. Budaya Integritas (Amanah)

Kepatuhan terhadap Al-Baqarah 188 pada akhirnya bergantung pada penanaman nilai *amanah* (kepercayaan) dan *shidq* (kejujuran). Pendidikan etika finansial sejak dini harus menekankan bahwa kekayaan yang diperoleh secara batil tidak akan membawa keberkahan (barakah) di dunia, dan hanya akan membawa malapetaka di Akhirat.

Integritas kolektif tercapai ketika masyarakat secara aktif menolak segala bentuk pembenaran terhadap harta batil, sekecil apapun bentuknya. Kesadaran "wa antum ta'lamun" harus menjadi pedoman moral kolektif yang menghalangi individu untuk berdalih ketidaktahuan atau mencari pembenaran hukum atas kebatilan yang mereka ketahui.

3. Prinsip Sanksi Tegas (Uqubat)

Meskipun ayat 188 berbicara tentang dosa dan akhirat, fiqih Islam juga menuntut sanksi tegas di dunia (ta’zir) bagi pelaku korupsi dan suap. Sanksi ini harus mencakup pengembalian harta yang dicuri (raddu al-mal) sebagai prioritas utama. Harta batil tidak boleh dibiarkan dinikmati oleh pelakunya, karena itu akan menciptakan insentif buruk dan melemahkan moral masyarakat.

Prinsip hukum ini menjamin bahwa sistem peradilan Islam memiliki mekanisme yang kuat untuk tidak hanya menghukum secara personal, tetapi juga untuk merehabilitasi korban kezaliman finansial dengan mengembalikan hak mereka yang dirampas.

VII. Kedalaman Tafsir: Menjaga Jiwa dari Harta Batil

Tafsir Al-Baqarah 188 juga memberikan dimensi spiritual yang mendalam. Para ulama tasawuf sering membahas bagaimana harta yang diperoleh secara haram dapat meracuni jiwa dan menghalangi penerimaan doa serta amal ibadah.

1. Hubungan Harta Halal dan Ibadah

Imam Al-Ghazali, dalam karyanya *Ihya' Ulumiddin*, menyoroti bahwa mencari rezeki yang halal adalah pondasi bagi ibadah yang sah. Beliau menekankan bahwa makanan yang masuk ke tubuh dari sumber haram akan menggelapkan hati dan menghalangi seseorang dari mencapai ketakwaan sejati (taqwa).

Ayat 188, yang datang setelah rangkaian ayat tentang puasa, mengajarkan korelasi antara kesucian spiritual dan kesucian finansial. Puasa mengajarkan pengendalian diri dari makanan yang halal pada siang hari; jika seseorang mampu mengendalikan diri dari yang halal, ia harusnya lebih mampu mengendalikan diri dari yang haram (batil) sepanjang waktu.

2. Harta Batil dan Doa yang Tidak Dikabulkan

Sebuah hadis qudsi menyebutkan kisah seorang musafir yang lusuh, yang mengangkat tangan ke langit memohon kepada Allah, "Ya Rabb, Ya Rabb," namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Lalu, Nabi SAW bertanya, "Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?"

Ayat 188 berfungsi sebagai peringatan bahwa keberkahan dan ketaatan tidak akan hadir dalam kehidupan seseorang yang sengaja melanggar batas-batas Allah terkait harta. Korupsi dan pengambilan harta batil adalah tembok penghalang spiritual antara hamba dan Penciptanya.

3. Ancaman bagi Para Pejabat yang Curang

Spesifiknya penyebutan 'hakim' dan 'penguasa' dalam ayat ini menunjukkan beban spiritual dan tanggung jawab yang jauh lebih besar yang dipikul oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan. Kekuatan mereka untuk memberikan putusan berarti kekuatan mereka untuk melakukan kezaliman yang lebih luas. Oleh karena itu, hukuman spiritual dan sosial bagi penguasa yang korup akan jauh lebih berat, karena mereka tidak hanya merusak diri sendiri, tetapi juga merusak tatanan sosial yang mereka sumpah untuk menjaganya.

Pejabat yang menerima suap secara sadar telah menjual amanah mereka, menukar keadilan abadi dengan keuntungan material yang fana. Ayat ini adalah refleksi abadi atas kegagalan moral ini, yang dilakukan "padahal kamu mengetahui."

Mendalami pesan Al-Baqarah 188 adalah langkah krusial dalam membangun kembali kesadaran kolektif akan pentingnya integritas. Ayat ini adalah pengingat bahwa keadilan finansial adalah inti dari keadilan sosial, dan bahwa manipulasi sistem hukum demi keuntungan pribadi adalah kejahatan ganda yang dampaknya meluas melampaui batas waktu dan tempat.

Penerapan prinsip-prinsip ini harus berkesinambungan dan konsisten di semua lini kehidupan. Mulai dari urusan bisnis kecil, hingga transaksi internasional yang melibatkan miliaran dana, semangat larangan memakan harta batil dan larangan menyuap hakim harus menjadi pedoman utama. Kesinambungan penerapan ini menjamin bahwa setiap individu tidak hanya mencari kekayaan, tetapi juga keberkahan dan legitimasi etis dalam setiap langkah finansialnya. Kewajiban moral untuk menjauhi batil tidak pernah hilang, bahkan ketika teknologi dan sistem transaksi terus berkembang dan menjadi semakin kompleks. Ketentuan Al-Qur'an ini tetap relevan, menembus lapisan-lapisan formalitas hukum positif, dan menuntut standar integritas tertinggi dari setiap Muslim.

Lebih jauh lagi, pemahaman mendalam tentang *amwal an-nas* (harta orang lain) menegaskan kembali bahwa dalam setiap transaksi, ada hak-hak pihak ketiga yang harus dihormati. Bahkan dalam kasus di mana kerugian tampak minimal, jika harta diperoleh melalui penipuan atau pemalsuan, itu tetap merupakan kezaliman yang harus dipertanggungjawabkan. Inilah yang membedakan etika keuangan Islam dari sekadar kepatuhan formal pada hukum; ia menuntut ketulusan dalam setiap niat dan tindakan finansial.

Kajian mendalam para ahli fiqih mengenai ayat ini juga menyoroti kasus-kasus kontemporer seperti peretasan dan kejahatan siber yang bertujuan mengambil harta secara digital. Meskipun bentuknya baru, esensinya tetap sama: mengambil manfaat secara batil. Penggunaan teknologi untuk mencuri identitas, dana, atau informasi berharga yang dapat diuangkan, secara mutlak merupakan manifestasi modern dari *la ta'kulu amwalakum bil batil*. Hukum Islam, dengan prinsip universalnya, mampu merangkul dan menghukumi kejahatan-kejahatan baru ini berdasarkan semangat keadilan yang terkandung dalam Al-Baqarah 188.

Dalam rangka implementasi sosial, upaya untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari korupsi (sesuai dengan larangan suap) memerlukan reformasi struktural yang melibatkan pengawasan ketat terhadap pejabat publik. Pengawasan ini harus bersifat dua arah: pengawasan vertikal oleh atasan/lembaga anti-korupsi, dan pengawasan horizontal oleh masyarakat sipil. Ketika masyarakat sadar akan bahaya *idlak ila al-hukkam*, mereka akan menjadi lebih proaktif dalam menuntut akuntabilitas dan menolak sistem yang memfasilitasi suap dan kecurangan.

Penting untuk diakui bahwa *Batil* bukan hanya tentang transaksi yang terang-terangan ilegal, tetapi juga tentang eksploitasi celah hukum. Banyak praktik bisnis yang "legal" secara formal tetapi secara etika memanfaatkan kelemahan sistem, ketidaktahuan konsumen, atau kebutuhan mendesak pihak lain untuk menghasilkan keuntungan yang tidak wajar. Ayat ini menolak hasil dari eksploitasi tersebut, bahkan jika tidak ada undang-undang pidana yang secara eksplisit melarangnya. Kesadaran moral *wa antum ta'lamun* adalah benteng pertahanan terakhir terhadap legalisasi kezaliman.

Penolakan terhadap harta batil merupakan pertarungan spiritual berkelanjutan. Kekuatan iman seseorang diukur, salah satunya, dari kemampuannya menahan godaan kekayaan yang cepat dan mudah yang diperoleh melalui cara-cara yang meragukan. Ayat 188 adalah seruan untuk kesabaran, integritas, dan keyakinan bahwa rezeki yang halal, meskipun datang perlahan, akan membawa keberkahan yang lebih langgeng daripada kekayaan haram yang diperoleh melalui korupsi dan tipu daya. Kesimpulan etisnya adalah bahwa tidak ada tujuan (kekayaan, kekuasaan) yang membenarkan cara yang haram (batil, suap) untuk mencapainya. Jalan menuju kemakmuran haruslah sebersih tujuan kemakmuran itu sendiri.

VIII. Merangkum Pilar Keadilan Finansial Berdasarkan Al-Baqarah 188

Secara ringkas, Surah Al-Baqarah ayat 188 mendirikan lima pilar fundamental untuk keadilan finansial dalam Islam, yang saling menguatkan dan menjamin integritas individu dan sistem:

  1. Prinsip Legalitas Sumber (Halal Source): Harta harus diperoleh melalui cara-cara yang sah (bukan batil), seperti perdagangan yang adil, jasa, warisan yang sah, atau hadiah sukarela.
  2. Prinsip Keadilan Transaksional (An Taradhin): Setiap perpindahan harta harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak, tanpa paksaan, penipuan, atau eksploitasi.
  3. Prinsip Penolakan Korupsi (Anti-Risywah): Larangan mutlak menyuap pejabat atau penguasa untuk memenangkan hak yang batil atau memanipulasi keadilan.
  4. Prinsip Perlindungan Hak Publik (Amwal an-Nas): Larangan tidak hanya mencakup harta individu, tetapi juga harta kolektif dan publik yang diamanahkan kepada penguasa.
  5. Prinsip Kesadaran Moral (Al-Ilm): Pertanggungjawaban ditingkatkan karena perbuatan dosa dilakukan dengan pengetahuan penuh bahwa hal tersebut melanggar hukum Ilahi, melampaui formalitas hukum duniawi.

Pesan akhir dari ayat ini adalah panggilan untuk introspeksi. Harta adalah ujian. Bagaimana seseorang memperolehnya dan bagaimana seseorang menggunakannya adalah penentu status spiritual dan moralnya di hadapan Tuhan. Dengan mematuhi larangan Al-Baqarah 188, seorang Muslim tidak hanya menjaga hartanya, tetapi yang lebih penting, menjaga jiwanya dari api dosa dan kerusakan sosial.

🏠 Kembali ke Homepage