Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, memuat sejumlah besar panduan hukum, etika, dan prinsip fundamental yang membentuk kerangka masyarakat Islam. Di antara ayat-ayat yang memiliki implikasi besar terhadap hubungan antarumat beragama dan prinsip pertahanan diri adalah Ayat 191. Ayat ini bukan hanya sekadar izin untuk berperang, tetapi merupakan fondasi etika yang membatasi tindakan militer, menegaskan bahwa pertahanan diri harus dijalankan dengan batasan yang jelas, dan melarang segala bentuk agresi atau melampaui batas.
Dalam konteks modern yang sering diselimuti oleh narasi konflik dan ketegangan, pemahaman yang akurat dan komprehensif terhadap Al-Baqarah 191 sangat penting. Kesalahpahaman terhadap ayat ini, terutama jika dipisahkan dari ayat-ayat di sekitarnya dan konteks sejarahnya, dapat mengaburkan pesan universal Islam tentang keadilan, perdamaian, dan perlindungan terhadap kehidupan. Artikel ini bertujuan untuk membongkar setiap lapisan makna dari ayat 191, mulai dari aspek linguistik, konteks historis, hingga tafsir klasik dan relevansinya di zaman sekarang.
Ayat 191 ini berada dalam rangkaian ayat (190 hingga 194) yang secara spesifik membahas hukum qital (perang) dalam konteks pertahanan di sekitar Mekah dan bulan-bulan suci.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lengkap, ayat ini harus selalu dibaca beriringan dengan ayat sebelumnya, Al-Baqarah 190, yang memberikan batasan utama: "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al-Baqarah 190). Prinsip larangan melampaui batas (wala ta'tadu) adalah kunci untuk menafsirkan 191 secara benar.
Pemahaman mengenai kapan dan mengapa ayat ini diturunkan (Asbabun Nuzul) sangat krusial. Sebagian besar ulama tafsir sepakat bahwa ayat 190-194 diturunkan dalam konteks Perjanjian Hudaibiyah atau setelahnya, ketika kaum Muslimin menghadapi situasi yang sangat genting dan dilematis.
Ketika kaum Muslimin hijrah ke Madinah, mereka diusir secara paksa dari tanah air mereka di Mekah. Mereka meninggalkan rumah dan harta benda. Ayat ini memberikan izin untuk bertindak balasan terhadap agresi tersebut. Frasa "dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu" secara langsung merujuk pada pengusiran yang dilakukan oleh kaum Musyrikin Quraisy di Mekah.
Pada masa Arab Jahiliyah, dan ditegaskan kembali dalam Islam, terdapat batasan tertentu mengenai bulan-bulan suci (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) dan tempat suci (Masjidil Haram). Berperang di wilayah ini merupakan pelanggaran berat. Kaum Muslimin sangat menghormati larangan ini. Namun, ayat 191 memberikan izin pengecualian: jika musuh melanggar larangan tersebut terlebih dahulu dan memulai pertempuran di Masjidil Haram, maka kaum Muslimin diizinkan untuk membalasnya. Ini adalah izin pertahanan murni, bukan inisiasi agresif.
Situasi ini menciptakan dilema. Muslimin ingin membalas kejahatan yang dilakukan, namun mereka juga terikat oleh hukum Allah mengenai larangan memulai perang di tempat suci. Ayat ini memberikan jalan keluar yang adil: pertahanan diri diizinkan, bahkan di tanah suci, tetapi inisiasi agresi tetap dilarang keras.
Kekuatan etika perang dalam Al-Qur'an terletak pada pilihan kata yang sangat presisi. Analisis linguistik terhadap 191 dan ayat-ayat terkait mengungkapkan batasan moral yang ketat.
Frasa sentral "Wal fitnatu ashaddu minal qatl" (Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan) sering disalahpahami. Dalam konteks ayat ini dan tafsir klasik, 'fitnah' tidak merujuk pada gosip atau ujian biasa, tetapi merujuk pada:
Maknanya adalah bahwa agresi non-militer yang dilakukan oleh kaum musyrikin—seperti mengusir Muslimin, menyiksa mereka, dan menghalangi mereka beribadah—adalah kejahatan yang intensitasnya bahkan melampaui pembunuhan. Oleh karena itu, membela diri terhadap fitnah semacam itu adalah prioritas yang dibenarkan, setara dengan menanggapi agresi fisik.
Meskipun kata ini ada di ayat 190, penafsirannya adalah kunci untuk memahami 191. I'tida' berarti agresi, permusuhan, atau melanggar hukum Allah. Ayat 190 secara kategoris melarang segala bentuk tindakan yang melampaui batas. Para ulama menafsirkan 'melampaui batas' sebagai:
Ayat 191 harus dibaca dalam kerangka ketidakbolehan I'tida'. Meskipun ada izin untuk membalas, batasan moral dan hukum tetap berlaku ketat.
Para mufasir klasik memberikan detail yang sangat rinci mengenai batasan yang ditetapkan oleh ayat 191. Interpretasi mereka menjadi rujukan utama dalam Fiqh Siyar (Hukum Perang Islam).
Al-Tabari menempatkan ayat ini secara tegas dalam konteks pertahanan. Ia menjelaskan bahwa perintah "Bunuhlah mereka di mana saja kamu dapati mereka" bukanlah perintah agresi universal, melainkan izin untuk melawan di mana pun kaum Muslimin bertemu dengan agresor yang telah memulai penganiayaan dan pengusiran.
Menurut Al-Tabari, fokus utama ayat ini adalah memulihkan keadilan. Kejahatan yang dilakukan Quraisy (pengusiran Nabi dan para sahabat) telah menciptakan kondisi fitnah yang ekstrem. Oleh karena itu, respons militer diizinkan untuk menghentikan fitnah tersebut. Namun, Tabari menekankan bahwa izin ini hanya berlaku untuk mereka yang terlibat langsung dalam penganiayaan dan permusuhan.
Ibnu Katsir sangat menekankan kaitan antara 190 dan 191. Ia menjelaskan bahwa batasan yang diatur dalam 190—larangan melampaui batas—menjadi fondasi etika untuk melaksanakan perintah dalam 191. Ibnu Katsir, mengutip ulama terdahulu, menjelaskan bahwa melampaui batas termasuk membunuh non-kombatan. Ia menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ sendiri melarang pembunuhan terhadap perempuan dan anak-anak.
Ibnu Katsir juga memberikan penekanan khusus pada isu pertempuran di Masjidil Haram. Ia menjelaskan bahwa sebelum ayat ini, kaum Muslimin tidak akan pernah memulai pertempuran di sana, bahkan jika mereka diserang. Ayat ini mengubah hukum tersebut menjadi hak untuk membalas. Jika Quraisy—yang seharusnya menjaga kesucian Mekah—berani melanggar kesucian itu dengan memulai pertumpahan darah, kaum Muslimin berhak membela diri di tempat yang sama, demi menghentikan agresi dan fitnah.
Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, memperluas makna "fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan." Ia menjelaskan bahwa fitnah dalam hal ini adalah syirik (kemusyrikan) dan penganiayaan yang memaksa orang meninggalkan Islam. Kejahatan syirik, menurutnya, adalah kerusakan spiritual yang lebih besar daripada kerusakan fisik (pembunuhan). Oleh karena itu, melawan sistem yang memaksakan syirik dan menindas adalah tindakan yang sangat dibenarkan. Namun, ia kembali menegaskan bahwa tindakan ini harus berdasarkan prinsip pertahanan dan penindasan balasan, bukan invasi tanpa alasan.
Para fuqaha (ahli hukum Islam) menggunakan ayat 191—bersama 190—untuk menyusun hukum perang yang sangat rinci. Ayat ini membentuk dasar bagi apa yang dikenal sebagai Jihad Daf’i (Jihad Defensif).
Frasa "Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu" menetapkan prinsip timbal balik. Respon harus sepadan dengan agresi. Jika seseorang menyerang, ia harus dilawan. Jika seseorang mengusir, balasan yang adil adalah mengusir kembali agresor tersebut. Ini membatasi tindakan militer agar tidak menjadi pembalasan yang berlebihan atau destruktif.
Ayat ini menetapkan hukum unik mengenai Masjidil Haram: larangan memerangi di sana adalah hukum utama, tetapi pengecualian berlaku jika musuh yang memulai. Ini adalah prinsip necessity and response. Kehormatan tempat suci harus dijaga, tetapi pertahanan diri dan pemulihan keamanan (dari fitnah) adalah prioritas yang lebih tinggi ketika agresi sudah terjadi.
Meskipun ayat 191 secara literal memerintahkan "bunuhlah mereka," batasan dari 190 dan sunnah Nabi Muhammad ﷺ membatasi "mereka" ini hanya pada *al-muqatilūn* (orang-orang yang berperang/kombatan). Hukum Islam dengan tegas mengecualikan dari target serangan:
Pembatasan ini menunjukkan bahwa perang dalam Islam bukanlah pembantaian massal, melainkan operasi militer yang bertujuan menyingkirkan ancaman bersenjata dan menghentikan fitnah.
Memahami 191 juga memerlukan konteks dari ayat 192, 193, dan 194 yang mengakhiri rangkaian hukum perang ini.
"Kemudian jika mereka berhenti (dari kekafiran dan memerangi kamu), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan perang bukanlah penghancuran musuh, tetapi penghentian agresi dan fitnah. Begitu musuh menghentikan permusuhan, perintah untuk memerangi mereka seketika gugur. Ini menekankan bahwa perdamaian adalah tujuan akhir dan pertarungan hanyalah sarana untuk mencapai perdamaian dan keadilan.
"Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama (seluruhnya) hanya bagi Allah. Tetapi jika mereka berhenti, maka tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim."
Ayat ini memperkuat penafsiran bahwa fokus utama adalah mengakhiri penindasan agama (fitnah). Ketika kebebasan beragama terjamin dan penindasan berakhir, perang harus dihentikan. Frasa "tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim" merujuk pada mereka yang tetap melanggar batas (melakukan *i'tida'*) meskipun perdamaian telah ditawarkan.
"Bulan haram dengan bulan haram, dan terhadap pelanggaran berlaku hukum qisas (pembalasan yang setimpal). Oleh sebab itu, barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa."
Ayat 194 menyimpulkan prinsip *proportionality* dan *defense* (pertahanan). Pembalasan (serangan) harus setimpal. Ini adalah penegasan final terhadap prinsip "wala ta'tadu" (jangan melampaui batas) dari ayat 190, memastikan bahwa tindakan militer harus terukur dan didorong oleh ketakwaan (kehati-hatian) terhadap hukum Allah.
Kewajiban etis yang terkandung dalam larangan melampaui batas adalah inti dari hukum perang Islam, yang membedakannya dari konsep perang tanpa etika. Prinsip ini tidak hanya membatasi aksi militer tetapi juga membatasi mentalitas perang itu sendiri.
Ayat 190 dan 191 mengajarkan bahwa niat di balik perang haruslah murni di jalan Allah (pertahanan, menghilangkan fitnah), bukan didorong oleh dendam, penaklukan teritorial, atau pengayaan. Melampaui batas terjadi ketika niat murni itu tercemar oleh hawa nafsu atau kekejaman yang tidak perlu.
Al-Hasan Al-Basri, seorang tabi'in besar, menafsirkan *i'tida'* sebagai tindakan mengambil lebih banyak dari hak yang diizinkan. Jika hak Anda adalah untuk membela diri dari serangan, melampaui batas adalah menyerang balik non-kombatan atau melakukan penyiksaan. Batasan ini menunjukkan bahwa Islam, bahkan dalam situasi paling ekstrem seperti perang, tidak mengizinkan hilangnya kemanusiaan dan etika.
Menariknya, prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-Baqarah 191 dan 190 sangat selaras dengan Hukum Humaniter Internasional (HHI), atau Hukum Perang. Konsep utama HHI adalah:
Ayat 190-191 telah menetapkan ketiga prinsip ini lebih dari 14 abad yang lalu, terutama melalui larangan *i'tida'* (melampaui batas) dan penekanan pada pembalasan yang setimpal (*qisas*).
Fokus ayat 191 pada "fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan" seringkali menjadi titik perdebatan. Mengapa penganiayaan agama dianggap lebih buruk daripada kematian?
Dalam pandangan Islam, kerugian spiritual dan moral lebih parah daripada kerugian fisik. Kematian adalah akhir dari kehidupan duniawi, tetapi fitnah (penganiayaan yang memaksa seseorang meninggalkan iman atau menghalangi ibadah) merusak keselamatan akhirat seseorang.
Ketika Muslimin di Mekah dipaksa untuk menyembunyikan iman mereka, disiksa, atau diusir hanya karena keyakinan mereka, hal ini dianggap sebagai kerusakan fundamental terhadap martabat manusia dan hak asasi mereka yang paling mendasar: hak berkeyakinan. Melawan fitnah ini, oleh karena itu, adalah tindakan pembebasan yang sangat penting, yang menjustifikasi penggunaan kekuatan defensif.
Ini membalikkan persepsi bahwa perang dalam Islam didorong oleh keinginan untuk menaklukkan. Sebaliknya, perang defensif diizinkan untuk mengamankan hak fundamental yang seringkali lebih berharga daripada nyawa itu sendiri: kebebasan beragama dan martabat.
Di era modern, Al-Baqarah 191 seringkali disalahgunakan atau diinterpretasikan secara lepas dari konteks 190, seolah-olah ia memberikan perintah membunuh tanpa batas. Penting untuk meninjau mengapa interpretasi semacam itu bertentangan dengan keseluruhan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah.
Frasa "bunuhlah mereka di mana saja kamu dapati mereka" bukanlah izin untuk terorisme. Dalam konteks Asbabun Nuzul, "mereka" adalah kaum agresor spesifik yang telah mengusir dan memerangi kaum Muslimin. Perintah ini terikat oleh konteks pertempuran langsung dan status musuh sebagai kombatan yang memulai agresi. Tanpa agresi dan penganiayaan (fitnah) yang mendahului, perintah ini tidak berlaku.
Ayat 191 dan seluruh rangkaiannya membahas Jihad Daf’i (pertahanan). Hal ini terlihat jelas dari kalimat "jika mereka memerangi kamu di tempat itu, maka bunuhlah mereka." Jika mereka tidak memerangi, maka larangan di Masjidil Haram tetap berlaku. Ini menegaskan prinsip bahwa kekerasan hanya diizinkan sebagai respons terhadap inisiasi kekerasan dari pihak lain.
Para ulama kontemporer menegaskan bahwa prinsip keadilan (*al-adl*) dan larangan agresi (*al-i'tida'*) adalah payung hukum di bawah ayat ini. Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, misalnya, sangat menekankan bahwa jihad harus difokuskan pada pertahanan kedaulatan, martabat, dan kebebasan beragama, dan tidak boleh dijadikan alat untuk ambisi politik atau imperialisme. Ayat 191 adalah izin untuk menghentikan kejahatan, bukan izin untuk melakukan kejahatan baru.
Keseimbangan antara kekuatan dan moralitas adalah inti dari Al-Baqarah 191. Ayat ini mengakui realitas bahwa kekerasan terkadang diperlukan untuk melindungi yang lemah dan mengakhiri penindasan, tetapi menuntut agar kekerasan tersebut tetap terkendali oleh etika ilahi.
Larangan melampaui batas (190) juga diperluas oleh hadis-hadis Nabi yang melarang perusakan yang tidak perlu. Ketika Nabi mengutus pasukan, ia selalu berpesan, antara lain: "Jangan berbuat khianat, jangan berlebihan, jangan membunuh anak-anak, jangan membakar pohon kurma, dan jangan merusak bangunan." Prinsip ini memastikan bahwa tindakan militer tetap fokus pada target militer dan tidak menjadi vandalisme total.
Bahkan di tengah pertempuran yang diizinkan oleh ayat 191, akhlak tetap menjadi tuntutan. Jika seorang musuh meminta perlindungan, ayat lain (seperti At-Taubah 6) memerintahkan agar ia dilindungi, diperlakukan dengan baik, dan diantarkan ke tempat yang aman. Hal ini menunjukkan bahwa perintah dalam 191 tidak membatalkan kewajiban untuk berlaku ihsan (baik) dan rahmah (kasih sayang) dalam situasi lain.
Dalam fiqh kontemporer, terutama yang berkaitan dengan hubungan internasional dan pertahanan negara, Al-Baqarah 191 memiliki beberapa implikasi penting:
Ayat ini memberikan dasar teologis bagi negara-negara Muslim untuk membentuk angkatan bersenjata yang kuat dan modern guna melindungi wilayah mereka dari agresi eksternal. Perlawanan terhadap invasi asing dianggap sebagai pelaksanaan langsung dari perintah pertahanan diri yang termaktub dalam ayat ini.
Kelompok ekstremis seringkali mengutip 191 tanpa 190. Fiqh modern menekankan bahwa tindakan yang melampaui batas, seperti menargetkan warga sipil atau pembunuhan di luar zona konflik, adalah bentuk *i'tida'* yang dilarang keras oleh Al-Qur'an sendiri. Oleh karena itu, tindakan teror yang menargetkan non-kombatan tidak dapat dibenarkan di bawah payung Ayat 191.
Karena tujuan akhirnya adalah penghentian fitnah dan tercapainya perdamaian (192, 193), langkah-langkah non-militer seperti negosiasi, diplomasi, dan sanksi harus selalu dipertimbangkan sebelum menggunakan kekerasan yang diizinkan oleh 191.
Surah Al-Baqarah Ayat 191 adalah salah satu ayat paling penting yang membentuk doktrin etika perang dalam Islam. Ayat ini bukanlah seruan untuk agresi, melainkan kerangka hukum yang kompleks dan sangat terbatas untuk pertahanan diri dan pemulihan keadilan. Ia memuat izin untuk membalas agresi yang telah terjadi ("bunuhlah mereka di mana saja kamu dapati mereka"), namun izin ini diletakkan di bawah pengawasan ketat dari ayat sebelumnya: "Janganlah kamu melampaui batas."
Inti dari pesan ini adalah bahwa fitnah—penganiayaan dan penindasan yang mengganggu kebebasan beragama—adalah kejahatan yang sangat serius, lebih parah daripada pembunuhan biasa. Melawan sistem yang menghasilkan fitnah adalah kewajiban. Akan tetapi, bahkan dalam menjalankan kewajiban ini, seorang Muslim tidak boleh kehilangan moralitasnya. Keadilan harus ditegakkan, tetapi dengan prinsip proporsionalitas yang ketat, memastikan bahwa non-kombatan dilindungi dan peperangan dihentikan segera setelah agresi musuh berakhir.
Oleh karena itu, penafsiran yang benar terhadap Al-Baqarah 191 selalu menekankan tiga pilar: Pertahanan Diri, Pelarangan Agresi (I'tida'), dan Pencarian Perdamaian. Ayat ini membuktikan bahwa bahkan dalam situasi konflik terberat, Islam menuntut standar moralitas tertinggi dan menolak kekerasan tanpa batas.
Frasa pembuka ayat 191, "وَٱقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ" (Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu dapati mereka), seringkali menjadi titik fokus bagi kritik dan interpretasi yang menyimpang. Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus meneliti detail gramatikal dan kontekstual frasa ini sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir abad awal.
Dalam ilmu tafsir, subjek (dalam hal ini, ‘mereka’) merujuk kembali pada subjek yang diperkenalkan pada ayat sebelumnya, yaitu Al-Baqarah 190: "orang-orang yang memerangi kamu." Jadi, ‘mereka’ bukanlah siapa pun secara umum, melainkan al-muqatilūn (para kombatan) yang telah menunjukkan permusuhan dan agresi militer. Al-Jassas, seorang ahli hukum Hanafi, menegaskan bahwa perintah ini terikat pada kondisi perang yang sah dan tidak berlaku untuk warga sipil yang tidak terlibat.
Ibnu Abbas, salah satu perawi tafsir terkemuka, menjelaskan bahwa perintah ini ditujukan kepada musuh-musuh spesifik yang terlibat dalam pengusiran kaum Muhajirin dan yang memusuhi Islam secara terang-terangan di Mekah. Setelah penaklukan Mekah (Fathu Makkah), konteks spesifik ini berakhir, namun prinsip umum pertahanan terhadap kombatan tetap berlaku.
Frasa "حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ" (di mana saja kamu dapati mereka) dalam konteks militer saat itu memiliki arti penting. Ini memberikan izin kepada kaum Muslimin untuk tidak hanya melawan di garis depan pertahanan mereka (Madinah), tetapi juga di wilayah yang dikuasai musuh, atau bahkan di Tanah Suci (Masjidil Haram) jika musuh yang memulai pertempuran di sana.
Sebelum ayat ini, kaum Muslimin merasa dilematis untuk mengejar musuh mereka atau melawan mereka di luar batas kota Madinah, apalagi mendekati Mekah. Ayat ini menghilangkan keraguan tersebut, memberikan otoritas penuh untuk melawan agresi di wilayah manapun musuh ditemukan, selama pertarungan tersebut adalah respons defensif.
Sebagian kecil ulama tafsir awal (seperti pendapat yang dinisbatkan kepada Qatadah) sempat berpendapat bahwa ayat ini mungkin telah membatalkan (naskh) prinsip non-agresi yang lebih awal. Namun, mayoritas ulama (Jumhur Ulama) menolak pandangan ini, menegaskan bahwa Al-Baqarah 190 dan 191 adalah ayat yang mengikat secara bersamaan. Prinsip "jangan melampaui batas" tetap menjadi syarat abadi yang membatasi tindakan apapun dalam 191. Dengan kata lain, perintah 'bunuhlah mereka' sudah secara implisit dibatasi oleh larangan agresi terhadap non-kombatan.
Ayat 191 melanjutkan dengan: "وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ" (dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu). Ini adalah izin hukum untuk melakukan tindakan balasan yang setimpal (Qisas) dalam hal pengusiran.
Perintah pengusiran ini menunjukkan bahwa salah satu tujuan utama dari perang yang diizinkan adalah pemulihan hak-hak dasar dan wilayah yang telah dirampas. Muslimin diusir dari Mekah, dan izin ini memberikan hak kepada mereka untuk kembali dan mengklaim kembali kota tersebut, yang merupakan pusat agama dan budaya mereka.
Hukum ini membentuk preseden bahwa jika suatu negara diserang dan penduduknya diusir (menjadi pengungsi), maka perang yang bertujuan untuk memulangkan pengungsi dan mengusir penjajah adalah sah di bawah hukum Islam.
Meskipun ada izin untuk mengusir, Al-Qur'an dan Sunnah menetapkan bahwa pengusiran tidak boleh disertai dengan penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi. Pengusiran adalah sanksi hukum terhadap agresi, bukan pembalasan dendam yang kejam.
Ayat ini menyebut fitnah sebagai kerusakan yang lebih besar daripada pembunuhan. Jika kita melihat fitnah sebagai penindasan struktural dan ideologis yang merampas kebebasan spiritual, ayat ini memiliki relevansi yang mendalam bagi isu-isu kontemporer.
Dalam konteks modern, fitnah dapat diartikan sebagai sistem totalitarianisme atau rezim otoriter yang melarang kebebasan nurani, memaksa penduduknya untuk meninggalkan keyakinan mereka, atau menghalangi ibadah secara sistematis. Melawan rezim yang menindas kebebasan beragama, hak asasi manusia, dan martabat, dapat dikategorikan sebagai tindakan untuk menghentikan ‘fitnah’ yang lebih merusak daripada kerugian fisik.
Ibnu Taimiyah, dalam konteks yang berbeda, menjelaskan bahwa tujuan utama jihad adalah menghilangkan fitnah. Jika fitnah dapat dihilangkan tanpa pertumpahan darah (misalnya melalui negosiasi atau perlawanan sipil), maka itu harus diutamakan. Kekerasan militer, sesuai dengan Ayat 191, adalah pilihan terakhir ketika fitnah hanya bisa dihentikan dengan mengalahkan para agresor bersenjata.
Ayat 194, yang merupakan penutup dari rangkaian hukum perang, menjelaskan konsep Qisas (pembalasan yang setimpal) yang sangat relevan dengan 191:
"Oleh sebab itu, barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu."
Dalam hukum perang, setimpal (proportionality) memiliki dua makna:
Para ahli fiqh menekankan bahwa prinsip ini menjamin bahwa perang tidak pernah menjadi alasan untuk kekejaman yang tak terkendali. Prinsip Qisas di sini berfungsi sebagai rem etika yang mencegah eskalasi tak terbatas dan memastikan bahwa tindakan militer tetap berada di bawah kendali moral. Inilah alasan mengapa kehancuran total atau pemusnahan massal selalu dilarang dalam Fiqh Siyar.
Bagian ayat 191 yang berbunyi: "وَلاَ تُقَٰتِلُوهُمْ عِندَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ حَتَّىٰ يُقَٰتِلُوكُمْ فِيهِ" (Dan janganlah kamu perangi mereka di dekat Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu), memberikan pelajaran penting tentang penegasan nilai-nilai sakral.
Prioritas pertama adalah penghormatan mutlak terhadap Tanah Suci Mekah. Hukum dasarnya adalah larangan total untuk memulai pertumpahan darah di sana. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai zona netral dan tempat ibadah sebagai lokasi yang bebas dari konflik, sebuah konsep yang harus dipertahankan.
Pengecualian (izin untuk membalas jika diserang) diberikan karena dua alasan:
Ayat ini mengajarkan bahwa bahkan prinsip sakral pun dapat ditangguhkan sementara demi mempertahankan eksistensi dan menghilangkan fitnah, tetapi hanya jika pelanggaran tersebut dipicu oleh pihak lawan.
Pada akhirnya, Al-Baqarah 191 berfungsi sebagai piagam kemanusiaan dalam situasi konflik. Ia tidak memberikan izin membabi buta; ia mengatur, membatasi, dan menuntut pertimbangan moral pada setiap tahap peperangan.
Nabi Muhammad ﷺ sendiri menjadi contoh paling sempurna dalam menerapkan batasan ini. Dalam banyak pertempuran yang sah berdasarkan 191 (seperti Pertempuran Badar, Uhud, atau penaklukan Mekah), Nabi selalu mengeluarkan perintah yang ketat untuk memastikan non-kombatan tidak disentuh dan tawanan diperlakukan dengan baik. Konsistensi dalam pelaksanaan ini menunjukkan bahwa etika (190) tidak terpisahkan dari izin bertindak (191).
Ayat ini menantang umat Islam untuk selalu menjadi pihak yang adil, bahkan ketika mereka berada di pihak yang benar dan menjadi korban. Keharusan untuk tidak melampaui batas berarti menolak spiral kekerasan yang tidak produktif dan berpegang teguh pada tujuan utama: mengakhiri fitnah dan membangun masyarakat yang berdasarkan keadilan dan kebebasan spiritual.
Maka, bagi seorang Muslim yang memahami Surah Al-Baqarah Ayat 191 secara utuh, perang adalah sebuah pengecualian yang diizinkan hanya dengan keharusan ekstrem dan diatur oleh hukum ilahi yang paling ketat, jauh dari segala bentuk kebrutalan dan agresi tak beralasan.