Ilustrasi Islami Sebuah ikon yang menggambarkan bulan sabit dan bintang di dalam bingkai ornamen, melambangkan spiritualitas dan doa.

Membedah Makna Doa Kamilin: Permohonan Kesempurnaan Iman di Bulan Ramadan

Bulan suci Ramadan adalah lautan rahmat dan ampunan. Di dalamnya, setiap amal dilipatgandakan pahalanya, dan setiap doa memiliki potensi besar untuk diijabah. Salah satu tradisi indah yang menghiasi malam-malam Ramadan di banyak belahan dunia adalah pelaksanaan shalat Tarawih. Shalat sunnah ini menjadi oase spiritual, menyegarkan jiwa setelah seharian berpuasa. Sebagai penutup rangkaian ibadah malam tersebut, seringkali dipanjatkan sebuah doa yang sarat makna, yang dikenal dengan sebutan Doa Kamilin.

Nama "Kamilin" sendiri berasal dari kata dalam bahasa Arab yang berarti "orang-orang yang sempurna". Nama ini diambil dari salah satu kalimat pembuka doa tersebut, yang memohon kepada Allah agar dijadikan hamba dengan keimanan yang sempurna. Doa ini adalah sebuah rangkuman komprehensif dari harapan dan permohonan seorang Muslim, tidak hanya untuk urusan akhirat, tetapi juga untuk kebaikan dalam kehidupan dunia. Ia menyentuh berbagai aspek, mulai dari kesempurnaan iman, pemenuhan kewajiban, penjagaan ibadah, hingga permohonan rezeki, kesehatan, dan ampunan.

Membaca dan mengaminkan Doa Kamilin bukan sekadar ritual penutup Tarawih. Lebih dari itu, ia adalah momen introspeksi, sebuah kesempatan untuk merenungkan kembali tujuan hidup kita sebagai hamba Allah. Setiap kalimatnya adalah cerminan dari cita-cita luhur seorang mukmin. Dengan memahami arti dan tafsirnya secara mendalam, kita dapat menghayati setiap permohonan, menjadikannya bukan hanya getaran di lisan, tetapi juga getaran di dalam jiwa yang mendorong kita menjadi pribadi yang lebih baik.

Bacaan Lengkap Doa Kamilin: Arab, Latin, dan Terjemahan

Berikut adalah teks lengkap Doa Kamilin yang biasa dibaca setelah selesai melaksanakan shalat Tarawih dan Witir. Kami sertakan tulisan Arab, transliterasi Latin untuk kemudahan membaca, dan terjemahan dalam Bahasa Indonesia.

اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ، وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ، وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ، وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ، وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ، وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ، وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ، وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ، وَفِي الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ، وَفِي الْاٰخِرَةِ رَاغِبِيْنَ، وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ، وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ، وَعَلَى الْبَلَاءِ صَابِرِيْنَ، وَتَحْتَ لِوَاءِ سَيِّدِنَا مُحَمَّّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ، وَعَلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ، وَإِلَى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ، وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ، وَعَلَى سَرِيْرِ الْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ، وَبِحُوْرٍ عِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ، وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ، وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ، وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ، بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِّنْ مَعِيْنٍ، مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولٰئِكَ رَفِيْقًا، ذٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا. اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا فِي هٰذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّهْرِ الشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ، وَلَا تَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاٰلِه وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Allahummaj'alna bil imani kamilin. Wa lil faraidli muaddin. Wa lish-shlati hafidhin. Wa liz-zakati fa'ilin. Wa lima 'indaka thalibin. Wa li 'afwika rajin. Wa bil-huda mutamassikin. Wa 'anil laghwi mu'ridlin. Wa fid-dunya zahidin. Wa fil 'akhirati raghibin. Wa bil-qadla'i radlin. Wa lin na'ma'i syakirin. Wa 'alal bala'i shabirin. Wa tahta liwa'i sayyidina muhammadin shallallahu 'alaihi wasallam yaumal qiyamati sa'irina. Wa alal haudli waridin. Wa ilal jannati dakhilin. Wa minan nari najin. Wa 'ala sariril karamati qa'idin. Wa bi hurin 'inin mutazawwijin. Wa min sundusin wa istabraqin wa dibajin mutalabbisin. Wa min tha'amil jannati akilin. Wa min labanin wa 'asalin mushaffan syaribin. Bi akwabin wa abariqa wa ka'sin min ma'in. Ma'al ladzina an'amta 'alaihim minan nabiyyina wash shiddiqina wasy syuhada'i wash shalihina wa hasuna ula'ika rafiqa. Dzalikal fadl-lu minallahi wa kafa billahi 'alima. Allahummaj'alna fi hadzihil lailatisy syahrisy syarifail mubarakah minas su'ada'il maqbulin. Wa la taj'alna minal asyqiya'il mardudin. Wa sallallahu 'ala sayyidina muhammadin wa alihi wa shahbihi ajma'in. Birahmatika ya arhamar rahimin. Wal hamdulillahi rabbil 'alamin.

Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya. Yang menunaikan kewajiban-kewajiban. Yang memelihara shalat. Yang menunaikan zakat. Yang menuntut apa yang ada di sisi-Mu. Yang mengharapkan ampunan-Mu. Yang berpegang teguh pada petunjuk. Yang berpaling dari hal-hal yang sia-sia. Yang zuhud di dunia. Yang berhasrat terhadap akhirat. Yang ridha dengan ketetapan-Mu (qadha). Yang mensyukuri nikmat-nikmat. Yang sabar atas cobaan. Dan yang berjalan di bawah panji junjungan kami, Nabi Muhammad SAW, pada hari kiamat. Yang mendatangi telaga (Al-Kautsar). Yang masuk ke dalam surga. Yang diselamatkan dari api neraka. Yang duduk di atas dipan kemuliaan. Yang menikah dengan bidadari-bidadari yang cantik. Yang mengenakan pakaian dari sutra halus dan tebal. Yang memakan makanan surga. Yang meminum dari susu dan madu yang murni, dengan gelas, cerek, dan piala dari sumber yang mengalir. Bersama orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Demikian itu adalah karunia dari Allah, dan cukuplah Allah yang Maha Mengetahui. Ya Allah, jadikanlah kami pada malam bulan yang mulia dan penuh berkah ini termasuk orang-orang yang berbahagia dan diterima (amalnya). Dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk orang-orang yang celaka dan ditolak (amalnya). Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada junjungan kami, Nabi Muhammad, beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. Dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara para penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Tafsir dan Makna Mendalam Setiap Kalimat Doa Kamilin

Setiap frasa dalam Doa Kamilin adalah mutiara hikmah yang mengandung permohonan mendalam. Mari kita selami makna yang terkandung di dalamnya satu per satu.

اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ

Allahummaj'alna bil imani kamilin.

"Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang sempurna imannya."

Ini adalah permohonan pembuka yang menjadi fondasi dari seluruh doa. Kita tidak meminta kekayaan, jabatan, atau kesenangan duniawi sebagai permintaan pertama, melainkan kesempurnaan iman. Mengapa? Karena iman adalah akar dari segala kebaikan. Iman yang sempurna (al-iman al-kamil) adalah iman yang tidak hanya terucap di lisan, tetapi meresap kuat di dalam hati dan terwujud dalam perbuatan nyata. Ia adalah iman yang kokoh, tidak goyah oleh badai cobaan, dan tidak tergiur oleh gemerlap godaan. Iman yang sempurna melahirkan keyakinan total kepada Allah, ridha terhadap takdir-Nya, dan semangat untuk menjalankan segala perintah-Nya. Permohonan ini adalah pengakuan bahwa iman kita sebagai manusia seringkali naik dan turun. Oleh karena itu, kita memohon pertolongan Allah untuk senantiasa membimbing dan menguatkan iman kita hingga mencapai derajat kesempurnaan yang diridhai-Nya.

وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ

Wa lil faraidli muaddin.

"Dan (jadikanlah kami) orang-orang yang menunaikan kewajiban-kewajiban."

Setelah memohon kesempurnaan iman, permohonan selanjutnya adalah kemampuan untuk menerjemahkan iman tersebut ke dalam tindakan konkret, yaitu menunaikan segala kewajiban (faraidh). Ini adalah bukti nyata dari keimanan seseorang. Kewajiban ini mencakup seluruh aspek yang telah Allah tetapkan, mulai dari Rukun Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji, hingga kewajiban lainnya seperti berbakti kepada orang tua, menuntut ilmu, menjaga amanah, dan berlaku adil. Menjadi seorang "mu'addi" berarti kita tidak hanya sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, tepat waktu, dan dengan penuh kesadaran sebagai bentuk ketaatan dan pengabdian kepada Sang Pencipta. Doa ini adalah tekad untuk menjadi hamba yang bertanggung jawab dan disiplin dalam menjalankan perintah-perintah Allah.

وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ

Wa lish-shlati hafidhin.

"Dan (jadikanlah kami) orang-orang yang memelihara shalat."

Di antara semua kewajiban, shalat disebutkan secara khusus. Ini menunjukkan kedudukannya yang sangat istimewa dalam Islam. Shalat adalah tiang agama dan amal yang pertama kali akan dihisab di hari kiamat. Permohonan untuk menjadi "hafizhin" (orang yang memelihara) shalat memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar "mengerjakan" shalat. Memelihara (hifzh) berarti menjaganya dari segala hal yang dapat merusak kualitasnya. Ini mencakup menjaga waktu shalat, menjaga kesempurnaan wudhu, menjaga kekhusyu'an (kehadiran hati), menjaga gerakan dan bacaannya (thuma'ninah), serta menjaga esensi shalat agar mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Doa ini adalah permohonan agar Allah memberi kita kekuatan untuk menjadikan shalat sebagai prioritas utama dalam hidup, bukan sekadar rutinitas tanpa makna.

وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ

Wa liz-zakati fa'ilin.

"Dan (jadikanlah kami) orang-orang yang menunaikan zakat."

Zakat juga disebutkan secara spesifik setelah shalat. Ini karena zakat merupakan pilar penting yang merefleksikan dimensi sosial dari keimanan. Jika shalat adalah hubungan vertikal kita dengan Allah (hablun minallah), maka zakat adalah manifestasi hubungan horizontal kita dengan sesama manusia (hablun minannas). Menjadi "fa'ilin" (pelaku) zakat berarti kita secara aktif dan ikhlas membersihkan harta kita dengan mengeluarkan hak orang lain yang ada di dalamnya. Ini bukan sekadar membayar, tetapi melakukannya dengan kesadaran bahwa harta yang kita miliki adalah titipan dari Allah, dan di dalamnya terdapat keberkahan yang akan bertambah ketika kita berbagi. Permohonan ini mencerminkan keinginan untuk memiliki jiwa yang dermawan, peduli terhadap sesama, dan terbebas dari sifat kikir dan cinta dunia yang berlebihan.

وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ

Wa lima 'indaka thalibin.

"Dan (jadikanlah kami) orang-orang yang menuntut apa yang ada di sisi-Mu."

Permohonan ini mengubah orientasi hidup kita. Seorang "thalibin" adalah seorang pencari atau penuntut. Dengan kalimat ini, kita memohon agar tujuan dan motivasi dari setiap amal ibadah kita adalah semata-mata untuk mencari apa yang ada di sisi Allah. Apa yang ada di sisi Allah? Yaitu keridhaan-Nya, rahmat-Nya, ampunan-Nya, dan surga-Nya. Ini adalah permohonan untuk diluruskan niatnya, agar kita tidak beribadah karena mengharap pujian manusia (riya'), keuntungan duniawi, atau tujuan-tujuan lain yang dapat menodai keikhlasan. Kita ingin menjadi hamba yang segala gerak-geriknya, baik dalam ibadah maupun muamalah, selalu termotivasi oleh harapan akan balasan terbaik dari Allah, karena apa yang ada di sisi-Nya adalah kekal dan jauh lebih baik daripada apa pun yang ada di dunia.

وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ

Wa li 'afwika rajin.

"Dan (jadikanlah kami) orang-orang yang mengharapkan ampunan-Mu."

Setelah berusaha menjadi hamba yang taat, kita menyadari satu hal: kita adalah manusia yang penuh dengan kekurangan dan dosa. Tidak ada amal yang bisa kita banggakan sebagai sesuatu yang sempurna. Oleh karena itu, kita menundukkan diri dengan penuh kerendahan hati, menjadi "rajin" (orang-orang yang berharap) akan ampunan ('afwun) dari Allah. 'Afwun memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar maghfirah (ampunan). Ia berarti penghapusan dosa hingga ke akarnya, seolah-olah dosa itu tidak pernah terjadi. Permohonan ini adalah pengakuan atas kelemahan diri dan pengagungan atas sifat Pemaaf Allah. Kita berharap, sebesar apa pun dosa yang pernah kita lakukan, pintu ampunan Allah jauh lebih luas. Sikap "raja'" (harapan) ini menyeimbangkan rasa "khauf" (takut) kita, sehingga kita tidak pernah putus asa dari rahmat Allah.

وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ

Wa bil-huda mutamassikin.

"Dan (jadikanlah kami) orang-orang yang berpegang teguh pada petunjuk."

Hidayah atau petunjuk (al-huda) adalah nikmat terbesar yang Allah berikan. Petunjuk ini terwujud dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Namun, mendapatkan petunjuk adalah satu hal, sedangkan istiqamah berpegang teguh padanya adalah hal lain yang memerlukan perjuangan. Kata "mutamassikin" berasal dari akar kata yang berarti "menggenggam erat-erat". Ini menggambarkan sebuah usaha yang kuat dan sungguh-sungguh untuk tidak melepaskan petunjuk tersebut, tidak peduli seberapa kencang angin fitnah dan godaan berhembus. Kita memohon kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai kompas hidup kita, sebagai pemandu dalam setiap keputusan, dan sebagai filter untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batil.

وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ

Wa 'anil laghwi mu'ridlin.

"Dan (jadikanlah kami) orang-orang yang berpaling dari hal-hal yang sia-sia."

Ini adalah konsekuensi logis dari berpegang teguh pada petunjuk. Waktu dan energi kita sangatlah berharga. Jika kita sibuk dengan petunjuk, maka secara otomatis kita akan menjauhi "al-laghwu", yaitu segala perkataan, perbuatan, dan pikiran yang tidak bermanfaat, tidak bernilai, dan sia-sia. Al-laghwu bisa berupa obrolan kosong (ghibah, namimah), hiburan yang melalaikan, atau kesibukan duniawi yang tidak bernilai akhirat. Menjadi "mu'ridlin" (orang yang berpaling) adalah sebuah sikap aktif untuk menjaga diri dari polusi spiritual. Ini adalah doa agar kita diberi kemampuan untuk fokus pada hal-hal yang produktif dan bermanfaat bagi dunia dan akhirat kita, serta menjaga lisan, pendengaran, dan hati dari segala kesia-siaan.

وَفِي الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ، وَفِي الْاٰخِرَةِ رَاغِبِيْنَ

Wa fid-dunya zahidin, wa fil 'akhirati raghibin.

"Dan (jadikanlah kami) orang-orang yang zuhud di dunia, dan yang berhasrat terhadap akhirat."

Dua kalimat ini adalah satu kesatuan yang menjelaskan tentang perspektif seorang mukmin terhadap kehidupan. Zuhud bukan berarti membenci dunia, meninggalkan pekerjaan, atau hidup dalam kemiskinan. Zuhud adalah kondisi hati yang tidak terikat dan diperbudak oleh dunia. Seorang "zahid" memandang dunia sebagai sarana, bukan tujuan. Ia menggunakan dunia untuk mengumpulkan bekal akhirat. Harta ada di tangannya, bukan di hatinya. Di sisi lain, ia adalah seorang "raghibin" fil akhirah, yaitu orang yang memiliki hasrat, keinginan, dan kerinduan yang besar terhadap kehidupan akhirat. Orientasi inilah yang membuatnya ringan dalam beramal, mudah dalam bersedekah, dan sabar dalam menghadapi ujian duniawi, karena pandangannya jauh tertuju pada kebahagiaan abadi yang Allah janjikan.

وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ

Wa bil-qadla'i radlin.

"Dan (jadikanlah kami) orang-orang yang ridha dengan ketetapan-Mu (qadha)."

Ini adalah salah satu puncak tertinggi dari keimanan. Ridha terhadap qadha atau ketetapan Allah adalah menerima dengan lapang dada segala takdir yang Allah gariskan, baik yang terasa manis maupun yang terasa pahit. Menjadi "radlin" (orang yang ridha) bukan berarti pasrah tanpa usaha. Kita tetap diwajibkan untuk berikhtiar semaksimal mungkin. Namun, setelah ikhtiar maksimal, kita menyerahkan hasilnya kepada Allah dan menerima apa pun hasilnya dengan keyakinan bahwa itulah yang terbaik menurut ilmu Allah Yang Maha Bijaksana. Ridha melahirkan ketenangan jiwa yang luar biasa. Ia membebaskan kita dari perasaan cemas berlebihan, keluh kesah, iri dengki, dan penyesalan yang mendalam. Kita yakin bahwa di balik setiap kejadian, pasti ada hikmah yang Allah siapkan.

وَلِلنَّعْمَاءِ شَاكِرِيْنَ، وَعَلَى الْبَلَاءِ صَابِرِيْنَ

Wa lin na'ma'i syakirin, wa 'alal bala'i shabirin.

"Dan (jadikanlah kami) orang-orang yang mensyukuri nikmat-nikmat, dan yang sabar atas cobaan."

Dua sifat ini, syukur dan sabar, adalah dua sayap bagi seorang mukmin. Dengan keduanya, ia akan terbang menuju keridhaan Allah. Kehidupan ini selalu berputar antara dua kondisi: nikmat (an-na'ma') dan cobaan (al-bala'). Saat mendapatkan nikmat, kita memohon agar dijadikan "syakirin" (orang yang bersyukur). Syukur bukan hanya ucapan "Alhamdulillah", tetapi juga mengakui nikmat itu datangnya dari Allah, merasa gembira dengannya, dan yang terpenting, menggunakan nikmat tersebut di jalan ketaatan kepada-Nya. Sebaliknya, saat ditimpa cobaan, kita memohon agar dijadikan "shabirin" (orang yang sabar). Sabar berarti menahan diri dari keluh kesah, menahan lisan dari ucapan yang tidak pantas, dan menahan anggota badan dari perbuatan yang menunjukkan keputusasaan. Syukur saat lapang dan sabar saat sempit adalah formula kebahagiaan sejati seorang hamba.

وَتَحْتَ لِوَاءِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ... يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ

Wa tahta liwa'i sayyidina muhammadin ... yaumal qiyamati sa'irina.

"Dan (jadikanlah kami) yang berjalan di bawah panji junjungan kami, Nabi Muhammad SAW, pada hari kiamat."

Permohonan ini membawa kita pada visualisasi dahsyatnya Hari Kiamat. Pada hari itu, ketika matahari didekatkan dan manusia dilanda kebingungan, akan ada sebuah panji kemuliaan (liwa' al-hamd) milik Rasulullah SAW. Bernaung di bawah panji tersebut adalah sebuah kehormatan, keselamatan, dan pengakuan sebagai umat beliau yang setia. Menjadi "sa'irin" (orang yang berjalan) di bawah panji beliau adalah buah dari ittiba' (mengikuti) sunnah-sunnahnya, memperbanyak shalawat kepadanya, dan mencintai beliau selama di dunia. Ini adalah harapan agung untuk mendapatkan syafaat dan perlindungan dari Nabi tercinta di hari yang paling menakutkan.

Permohonan Kenikmatan Surga (Rangkaian Kalimat Berikutnya)

Setelah memohon keselamatan di Padang Mahsyar, doa ini beralih kepada serangkaian permohonan yang menggambarkan kenikmatan puncak di surga. Rangkaian ini bukan sekadar angan-angan, melainkan motivasi spiritual yang kuat.

Rangkaian permohonan surgawi ini berfungsi untuk menguatkan kerinduan kita pada akhirat dan memotivasi kita untuk lebih giat beramal saleh di dunia yang fana ini.

مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ...

Ma'al ladzina an'amta 'alaihim minan nabiyyina wash shiddiqina wasy syuhada'i wash shalihina...

"Bersama orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang shalih..."

Kenikmatan surga yang tertinggi bukanlah pada makanan, minuman, atau pakaiannya, melainkan pada teman dan komunitas di dalamnya. Kalimat ini, yang juga kita baca dalam Surah Al-Fatihah, adalah permohonan agar kita dikumpulkan bersama golongan manusia terbaik di sisi Allah. Kita ingin bertetangga dengan para Nabi, bersahabat dengan para Shiddiqin (orang-orang yang sangat jujur dan teguh imannya seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq), berdampingan dengan para Syuhada (orang-orang yang gugur di jalan Allah), dan berkumpul dalam majelis orang-orang Shalih. Ini adalah permohonan untuk menjadi bagian dari komunitas terbaik di tempat terbaik.

اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا فِي هٰذِهِ اللَّيْلَةِ ... مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ

Allahummaj'alna fi hadzihil lailatisy syarifah ... minas su'ada'il maqbulin.

"Ya Allah, jadikanlah kami pada malam ini ... termasuk orang-orang yang berbahagia dan diterima (amalnya)."

Setelah memanjatkan doa yang begitu panjang dan komprehensif, kita kembali ke momen saat ini. Kita memohon secara khusus agar pada malam Ramadan yang mulia saat doa ini dipanjatkan, kita digolongkan sebagai "as-su'ada" (orang-orang yang berbahagia) dan "al-maqbulin" (orang-orang yang diterima amalnya). Kebahagiaan sejati (sa'adah) adalah ketika amal ibadah kita, mulai dari puasa, tarawih, hingga sedekah, diterima di sisi Allah. Ini adalah permohonan yang penuh harap agar segala letih dan jerih payah kita beribadah di bulan Ramadan tidak menjadi sia-sia.

وَلَا تَجْعَلْنَا مِنَ اْلأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ

Wa la taj'alna minal asyqiya'il mardudin.

"Dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk orang-orang yang celaka dan ditolak (amalnya)."

Ini adalah kebalikan dari permohonan sebelumnya, sebuah doa perlindungan. Kita berlindung dari menjadi "al-asyqiya" (orang-orang yang celaka) dan "al-mardudin" (orang-orang yang ditolak). Celaka yang sesungguhnya adalah ketika seseorang telah melalui bulan Ramadan, namun dosa-dosanya tidak diampuni dan amal-amalnya ditolak. Ini adalah kerugian yang amat besar. Dengan doa ini, kita memohon dengan sangat agar Allah melindungi kita dari nasib buruk tersebut, dan berkenan menerima taubat serta ibadah kita dengan segala kekurangannya.

Penutup: Menghayati Doa Kamilin dalam Kehidupan

Doa Kamilin lebih dari sekadar rangkaian kata-kata indah. Ia adalah sebuah peta jalan spiritual, sebuah kurikulum kehidupan bagi seorang Muslim yang ingin mencapai derajat kesempurnaan di sisi Tuhannya. Dengan merenungi setiap kalimatnya, kita diajak untuk melakukan evaluasi diri secara menyeluruh.

Sudahkah iman kita benar-benar kokoh? Sudahkah kewajiban kita tunaikan dengan sempurna? Sudahkah shalat kita pelihara kekhusyu'annya? Sudahkah kita menjadi pribadi yang dermawan, ikhlas, dan berpegang teguh pada petunjuk? Sudahkah kita ridha dengan takdir, syukur atas nikmat, dan sabar atas cobaan?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya terngiang di benak kita setiap kali melantunkan doa ini. Semoga Allah SWT mengabulkan setiap permohonan yang terkandung di dalam Doa Kamilin ini, menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang beriman sempurna, diterima amalnya, dan dikumpulkan bersama orang-orang tercinta di surga-Nya kelak. Aamiin ya Rabbal 'alamin.

🏠 Kembali ke Homepage