Analisis Komprehensif QS Al-Baqarah Ayat 173

Prinsip Halal, Haram, dan Batasan Keadaan Darurat dalam Syariat Islam

Skala Halal dan Haram HARAM DARURAT QS. 2:173
Visualisasi Prinsip Keseimbangan antara Larangan Mutlak (Haram) dan Kelonggaran dalam Keadaan Mendesak (Darurat) sesuai QS Al-Baqarah 173.

I. Pendahuluan: Pilar Syariat Tentang Makanan

Ayat 173 dari Surah Al-Baqarah merupakan salah satu fondasi utama dalam syariat Islam yang mengatur tentang konsumsi makanan, khususnya penetapan hal-hal yang diharamkan dan pengecualian terhadap larangan tersebut. Makanan dalam pandangan Islam tidak sekadar pemenuhan kebutuhan jasmani, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan hukum yang mendalam. Ketaatan terhadap hukum makanan (halal dan haram) adalah indikator penting dari ketaqwaan seorang Muslim.

Dalam konteks Surah Al-Baqarah, ayat ini hadir setelah serangkaian peringatan keras kepada mereka yang menyembunyikan kebenaran (ayat 159-162) dan diikuti oleh perintah untuk memakan yang halal dan baik (ayat 168). Ini menunjukkan bahwa hukum mengenai makanan haram dalam ayat 173 adalah bagian integral dari seruan untuk kembali kepada kebenaran tauhid dan syariat yang lurus, menjauhi tradisi jahiliah yang menetapkan haram dan halal berdasarkan hawa nafsu atau takhayul.

Keunikan ayat ini terletak pada dualitas hukum yang disampaikannya: penetapan empat jenis makanan yang diharamkan secara mutlak, dan sekaligus penetapan prinsip kelonggaran universal (rukhsah) bagi mereka yang berada dalam keadaan darurat (keterpaksaan), sebuah manifestasi dari sifat rahmat Allah SWT.

II. Teks Ayat dan Terjemahan

Untuk memahami secara komprehensif, penting untuk merenungi lafazh dan makna dari QS Al-Baqarah 173:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) padahal dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

III. Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci

Kekuatan hukum dalam ayat ini bersandar pada beberapa kata kunci yang memiliki definisi syar’i yang ketat. Membedah terminologi ini adalah langkah awal dalam memahami batasan hukum yang ditetapkan:

A. Kata Penguat (إِنَّمَا - Innama)

Kata Innama adalah gabungan dari inna (sesungguhnya) dan (yang meniadakan/membatasi). Dalam konteks ini, ia berfungsi sebagai hasr (pembatasan atau penekanan eksklusif). Penggunaannya menegaskan bahwa hanya empat hal inilah yang diharamkan secara eksplisit dalam konteks ayat ini, menolak klaim-klaim haram yang dibuat oleh orang-orang musyrik berdasarkan tradisi, bukan wahyu.

B. Prohibisi Mutlak (حَرَّمَ - Harrama)

Ini adalah bentuk verba yang menunjukkan penetapan hukum haram (prohibisi). Hukum haram di sini adalah hukum taklifi (bersifat perintah dan larangan) yang jika dilanggar tanpa uzur syar'i akan mendatangkan dosa. Larangan ini bersifat qat'i (pasti) karena bersumber langsung dari Al-Qur'an.

C. Empat Jenis Makanan yang Diharamkan

  1. Al-Maytah (الْمَيْتَةَ - Bangkai): Merujuk pada hewan yang mati tanpa melalui proses penyembelihan syar'i. Kematiannya bisa disebabkan oleh sakit, jatuh, dicekik, diseruduk, atau dimangsa. Mayoritas ulama sepakat bahwa penyebab haramnya bangkai adalah tertahannya darah dalam tubuh, yang dianggap kotor dan berbahaya bagi kesehatan, selain masalah spiritual (tidak disebut nama Allah).
  2. Ad-Dam (وَالدَّمَ - Darah): Yang dimaksud adalah darah yang mengalir (ad-damu masfūḥ), sebagaimana diperjelas dalam QS Al-An’am: 145. Darah yang tersisa sedikit pada daging atau hati dan limpa dikecualikan dari larangan ini, berdasarkan ijma’ (konsensus) ulama.
  3. Lahm Al-Khinzīr (وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ - Daging Babi): Larangan ini spesifik menyebut "daging", namun fuqaha sepakat bahwa larangan ini mencakup seluruh bagian babi, termasuk lemak, tulang, kulit, dan turunannya, karena tidak ada perbedaan antara dagingnya dan bagian lainnya dalam konteks najis dan haram.
  4. Mā Uhilla bihi Lighayrillāh (وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ - Yang Disembelih untuk Selain Allah): Merujuk pada praktik jahiliah menyembelih hewan sambil menyebut nama berhala, patung, atau selain nama Allah. Ini adalah larangan yang bersifat tauhidi, terkait dengan akidah, bukan semata-mata masalah kebersihan atau kesehatan.

D. Kondisi Darurat (فَمَنِ اضْطُرَّ - Faman Idhturra)

Kata idhturra berasal dari ḍarūra (darurat). Ini menunjukkan keadaan terpaksa, di mana kelangsungan hidup seseorang terancam serius. Ini adalah poros utama hukum pengecualian dalam Islam.

E. Batasan Pelanggaran (غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ - Ghayra Bāghin wa Lā Ādin)

Dua istilah ini sangat krusial dalam membatasi ruang lingkup darurat:

IV. Tafsir Klasik dan Penafsiran Ulama Terdahulu

Para mufassir generasi awal telah memberikan kerangka interpretasi yang solid terhadap ayat 173 ini, menegaskan batasan dan rahmat yang terkandung di dalamnya.

A. Tafsir Ibnu Katsir

Ibnu Katsir menekankan bahwa ayat ini diturunkan untuk menghilangkan keraguan orang-orang yang sebelumnya menetapkan haram dan halal sendiri. Ia menegaskan bahwa pembatasan (hasr) yang dilakukan oleh kata innama adalah penegasan bahwa larangan utama hanya terbatas pada empat hal ini. Beliau juga mengutip hadis yang menjelaskan pengecualian pada bangkai, yaitu bangkai ikan dan belalang, sebagai bukti bahwa tidak semua bangkai haram, meskipun secara literal ayat menyebut 'al-maytah'.

B. Tafsir Al-Tabari

Imam Al-Tabari memberikan perhatian khusus pada frase Mā Uhilla bihi Lighayrillāh. Beliau menjelaskan bahwa ini mencakup penyembelihan untuk sesajen kepada setan, patung, atau dewa-dewa. Ini adalah penetapan hukum yang menargetkan praktik politeistik, menjadikannya masalah teologis yang lebih mendesak daripada masalah kebersihan fisik.

C. Tafsir Al-Qurtubi

Al-Qurtubi, dalam Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, sangat rinci membahas kondisi Darurat. Beliau menjelaskan bahwa darurat terjadi ketika seseorang yakin akan mati jika tidak mengonsumsi barang haram tersebut. Beliau juga menganalisis perbedaan antara bāghin dan ādin. Menurut Al-Qurtubi, bāghin adalah orang yang keluar (bepergian) dengan niat maksiat, sedangkan ādin adalah orang yang melampaui batas dalam jumlah konsumsi. Jika seseorang melakukan perjalanan maksiat dan kelaparan, ulama berselisih apakah ia boleh memanfaatkan rukhshah ini; namun, pendapat yang kuat adalah bahwa kebutuhan dasar untuk hidup tetap diakui, meskipun ia berdosa karena perjalanannya.

D. Tafsir Fī Zilālil Qur'ān (Sayyid Qutb)

Sayyid Qutb melihat ayat ini sebagai bagian dari metodologi Islam yang utuh. Ia menekankan bahwa penetapan halal dan haram adalah hak prerogatif mutlak Allah. Ketika manusia mencoba menetapkan aturan sendiri, mereka telah jatuh ke dalam kesyirikan tersembunyi. Sayyid Qutb memandang pengecualian darurat bukan sekadar kelonggaran hukum, tetapi juga sebagai manifestasi kasih sayang Allah (Ghafūrur Raḥīm) yang tidak ingin membebani hamba-Nya melebihi kemampuan mereka dalam kondisi ekstrem.

V. Dimensi Fiqh: Empat Jenis Larangan yang Diperinci

Fuqaha (ahli fikih) dari empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) telah merumuskan kaidah-kaidah rinci berdasarkan teks ayat ini. Penetapan hukum ini memastikan aplikasi syariat yang konsisten dan adil.

A. Maytah (Bangkai) dan Pengecualian Syar’i

Secara umum, bangkai adalah najis dan haram dimakan. Namun, syariat memberikan dua pengecualian utama berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW:

  1. Bangkai Ikan dan Binatang Laut: Semua mazhab sepakat, berdasarkan hadis yang menyebutkan dua bangkai dan dua darah yang dihalalkan, bahwa bangkai ikan dan hewan air lainnya adalah halal dan suci.
  2. Bangkai Belalang: Sama seperti ikan, bangkai belalang juga dihalalkan.

Perbedaan Fiqh muncul dalam isu bangkai kulit. Mazhab Hanafi, dan sebagian ulama lainnya, membolehkan penggunaan kulit bangkai (misalnya kulit sapi atau kambing yang mati tanpa disembelih) setelah melalui proses penyamakan (dabbagh). Penyamakan dianggap mensucikan kulit, meskipun dagingnya tetap haram.

B. Darah (Ad-Dam Al-Masfūḥ)

Darah yang mengalir (saat penyembelihan) adalah haram dan najis. Ini mencakup darah segar yang sengaja dikonsumsi. Hukum ini bertujuan untuk kebersihan, karena darah adalah media yang sangat baik bagi kuman dan kotoran. Fuqaha juga membahas produk-produk yang mengandung darah. Jika kandungan darah sangat sedikit dan tidak mengubah esensi produk (seperti sisa darah dalam urat daging), maka itu dimaafkan (ma’fu). Ini menunjukkan prinsip Islam tentang toleransi terhadap hal yang sulit dihindari.

C. Lahm Al-Khinzir (Daging Babi)

Keharaman babi bersifat mutlak dan tidak mengenal pengecualian selain keadaan darurat. Ulama sepakat bahwa larangan ini tidak hanya berlaku pada daging, tetapi juga lemak (seperti minyak babi), gelatin yang berasal dari babi, enzim, dan semua turunan lainnya. Larangan ini didasarkan pada teks wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah) dan tidak bergantung pada penemuan ilmiah modern, meskipun ilmu pengetahuan seringkali memperkuat alasan larangan tersebut (misalnya, masalah trichinosis atau potensi penyakit lain).

D. Hewan yang Disembelih untuk Selain Allah

Ini adalah larangan yang paling serius dari segi akidah. Hewan yang disembelih untuk berhala, jin, atau orang suci, meskipun saat disembelih mengucapkan Bismillah, statusnya haram. Jika seseorang menyembelih dan tidak menyebut nama Allah (lupa), hukumnya berbeda. Dalam Mazhab Syafi'i, lupa tidak mengharamkan, sementara Mazhab Hanafi mengharamkan kecuali ada niat yang kuat. Namun, jika penyembelihan sengaja meninggalkan nama Allah, itu haram menurut mayoritas ulama.

Dalam konteks modern, isu Mā Uhilla bihi Lighayrillāh juga diterapkan pada praktik penyembelihan mekanis di beberapa negara, di mana prosesnya tidak melibatkan Muslim dan tidak ada penegasan menyebut nama Allah atas setiap hewan. Hal ini memicu diskusi Fiqh kontemporer tentang validitas penyembelihan di era industri.

VI. Prinsip Darurat (Ḍarūra): Kelonggaran Rahmat Allah

Klausa "faman idhturra ghayra bāghin wa lā ādin fa lā ithma ‘alayhi" adalah manifestasi dari kaidah Fiqh: Adh-Dharuratu tubiihul mahzhurat (Keadaan darurat memperbolehkan hal yang dilarang). Prinsip ini menegaskan bahwa syariat Islam dibangun atas dasar kemudahan dan perlindungan jiwa (hifzh an-nafs).

A. Definisi dan Syarat Darurat

Darurat didefinisikan sebagai keadaan di mana ada ancaman nyata dan pasti terhadap kehidupan atau anggota tubuh seseorang, dan tidak ada pilihan halal yang tersedia untuk menghilangkan ancaman tersebut. Syarat-syarat mutlak untuk menerapkan kaidah darurat adalah:

  1. Ancaman Nyawa yang Nyata: Kelaparan atau kehausan harus mencapai tingkat yang jika tidak diatasi, akan menyebabkan kematian atau kerusakan permanen pada tubuh.
  2. Tidak Ada Alternatif Halal: Ini adalah syarat utama. Jika ada makanan halal yang bisa dijangkau, meskipun kurang enak atau sulit didapat, maka yang haram tidak boleh dikonsumsi.
  3. Konsumsi Sebatas Kebutuhan (قدر الضرورة): Makanan haram hanya boleh dikonsumsi dalam jumlah minimum yang diperlukan untuk mempertahankan hidup dan menghilangkan ancaman kematian. Begitu ancaman hilang, konsumsi harus dihentikan.

B. Perbedaan Filosofis antara Bāghin dan Ādin

Memahami bāghin dan ādin sangat penting karena keduanya membatalkan hak seseorang atas rukhshah (kelonggaran):

1. Bāghin (Pencari Kenikmatan/Pelaku Maksiat)

Mayoritas ulama menafsirkan bāghin sebagai orang yang mencari yang haram bukan karena kebutuhan mendesak, tetapi karena ingin. Ini juga mencakup pandangan bahwa jika seseorang bepergian untuk melakukan maksiat (misalnya untuk mencuri atau berzina), dan dalam perjalanan tersebut dia kelaparan, maka dia tidak berhak atas rukhshah. Namun, beberapa ulama (seperti sebagian Syafi’iyah) berpendapat bahwa kebutuhan dasar untuk mempertahankan nyawa adalah hak universal, terlepas dari niat perjalanan, meskipun orang tersebut tetap berdosa atas maksiatnya.

2. Ādin (Melampaui Batas)

Ādin secara universal ditafsirkan sebagai tindakan melampaui batas yang diizinkan. Ini berarti seseorang boleh makan sekadar untuk bertahan hidup, tetapi haram baginya untuk makan hingga kenyang atau membawa sisa makanan haram tersebut sebagai bekal. Batasan ini menekankan bahwa rukhshah darurat diberikan untuk menjaga jiwa, bukan untuk memuaskan nafsu.

C. Prinsip Rahmat dan Pengampunan

Penutupan ayat dengan "Innallāha Ghafūrur Raḥīm" (Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang) menggarisbawahi bahwa penetapan hukum ini dilandasi oleh rahmat. Allah mengampuni hamba-Nya yang terpaksa melanggar batas haram, selama niatnya murni untuk bertahan hidup dan ia mematuhi batasan ghayra bāghin wa lā ādin.

VII. Aplikasi Kontemporer Hukum Al-Baqarah 173 (Bagian I: Bahan Turunan)

Di era industri pangan modern, empat kategori haram ini tidak selalu tampil dalam bentuk aslinya (daging, darah). Mereka muncul sebagai bahan turunan, yang memicu ijtihad baru dari para ulama kontemporer.

A. Isu Gelatin dan Kolagen

Gelatin dan kolagen banyak digunakan dalam obat-obatan, kapsul, dan makanan penutup. Jika gelatin berasal dari babi, ia haram. Jika berasal dari bangkai hewan halal (misalnya sapi yang tidak disembelih syar'i), hukumnya kembali kepada perdebatan mengenai istihalah (perubahan zat total).

VIII. Aplikasi Kontemporer Hukum Al-Baqarah 173 (Bagian II: Definisi Darurat Modern)

Definisi darurat di padang pasir atau saat perang klasik berbeda dengan darurat yang dihadapi oleh seorang Muslim di negara minoritas atau di tengah bencana kemanusiaan global.

A. Darurat Obat dan Vaksin

Isu paling sensitif adalah penggunaan obat-obatan atau vaksin yang mengandung turunan babi (seperti heparin) atau bahan najis lainnya. Dalam situasi ini, prinsip hifzh an-nafs (perlindungan jiwa) mendominasi. Jika:

  1. Obat tersebut sangat penting untuk pengobatan penyakit serius atau untuk mencegah epidemi (darurat kesehatan).
  2. Tidak ada alternatif obat halal yang memiliki efektivitas yang sama.

Maka, berdasarkan kaidah darurat Al-Baqarah 173, konsumsi obat atau vaksin tersebut diperbolehkan, karena menyelamatkan nyawa atau mencegah bahaya besar dianggap sebagai keadaan terpaksa yang membenarkan konsumsi yang haram sebatas kebutuhan.

B. Darurat Pangan di Zona Konflik

Dalam situasi kelaparan massal atau bencana alam, ketersediaan makanan sering kali terbatas pada bantuan yang mungkin tidak sepenuhnya halal (misalnya daging kalengan yang tidak disembelih syar'i). Dalam kondisi ini, ulama sepakat bahwa jika tidak ada makanan lain yang tersedia dan nyawa terancam, maka makanan yang tersedia boleh dimakan sebatas menghilangkan kelaparan ekstrem. Ini adalah aplikasi murni dari prinsip Idhturra.

C. Memilih Antara Dua Darurat

Dalam Fiqh Darurat, seringkali muncul pertanyaan: mana yang lebih haram untuk dikonsumsi dalam darurat? Jika seseorang dihadapkan pada pilihan antara memakan bangkai dan meminum khamr (minuman keras), mayoritas ulama cenderung membolehkan konsumsi bangkai (yang haram karena fisik) daripada khamr (yang haram karena esensi dan efek merusak akal), meskipun larangan babi dan minuman keras adalah sama-sama tegas.

Dalam kondisi darurat di mana pilihan hanyalah daging babi dan bangkai (non-babi), para fuqaha berpendapat bahwa memakan bangkai (yang asalnya adalah hewan halal, namun haram karena proses kematian) lebih ringan daripada memakan babi (yang haram zatnya secara mutlak), meskipun semua itu tetap berada di bawah payung hukum yang sama: darurat membolehkan yang haram.

IX. Hikmah Filosofis di Balik Larangan dan Pengecualian

Syariat Islam adalah sistem yang komprehensif, dan larangan serta pengecualian dalam Al-Baqarah 173 memiliki tujuan yang melampaui sekadar kepatuhan hukum.

A. Pembersihan Spiritual dan Jasmani

Larangan terhadap bangkai, darah, dan babi terkait erat dengan pembersihan jasmani. Makanan yang dikonsumsi memengaruhi kesehatan fisik dan spiritual. Bangkai dan darah dianggap menyimpan kotoran dan penyakit. Ketaatan pada larangan ini menunjukkan kepatuhan terhadap standar kebersihan dan kesehatan Ilahi.

B. Perlindungan Akidah (Tauhid)

Larangan Mā Uhilla bihi Lighayrillāh adalah perlindungan fundamental terhadap tauhid. Tindakan penyembelihan adalah ibadah. Menyembelih atas nama selain Allah adalah bentuk syirik, yang merupakan dosa terbesar dalam Islam. Larangan ini memastikan bahwa semua aspek kehidupan, termasuk cara makan, diorientasikan kepada Allah SWT semata.

C. Prinsip Kemudahan (Taysīr) dan Rahmat

Klausa darurat menunjukkan bahwa Syariat Islam bukanlah beban yang memberatkan. Ia menghargai dan memprioritaskan kelangsungan hidup manusia (hifzh an-nafs). Ketika hukum yang ketat (azimah) mengancam nyawa, Allah menyediakan kelonggaran (rukhsah). Ini adalah bukti bahwa tujuan utama syariat adalah kebaikan (maslahah) bagi umat manusia.

Imam Asy-Syatibi, dalam konteks Maqasid Syariah (Tujuan Syariat), menjelaskan bahwa semua hukum dirancang untuk mencapai lima tujuan utama (perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta). Ayat 173 secara langsung mendukung perlindungan jiwa (hifzh an-nafs) melalui penetapan larangan untuk menjaga kesehatan, dan melalui pengecualian darurat untuk menjaga keberlangsungan hidup.

X. Memperluas Cakupan Hukum: Perbandingan Ayat dan Penggunaan Qiyas

A. Hubungan dengan Ayat Serupa

Ayat 173 Al-Baqarah bukanlah satu-satunya ayat yang membahas haram. Ia diperkuat oleh:

Penegasan berulang-ulang dari empat pokok larangan ini menunjukkan betapa sentralnya isu ini dalam hukum Islam dan betapa pentingnya pemisahan praktik ibadah dan konsumsi dari tradisi jahiliah.

B. Prinsip Menggunakan yang Haram sebagai Pengobatan

Jika konsumsi haram untuk bertahan hidup diperbolehkan, bagaimana dengan menggunakannya sebagai obat? Mayoritas fuqaha, berdasarkan hadis, melarang penggunaan barang najis dan haram sebagai obat, kecuali dalam kondisi darurat ekstrem, di mana tidak ada obat halal yang efektif.

Dasarnya adalah hadis Nabi SAW yang menyatakan, "Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagi kalian pada apa yang Dia haramkan bagi kalian." (HR. Bukhari). Namun, pengecualian darurat yang diakui oleh ayat 173 ini dapat diperluas ke pengobatan jika ketiadaan pengobatan haram tersebut akan mengancam nyawa, asalkan memenuhi syarat ghayra bāghin wa lā ādin.

C. Prinsip Fiqh: Haramnya Zat dan Haramnya Sebab

Penting untuk membedakan dua jenis keharaman dalam ayat ini:

  1. Haram Zat (Haram li ‘aynih): Darah dan daging babi. Keharaman ini melekat pada esensi zat itu sendiri dan tidak dapat hilang.
  2. Haram Sebab (Haram li sababih): Bangkai dan hewan yang disembelih untuk selain Allah. Bangkai adalah hewan yang asalnya halal, tetapi menjadi haram karena sebab proses kematian yang salah. Hewan yang disembelih untuk selain Allah menjadi haram karena sebab penyimpangan akidah dalam prosesnya.

Dalam kondisi darurat, fuqaha cenderung melihat keharaman sebab lebih fleksibel daripada keharaman zat, meskipun pada akhirnya, rukhshah mencakup keempatnya selama kriteria darurat terpenuhi.

Kajian mendalam terhadap QS Al-Baqarah 173 menunjukkan kekayaan dan keadilan syariat Islam. Ayat ini tidak hanya berfungsi sebagai daftar larangan, tetapi sebagai petunjuk spiritual yang menyelamatkan jiwa, menegaskan bahwa ketaatan sejati selalu seiring dengan rahmat dan kemudahan, dan bahwa tujuan utama agama adalah menyejahterakan umat manusia di dunia dan akhirat.

XI. Kesimpulan

QS Al-Baqarah 173 berdiri sebagai tonggak hukum dalam Islam, yang secara tegas membatasi empat jenis makanan haram: bangkai, darah, daging babi, dan yang dipersembahkan untuk selain Allah. Ayat ini menetapkan batas-batas yang jelas dalam urusan konsumsi, sekaligus menegaskan hak istimewa Allah dalam menetapkan halal dan haram.

Yang paling monumental dari ayat ini adalah penyisipan kaidah darurat, yang menggarisbawahi sifat welas asih syariat. Selama seseorang berada dalam ancaman nyata terhadap nyawa, dan tindakannya tidak didorong oleh nafsu (bukan bāghin) serta tidak melampaui batas kebutuhan (bukan ādin), maka hukum haram sementara waktu dicabut demi menjaga kelangsungan hidup.

Pada akhirnya, pemahaman yang benar terhadap ayat ini mendorong Muslim untuk menjauhi yang haram karena ketaatan, namun sekaligus menumbuhkan keyakinan bahwa Allah SWT tidak pernah membebani hamba-Nya di luar batas kemampuan mereka, sebagaimana penutup ayat yang menjamin bahwa Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

🏠 Kembali ke Homepage