Surah Az-Zumar merupakan surah ke-39 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 75 ayat, dan termasuk dalam golongan surah Makkiyah. Nama *Az-Zumar* yang berarti ‘Rombongan-Rombongan’ atau ‘Pasukan-Pasukan’ diambil dari ayat 71 dan 73, yang menggambarkan adegan dramatis pembagian umat manusia menjadi dua kelompok besar di Hari Kiamat. Surah ini menyajikan perdebatan kuat mengenai Tauhid (Keesaan Allah), menantang praktik *shirk* (menyekutukan Allah), dan memberikan gambaran terperinci tentang keindahan iman dan kengerian kekufuran.
Sebagai surah Makkiyah yang diturunkan pada fase berat dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah, Az-Zumar berfungsi sebagai penguat aqidah bagi kaum Muslimin yang minoritas. Isinya berfokus pada tiga pilar utama yang terus diulang: keesaan mutlak Allah, keniscayaan Hari Kebangkitan, dan kepastian hukuman bagi mereka yang berpaling dari kebenaran.
Surah ini dibuka dengan penetapan otoritas Al-Qur'an sebagai kitab yang diturunkan dari Allah, Yang Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana. Ayat-ayat awal langsung menyerukan pemurnian ibadah hanya untuk Allah semata. Allah menantang logika para penyembah berhala yang mengklaim berhala mereka adalah perantara menuju Allah. Az-Zumar menegaskan bahwa sistem perantaraan semacam itu adalah kebohongan yang tidak didukung oleh wahyu.
Pengenalan tentang penciptaan langit dan bumi dalam enam masa, serta pengaturan malam dan siang, berfungsi sebagai argumen kosmik (bukti alam semesta) terhadap ketidakberdayaan sekutu-sekutu yang disembah selain Allah. Jika Allah mengurus seluruh alam semesta dengan presisi, bagaimana mungkin sekutu-sekutu palsu memiliki kekuasaan sedikit pun?
Ayat 9 mengajukan pertanyaan retoris yang mendasar: "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Ini adalah pemisahan intelektual pertama dalam surah ini, menekankan bahwa hanya orang berakal yang akan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah dan mengkhususkan ibadah hanya kepada-Nya.
Bagian ini mendorong Nabi Muhammad ﷺ untuk secara terbuka menyatakan keteguhan imannya (Ayat 11-12). Allah kemudian beralih ke perbandingan antara hamba yang takut kepada Tuhannya dan hamba yang lalai.
Allah menggunakan gambaran alamiah untuk mendemonstrasikan kesatuan kekuasaan-Nya. Dialah yang menurunkan air dari langit, yang menghidupkan bumi setelah matinya. Peristiwa ini bukan hanya fenomena cuaca, tetapi metafora bagi kebangkitan (hidup setelah mati) dan kehidupan spiritual (iman setelah kekafiran).
Ayat 17-18 memberikan penghormatan tertinggi kepada mereka yang mendengarkan perkataan (Al-Qur'an) dan mengikuti yang terbaik di antaranya. Mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan memiliki akal murni. Ini adalah cetak biru bagi metodologi berpikir Islami: mendengarkan secara kritis dan memilih kebenaran, bahkan jika itu bertentangan dengan tradisi nenek moyang.
Perbedaan antara dua jenis manusia ini ditekankan melalui perumpamaan: apakah orang yang wajahnya dihadapkan pada azab sama dengan orang yang selamat di Hari Kiamat? Jawabannya jelas, mengarahkan perhatian kepada konsekuensi abadi dari pilihan yang dibuat di dunia.
Bagian tengah surah ini membahas tentang bagaimana wahyu bekerja pada hati manusia, membandingkan hati yang hidup dengan hati yang mati, dan memberikan perumpamaan Al-Qur'an yang sangat kuat.
Ayat 21 kembali menggunakan perumpamaan air hujan yang diturunkan Allah. Air yang masuk ke bumi kemudian keluar dalam bentuk mata air, tumbuh-tumbuhan, dan hasil bumi yang beragam. Ini menggambarkan bahwa meskipun sumber wahyu itu satu (Allah), hasilnya pada jiwa manusia bisa bermacam-macam, tergantung bagaimana jiwa itu menerima dan mengolahnya.
Salah satu ayat paling mengharukan adalah Ayat 22, yang membandingkan orang yang dilapangkan dadanya untuk Islam dengan orang yang hatinya dikeraskan hingga seperti batu. Ketika hati dikeraskan, ia menjadi buta terhadap tanda-tanda Allah, dan orang tersebut berada dalam kesesatan yang nyata.
Ayat 23 memperkenalkan deskripsi luar biasa tentang Al-Qur'an itu sendiri. Al-Qur'an digambarkan sebagai kitab yang ‘serupa (kualitasnya) lagi berulang-ulang’ (mutasyabihat). Ayat ini menjelaskan bahwa ketika hati yang beriman mendengarkan ayat-ayat Allah, kulit mereka merinding, kemudian melunak dan tenang untuk mengingat Allah. Ini adalah deskripsi fisik tentang respons spiritual yang mendalam terhadap wahyu, menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah terapi bagi jiwa.
Sub-bagian ini kembali ke nasib para penentang di masa lalu (seperti Firaun dan kaum sebelum mereka), mengingatkan kaum Quraisy Makkah bahwa sejarah akan terulang. Mereka yang menentang kebenaran akan menerima azab dari arah yang tidak mereka duga. Kemudian, Allah menegaskan bahwa Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas agar mereka (kaum Quraisy) dapat mengambil pelajaran.
Klimaks dari bagian ini adalah Ayat 30-31: "Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). Kemudian sesungguhnya kamu pada Hari Kiamat akan berbantah-bantahan di hadapan Tuhanmu." Ayat ini mengingatkan bahwa kematian adalah akhir yang pasti bagi semua orang, termasuk Rasulullah ﷺ dan para penentangnya. Perselisihan di dunia ini akan diselesaikan dengan keputusan Allah yang mutlak di pengadilan Akhirat.
Bagian ini membedakan secara tajam antara golongan yang membenarkan wahyu dan golongan yang mendustakannya. Ini juga memperkenalkan konsep syafaat (pertolongan) dan hak mutlak Allah atas segala sesuatu.
Allah bertanya, siapakah yang lebih zalim daripada orang yang berdusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran (Al-Qur'an) ketika kebenaran itu datang kepadanya? Sebaliknya, orang yang membawa kebenaran (Nabi Muhammad ﷺ) dan orang yang membenarkannya (kaum beriman) adalah mereka yang bertakwa dan akan mendapatkan penghapusan dosa serta ganjaran yang besar.
Pentingnya Ayat 36: “Bukankah Allah cukup (cukupkah Allah) untuk melindungi hamba-Nya?” Ayat ini adalah penegasan kuat (tawakkal) bagi Rasulullah ﷺ dan para pengikutnya saat menghadapi ancaman dari musuh-musuh yang bersekutu dengan tuhan-tuhan palsu. Jika Allah adalah Pelindung, apa lagi yang perlu ditakutkan?
Kaum musyrik sering berdalih bahwa tuhan-tuhan palsu mereka akan memberikan syafaat. Surah Az-Zumar secara tegas menolak premis ini. Allah menegaskan bahwa semua kekuasaan syafaat, baik di bumi maupun di langit, adalah milik Allah semata. Syafaat tidak dapat diberikan kecuali atas izin dan keridhaan-Nya. Ketika Allah disebut sendirian, hati orang-orang kafir gentar, tetapi ketika sekutu-sekutu mereka disebut, mereka bergembira. Hal ini menunjukkan kerusakan fundamental dalam aqidah mereka.
Ayat ini memberikan bukti yang sangat mendalam tentang kekuasaan Allah atas kematian dan kehidupan: "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan."
Tidur diperlakukan sebagai ‘kematian kecil’. Fenomena sehari-hari ini berfungsi sebagai bukti nyata kemampuan Allah untuk mengendalikan jiwa dan melakukan Kebangkitan. Jika Dia mampu menahan dan melepaskan jiwa setiap malam, membangkitkan semua manusia dari kubur bukanlah hal yang sulit bagi-Nya.
Bagian ini menggambarkan sikap manusia ketika diberi nikmat dan ketika ditimpa kesulitan. Manusia sering memohon pertolongan Allah saat ditimpa musibah, namun ketika kesulitan itu diangkat, ia melupakan doanya dan menyekutukan Allah. Ini adalah gambaran tentang kelemahan karakter yang menyebabkan penyesalan mendalam di Hari Kiamat, ketika harta, kedudukan, atau sekutu palsu sama sekali tidak berguna.
Bagian ini dikenal sebagai salah satu seruan paling penuh kasih dan harapan dalam Al-Qur'an, membuka pintu taubat tanpa batas bagi setiap hamba, terlepas dari seberapa besar dosanya.
Ayat 53 berbunyi: "Katakanlah: 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'"
Ayat ini adalah inti dari ajaran Rahmat Allah. Ia ditujukan kepada mereka yang ‘melampaui batas’ (berbuat dosa besar atau berulang kali), menawarkan jaminan bahwa pintu pengampunan ilahi terbuka luas. Ini adalah penekanan bahwa dosa tidak boleh menjadi penghalang untuk kembali kepada Allah, selama ada kesungguhan hati.
Seruan taubat ini diikuti dengan peringatan agar manusia bersegera kembali kepada Allah sebelum azab datang secara tiba-tiba. Allah memperingatkan tentang tiga bentuk penyesalan yang akan diucapkan oleh jiwa yang merugi di Hari Kiamat:
Penyesalan ini tidak lagi berguna, karena kesempatan untuk beramal saleh telah berakhir dengan datangnya kematian.
Allah menegaskan bahwa hujjah (bukti) telah ditegakkan dengan datangnya wahyu dan para Rasul. Tidak ada alasan bagi manusia untuk mengelak. Kemudian, Allah memberikan janji bahwa pada Hari Kiamat, orang-orang yang bertakwa akan mendapatkan keselamatan mutlak: "Mereka tidak disentuh oleh azab dan mereka tidak pula berduka cita." Ini adalah ketenangan jiwa di tengah kengerian hari itu.
Bagian akhir surah ini berfokus pada keagungan Allah yang tak terbatas, kedaulatan-Nya, dan deskripsi luar biasa tentang kehancuran alam semesta.
Allah adalah Pencipta segala sesuatu, dan Dialah Pengatur segala sesuatu. Ayat ini kembali menekankan bahwa kunci-kunci langit dan bumi adalah milik-Nya, meniadakan segala klaim kekuasaan selain dari diri-Nya. Ini adalah penutup yang kuat terhadap setiap argumen kaum musyrik.
Ayat 65 berisi peringatan khusus yang ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ (dan umatnya), bahwa jika ia menyekutukan Allah, pasti akan terhapuslah amalnya, dan ia pasti akan termasuk orang-orang yang merugi. Peringatan ini menunjukkan bahwa kesucian Tauhid adalah syarat mutlak bagi semua amal, bahkan bagi Nabi. Satu-satunya jalan adalah menyembah Allah dan menjadi bagian dari orang-orang yang bersyukur.
Ayat 67 memberikan salah satu gambaran terkuat dalam Al-Qur'an tentang keagungan Allah di Hari Kiamat: "Mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada Hari Kiamat, dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya."
Perumpamaan ini menghancurkan imajinasi manusia tentang kebesaran. Bumi yang kita anggap luas hanya sebutir debu dalam Genggaman Ilahi. Ini diikuti oleh tiupan Sangkakala yang mematikan semua makhluk di langit dan di bumi, kecuali yang dikehendaki Allah. Setelah itu, Sangkakala ditiup kedua kalinya, dan mereka pun bangkit melihat (menunggu penghakiman).
Bagian penutup ini adalah adegan puncak dan dramatis yang memberikan nama pada Surah ini. Ini adalah deskripsi Hari Penghisaban, pengadilan, dan pembagian umat manusia menjadi rombongan-rombongan.
Bumi bercahaya dengan cahaya Tuhannya, catatan amal diletakkan, dan para Nabi serta saksi-saksi dihadirkan. Setiap jiwa diadili dengan adil, dan tidak ada yang dizalimi. Keputusan ilahi dijatuhkan secara final.
Setelah pengadilan, rombongan pertama digiring menuju neraka Jahannam. Ini adalah *Zumarul Kufar* (Rombongan Orang Kafir). Mereka digiring berdesak-desakan, dalam keadaan hina dan takut. Ketika mereka sampai di pintu neraka, pintu itu dibuka, dan penjaga-penjaga neraka menyambut mereka dengan pertanyaan celaan:
"Bukankah telah datang kepadamu rasul-rasul dari kalanganmu sendiri, yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu tentang pertemuan pada harimu ini?"
Mereka mengakui kesalahannya: "Benar (telah datang), tetapi telah pasti hukuman azab terhadap orang-orang kafir." Mereka diperintahkan memasuki pintu-pintu Jahannam untuk kekal di dalamnya. Tempat tinggal mereka, seburuk-buruknya tempat kembali, telah disiapkan.
Setelah itu, rombongan kedua digiring menuju surga (Jannah). Ini adalah *Zumarul Mukminin* (Rombongan Orang Beriman). Mereka digiring dengan penuh kehormatan. Ketika mereka sampai di pintu surga, pintu-pintu itu sudah terbuka—perbedaan kontras dengan pintu neraka yang dibuka setelah penghuni sampai. Ini melambangkan sambutan dan kesiapan surga untuk mereka yang beriman.
Para penjaga surga menyambut mereka dengan salam damai: "Kesejahteraan (salam) dilimpahkan kepadamu, berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya."
Rombongan surga menjawab dengan rasa syukur: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah memberikan kami tempat ini..." Rasa syukur ini adalah klimaks dari perjuangan hidup mereka di dunia. Mereka melihat balasan atas kesabaran dan keteguhan iman mereka.
Surah ini ditutup dengan pemandangan yang paling mulia dan agung. Engkau akan melihat para malaikat mengelilingi 'Arasy (Singgasana Allah), bertasbih memuji Tuhan mereka. Keputusan pengadilan telah diselesaikan, dan dikatakan: "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam." Ini adalah penutup kosmik, di mana keadilan ditegakkan, dan seluruh alam memuji keagungan Allah.
Surah Az-Zumar adalah manifesto Tauhid yang kuat, tidak hanya membahas keesaan dalam penciptaan, tetapi juga keesaan dalam kepemimpinan, ibadah, dan hukum. Berikut adalah beberapa hikmah mendalam yang terkandung dalam surah ini:
Pesan utama surah ini adalah pemurnian ibadah. Allah menekankan bahwa pengabdian harus murni (ikhlas), dan setiap bentuk ibadah harus diarahkan hanya kepada-Nya. Bahkan, keindahan dan keajaiban alam semesta (seperti rotasi matahari dan bulan, turunnya hujan) disajikan sebagai bukti yang menuntut Tauhidul Uluhiyyah (Keesaan dalam Peribadatan). Jika Allah adalah satu-satunya Pencipta, Dia pasti adalah satu-satunya yang berhak disembah.
Surah ini berulang kali memuji orang-orang yang berakal (*Ulul Albab*). Mereka adalah orang yang mendengarkan Al-Qur'an, merenungkannya, dan mengikuti yang terbaik dari ajarannya (Ayat 18). Az-Zumar mengajarkan bahwa iman bukanlah ketaatan buta, melainkan hasil dari perenungan mendalam terhadap tanda-tanda Allah di alam dan di dalam diri.
Ayat 53 adalah mercusuar harapan. Hikmahnya adalah bahwa sebesar apa pun dosa seorang hamba, Rahmat Allah jauh lebih besar. Dosa hanya menjadi fatal jika seorang hamba berputus asa dari Rahmat-Nya dan tidak sempat bertaubat sebelum kematian datang. Surah ini mendorong umat Islam untuk menjalani hidup dengan optimisme akan ampunan Allah, sambil terus berhati-hati terhadap dosa.
Jalan menuju kebahagiaan sejati (*Zumarul Mukminin*) adalah melalui gabungan antara rasa takut kepada Allah (*khauf*) yang mendorong untuk meninggalkan dosa, dan harapan kepada Rahmat-Nya (*raja'*) yang mendorong untuk berbuat kebaikan.
Bagian penutup surah memberikan motivasi terbesar. Nama *Az-Zumar* sendiri berfungsi sebagai peringatan: pada akhirnya, setiap orang akan ditempatkan dalam salah satu dari dua rombongan. Kontras antara rombongan Neraka yang digiring dengan paksa dan rombongan Surga yang disambut dengan salam damai menjadi pembeda utama antara kehidupan yang sia-sia dan kehidupan yang sukses.
Keindahan pada saat rombongan Surga tiba dan mendapati pintu telah terbuka, serta ucapan syukur mereka yang tulus ("Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya"), menunjukkan bahwa kesabaran dan perjuangan di dunia adalah investasi abadi yang sangat berharga.
Dengan menyamakan tidur dengan kematian sementara, dan kematian sebagai tidur abadi yang diikuti oleh kebangkitan, Surah Az-Zumar mengajarkan bahwa siklus hidup dan mati di bumi adalah miniatur dari Hari Kiamat. Ini seharusnya memicu kesadaran diri dan persiapan yang konstan.
Sebagai kesimpulan, Surah Az-Zumar berfungsi sebagai pelajaran integral mengenai Hak Allah atas hamba-Nya, konsekuensi dari penyimpangan spiritual, dan kasih sayang yang tak terbatas yang ditawarkan melalui pintu taubat. Seluruh narasi berujung pada adegan dramatis di mana keadilan ditegakkan, dan seluruh pujian dikembalikan kepada Allah, Tuhan semesta alam.
Untuk memahami Surah Az-Zumar secara holistik, perlu dianalisis bagaimana tema-tema yang tampaknya berbeda—seperti penciptaan kosmik, tidur, dan taubat—saling terkait dan membangun argumen Tauhid yang koheren. Surah ini menggunakan metode ‘kontras yang berkelanjutan’ (continuing antithesis) di mana setiap klaim kekafiran segera dibalas dengan bukti keesaan dan kekuasaan Allah.
Ayat-ayat awal (1-8) membangun jembatan antara wahyu yang diturunkan (Al-Qur'an) dan fitrah manusia. Allah menciptakan manusia dan alam semesta dengan kebenaran (al-Haqq). Ini berarti setiap penyimpangan dari Tauhid adalah penyimpangan dari konstruksi asli (fitrah) manusia itu sendiri. Ketika manusia berpaling kepada sekutu, mereka sebenarnya bertindak melawan intuisi yang telah Allah tanamkan di dalam diri mereka sejak awal penciptaan.
Penciptaan langit dan bumi tidak hanya sekadar cerita, melainkan bukti keberadaan ‘Tuhan yang Berkelanjutan’ (Sustaining Lordship). Hanya Tuhan yang mampu memutar matahari di orbitnya dan menundukkan malam dan siang, yang berhak menerima ibadah murni. Ini menguatkan Tauhidul Rububiyyah (Keesaan dalam Kepengurusan) sebagai dasar untuk Tauhidul Uluhiyyah.
Penggambaran hati yang dilapangkan (lapang dada) untuk Islam dan hati yang dikeraskan adalah kunci psikologi spiritual dalam surah ini. Ketika seseorang menolak kebenaran secara terus-menerus, penolakan itu meninggalkan bekas, seperti noda pada cermin. Az-Zumar menunjukkan bahwa orang yang hatinya sudah mati dan keras tidak akan tergerak oleh wahyu yang paling jelas sekalipun. Mereka berada dalam kerugian, karena mereka telah kehilangan kemampuan untuk merasa, merenung, dan menerima petunjuk.
Sebaliknya, deskripsi Al-Qur'an sebagai kitab yang bergetar adalah indikasi kesehatan spiritual. Getaran (merinding) kulit diikuti oleh ketenangan hati. Ini adalah proses ganda: ketakutan yang suci (*khauf*) yang dibawa oleh peringatan neraka dan ketenangan (*sakînah*) yang dibawa oleh janji surga. Keseimbangan ini adalah ciri khas Mukmin sejati.
Penolakan terhadap syafaat palsu di sini sangat penting dalam konteks Makkah. Kaum Quraisy percaya bahwa berhala mereka (seperti Lata, Uzza, Manat) dapat menjadi perantara. Az-Zumar menantang keras sistem perantara ini dengan menyatakan bahwa Allah memiliki kedaulatan penuh atas langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Tidak ada yang bisa berbicara, kecuali dengan izin-Nya. Jika mereka berani mengklaim ada sekutu yang memiliki kuasa syafaat tanpa seizin Allah, mereka adalah kaum yang bodoh dan buta spiritual.
Konsep ini mengajarkan bahwa berdoa secara langsung kepada Allah tanpa perantara adalah inti dari keikhlasan (al-Ikhlas), yang merupakan syarat utama diterimanya amal. Ketika hati dihadapkan pada satu-satunya sumber daya, maka ketenangan dan kekuatan spiritual akan tercapai.
Pengadilan di Hari Kiamat yang digambarkan dalam Ayat 69-70 tidak hanya bersifat hukuman, tetapi juga manifestasi sempurna dari Keadilan Allah. Dengan diletakkannya catatan amal dan dihadirkannya saksi (para Nabi, malaikat, dan bahkan anggota tubuh), tidak ada alasan untuk mengelak atau berdalih. Proses pengadilan ini menegaskan bahwa keadilan di dunia mungkin tidak sempurna, tetapi keadilan Allah (*al-Adl*) adalah mutlak dan tak terhindarkan. Hal ini memotivasi Mukmin untuk selalu berhati-hati dalam setiap tindakan.
Surah Az-Zumar dikenal karena penggunaan bahasa yang sangat puitis dan retorika yang kuat, khususnya dalam membangun kontras dramatis (antithesis) antara nasib dua kelompok manusia.
Penggunaan kata ‘Zumar’ (jamak dari *zumrah*, yang berarti kelompok yang bergerak bersama) pada Ayat 71 dan 73 memberikan kesan pergerakan yang masif dan terorganisir. Ini bukan hanya individu yang diadili, tetapi kelompok-kelompok yang diklasifikasikan berdasarkan akidah mereka. Kata ini mencerminkan keteraturan ilahi dalam pengadilan dan pemisahan yang jelas dan tegas antara kebaikan dan kebatilan.
Namun, cara penggiringan rombongan ini berbeda secara retoris:
Frasa "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri" adalah salah satu ekspresi paling lembut dalam Al-Qur'an. Allah tidak memanggil mereka ‘Hai orang-orang kafir’ atau ‘Hai orang-orang berdosa’, melainkan masih menggunakan panggilan kasih sayang 'hamba-hamba-Ku' (*Ya Ibādī*). Ini menunjukkan bahwa hubungan kehambaan tidak pernah terputus, dan rahmat Allah selalu siap menyambut kembalinya hamba, bahkan ketika hamba itu telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri melalui dosa.
Deskripsi Allah menggenggam seluruh bumi dan menggulung langit adalah contoh dari retorika ilahi yang bertujuan untuk menghancurkan kesombongan manusia. Ketika manusia merasa dirinya kuat atau mandiri, ayat ini datang untuk mengingatkan bahwa seluruh kosmos adalah sesuatu yang rapuh di hadapan Kekuasaan-Nya. Ini adalah puncak dari peringatan dan penegasan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang dapat menandingi kebesaran Allah.
Secara keseluruhan, Surah Az-Zumar adalah pelajaran tentang pilihan: pilihan antara Tauhid dan Shirk, antara pengetahuan dan kebodohan, antara harapan dan keputusasaan, dan pada akhirnya, antara rombongan Neraka dan rombongan Surga. Surah ini memberikan peta jalan spiritual yang jelas, di mana keberhasilan hanya dicapai melalui keikhlasan dan kepasrahan total kepada Allah, Tuhan semesta alam.
Dalam Az-Zumar, kekufuran digambarkan bukan sekadar ketidakpercayaan, tetapi sebagai kezaliman aktif terhadap diri sendiri dan meremehkan kebesaran Pencipta. Konsekuensi dari kekufuran ini dijelaskan dengan detail yang mengerikan untuk memberikan efek jera.
Allah mengingatkan bahwa mereka yang mendustakan wahyu di masa lalu (seperti Firaun dan kaumnya) telah merasakan azab yang datang dari arah yang tidak mereka duga. Ini menunjukkan bahwa hukuman Allah tidak terbatas pada jenis hukuman yang dapat diprediksi manusia. Di dunia, mereka mungkin merasakan kehinaan, tetapi Az-Zumar menekankan bahwa azab Akhirat jauh lebih dahsyat dan abadi, terutama pada Hari Kiamat, ketika Allah sendiri menjadi Hakim.
Ketika Rasulullah ﷺ ditanya, jika sekutu-sekutu palsu tidak mampu memberikan syafaat, apakah mereka mampu menimpakan mudarat? Az-Zumar menjawab bahwa jika Allah menghendaki keburukan menimpa seseorang, tidak ada satupun yang mampu menghilangkannya. Demikian pula, jika Allah menghendaki kebaikan, tidak ada yang dapat menahannya. Ini adalah penetapan final bahwa kekuasaan untuk memberikan manfaat dan bahaya sepenuhnya berada di tangan Allah. Pengingat ini memutus segala bentuk ketergantungan pada selain-Nya.
Surah ini secara sistematis membongkar rasionalisasi syirik. Orang musyrik Makkah sering mengklaim, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Ayat 3). Az-Zumar menolak klaim ini dengan keras, menyebut mereka pendusta. Allah tidak pernah memerintahkan atau merestui perantaraan dalam ibadah. Kezaliman terbesar adalah membuat-buat syariat atau alasan yang tidak pernah diturunkan dalam wahyu untuk membenarkan tindakan syirik.
Salah satu pelajaran pahit dalam surah ini adalah deskripsi kerugian total yang dialami oleh para pendusta. Ayat 65 menyebutkan bahwa jika seseorang menyekutukan Allah, amalnya akan gugur. Kerugian di sini bersifat mutlak; usaha seumur hidup, bahkan yang terlihat baik di mata manusia, menjadi tidak berarti tanpa pondasi Tauhid. Ini memperjelas bahwa Tauhid bukan sekadar bagian dari iman, melainkan syarat sahnya amal.
Surah Az-Zumar adalah kitab petunjuk yang menawarkan panduan praktis untuk mencapai status *Zumarul Mukminin*.
Inti dari surah ini adalah perintah untuk beribadah dengan ikhlas (Ayat 2). Secara praktis, ini berarti setiap tindakan, mulai dari yang paling kecil hingga yang terbesar, harus ditujukan untuk mencari ridha Allah semata, bebas dari motif pujian manusia, kepentingan duniawi, atau riya (pamer). Ikhlas adalah pelindung amal dari gugurnya kerugian yang disebutkan dalam Ayat 65.
Ayat 18 mendorong untuk menjadi individu yang kritis dan reflektif. Dalam menghadapi informasi, godaan, atau ideologi, seorang Muslim harus mengambil sikap *Ulul Albab*: mendengarkan semua argumen, tetapi hanya mengikuti yang paling benar (Al-Haqq). Ini menuntut penelitian, pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur'an, dan kemampuan membedakan kebenaran dari kebatilan, terutama di era informasi yang menyesatkan.
Peringatan tentang penyesalan di Hari Kiamat (Ayat 56-58) memberikan dorongan untuk memanfaatkan waktu. Penyesalan datang karena kelalaian. Praktik terbaik adalah selalu merasa kekurangan dalam beramal dan berusaha memperbaiki diri hari demi hari. Ingatan akan penyesalan ini berfungsi sebagai cambuk untuk menghindari prokrastinasi dalam taubat dan amal saleh.
Surah Az-Zumar mengajarkan keseimbangan antara *khauf* (takut kepada azab Allah) dan *raja'* (harapan akan Rahmat Allah). Ketakutan mendorong kita untuk bertaubat dengan segera dan menjauhi dosa. Harapan yang luar biasa dari Ayat 53 membebaskan kita dari keputusasaan. Kedua perasaan ini harus berjalan beriringan; terlalu banyak takut membuat putus asa, terlalu banyak berharap membuat lalai dari kewajiban.
Observasi terhadap fenomena alam (penciptaan langit dan bumi, pergiliran siang dan malam, hujan, tidur/mati) harus menjadi praktik harian bagi Mukmin. Fenomena ini bukan sekadar sains, tetapi tanda-tanda (Ayat) yang mengarahkan hati kepada keesaan Pencipta. Dengan merenungkan tanda-tanda ini, akidah menjadi kokoh, sebagaimana yang ditekankan berulang kali dalam surah ini.
Dengan demikian, Surah Az-Zumar tidak hanya menyajikan doktrin teologis, tetapi juga menawarkan manual moral dan spiritual yang memimpin hamba Allah menuju keberhasilan abadi dalam rombongan yang mulia.