Analisis Mendalam tentang Epistemologi Wahyu Melawan Fanatisme Tradisi
Surah Al-Baqarah ayat 170 adalah salah satu pilar fundamental dalam Al-Qur’an yang secara tegas membedakan antara kepatuhan berbasis bukti (wahyu dan akal) dan kepatuhan berbasis emosi atau warisan sosial (tradisi nenek moyang). Ayat ini tidak hanya menyajikan dialog antara Nabi Muhammad ﷺ dan orang-orang yang menolak seruan tauhid, tetapi juga memberikan cetak biru epistemologis (teori pengetahuan) bagi setiap Muslim hingga akhir zaman.
(Terjemah): "Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab: '(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.' Apakah (mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak mendapat petunjuk?"
Pesan utama dari ayat ini adalah penolakan keras terhadap taqlid buta (blind imitation). Ketika dihadapkan pada cahaya wahyu—sebuah ajaran yang jelas, logis, dan universal—mereka yang menolaknya tidak mendasarkan penolakan mereka pada argumen tandingan, melainkan pada kelekatan emosional dan sosial terhadap praktik leluhur. Jawaban mereka, "kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami," merupakan pengakuan bahwa tradisi telah mengambil alih peran otoritas Ilahi.
Ayat ini sering kali ditujukan kepada kaum musyrikin Makkah yang menolak Islam karena praktik mereka (seperti menyembah berhala, ritual haji yang menyimpang, dan sistem sosial yang tidak adil) sudah mendarah daging selama berabad-abad. Namun, ulama tafsir juga melihatnya relevan bagi ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang mempertahankan praktik keagamaan yang telah diubah atau ditinggalkan, semata-mata karena itu adalah warisan dari pendahulu mereka, meskipun bertentangan dengan ajaran tauhid yang dibawa oleh para nabi.
Penolakan terhadap wahyu yang didasarkan pada warisan ini menunjukkan konflik fundamental antara dua sumber pengetahuan: Naql (teks suci) dan 'Urf (kebiasaan atau tradisi). Al-Qur’an menempatkan wahyu sebagai standar kebenaran mutlak, sementara tradisi harus selalu diuji dan divalidasi oleh wahyu dan akal yang sehat.
Untuk memahami kedalaman ayat 170, kita perlu mengurai beberapa istilah kunci dalam bahasa Arab yang digunakan, yang membawa nuansa makna yang kuat.
Perintah Allah adalah "Ikutilah (Ittabi’ū) apa yang telah diturunkan Allah." Ittibā‘ berarti mengikuti dengan pengetahuan, kesadaran, dan berdasarkan bukti. Ketika seseorang melakukan ittibā‘, ia mengetahui mengapa ia mengikuti dan memiliki landasan rasional. Sebaliknya, yang mereka lakukan adalah taqlīd, meskipun ayat tersebut menggunakan kata nattabi‘u (kami mengikuti), konteksnya menunjukkan kualitas ketaatan yang buta. Taqlīd secara harfiah berarti "memakaikan kalung" atau "menyalut", menunjukkan bahwa seseorang menempatkan lehernya di bawah otoritas orang lain tanpa bertanya atau menyelidiki. Ayat ini mengkritik substitusi ittibā‘ yang berakal dengan taqlīd yang membabi buta.
Penggunaan kata ābā’unā tidak secara otomatis menolak semua tradisi. Islam menghargai kesinambungan generasi dan warisan yang baik (sunnah hasanah). Kritik dalam ayat ini ditujukan pada ābā’unā yang "lâ ya‘qilūna shai’an wa lâ yahtadūn" (tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak mendapat petunjuk). Ini adalah kualifikasi penting: hanya tradisi yang bertentangan dengan akal sehat atau yang tidak berdasar pada bimbingan Ilahi lah yang ditolak. Ini mencegah justifikasi praktik sesat hanya karena sudah tua.
Puncak kritik ayat ini terletak pada pertanyaan retoris di akhir: "Apakah (mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak mendapat petunjuk?"
Ayat ini menyiratkan bahwa kebenaran harus memenuhi dua uji: Uji Vertikal (wahyu) dan Uji Horizontal (akal). Jika tradisi leluhur gagal pada kedua uji ini, kepatuhan padanya adalah irasionalitas total.
Al-Baqarah 170 adalah fondasi bagi perdebatan epistemologi dalam Islam, menuntut seorang Muslim untuk menjadi subjek yang aktif dalam pencarian kebenaran, bukan objek pasif dari warisan. Ayat ini membedakan antara beberapa jenis otoritas yang sering disalahpahami.
Otoritas yang mutlak dan tak terbantahkan hanyalah milik Allah (Wahyu). Segala otoritas lain—termasuk otoritas leluhur, guru, atau bahkan mayoritas umat—adalah relatif dan tunduk pada pemeriksaan. Ketika tradisi (otoritas relatif) diangkat sejajar atau di atas wahyu (otoritas absolut), inilah yang dikecam. Fanatisme tradisi terjadi ketika rasa nyaman terhadap kebiasaan mengalahkan hasrat untuk mencari kebenaran yang lebih tinggi.
Ayat ini secara eksplisit mengaitkan kegagalan mengikuti wahyu dengan kegagalan menggunakan akal. Akal dalam pandangan Islam klasik (khususnya dalam Mazhab Maturidiyah dan sebagian besar Mu'tazilah, meskipun dengan perbedaan detail) bukan hanya alat kognitif, tetapi juga prasyarat fundamental bagi tanggung jawab agama (taklif). Bagaimana seseorang dapat bertanggung jawab jika ia tidak menggunakan akalnya?
Imam Al-Ghazali, dalam membahas peran akal, menekankan bahwa wahyu datang untuk memperkuat dan membimbing akal, bukan untuk memadamkannya. Akal adalah cahaya yang dengannya kita dapat memahami tanda-tanda Allah (ayat) di alam semesta dan memverifikasi keaslian wahyu. Ketika tradisi mengunci akal, maka ia menjadi tirani. Ayat 170 adalah seruan untuk membebaskan akal dari penjara sejarah yang tidak teruji.
Orang-orang yang berpegangan pada tradisi nenek moyang sering kali mengkultuskan sejarah, menjadikan praktik masa lalu sebagai tolok ukur kebenaran. Mereka menganggap bahwa masa lalu secara inheren lebih suci atau lebih benar daripada masa kini. Al-Qur’an menantang pandangan ini dengan mengingatkan bahwa nenek moyang, terlepas dari seberapa jauh garis keturunan mereka, adalah manusia biasa yang tunduk pada kesalahan, kebodohan, dan kurangnya petunjuk.
Ini memunculkan prinsip bahwa kebenaran bukanlah masalah kronologi, melainkan masalah substansi. Yang benar adalah apa yang sesuai dengan wahyu, bukan apa yang paling lama ada. Kritik ini bersifat universal, berlaku pada setiap masa dan setiap masyarakat yang menolak perubahan atau pembaruan yang berbasis pada wahyu sahih, hanya karena alasan 'inilah yang selalu kita lakukan'.
Meskipun Al-Baqarah 170 berbicara tentang penolakan terhadap ajaran dasar tauhid, prinsip anti-taqlid buta ini memiliki resonansi mendalam dalam disiplin ilmu Fiqh (jurisprudensi) dan Ushul Fiqh (metodologi hukum Islam).
Dalam sejarah Islam, ayat ini digunakan oleh para reformis dan ulama besar (seperti Ibn Taimiyyah dan para pendukung gerakan Salafi) untuk mengkritik fanatisme madzhab. Ketika seorang Muslim secara total menolak dalil yang kuat (dari Al-Qur’an atau Sunnah sahih) hanya karena madzhab yang ia ikuti tidak mengajarkan hal tersebut, ia jatuh ke dalam perangkap yang mirip dengan yang dikecam dalam Al-Baqarah 170: menggantikan wahyu dengan otoritas manusia.
Para ulama ushul fiqh membedakan antara Taqlid Mahzhum (taqlid terpuji bagi orang awam yang tidak memiliki alat untuk ijtihad) dan Taqlid Mazmum (taqlid tercela bagi mereka yang mampu berijtihad atau ketika ia tahu ada dalil yang lebih kuat). Al-Baqarah 170 berbicara tentang Taqlid Mazmum yang merusak dasar agama. Ketaatan terhadap madzhab harus didasarkan pada keyakinan bahwa madzhab tersebut berupaya mengikuti wahyu, bukan karena madzhab itu adalah tradisi leluhur semata.
Tradisi atau kebiasaan lokal (‘Urf) merupakan salah satu sumber hukum pelengkap dalam Fiqh, asalkan tidak bertentangan dengan Nash (teks suci). Ayat 170 menjadi rambu-rambu penting: kebiasaan, sekuat apa pun ia mengakar, harus gugur jika berbenturan dengan perintah Allah yang jelas. Jika ‘Urf tersebut merupakan sisa-sisa dari praktik jahiliyah atau syirik, maka ia wajib ditinggalkan, bahkan jika praktik tersebut telah dilakukan oleh ratusan generasi sebelumnya.
Ayat ini juga menjadi dasar teologis untuk perlawanan terhadap bid'ah, khususnya yang berkaitan dengan ibadah ritual yang tidak memiliki landasan dari Nabi ﷺ. Bid’ah sering kali dimulai sebagai upaya "memperindah" agama, tetapi seiring waktu, ia menjadi tradisi yang diyakini sebagai kebenaran mutlak. Ketika tradisi bid’ah ini ditantang dengan dalil sahih, penolakan sering kali beralasan pada 'inilah yang selalu kita lakukan', persis mengulangi narasi Al-Baqarah 170.
Ayat 170 bukanlah kasus yang terisolasi. Al-Qur’an secara konsisten menantang manusia untuk menggunakan akalnya dan menolak ketaatan buta. Ayat-ayat sejenis memperkuat bahwa kegagalan untuk berpikir independen adalah akar dari banyak kesesatan.
Allah berfirman di Surah Al-Ma'idah ayat 104, yang memiliki struktur retoris sangat mirip:
"Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul,’ mereka menjawab: ‘Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’ Apakah mereka itu akan mengikutinya juga, walaupun bapak-bapak mereka tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?"
Perulangan pola ini—wahyu versus leluhur, yang diakhiri dengan peringatan tentang kebodohan leluhur—menegaskan bahwa kritik ini adalah tema sentral dalam pesan Islam. Ini bukan sekadar teguran, melainkan pelajaran metodologis: argumen berbasis 'kami selalu melakukannya' adalah argumen yang secara teologis lemah.
Ayat-ayat di Surah Az-Zukhruf menunjukkan bagaimana taqlid buta menjadi benteng pertahanan terakhir bagi mereka yang menolak kebenaran:
"Bahkan mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami hanyalah pengikut jejak-jejak mereka.’" (Az-Zukhruf: 22)
Jawaban mereka di sini bahkan lebih eksplisit, menggunakan kata ‘iqtidā’ (mengikuti jejak), yang menunjukkan keterikatan total. Al-Qur’an menantang mereka dengan pertanyaan: "Apakah kamu akan mengikuti juga nenek moyangmu, sekalipun aku membawa petunjuk yang lebih baik daripada yang kamu dapati pada nenek moyangmu?" (Az-Zukhruf: 24). Ini menunjukkan bahwa inovasi yang berbasis wahyu lebih unggul daripada tradisi usang.
Ayat yang langsung menyusul Al-Baqarah 170 (ayat 171) memberikan gambaran yang tajam mengenai kondisi mental mereka yang melakukan taqlid buta. Allah menggambarkan mereka seperti "orang yang memanggil (binatang) yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan." Ini adalah metafora yang brutal namun jujur: menolak untuk menggunakan akal, dan hanya mematuhi tradisi tanpa verifikasi, mereduksi manusia ke tingkat kesadaran binatang yang hanya merespons suara tanpa memahami maknanya. Mereka memiliki telinga, mata, dan akal, tetapi tidak menggunakannya untuk memahami kebenaran (Shummun, Bukmun, ‘Umyun—tuli, bisu, buta).
Seringkali disalahpahami bahwa ayat 170 hanya berlaku untuk kaum pagan di Makkah. Namun, ayat ini adalah kritik abadi terhadap mentalitas, dan manifestasinya dalam kehidupan modern sangat nyata, meluas dari ranah agama ke ranah sosial, politik, dan bahkan digital.
Di era informasi, tradisi buta bertransformasi menjadi 'echo chambers' atau 'gelembung filter' ideologis. Seseorang mungkin secara membabi buta mengikuti ideologi politik, pandangan ekonomi, atau narasi berita tertentu, bukan karena telah diverifikasi dengan akal dan data, tetapi karena ‘inilah yang diyakini oleh komunitas saya’ atau ‘inilah yang diajarkan oleh guru/influencer saya’.
Dalam konteks ini, 'nenek moyang' dapat digantikan oleh 'mentor ideologis', 'partai politik', atau 'grup WhatsApp' yang kita ikuti. Penolakan terhadap fakta yang bertentangan, semata-mata karena loyalitas pada kelompok, adalah taqlid buta versi abad ke-21. Kritik Al-Qur’an relevan: "Apakah kamu akan mengikuti juga, walaupun mentor ideologismu tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak mendapat petunjuk?"
Dalam masyarakat yang didominasi oleh konsumerisme, tekanan untuk mengikuti 'tradisi' finansial atau sosial yang diwariskan dari generasi sebelumnya—seperti sistem utang, cara berinvestasi, atau tolok ukur kesuksesan material—seringkali dijalankan tanpa refleksi. Ayat ini mendorong umat Islam untuk menguji praktik sosial dan ekonomi yang diwariskan dengan standar etika Islam, bukan sekadar mengikuti tren atau warisan keluarga yang mungkin mengandung unsur riba, ketidakadilan, atau keserakahan yang tidak bermoral.
Dalam ilmu agama sendiri, taqlid buta terjadi ketika seseorang menolak hasil ijtihad baru (yang berbasis dalil kuat) hanya karena hal itu melanggar tradisi mazhab lama yang ia kenal. Ayat 170 adalah seruan kepada para pelajar agama untuk selalu bersikap kritis, membedakan antara metode (yang dapat dipertahankan) dan kesimpulan yang keliru (yang harus ditinggalkan jika bertentangan dengan bukti). Kemuliaan Islam terletak pada keterbukaan terhadap pembuktian.
Dengan demikian, ayat ini berfungsi sebagai prinsip pembaruan (tajdid) yang abadi. Tajdid berarti mengembalikan praktik ke sumbernya yang murni, menyingkirkan lapisan-lapisan tradisi yang tidak berdasar. Pembaru sejati adalah mereka yang memiliki keberanian intelektual untuk mengatakan: "Kami akan mengikuti wahyu, bahkan jika itu berarti bertentangan dengan apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami yang tidak mendapat petunjuk."
Ayat Al-Baqarah 170 tidak bertujuan untuk menghancurkan warisan, melainkan untuk membersihkan dan memurnikannya. Islam mengajarkan bahwa tradisi yang baik (al-sunnah al-hasanah) harus dipertahankan dan bahkan dikembangkan, sementara tradisi yang buruk (al-sunnah al-sayyi’ah) harus ditinggalkan. Kuncinya adalah kriteria pembeda.
Untuk menghindari perangkap taqlid buta, seorang Muslim harus selalu mengajukan tiga pertanyaan dasar terhadap setiap praktik atau kepercayaan yang diwariskan:
Jika suatu praktik gagal dalam uji wahyu dan uji akal—seperti yang tersirat dalam kritik "lā ya‘qilūna shai’an wa lā yahtadūn"—maka kepatuhan padanya adalah bentuk kekufuran intelektual yang sangat berbahaya. Ini adalah penolakan terhadap anugerah terbesar Allah kepada manusia: kemampuan untuk berpikir dan membedakan.
Mengapa sangat sulit bagi manusia untuk meninggalkan tradisi? Para ahli sosiologi dan psikologi menjelaskan bahwa tradisi memberikan rasa identitas, keamanan, dan kepemilikan. Mengkritik tradisi nenek moyang sering kali dianggap sama dengan mengkhianati komunitas atau keluarga. Al-Qur’an mengakui kesulitan ini, namun menuntut agar loyalitas tertinggi ditempatkan pada Kebenaran (al-Haqq), meskipun harganya adalah pemutusan ikatan dengan kebiasaan yang nyaman.
Keberanian moral dan intelektual untuk melepaskan diri dari rantai tradisi yang tidak berdasar adalah inti dari keimanan sejati. Islam menolak dogmatisme pasif dan menganjurkan ijtihad (usaha keras) dan tadabbur (perenungan mendalam) sebagai gaya hidup seorang mukmin.
Untuk memenuhi kedalaman analisis yang diperlukan, mari kita telaah lebih jauh bagaimana Al-Qur’an menyusun argumennya dalam ayat 170 sebagai penolakan terhadap rasionalitas yang cacat. Logika penolakan ini dapat dipecah menjadi tiga fase yang saling terkait, menunjukkan konsistensi naratif dalam wahyu.
Ayat dimulai dengan perintah: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Ini adalah presentasi Tawaran Ilahi. Wahyu adalah kebenaran yang ditransmisikan secara sempurna, tanpa cacat, dan dirancang oleh Sang Pencipta yang Maha Tahu. Mengikuti wahyu adalah bentuk ketaatan yang paling rasional karena ia didasarkan pada pengetahuan absolut.
Perintah ini secara inheren bersifat inklusif terhadap akal, karena isi wahyu (Al-Qur’an) penuh dengan dorongan untuk berpikir, merenung (yatadabbarun), dan menggunakan akal (ya‘qilūn). Wahyu menyediakan materi, dan akal menyediakan alat pemrosesannya. Oleh karena itu, tawaran untuk mengikuti wahyu adalah tawaran untuk mengikuti kebenaran yang diverifikasi.
Respon dari penolak: “Bahkan kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.” Argumen ini, meskipun terdengar kuat secara sosiologis, secara logis cacat karena:
Penting dicatat bahwa mereka menggunakan kata “alfainā” (kami dapati). Kata ini sering digunakan untuk sesuatu yang ditemukan tanpa usaha keras, menunjukkan bahwa praktik tersebut diambil secara pasif, tanpa proses pencarian kebenaran aktif.
Al-Qur’an kemudian menyajikan pukulan pamungkas melalui pertanyaan retoris, yang berfungsi sebagai pembatalan logis universal: “Apakah (mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak mendapat petunjuk?”
Ayat ini mengajarkan bahwa apabila tradisi tidak didasarkan pada pengetahuan sejati, maka usianya menjadi tidak relevan. Kritik terhadap “lā ya‘qilūna shai’an” adalah pengingat bahwa kebodohan tidak menjadi kebenaran hanya karena sudah diwariskan. Jika leluhur tidak menggunakan akal mereka (tidak mengetahui), dan gagal dalam menerima petunjuk (tidak mendapat hidayah), maka mengikuti mereka adalah tindakan irasional murni yang tidak dapat dipertahankan. Ini adalah tuntutan untuk melakukan audit epistemologis terhadap setiap warisan yang diterima.
Kekuatan ayat ini terletak pada penegasannya bahwa penggunaan akal adalah kewajiban agama. Meninggalkan akal sama saja dengan menolak persyaratan dasar menjadi subjek dari perintah Tuhan. Mereka yang menolak wahyu atas nama tradisi sedang menolak akal mereka sendiri, dan oleh karena itu, mereka layak disamakan dengan makhluk yang hanya mendengar gema tanpa pemahaman.
Dampak dari prinsip Al-Baqarah 170 meluas ke dalam perkembangan filsafat dan teologi Islam. Para pemikir besar selalu bergulat dengan keseimbangan antara otoritas Naql (teks) dan 'Aql (rasio), sebuah perdebatan yang diinisiasi oleh ayat-ayat seperti ini.
Mazhab-mazhab teologi seperti Asy'ariyah dan Maturidiyah, meskipun berbeda dalam detail, sepakat bahwa akal memiliki peran penting sebelum wahyu. Akal wajib digunakan untuk mengetahui eksistensi Allah, bahkan sebelum wahyu diterima, sebuah konsep yang dikenal sebagai Wujūb Ma'rifatillāh bil-Aql. Jika akal memiliki kewajiban ini, bagaimana mungkin ia boleh dimatikan hanya karena tradisi? Ayat 170 memperkuat argumentasi bahwa kemampuan berakal adalah amanah yang tidak boleh diserahkan kepada pihak lain.
Filsuf seperti Ibn Rushd (Averroes) secara eksplisit berargumen dalam karyanya, Fasl al-Maqal (The Decisive Treatise), bahwa tidak mungkin ada konflik abadi antara akal yang valid dan wahyu yang otentik, karena keduanya berasal dari Sumber yang sama (Allah). Jika ada konflik yang tampak, itu karena interpretasi wahyu yang keliru, atau penggunaan akal yang salah. Tradisi yang ditolak dalam Al-Baqarah 170 adalah tradisi yang secara demonstratif bertentangan dengan kejelasan akal dan kejelasan wahyu.
Tradisi nenek moyang hanya dapat diterima jika ia merupakan implementasi bijaksana dari wahyu atau jika ia merupakan kebiasaan (‘urf) yang netral dan tidak bertentangan dengan syariat. Namun, begitu tradisi tersebut menjadi benteng pertahanan melawan kebenaran yang jelas, ia beralih fungsi dari warisan budaya menjadi belenggu spiritual.
Surah Al-Baqarah ayat 170 adalah undangan abadi untuk kesadaran, kebebasan berpikir, dan tanggung jawab intelektual. Ayat ini menantang manusia untuk berdiri tegak di hadapan kebenaran, terlepas dari tekanan sosial atau kenyamanan sejarah.
Tugas seorang Muslim, di setiap generasi, adalah menguji warisannya dengan cermat: memelihara tradisi keilmuan yang valid, menghormati pendahulu yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah, namun dengan tegas menolak setiap dogma atau praktik yang hanya bertahan karena telah lama ada, tanpa dukungan akal yang sehat dan bimbingan wahyu.
Keimanan yang sejati bukanlah ketaatan yang diwariskan secara otomatis, melainkan keyakinan yang dibangun melalui penyelidikan, perenungan, dan penggunaan akal. Dengan menjadikan wahyu sebagai cahaya dan akal sebagai alat navigasi, umat Islam dapat membebaskan diri dari belenggu 'apa yang telah kita dapati dari nenek moyang kita' dan meraih hidayah yang sempurna, yang diturunkan oleh Allah, Tuhan semesta alam.
Pesan ini terus bergema: Jangan biarkan tradisi membutakanmu. Jangan biarkan masa lalu menentukan kebenaranmu. Jadikanlah Kebenaran itu sendiri yang menjadi nenek moyang dan penuntun bagimu.
Dalam analisis terakhir, kita menyadari bahwa Al-Baqarah 170 tidak hanya menargetkan praktik paganisme spesifik di masa lalu, tetapi menetapkan prinsip universal mengenai cara manusia memperoleh dan menerima pengetahuan. Ini adalah penolakan terhadap otoritarianisme historis. Otoritarianisme historis adalah keyakinan bahwa sesuatu itu benar hanya karena telah dipraktikkan oleh para pendahulu yang dihormati. Al-Qur’an membalikkan logika ini: Para pendahulu layak dihormati, tetapi kebenaran adalah otoritas, dan bukan sebaliknya.
Ayat ini memaksa setiap individu untuk melakukan ijtihad pribadi dalam batas kemampuannya. Bahkan bagi seorang awam, ijtihad minimal adalah kemampuan untuk membedakan antara ajaran yang disajikan dengan bukti (dalil) dan ajaran yang disajikan hanya dengan klaim "inilah yang selalu dilakukan". Tugas ini, meskipun berat, adalah perlindungan utama dari penyimpangan kolektif.
Tuhan memberikan kita akal sebagai filter terakhir sebelum kebenaran diterima. Kegagalan menggunakan akal dalam menerima wahyu adalah ironi terbesar. Seseorang diminta menerima Firman Tuhan, yang merupakan puncak rasionalitas dan kebijaksanaan, namun menolaknya dengan alasan yang paling irasional—yaitu, ketaatan pada kebodohan masa lalu. Konflik ini adalah krisis iman yang diperangi oleh ayat 170. Pembebasan dari taqlid buta adalah prasyarat untuk kebebasan spiritual sejati.