Ayat suci Al-Qur'an adalah panduan hidup yang sempurna, mencakup segala aspek, mulai dari ibadah spiritual yang paling tinggi hingga urusan duniawi yang paling mendasar, seperti cara kita mencari dan mengonsumsi makanan. Di antara sekian banyak petunjuk agung tersebut, Surah Al-Baqarah ayat 172 menempati posisi sentral, menyajikan sebuah formula kehidupan yang holistik: kehalalan dan kebaikan rezeki harus diikuti dengan rasa syukur yang mendalam, sebagai manifestasi utama dari pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ayat ini bukanlah sekadar anjuran diet atau etika makan, melainkan sebuah pernyataan teologis dan filosofis yang mendalam tentang hubungan manusia dengan Sang Pencipta, sumber rezeki, dan tujuan akhir dari setiap tindakan. Ketika ayat ini diturunkan, ia menetapkan standar moral dan jurisprudensial yang membedakan kehidupan seorang Muslim sejati. Fokus utama kita dalam kajian ekstensif ini adalah membongkar setiap lapis makna, implikasi fiqh, dan dimensi spiritual dari perintah ilahi ini.
Untuk memahami sepenuhnya perintah ini, kita harus membedah frasa per frasa. Kekuatan bahasa Arab dalam Al-Qur'an terletak pada ketelitian pemilihan kata (i'jaz), dan setiap kata dalam ayat 172 ini memiliki bobot makna yang sangat besar.
Panggilan dimulai dengan seruan khusus kepada "orang-orang yang beriman" (Ya ayyuhallazina amanu). Dalam tradisi tafsir, setiap kali Allah memulai perintah atau larangan dengan seruan ini, itu menandakan bahwa perintah yang menyusul adalah sesuatu yang fundamental yang hanya dapat diinternalisasi dan dilaksanakan oleh mereka yang memiliki komitmen keimanan yang sesungguhnya. Ini bukan perintah untuk seluruh manusia secara umum, melainkan tanggung jawab spesifik yang diemban oleh komunitas yang mengakui Keesaan Allah. Kepatuhan terhadap perintah makan yang halal dan bersyukur ini adalah barometer sejati keimanan seseorang.
Kata kerja kulu (makanlah) berbentuk perintah (amr). Ini menunjukkan bahwa konsumsi adalah sebuah tindakan yang diizinkan dan merupakan bagian integral dari kehidupan—bukan hanya kebutuhan biologis, tetapi juga lahan ibadah. Namun, perintah ini langsung dibatasi oleh syarat berikutnya, menunjukkan bahwa tindakan makan tidak boleh bebas tanpa batasan ilahi. Perintah ini mencakup segala bentuk penggunaan rezeki, tidak terbatas pada makanan yang dicerna, tetapi juga mencakup harta benda yang digunakan untuk menopang kehidupan.
Inilah inti dari hukum konsumsi dalam Islam. Frasa ini mengandung tiga elemen penting yang harus dipenuhi secara simultan:
Setelah perintah makan, Allah langsung menyertakannya dengan perintah syukur (washkuru lillah). Ini adalah transisi dari tindakan fisik (makan) ke tindakan spiritual (hati dan lisan). Keseimbangan ini mengajarkan bahwa kenikmatan duniawi harus diimbangi dengan kesadaran spiritual. Syukur, di sini, diarahkan hanya kepada Allah (lillah), karena Dialah satu-satunya Pemberi Rezeki. Perintah ini menunjukkan bahwa makan tanpa syukur adalah bentuk pengingkaran terhadap Pemberi Rezeki.
Kalimat penutup ini berfungsi sebagai klausul bersyarat dan penekanan tujuan. "Jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah." Ini menghubungkan secara eksplisit antara etika konsumsi dan hakikat ibadah (ta'budun). Makanan yang halal dan syukur bukanlah sekadar anjuran moral; ia adalah prasyarat atau bukti nyata dari pengakuan hamba atas ketuhanan Allah. Jika kita mengklaim menyembah-Nya, maka ketaatan terhadap perintah *halalan thayyiban* dan syukur harus menjadi prioritas absolut.
Seringkali, istilah halal dan thayyib digunakan secara bergantian, padahal dalam konteks Al-Qur'an, keduanya memiliki dimensi yang berbeda dan saling melengkapi. Ayat ini menuntut terpenuhinya kedua dimensi tersebut: rezeki harus halal (diperoleh secara sah menurut syariat) dan thayyib (bersih, baik, dan berkualitas).
Konsep halal berkaitan erat dengan legalitas syariah. Halal fokus pada aspek eksternal dan hukum:
Para ulama sepakat bahwa mengonsumsi harta yang haram, meskipun zat makanannya adalah beras atau air, memiliki efek racun spiritual yang jauh lebih berbahaya daripada racun fisik. Rezeki yang haram akan menghalangi diterimanya ibadah dan doa.
Konsep thayyib melampaui kehalalan hukum. Ia berfokus pada kualitas, kemurnian, dan manfaat. Makanan yang halal, tetapi tidak thayyib, tidak sempurna dalam pandangan syariat.
Kombinasi halalan thayyiban mengajarkan bahwa Islam menuntut standar ganda: kepatuhan hukum yang ketat (halal) dan keunggulan kualitas moral dan fisik (thayyib). Makan adalah ibadah, dan ibadah menuntut yang terbaik dan tersempurna.
Ayat 172 tidak mengakhiri perintah setelah "makanlah," tetapi langsung menindaklanjuti dengan "bersyukurlah kepada Allah." Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada jarak antara nikmat yang diterima dan kewajiban moral untuk merespons nikmat itu. Syukur, dalam konteks ayat ini, adalah lebih dari sekadar ucapan lisan. Ia adalah sistem respons spiritual yang harus meresap ke dalam tiga komponen keberadaan manusia.
Syukur yang paling mendasar adalah pengakuan internal bahwa segala rezeki, baik besar maupun kecil, sepenuhnya berasal dari Allah. Pengakuan ini harus menghilangkan sifat ujub (bangga diri) atau merasa bahwa rezeki adalah hak mutlak hasil jerih payah semata. Hati yang bersyukur adalah hati yang tawadhu (rendah hati) dan sadar akan kebergantungan total. Tanpa pengakuan hati ini, ucapan syukur lisan hanyalah retorika kosong. Kesadaran ini juga melahirkan sifat ridha (puas) terhadap ketetapan rezeki, menjauhkan dari dengki dan iri terhadap apa yang dimiliki orang lain.
Ini adalah manifestasi yang paling mudah dikenali, yaitu mengucapkan pujian dan pengakuan, seperti Alhamdulillah (Segala Puji bagi Allah). Ucapan syukur lisan ini harus autentik, diucapkan dengan penuh penghayatan dan pemahaman akan makna yang terkandung di dalamnya. Ucapan syukur lisan juga mencakup menyebarluaskan kebaikan dan nikmat yang telah diterima, memberikan kesaksian (tahadduth bin ni'mah) sebagai pengingat bagi diri sendiri dan orang lain akan kebesaran karunia Ilahi.
Inilah dimensi syukur yang paling penting dan paling sulit: menggunakan rezeki yang diterima (harta, waktu, kesehatan, makanan) sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh Pemberi Rezeki. Syukur perbuatan atas makanan halal adalah menggunakan energi yang dihasilkan dari makanan itu untuk melakukan ketaatan, seperti shalat, berpuasa, mencari ilmu, berbuat baik, dan berjuang di jalan Allah.
Jika seseorang makan makanan terbaik dari hasil halal, tetapi energinya digunakan untuk maksiat, maka ia telah merusak syukur perbuatan. Syukur perbuatan atas harta adalah menunaikan zakat, bersedekah, dan membelanjakan harta untuk hal-hal yang bermanfaat bagi umat dan diri sendiri, menghindari pemborosan (israf) dan kekikiran (bakhil). Pemborosan, bahkan dalam makanan halal, adalah bentuk pengingkaran nikmat dan merusak esensi syukur.
Ayat 172 ditutup dengan klausul ibadah, yang menggarisbawahi pentingnya rezeki halal. Para ulama tafsir menghubungkan secara langsung antara makanan yang masuk ke perut dengan keadaan spiritual dan diterimanya amal shalih. Makanan yang dikonsumsi adalah bahan bakar spiritual; jika bahan bakarnya kotor, maka kinerja spiritual pun akan terganggu.
Terdapat banyak hadits yang memperingatkan tentang bahaya rezeki haram terhadap penerimaan doa. Salah satu hadits yang terkenal menggambarkan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut dan berdebu—sebuah kondisi yang biasanya membuat doa lebih cepat diijabah—ia mengangkat tangan ke langit, memohon: "Ya Rabbi, Ya Rabbi!" Namun, Rasulullah ﷺ bersabda: "Bagaimana mungkin doanya dikabulkan, padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dengan yang haram?"
Kisah ini menunjukkan bahwa faktor makanan haram dapat menjadi penghalang tebal antara hamba dan Rabb-nya, menutup pintu-pintu langit bagi doa dan permohonan. Ini bukan hanya tentang konsumsi fisik, tetapi juga tentang seluruh rantai pencarian rezeki. Setiap transaksi yang melibatkan ketidakadilan, penipuan, atau riba akan meninggalkan residu haram yang membatalkan kebersihan spiritual.
Makanan haram cenderung mengeraskan hati (qaswah al-qalb). Hati yang keras sulit menerima nasehat, sulit merasakan manisnya ibadah, dan cenderung lalai dalam ketaatan. Sebaliknya, makanan yang halal dan thayyib, yang disertai dengan syukur, akan membersihkan hati, membuatnya lebih lembut, lebih reseptif terhadap kebenaran, dan lebih bersemangat dalam melaksanakan perintah Allah.
Ketika seseorang menyantap rezeki yang diperoleh dengan jujur, keringat yang tulus, dan cara yang dibenarkan syariat, ia merasakan ketenangan dan keberkahan (barakah) yang menembus ke dalam jiwa. Energi dari makanan itu menjadi energi positif yang mendorongnya untuk beribadah dan beramal shalih. Inilah hakikat dari menghubungkan konsumsi dengan ibadah, seperti yang ditekankan oleh ayat Al-Baqarah 172.
Di era modern, konsep *halalan thayyiban* menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibandingkan zaman Nabi. Globalisasi rantai pasok, industri makanan cepat saji, dan inovasi teknologi pangan memerlukan pemahaman yang lebih dalam mengenai dimensi thayyib.
Secara tradisional, makanan yang haram adalah yang dilarang zatnya. Namun, dalam konteks thayyib, kita harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari pengolahan makanan.
Aspek thayyib dari rezeki juga menyentuh etika mencari nafkah. Tidak cukup jika pekerjaan itu "tidak haram," tetapi haruslah pekerjaan yang baik dan bermartabat (thayyib).
Kekayaan yang diperoleh melalui praktik bisnis yang merugikan masyarakat, manipulasi pasar, monopoli yang menzalimi, atau praktik eksploitasi alam yang berlebihan, meskipun tidak secara langsung melanggar satu pasal haram, melanggar semangat thayyib. Seorang Muslim harus berusaha mencari rezeki dari pekerjaan yang membawa kemaslahatan (kebaikan) bagi dirinya, keluarganya, dan lingkungan sekitarnya. Ini adalah implementasi syukur perbuatan dalam aspek ekonomi.
Rezeki yang dimaksudkan dalam Al-Baqarah 172 tidak terbatas pada makanan dan harta. Rezeki mencakup segala karunia Ilahi yang menopang kehidupan, termasuk waktu luang (al-faragh) dan kesehatan (as-sihhah). Ayat ini menginstruksikan kita untuk bersyukur atas semua rezeki ini, bukan hanya rezeki yang bisa dimakan.
Kesehatan adalah nikmat terbesar yang sering dilalaikan hingga ia hilang. Syukur atas kesehatan diwujudkan melalui:
Waktu adalah modal utama manusia. Syukur atas waktu berarti menggunakannya untuk hal-hal yang produktif dan bermanfaat (thayyib) bagi akhirat. Menyia-nyiakan waktu adalah bentuk pengingkaran nikmat yang paling halus.
Ketika seseorang memiliki waktu luang, ia diperintahkan untuk mengisinya dengan ibadah atau kegiatan yang mendekatkannya pada Allah. Jika waktu luang itu digunakan untuk mencari hiburan yang melalaikan atau bahkan maksiat, maka waktu yang seharusnya menjadi rezeki telah diubah menjadi bencana. Waktu luang dan kesehatan adalah dua nikmat yang, menurut Hadits Nabi, sering kali dilupakan manusia. Ayat 172 mengingatkan kita bahwa syukur atas rezeki ini harus menjadi bukti keimanan.
Penutup ayat, "jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah," merupakan penegasan teologis yang sangat kuat. Ia menempatkan urusan perut dan urusan iman dalam satu kesatuan.
Konsep ibadah (ta'abbud) dalam Islam tidak terbatas pada ritual (shalat, puasa). Ibadah mencakup keseluruhan hidup, termasuk cara mencari nafkah, cara berbelanja, dan cara makan. Dengan menautkan ibadah pada konsumsi makanan halal dan syukur, Allah mengajarkan bahwa tidak ada aspek kehidupan yang berada di luar yurisdiksi ketuhanan.
Jika seorang hamba mengakui Allah sebagai Rabb yang disembah (Iyyahu na'budu - sebagaimana dalam Al-Fatihah), maka konsekuensinya adalah penyerahan total, termasuk dalam memilih apa yang dimakan. Jika ia mengambil yang haram, ia pada hakikatnya telah menuhankan hawa nafsunya, mengabaikan hukum Allah, dan dengan demikian merusak klaimnya bahwa hanya kepada Allah ia menyembah.
Tuntutan halalan thayyiban dan syukur berfungsi sebagai latihan praktis untuk tauhid. Setiap kali seorang Muslim menahan diri dari rezeki yang haram—meskipun rezeki itu mudah didapat—itu adalah penegasan bahwa ia takut kepada Allah lebih daripada ia mencintai harta. Setiap kali ia makan dan bersyukur, ia menegaskan bahwa segala nikmat berasal dari satu sumber.
Ayat ini mengubah tindakan makan dari sekadar pemenuhan kebutuhan biologis menjadi ritual pengakuan tauhid yang diulang-ulang. Makanan yang masuk ke dalam tubuh menjadi saksi ketaatan seseorang di hadapan Allah.
Untuk menghayati ayat 172, penting untuk melihat bagaimana para nabi, khususnya Nabi Muhammad ﷺ, mengimplementasikan konsep halalan thayyiban dan syukur dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kehidupan Nabi ﷺ adalah model sempurna bagi penafsiran praktis ayat ini.
Nabi Muhammad ﷺ dikenal sangat berhati-hati (wara') terhadap sumber rezeki. Ada banyak kisah yang menunjukkan bahwa beliau akan membuang makanan atau menolak hadiah jika ada sedikit pun keraguan (syubhat) tentang sumbernya.
Sikap wara' ini mengajarkan kita bahwa memilih yang thayyib berarti melangkah lebih jauh dari sekadar minimalisme hukum. Ia adalah upaya maksimal untuk menjaga kemurnian diri dari segala bentuk noda, bahkan yang samar-samar. Dalam konteks modern, ini berarti bersikap skeptis terhadap investasi yang terlalu "mudah" menghasilkan keuntungan atau terhadap tawaran bisnis yang terlihat mencurigakan. Syukur sejati menuntut upaya pembersihan diri secara proaktif.
Meskipun diperintahkan untuk memakan yang thayyib (baik), Nabi ﷺ hidup dalam kesederhanaan. Beliau mengajarkan bahwa syukur tidak berarti makan secara mewah, melainkan makan secukupnya untuk menopang ibadah. Larangan pemborosan (israf) dalam makanan adalah bagian integral dari syukur.
Membuang-buang makanan yang halal adalah bentuk pengingkaran nikmat rezeki. Perintah untuk makan yang baik (thayyib) adalah izin untuk menikmati karunia Allah, tetapi harus diiringi kesadaran bahwa karunia itu harus dijaga nilainya dan tidak boleh dihambur-hamburkan. Prinsip ini sangat relevan hari ini di tengah krisis pangan global.
Penerapan ayat Al-Baqarah 172 memiliki dampak yang meluas, jauh melampaui urusan pribadi. Ketika individu Muslim memegang teguh prinsip halalan thayyiban dan syukur, mereka secara kolektif membentuk sebuah masyarakat yang didasarkan pada keadilan ekonomi dan spiritualitas yang mendalam.
Jika setiap Muslim berkomitmen hanya mencari rezeki yang halal, maka praktik ekonomi yang merusak seperti riba, penipuan, penimbunan, dan korupsi akan musnah. Prinsip halal mewajibkan kejujuran dalam setiap transaksi, harga yang adil, dan pemenuhan hak pekerja. Dengan demikian, tuntutan halalan thayyiban adalah fondasi bagi sistem ekonomi yang etis dan adil.
Komitmen terhadap rezeki yang suci menjamin bahwa kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya, tetapi terdistribusi secara adil, karena keuntungan yang diperoleh adalah keuntungan yang sah dan tidak mengandung unsur eksploitasi. Syukur atas rezeki juga memotivasi pembagian rezeki (zakat dan sedekah), yang merupakan katup pengaman sosial dalam Islam.
Syukur bukan hanya soal berterima kasih; ia adalah tindakan berbagi. Ketika seorang Muslim bersyukur atas rezeki yang Allah berikan, ia menyadari bahwa rezeki itu mengandung hak bagi orang lain, terutama yang miskin dan membutuhkan.
Manifestasi syukur perbuatan mendorong filantropi, solidaritas komunitas, dan kepedulian terhadap kesejahteraan kolektif. Ini adalah siklus yang utuh: Allah memberi rezeki yang halal dan baik, hamba menggunakannya untuk menopang kehidupan dan ibadah, serta membagikannya kepada sesama, yang pada gilirannya menumbuhkan syukur baru dalam hati penerima nikmat.
Syukur adalah perintah yang berulang, tidak hanya dalam Al-Baqarah 172, tetapi di seluruh Al-Qur'an. Ini menunjukkan betapa vitalnya posisi syukur dalam ajaran Islam. Untuk mencapai tingkat ibadah sejati (Iyyahu ta'budun), kita harus mengimplementasikan syukur dengan tingkat kedalaman yang belum pernah dicapai sebelumnya.
Syukur sering kali dihubungkan dengan nikmat materi yang menyenangkan. Namun, ulama tasawuf mengajarkan bahwa puncak syukur adalah bersyukur di tengah kesulitan dan ujian. Ketika rezeki berupa harta atau kesehatan diambil, seorang hamba yang benar-benar bersyukur mengakui bahwa ujian itu sendiri adalah rezeki spiritual—kesempatan untuk menghapus dosa, meningkatkan derajat, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Syukur atas kesulitan adalah pengakuan bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya, meskipun pandangan kita terbatas. Ini adalah manifestasi dari kesadaran bahwa Sang Pemberi Rezeki berhak mengambil apa yang telah Dia berikan kapan pun Dia kehendaki.
Salah satu cara terbesar untuk bersyukur atas rezeki pekerjaan dan kemampuan adalah dengan melakukan pekerjaan itu dengan kualitas terbaik (ihsan). Jika rezeki didapatkan melalui upaya yang maksimal, jujur, dan berstandar tinggi, itu adalah bentuk syukur perbuatan. Bekerja secara asal-asalan, menunda-nunda, atau curang adalah bentuk nyata dari pengingkaran nikmat atas waktu, tenaga, dan bakat yang telah Allah berikan.
Ketika seorang Muslim menghasilkan produk atau layanan yang thayyib, ia telah menyempurnakan siklus ayat 172: ia mencari rezeki yang halal, menghasilkan produk yang baik (thayyib), bersyukur melalui kualitas kerja, dan seluruh proses itu adalah ibadah.
Surah Al-Baqarah ayat 172 adalah sebuah undangan, sekaligus sebuah ujian. Ia mengundang umat beriman untuk menikmati karunia Allah, tetapi dengan batasan yang menjamin kebersihan spiritual. Ia menguji kejujuran klaim ibadah kita. Jika kita mengklaim menyembah Allah semata, maka setiap suapan, setiap transaksi, dan setiap detik waktu kita harus mencerminkan ketaatan tersebut.
Pesan kunci yang harus dibawa pulang dari kajian mendalam ayat ini adalah integrasi sempurna antara dunia dan akhirat. Konsumsi adalah ibadah, dan ibadah adalah tujuan hidup.
Seorang Muslim yang hidup sesuai dengan prinsip Al-Baqarah 172 adalah seseorang yang senantiasa menjaga dirinya dari empat bahaya utama:
Setiap kali kita akan makan, setiap kali kita menerima gaji, dan setiap kali kita menggunakan waktu, ayat 172 ini harus bergema dalam kesadaran kita: "Makanlah yang baik-baik (halal), dan bersyukurlah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah." Ini adalah blueprint bagi kehidupan yang berkah, murni, dan diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Memperjuangkan kehidupan yang berprinsip pada halalan thayyiban memerlukan ketekunan, kehati-hatian, dan keberanian untuk menolak jalan pintas yang merusak spiritual. Namun, janji Allah jelas: ketaatan pada prinsip ini adalah bukti paling autentik dari klaim iman dan ibadah kita. Dengan demikian, rezeki yang halal dan syukur yang sejati adalah tangga menuju keridhaan Ilahi.
Rezeki, pada hakikatnya, adalah ujian yang berkelanjutan. Apakah kita akan menggunakan anugerah tersebut untuk mendekat kepada Sang Pemberi, ataukah kita akan membiarkannya menjadi penghalang? Ayat 172 ini memberikan jawaban yang tegas: gunakan rezeki sesuai standar-Nya, dan syukuri setiap tetes karunia-Nya, agar seluruh hidup kita, termasuk kebutuhan paling fisik sekalipun, terhitung sebagai ibadah murni. Inilah jalan para hamba yang beriman sejati.
Kebutuhan untuk memperluas pemahaman tentang thayyib di era globalisasi adalah mendesak. Ketika kita mengonsumsi produk dari rantai pasok yang tidak transparan, tanggung jawab Muslim untuk bertanya dan menyelidiki menjadi sebuah ibadah tersendiri. Mencari rezeki yang thayyib bukan lagi sekadar pilihan personal, melainkan sebuah gerakan kolektif untuk memastikan bahwa etika Islam menembus setiap sektor ekonomi, dari pertanian hingga perbankan. Syukur yang mendalam harus tercermin dalam permintaan konsumen yang menuntut praktik bisnis yang adil dan bersih dari eksploitasi. Syukur kolektif adalah ketika umat memastikan bahwa rezeki yang beredar di antara mereka adalah rezeki yang membawa berkah, bukan bencana.
Implikasi jurisprudensi dari halalan thayyiban juga meluas hingga ke hukum waris dan wasiat. Harta yang dikumpulkan harus bersih agar warisan yang ditinggalkan kepada keturunan juga menjadi rezeki yang thayyib. Memberi makan keluarga dari rezeki yang haram bukan hanya merusak diri sendiri, tetapi juga merusak generasi penerus, menanamkan benih keberanian untuk melanggar batas-batas Ilahi dalam jiwa mereka. Ini adalah tanggung jawab yang sangat berat yang ditekankan oleh semangat Al-Baqarah 172. Keluarga yang dibangun di atas rezeki yang halal cenderung mendapatkan ketenangan dan kedamaian (sakinah), sementara keluarga yang tidak peduli dengan sumber rezeki sering kali menghadapi kekacauan moral dan spiritual.
Syukur, sebagai penghubung antara rezeki dan ibadah, harus dihidupkan kembali dalam rutinitas harian. Ini bukan hanya doa setelah makan, tetapi juga proses sebelum mendapatkan rezeki. Syukur harus diungkapkan dalam kesabaran saat mencari nafkah, dalam menjauhi kecurangan walau berada dalam tekanan ekonomi, dan dalam mengakui keterbatasan diri di hadapan kekuasaan Allah. Setiap kesulitan dalam mencari nafkah halal adalah kesempatan untuk meningkatkan level syukur, karena kesulitan itu memurnikan niat dan menjauhkan dari sifat ketergantungan pada makhluk.
Perintah kulu min thayyibati (makanlah dari yang baik-baik) adalah pengakuan bahwa Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya. Ia tidak menuntut kita untuk hidup dalam kesulitan atau penolakan total terhadap kenikmatan dunia. Sebaliknya, Islam memerintahkan kita untuk menikmati karunia, tetapi dengan cara yang terkontrol, penuh kesadaran, dan diimbangi oleh rasa syukur yang mendalam. Keindahan Islam terletak pada keseimbangan ini, antara izin untuk menikmati rezeki yang thayyib dan kewajiban untuk tidak pernah lupa akan hak Sang Pemberi.
Kajian ini harus menjadi renungan terus-menerus. Ayat Al-Baqarah 172 adalah kompas moral bagi setiap Muslim. Jika kita berhasil menavigasi kehidupan dengan kompas ini—selalu memilih yang halal, selalu mencari yang thayyib, dan selalu menyertai setiap suapan dengan syukur—maka kita telah memenuhi janji kita: in kuntum iyyahu ta’budun. Dengan demikian, setiap detak jantung, setiap tarikan napas, dan setiap hidangan yang kita santap menjadi bagian tak terpisahkan dari pengabdian kita yang total kepada Allah SWT.