Di antara sekian banyak ayat Al-Qur'an yang sarat makna dan menyentuh inti eksistensi manusia, Surah Al-Anbiya ayat ke-35 berdiri sebagai pengingat yang tegas, universal, dan tak terbantahkan. Ayat ini bukan sekadar kalimat, melainkan sebuah deklarasi kosmik tentang nasib akhir setiap makhluk hidup, yang pada gilirannya mendefinisikan seluruh perjalanan kehidupan dunia. Ayat ini mengintegrasikan dua konsep fundamental yang seringkali dilihat secara terpisah oleh manusia: kepastian kematian dan realitas ujian yang menyertai kehidupan.
Ayat mulia ini terbagi menjadi tiga bagian utama, masing-masing membawa beban teologis dan spiritual yang sangat besar. Bagian pertama menetapkan hukum universal, bagian kedua menjelaskan mekanisme kehidupan dunia, dan bagian ketiga menegaskan tujuan akhir dari eksistensi. Memahami kedalaman ayat Al Anbiya 35 adalah memahami peta jalan menuju kehidupan yang bermakna dan persiapan yang paripurna untuk menghadapi kepulangan kepada Sang Pencipta.
1. Universalitas Kematian: Kullu Nafsin Dzaaiqatul Maut
Frasa pembuka ayat, Setiap yang bernyawa akan merasakan mati
(كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ), adalah salah satu janji Tuhan yang paling pasti dan tidak dapat dielakkan. Penggunaan kata nafsin
(jiwa/diri yang bernyawa) menunjukkan bahwa hukum ini berlaku mutlak, meliputi seluruh spektrum kehidupan, dari yang paling kecil hingga yang paling besar, dari manusia, jin, hingga malaikat, kecuali yang dikehendaki Allah. Ini adalah fondasi dari seluruh pandangan hidup Islam: bahwa dunia ini bersifat sementara, fana, dan merupakan jembatan menuju keabadian.
1.1. Makna Linguistik Dzaaiqah
(Merasakan)
Penting untuk merenungkan pilihan kata dzaaiqah
(ذَائِقَةُ) yang berarti merasakan
atau mencicipi
. Allah tidak menggunakan kata mati
(terbunuh atau hilang) secara langsung, melainkan merasakan mati
. Rasa adalah pengalaman indrawi yang mendalam dan personal. Ini mengisyaratkan bahwa kematian bukanlah sebuah ketiadaan total, melainkan sebuah transisi atau pengalaman yang harus dilalui oleh jiwa. Sebagaimana kita mencicipi makanan dan merasakan manis atau pahit, jiwa akan mencicipi pengalaman maut. Pengalaman ini bisa menjadi pahit bagi mereka yang lalai dan takut akan pertanggungjawaban, atau manis dan menenangkan bagi mereka yang telah beramal saleh.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa pemilihan kata ini menghilangkan anggapan bahwa kematian adalah akhir mutlak. Kematian hanyalah pemisahan antara jiwa dan raga, yang memungkinkan jiwa untuk melanjutkan perjalanan menuju alam barzakh, alam penantian sebelum kebangkitan. Hal ini memberikan kedalaman filosofis: bahwa eksistensi sejati kita (jiwa) tidak dihancurkan, melainkan diubah wujudnya. Kita tidak lenyap, kita hanya berpindah dimensi, sebuah perpindahan yang dicicipi dan dialami.
1.2. Implikasi Ketegasan Janji
Ketika janji ini diulang di beberapa surah lain (seperti Ali Imran 185 dan Al Qashash 88), hal itu menegaskan konsistensi hukum Ilahi. Kematian adalah realitas demokratis yang tidak memandang pangkat, kekayaan, atau kekuatan fisik. Firaun yang angkuh dan nabi yang saleh sama-sama mencicipi maut. Orang kaya dan orang miskin, raja dan rakyat jelata, semuanya berada di bawah hukum yang sama. Kesadaran akan universalitas ini seharusnya menjadi pemecah ilusi keabadian duniawi yang sering menjangkiti hati manusia.
Kematian yang pasti ini menjadi motivasi utama (muharrik) dalam pandangan hidup seorang mukmin. Jika akhir dari segalanya adalah kepulangan, maka setiap detik kehidupan adalah modal yang harus diinvestasikan dengan bijak. Tanpa kesadaran ini, kehidupan mudah terperangkap dalam kesenangan sesaat dan ambisi materialistik yang tidak berkesudahan. Hukum Kullu nafsin dzaaiqatul maut
adalah penyeimbang spiritual yang menjaga manusia dari kesombongan dan kelalaian.
Representasi abstrak jiwa (Nafs) yang bergerak melalui lingkaran kehidupan, menandakan transisi yang harus dicicipi.
Rasa kematian juga diyakini sebagai momen penyingkapan tabir (kasyf). Pada saat itu, ilusi duniawi runtuh, dan jiwa melihat realitas abadi yang selama ini tertutup oleh raga dan nafsu. Momen ini adalah klimaks dari perjuangan spiritual, di mana hasil dari amal perbuatan kita mulai terlihat. Ini menjadikan kematian bukan akhir yang menakutkan, melainkan gerbang menuju penglihatan sejati. Namun, kesadaran ini hanya akan bermanfaat jika dihayati saat kita masih memiliki kesempatan untuk beramal, sebelum dzaaiqah
itu tiba.
2. Mekanisme Ujian: Nablookum Bis-Syarri wal Khayri Fitnatan
Ayat Al Anbiya 35 tidak berhenti pada kematian; ia segera beralih menjelaskan mengapa kehidupan ini diberikan sebelum kematian. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (fitnah)
(وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً). Ini adalah inti dari tujuan penciptaan manusia di dunia. Hidup adalah arena ujian (darul imtihan), dan ujian itu datang dalam dua bentuk diametral: keburukan (asy-syarr) dan kebaikan (al-khayr).
2.1. Ujian dengan Keburukan (Asy-Syarr)
Ujian dengan keburukan meliputi segala bentuk penderitaan, musibah, kesulitan, penyakit, kemiskinan, kehilangan orang yang dicintai, ketakutan, dan kegagalan. Ini adalah bentuk ujian yang secara intuitif dipahami oleh manusia sebagai cobaan. Reaksi yang diharapkan dari seorang mukmin saat menghadapi asy-syarr adalah sabar (kesabaran yang disertai penerimaan dan pengharapan pahala dari Allah). Musibah menguji keimanan seseorang: Apakah ia akan menyalahkan Tuhan (su'u zhan), ataukah ia akan kembali kepada-Nya (inabah) dan meyakini bahwa di balik kesulitan pasti ada hikmah dan ampunan dosa?
Ujian keburukan berfungsi sebagai penghapus dosa dan pendorong untuk merenung. Ketika manusia berada dalam kesulitan, ia cenderung lebih mudah mengingat Tuhannya, memohon pertolongan, dan melepaskan ketergantungan pada kekuatan duniawi. Ini adalah pemurnian jiwa yang keras namun efektif. Sebuah musibah yang menimpa seorang mukmin adalah kesempatan emas untuk meningkatkan derajat keimanan, asalkan ia menghadapinya dengan keridhaan dan kepasrahan.
2.2. Ujian dengan Kebaikan (Al-Khayr)
Seringkali, manusia hanya menganggap musibah sebagai ujian. Namun, Al-Qur'an secara eksplisit menyebutkan bahwa kebaikan (al-khayr)—yang meliputi kekayaan, kekuasaan, kesehatan, kecerdasan, ketenaran, dan kesuksesan—juga merupakan bentuk ujian yang bahkan lebih berbahaya dan sulit daripada keburukan. Ujian dengan kebaikan menguji syukur (terima kasih yang diekspresikan melalui ketaatan dan penggunaan nikmat sesuai kehendak Allah) dan tawadhu' (kerendahan hati).
Kebaikan menguji: Apakah harta yang melimpah akan digunakan untuk kemaksiatan atau disalurkan kepada yang berhak (zakat, infak)? Apakah kekuasaan akan digunakan untuk menegakkan keadilan atau untuk zalim dan menindas? Apakah kesehatan dan waktu luang akan digunakan untuk beribadah atau untuk kelalaian? Sejarah membuktikan bahwa banyak umat binasa bukan karena kemiskinan atau musibah, melainkan karena kezaliman yang diakibatkan oleh kekayaan dan kekuasaan yang tidak diuji dengan syukur.
Kebaikan seringkali menghasilkan rasa aman palsu (istidraj) yang menjauhkan seseorang dari mengingat kematian (dzaaiqatul maut). Ketika segala sesuatu berjalan lancar, manusia cenderung lupa bahwa semua itu adalah pinjaman dan sarana ujian, bukan hak abadi. Oleh karena itu, ujian kebaikan menuntut kewaspadaan spiritual yang jauh lebih tinggi daripada ujian keburukan.
2.3. Hakikat Fitnah
Kata kunci dalam bagian ini adalah fitnah
(فِتْنَةً). Dalam bahasa Arab, fitnah
awalnya merujuk pada proses peleburan emas untuk memisahkannya dari kotoran. Dalam konteks agama, fitnah berarti cobaan yang bertujuan untuk membedakan keimanan sejati dari kemunafikan, untuk memurnikan hati, dan untuk menguji kualitas batiniah seseorang. Baik keburukan maupun kebaikan berfungsi sebagai api yang membakar jiwa; yang murni akan bersinar, yang palsu akan hancur.
Allah menggunakan istilah fitnah
untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu di dunia ini, dari kesenangan terbesar hingga penderitaan terberat, hanyalah alat uji. Ini membatalkan pandangan bahwa dunia adalah tempat untuk menikmati tanpa konsekuensi atau tempat untuk menanggung penderitaan tanpa makna. Setiap peristiwa adalah katalisator bagi pertumbuhan spiritual atau kemunduran moral, tergantung pada respons jiwa terhadapnya.
Karena ujian datang dalam bentuk dualitas, orang mukmin diajari untuk memiliki dua sayap spiritual: sayap sabar saat diuji dengan kesulitan, dan sayap syukur saat diuji dengan kemudahan. Kehidupan yang seimbang adalah kehidupan yang mampu melewati kedua jenis fitnah ini tanpa tergelincir, menjaga hati tetap terikat pada janji universal Al Anbiya 35.
Kebaikan (Khayr) dan Keburukan (Syarr) adalah dua sisi timbangan ujian (Fitnah).
3. Kepulangan Mutlak: Wa Ilayna Turja'un
Ayat Al Anbiya 35 ditutup dengan penegasan yang menjadi titik kulminasi dari seluruh drama kehidupan dan kematian: Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan
(وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ). Frasa ini secara sintaksis mendahulukan kata kepada Kami
(Ilainaa), yang dalam bahasa Arab berfungsi untuk penekanan dan pembatasan (hashr). Artinya, kepulangan itu hanya dan mutlak kepada Allah, bukan kepada yang lain.
3.1. Makna Kepulangan (Ar-Ruju')
Kepulangan (ar-ruju') adalah penentuan nasib, di mana perhitungan amal (hisab) akan terjadi. Seluruh ujian (fitnah) yang telah dialami di dunia akan ditimbang dan dipertanggungjawabkan. Ayat ini mengingatkan bahwa kematian (dzaaiqatul maut) bukanlah akhir, melainkan gerbang menuju pengembalian kepada Pemilik sejati.
Penekanan pada kepulangan ini memberikan makna dan bobot pada semua pilihan moral yang kita buat. Jika kehidupan ini berakhir begitu saja, tidak akan ada keadilan yang sempurna. Namun, karena kepulangan kepada Allah itu pasti, keadilan mutlak pun dijamin. Orang yang dizalimi akan mendapatkan haknya, dan orang yang zalim akan menanggung akibat perbuatannya. Konsep Ilainaa turja'un
adalah penutup yang sempurna karena ia memberikan tujuan akhir bagi seluruh aktivitas manusia.
3.2. Hidup dalam Bayangan Kepulangan
Bagaimana seharusnya seorang mukmin hidup setelah memahami tiga komponen ayat ini?
- Kesadaran Konstan (Dzaaiqatul Maut): Mengingat kematian setiap hari, yang meredam ambisi fana dan mengarahkan energi pada amal abadi.
- Kewaspadaan Penuh (Fitnatan): Memperlakukan setiap kejadian—senang maupun sulit—sebagai ujian yang memerlukan respons spiritual yang benar (sabar dan syukur).
- Tujuan Jelas (Turja'un): Menjadikan keridhaan Allah dan persiapan untuk hari perhitungan sebagai kompas utama dalam setiap pengambilan keputusan.
Jika manusia mampu mengintegrasikan ketiga realitas ini, hidupnya akan terstruktur dengan baik, bebas dari keputusasaan saat kesulitan dan bebas dari kesombongan saat kemudahan. Ayat Al Anbiya 35 adalah panduan komprehensif untuk mencapai kesuksesan abadi.
4. Tafsir Lanjutan: Menggali Konteks dan Keterkaitan Ayat
Untuk mencapai pemahaman yang lebih kaya, kita perlu menempatkan Al Anbiya 35 dalam konteks surah dan kaitannya dengan ajaran Al-Qur'an secara keseluruhan. Surah Al-Anbiya' (Para Nabi) berfokus pada kisah-kisah para nabi untuk membuktikan keesaan Allah dan kepastian hari kebangkitan. Ayat 35 muncul di tengah-tengah bantahan terhadap kaum musyrikin Mekkah yang meragukan kenabian Muhammad dan mengejek konsep kebangkitan setelah kematian. Ini berfungsi sebagai pukulan telak yang mengingatkan mereka bahwa subjek kematian bukanlah hal yang bisa mereka hindari, apalagi kebangkitan setelahnya.
4.1. Kaitan dengan Ayat-Ayat Sebelumnya
Ayat-ayat sebelum Al Anbiya 35 berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah (Ayat 30-33), dan juga menyinggung bahwa tidak ada manusia yang hidup abadi sebelum Nabi Muhammad (Ayat 34). Pertanyaan retoris: Jika engkau (Muhammad) wafat, apakah mereka akan kekal?
menjadi pendahuluan yang kuat bagi ayat 35. Ayat 34 secara khusus menyatakan bahwa Allah tidak pernah memberikan keabadian kepada siapapun sebelum Nabi. Hal ini mempersiapkan jiwa untuk menerima deklarasi mutlak bahwa kematian adalah nasib yang harus dialami setiap jiwa, termasuk Nabi sendiri.
Konteks ini sangat penting. Musyrikin seringkali menggunakan keterbatasan manusia pada Nabi sebagai alasan untuk meragukan risalahnya. Ayat 35 membalikkan argumen mereka: Kematian Nabi tidak membatalkan risalah, karena kematian adalah hukum universal. Semua akan mati, dan semua akan kembali kepada Allah untuk dihakimi. Kehidupan dunia, dengan segala ujian (kebaikan dan keburukan), hanyalah masa tunggu sebelum kepulangan yang tak terhindarkan itu.
4.2. Perbandingan dengan Ali Imran 185
Ayat yang paling sering disandingkan dengan Al Anbiya 35 adalah Ali Imran 185: Setiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada Hari Kiamat sajalah disempurnakan pahalamu...
Meskipun inti tentang dzaaiqatul maut
sama, fokusnya sedikit berbeda. Ali Imran 185 menekankan bahwa perhitungan pahala dan hukuman yang sempurna hanya terjadi di akhirat, dan siapa yang dijauhkan dari api neraka serta dimasukkan ke surga dialah yang beruntung. Sementara itu, Al Anbiya 35 secara eksplisit menyisipkan elemen fitnah
(ujian keburukan dan kebaikan) sebagai penjelasan mengapa kita harus melalui kematian dan kebangkitan. Ali Imran berfokus pada penyempurnaan balasan, sedangkan Al Anbiya berfokus pada proses ujian yang mendahului balasan tersebut.
Ayat Al Anbiya 35 adalah ayat yang lebih padat dan menyeluruh dalam menggambarkan seluruh siklus eksistensi: kepastian fana, tujuan ujian, dan kepastian pengembalian. Ini adalah ringkasan yang sempurna dari Aqidah (keyakinan) mengenai hakikat kehidupan dunia.
5. Implementasi Spiritual: Mengelola Ujian Hidup dan Mati
Pemahaman teoretis tentang Al Anbiya 35 harus diterjemahkan menjadi tindakan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Karena hidup adalah ujian yang harus berakhir, manajemen spiritual terhadap waktu dan amal menjadi hal yang mutlak. Kita dituntut untuk menjadi musafir
(pelancong) di dunia, yang fokusnya adalah mencapai tujuan, bukan membangun permanen di tengah perjalanan.
5.1. Refleksi atas Ujian Kebaikan: Bahaya Istidraj
Ujian kekayaan, kesehatan, atau kekuasaan seringkali datang dalam bentuk istidraj
, yaitu ketika Allah memberikan nikmat yang melimpah kepada seseorang, sementara orang itu tenggelam dalam kemaksiatan, sehingga ia mengira bahwa nikmat itu adalah tanda keridhaan Allah. Padahal, itu adalah penundaan hukuman yang bertujuan untuk meningkatkan dosa mereka sebelum dihancurkan atau dipertanggungjawabkan di Hari Akhir. Ayat 35 mengajarkan bahwa kebaikan material adalah ujian yang tajam. Untuk mengatasinya, seorang mukmin harus senantiasa melakukan evaluasi diri (muhasabah), memastikan bahwa sumber hartanya halal dan penggunaannya berada di jalan yang diridhai.
Syukur sejati melampaui ucapan lisan; ia diwujudkan dengan menggunakan nikmat tersebut dalam ketaatan. Jika seseorang dianugerahi ilmu, syukurnya adalah mengajarkannya. Jika dianugerahi kekayaan, syukurnya adalah menolong sesama. Jika dianugerahi kekuasaan, syukurnya adalah menegakkan keadilan. Dengan demikian, ujian kebaikan diubah menjadi investasi abadi yang meringankan beban saat turja'un
tiba.
5.2. Refleksi atas Ujian Keburukan: Peran Sabar dan Ridha
Saat dihadapkan pada kesulitan (asy-syarr), Islam mengajarkan sabar (ash-shabr). Sabar bukan sekadar menahan diri, tetapi melibatkan tiga dimensi:
- Sabar dalam menjalankan ketaatan (melawan rasa malas).
- Sabar dalam menjauhi kemaksiatan (melawan hawa nafsu).
- Sabar dalam menghadapi takdir yang pahit (melawan keluh kesah).
Dalam konteks Al Anbiya 35, yang paling relevan adalah poin ketiga. Ketika musibah datang, seorang yang beriman meyakini bahwa musibah tersebut telah dicatat dan memiliki hikmah. Ini melahirkan ridha
(kerelaan). Ridha adalah puncak dari kesabaran, di mana jiwa menerima keputusan Tuhan dengan lapang dada, bahkan melihat kebaikan tersembunyi di balik penderitaan. Musibah, jika diterima dengan sabar dan ridha, akan membersihkan jiwa dari dosa-dosa dan menaikkan derajat di sisi Allah, sehingga pengalaman dzaaiqatul maut
menjadi transisi yang lebih mudah.
5.3. Hubungan Zuhud dan Al Anbiya 35
Zuhud (hidup sederhana, tidak terikat pada dunia) adalah respons praktis terhadap ayat ini. Zuhud bukanlah berarti meninggalkan dunia, tetapi mengeluarkan keterikatan dunia dari hati. Seorang yang zuhud menyadari bahwa kekayaan, jabatan, dan kenikmatan adalah fitnah (ujian) yang akan hilang ketika dzaaiqatul maut
datang. Oleh karena itu, ia menggunakan dunia ini sebagai bekal (mazra'ah) untuk akhirat (turja'un). Konsep zuhud adalah cara paling efektif untuk memastikan bahwa jiwa tidak terbebani oleh ambisi duniawi yang sia-sia ketika harus kembali kepada Allah.
Zuhud membantu manusia melihat dunia ini dengan perspektif yang benar: bahwa ia adalah tempat ujian. Pandangan ini mencegah frustrasi ketika menghadapi kegagalan dan mencegah keangkuhan ketika meraih keberhasilan. Ini adalah keseimbangan yang ditawarkan oleh ayat 35.
6. Kematian Sebagai Awal dan Kepastian Kebangkitan
Pemahaman mendalam Al Anbiya 35 harus mencakup penerimaan bahwa maut adalah awal dari kebangkitan. Hukum dzaaiqatul maut adalah prasyarat bagi hukum turja’un. Tanpa kematian, tidak ada perhitungan, dan tanpa perhitungan, tidak ada keadilan Ilahi. Ayat ini menegaskan siklus abadi yang diatur oleh Allah.
6.1. Logika Kefanaan versus Keabadian
Jika kita merenungkan kebesaran alam semesta—pergantian siang dan malam, siklus kehidupan tanaman, penciptaan manusia dari setetes air hina—kematian bukanlah suatu anomali, melainkan bagian dari desain yang lebih besar. Bagi Allah yang mampu menciptakan langit dan bumi yang jauh lebih besar dan kompleks (sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya Surah Al Anbiya), menghidupkan kembali manusia setelah kematian (turja'un) adalah hal yang sangat mudah.
Orang-orang musyrik yang meragukan kebangkitan seringkali menggunakan argumen fisik (bagaimana tulang-belulang yang hancur bisa disatukan kembali?). Ayat 35 menjawab keraguan ini melalui janji absolut: Setiap jiwa akan merasakan mati
. Kepastian kematian adalah bukti paling nyata dari kefanaan dunia ini, dan kefanaan dunia adalah argumen paling kuat bahwa ada kehidupan yang lebih tinggi dan kekal setelahnya, tempat di mana fitnah dunia ini mendapatkan balasan setimpal.
6.2. Kematian dan Pengaruhnya terhadap Moralitas
Kesadaran akan Al Anbiya 35 adalah pilar moralitas. Ketika seseorang yakin bahwa ia pasti akan mencicipi maut dan kembali kepada Allah untuk dihakimi (turja'un), hal ini secara otomatis membatasi kecenderungan untuk berbuat dosa dan kezaliman. Ketakutan akan hisab (perhitungan) menjadi penjaga batin yang kuat, lebih efektif daripada hukum atau pengawasan manusia. Jika keadilan duniawi bisa dibeli atau dimanipulasi, keadilan di hadapan Allah tidak mungkin. Keyakinan pada ayat ini menumbuhkan rasa tanggung jawab individual yang mendalam.
Sebaliknya, masyarakat yang melupakan kepastian dzaaiqatul maut
cenderung menjadi hedonistik, materialistik, dan dekaden, karena mereka hidup seolah-olah dunia ini adalah tujuan akhir mereka. Hilangnya perspektif akhirat menghilangkan bobot moral dari tindakan mereka di dunia.
6.3. Mempersiapkan Kematian yang Baik (Husnul Khatimah)
Karena maut adalah pengalaman yang dicicipi, setiap mukmin berharap untuk mencicipinya dengan cara yang baik (husnul khatimah). Husnul khatimah bukanlah hasil dari keberuntungan, melainkan buah dari kehidupan yang diisi dengan sabar dan syukur dalam menghadapi fitnah (kebaikan dan keburukan). Persiapan terbaik adalah senantiasa bertaubat (inabah), menjaga hati dari syirik dan munafik, serta menjadikan amal saleh sebagai kebiasaan.
Ibnul Qayyim pernah menjelaskan bahwa manusia meninggal dalam kondisi kebiasaan mereka. Jika kebiasaan seseorang adalah taat, besar kemungkinan ia meninggal dalam ketaatan. Jika kebiasaannya adalah lalai, ia akan menghadapi maut dalam kelalaian. Ayat 35 memaksa kita untuk mengamati kebiasaan spiritual kita hari ini, karena itulah yang akan menentukan bagaimana kita mencicipi maut, dan bagaimana kita menghadapi kepulangan.
Pengalaman dzaaiqatul maut
adalah gerbang. Kualitas gerbang itu ditentukan oleh perjalanan yang kita tempuh saat melalui fitnah
dunia, dan tujuannya adalah turja'un
yang penuh rahmat. Ketiga elemen ini tidak dapat dipisahkan; mereka adalah trilogi dari keberadaan manusia yang termaktub dalam Surah Al Anbiya ayat 35.
7. Melawan Kelalaian: Sikap Hati terhadap Dunia Fana
Tantangan terbesar dalam menghayati Al Anbiya 35 adalah kecenderungan alami manusia untuk melalaikan (ghaflah) kepastian kematian. Dunia disajikan dengan kenikmatan yang membius dan harapan-harapan yang seolah tak berujung. Melawan kelalaian ini memerlukan usaha spiritual yang berkelanjutan (mujahadah), yang berpusat pada pemahaman bahwa waktu kita di dunia ini sangatlah terbatas.
7.1. Waktu sebagai Modal Ujian
Dalam konteks fitnah
dan dzaaiqatul maut
, waktu (umur) adalah modal utama yang diberikan Allah. Setiap tarikan napas adalah kesempatan yang hilang atau diinvestasikan. Para salafus saleh memahami waktu dengan ketat; mereka tidak membiarkan satu jam pun berlalu tanpa amal saleh atau introspeksi (muhasabah). Mereka menyadari bahwa jika modal habis (kematian datang), tidak ada lagi kesempatan untuk berdagang (beramal). Sikap ini adalah implementasi langsung dari kesadaran bahwa hidup adalah ujian sementara.
Kelalaian muncul ketika manusia menganggap waktu sebagai komoditas yang tidak terbatas. Mereka menunda taubat, menunda kebaikan, dan membiarkan diri mereka hanyut dalam kesenangan yang sia-sia, dengan alasan masih ada waktu besok
. Ayat 35 datang untuk menghancurkan ilusi ini. Besok mungkin tidak pernah datang, karena maut bisa menghampiri detik ini juga.
7.2. Kesabaran dan Keseimbangan Hidup
Untuk mengelola fitnah (ujian), diperlukan keseimbangan. Ujian kebaikan menuntut kita untuk tidak berlebihan dalam bersenang-senang (israf), sedangkan ujian keburukan menuntut kita untuk tidak berlebihan dalam berkeluh kesah (jaza'). Keseimbangan ini hanya bisa dicapai melalui penyerahan diri (taslim) total kepada kehendak Allah. Ketika seorang mukmin menyadari bahwa baik kebaikan maupun keburukan adalah alat uji dari Yang Maha Kuasa, ia tidak akan terlalu gembira dengan apa yang ia dapatkan dan tidak terlalu sedih dengan apa yang hilang darinya. Ketenangan batin ini adalah hasil dari penerimaan mutlak terhadap hukum yang diatur dalam Al Anbiya 35.
Filosofi sabar dan syukur yang diajarkan oleh ayat ini menciptakan ketahanan (resilience) spiritual. Ketika badai kesulitan datang, ia tahu bahwa ia sedang dimurnikan. Ketika matahari nikmat bersinar, ia tahu ia sedang dipertanggungjawabkan. Dalam kedua kondisi tersebut, fokusnya tetap pada tujuan akhir: kepulangan yang baik.
Kepastian kematian adalah motivasi terbesar untuk hidup. Jika kita tahu kita akan dihakimi, kita akan berhati-hati. Jika kita tahu kita hanya singgah sebentar, kita tidak akan terikat. Al Anbiya 35 adalah cermin yang memantulkan kebenaran abadi tentang hakikat kita sebagai hamba yang diuji, dan pada akhirnya, akan kembali kepada Tuan mereka.
8. Kontemplasi Akhir: Mempersiapkan Kepulangan
Ayat Al Anbiya 35 adalah panggilan untuk kontemplasi yang mendalam dan perubahan paradigma hidup. Ini adalah seruan agar kita tidak hanya hidup, tetapi juga mempersiapkan cara kita meninggal, dan cara kita dibangkitkan. Persiapan untuk turja'un
adalah puncak dari ketaatan di dunia.
8.1. Peran Tafakkur
dalam Memahami Ayat
Untuk menghayati ayat ini, diperlukan tafakkur (perenungan mendalam). Perenungan harus berfokus pada kerentanan diri sendiri: Kapan giliranku mencicipi maut? Apakah aku siap jika Allah memanggilku sekarang, dengan kondisi amalku saat ini?
Tafakkur mengenai kematian tidak dimaksudkan untuk menumbuhkan ketakutan yang melumpuhkan, melainkan untuk menghasilkan kewaspadaan yang memotivasi untuk beramal saleh. Kematian adalah realitas yang harus diterima, dan cara terbaik untuk menerimanya adalah dengan mempersiapkan bekal terbaik.
Tafakkur harus diimbangi dengan harapan (raja') kepada rahmat Allah. Meskipun kita sadar akan kekurangan amal kita dalam menghadapi hisab (turja'un), kita tetap menggantungkan harapan terbesar pada ampunan dan kasih sayang Allah. Keseimbangan antara rasa takut (khawf) akan siksa dan harapan (raja') akan rahmat adalah jalan tengah yang ideal untuk mengarungi fitnah dunia ini.
8.2. Penutup: Pengulangan Janji yang Abadi
Pada akhirnya, Surah Al Anbiya 35 berdiri sebagai salah satu ayat paling fundamental dalam ajaran Islam. Ia merangkum seluruh kerangka berpikir eksistensial: kepastian kematian yang mengatur batas waktu, keharusan ujian (kebaikan dan keburukan) yang menentukan kualitas amal, dan kepulangan yang mutlak kepada Allah yang menjamin keadilan sempurna.
Marilah kita jadikan ayat ini sebagai pegangan hidup, mengubah setiap musibah menjadi kesempatan untuk sabar, setiap nikmat menjadi kesempatan untuk syukur, dan setiap detik kehidupan menjadi bekal bagi pertemuan abadi dengan Sang Pencipta. Sesungguhnya, setiap jiwa akan mencicipi maut, dan hanya kepada Allah-lah kita akan dikembalikan. Realitas ini adalah kebenaran yang tak lekang oleh waktu, melampaui segala peradaban dan segala zaman, menjadi penentu sejati dari nilai dan tujuan hidup kita di dunia fana ini.
Ayat ini mengajarkan kita bahwa kekekalan bukanlah milik kita di dunia ini, tetapi adalah janji yang menunggu setelah transisi yang disebut kematian. Kematian bukanlah pemusnah, melainkan penentu. Ujian bukanlah hukuman, melainkan pemurnian. Dan kepulangan bukanlah akhir, melainkan permulaan kehidupan sejati yang abadi. Dengan pemahaman ini, kita menjalani hidup dengan penuh makna, menanti saat kita dijemput untuk mencicipi pengalaman terakhir di dunia ini.
Penyebutan tentang nafsin dzaaiqatul maut
adalah pengingat abadi bahwa segala kemegahan dunia, segala perselisihan, segala ambisi yang tak sehat, akan berakhir di titik nol yang sama. Ia membebaskan kita dari perbudakan materi dan ilusi kekuasaan, mengarahkan pandangan kita hanya kepada apa yang kekal dan apa yang akan kita bawa saat kita kembali kepadaNya. Kesadaran ini adalah tiket menuju ketenangan di tengah hiruk pikuk dunia, sebuah ketenangan yang didapatkan dari kepastian janji Ilahi.