Ilustrasi visual proses menasakhkan (Naskh).
Pendahuluan: Memahami Dinamika Syariat
Syariat Islam, yang bersumber utama dari Al-Qur'an dan Sunnah, merupakan sistem hukum yang sempurna, komprehensif, dan dinamis. Namun, sifat kedinamisan ini seringkali menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai perubahan atau penyesuaian hukum sepanjang masa pewahyuan. Di sinilah muncul sebuah konsep fundamental dalam studi Ushul Fiqh yang dikenal sebagai *Naskh* atau abograsi. Secara etimologi, konsep menasakhkan berarti menghapus, memindahkan, atau mengganti. Dalam terminologi hukum Islam, ia merujuk pada proses di mana suatu ketetapan hukum (hukm syar'i) yang telah ditetapkan sebelumnya diganti atau diangkat status keberlakuannya oleh ketetapan hukum yang datang kemudian. Pemahaman yang komprehensif tentang *naskh* adalah kunci untuk menghindari kontradiksi yang tampaknya ada dalam teks-teks suci dan memastikan validitas penerapan hukum.
Konsep menasakhkan bukanlah indikasi adanya ketidaksempurnaan pada wahyu yang pertama, melainkan merupakan manifestasi dari hikmah Allah SWT dalam mendidik umat manusia secara bertahap (tadarruj) menuju kesempurnaan syariat. Tahap awal penetapan hukum seringkali berfungsi sebagai ujian atau sebagai persiapan mental dan spiritual bagi umat. Ketika kondisi telah matang, atau ketika kebutuhan masyarakat berubah seiring turunnya wahyu, Allah, melalui otoritas mutlak-Nya, berhak menasakhkan hukum tersebut dengan hukum yang lebih sesuai, baik dari segi keringanan (takhfif) maupun pemberatan (tasyri'). Jika seseorang gagal memahami prinsip naskh, ia mungkin akan menerapkan hukum yang sesungguhnya sudah tidak berlaku, yang tentu saja akan membawa kepada kekeliruan fatal dalam praktik syariat.
Para ulama, sejak generasi sahabat hingga mujtahid kontemporer, telah berjuang keras untuk menetapkan batasan-batasan dan aturan main (dhawabith) mengenai kapan dan bagaimana proses menasakhkan ini dapat diakui. Perdebatan sengit sering terjadi, khususnya di kalangan ulama mutaqaddimin, mengenai jenis-jenis *naskh* yang diperbolehkan dan sumber mana yang dapat menasakhkan sumber lainnya. Apakah Sunnah dapat menasakhkan Al-Qur'an? Apakah hukum yang ditetapkan melalui *khabar ahad* (hadis tunggal) dapat menasakhkan hukum yang ditetapkan melalui *khabar mutawatir* (hadis massal)? Pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan jawaban yang berbasis pada metodologi ilmiah yang ketat.
Definisi, Terminologi, dan Pilar Naskh
Untuk memahami sepenuhnya bagaimana syariat menasakhkan hukum, kita harus terlebih dahulu mengurai definisinya. Secara bahasa (etimologi), naskh (النَّسْخُ) memiliki beberapa makna, termasuk: menghilangkan (al-izalah), membatalkan (al-ibtâl), memindahkan (al-naql), dan menyalin (al-kitâbah). Namun, dalam konteks hukum syariat, makna yang dominan adalah penghilangan atau pengangkatan status keberlakuan suatu hukum.
Definisi Teknis (Istilah)
Definisi naskh yang disepakati oleh mayoritas ulama Ushul Fiqh, khususnya dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah: "Pengangkatan (rafa') atau penghapusan suatu ketetapan hukum syar'i (hukm syar'i) yang telah ditetapkan sebelumnya, oleh dalil syar'i lain yang datang kemudian." Definisi ini menuntut beberapa elemen penting yang harus terpenuhi agar proses menasakhkan itu sah:
Pertama, Hukum yang Dinaskh (Mansukh): Hukum yang pertama haruslah bersifat syar'i (bukan hukum akal atau hukum adat) dan telah berlaku secara sah. Jika hukum tersebut sejak awal tidak berlaku atau hanya bersifat temporal, maka ia tidak dapat disebut *mansukh*.
Kedua, Dalil yang Menasakh (Nasikh): Dalil pengganti haruslah berasal dari sumber syariat yang valid, memiliki kekuatan hukum yang setara atau lebih kuat daripada dalil yang dinasakh, dan harus datang setelah hukum yang pertama.
Ketiga, Pengangkatan Hukum (Rafa'): Prosesnya harus menghasilkan pengangkatan total atau parsial (takhsis) dari hukum yang lama. Jika hanya terjadi penangguhan atau pengecualian sesaat, itu tidak disebut *naskh*.
Konsep ini sangat berbeda dari *Takhsis* (pengkhususan). *Takhsis* membatasi penerapan hukum umum pada kasus-kasus tertentu, tetapi hukum umumnya tetap berlaku. Sementara *naskh* sepenuhnya menasakhkan keberlakuan hukum yang lama untuk selamanya. Misalnya, firman Allah: "Dirikanlah salat." Ini umum. Jika datang dalil yang mengatakan, "Wanita haid tidak wajib salat," itu adalah *takhsis*. Jika datang dalil yang mengatakan, "Kewajiban salat Asar telah diganti dengan kewajiban salat Maghrib," itu adalah *naskh*.
Pilar-Pilar Proses Menasakhkan
Ulama menetapkan empat pilar utama dalam memahami proses menasakhkan:
- Al-Nasikh (The Abrogator): Dalil syar'i yang datang belakangan dan memiliki wewenang untuk mengganti. Harus berupa hukum yang tegas, tidak mengandung keraguan, dan berasal dari Allah SWT (baik Qur'an maupun Sunnah yang merupakan wahyu).
- Al-Mansukh (The Abrogated): Hukum syar'i yang keberlakuan operasionalnya dihentikan. Hukum ini harus bersifat taklif (berkaitan dengan kewajiban, larangan, atau pilihan), dan bukan berkaitan dengan hukum dasar akidah atau informasi sejarah (akhbar), karena informasi Allah tidak mungkin berubah.
- Al-Mansukh Lahu (The Abrogated For/Beneficiary): Subjek atau umat yang terikat oleh hukum tersebut, yaitu umat Nabi Muhammad SAW.
- Al-Naskh (The Abrogation): Proses penggantian atau pengangkatan hukum itu sendiri, yang terjadi berdasarkan ketentuan dan hikmah ilahi.
Tidak semua hukum dapat menasakhkan yang lain. Hukum akal, seperti kewajiban untuk bersyukur atas nikmat, tidak dapat dinasakh. Demikian pula, informasi yang terkandung dalam Al-Qur'an (seperti kisah nabi-nabi terdahulu) tidak dapat menasakhkan atau dinasakh. Proses menasakhkan hanya berlaku pada hukum praktis (ahkam amaliyyah).
Landasan Teologis dan Hikmah Menasakhkan
Beberapa sekte, terutama dari kalangan Mu'tazilah, awalnya menolak kemungkinan *naskh* karena dianggap mengimplikasikan perubahan pikiran (bada') pada Allah, atau mengimplikasikan bahwa wahyu yang pertama adalah cacat. Namun, pandangan ini ditolak keras oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang menegaskan bahwa menasakhkan hukum adalah hak prerogatif mutlak Allah dan merupakan bagian integral dari hikmah ilahi.
Dalil dari Al-Qur'an
Landasan teologis utama bagi legitimasi menasakhkan bersandar pada firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 106:
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, pasti Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al-Baqarah: 106)
Ayat ini secara eksplisit memuat kata *nasakh* (Kami nasakhkan) dan memberikan jaminan bahwa penggantian hukum selalu membawa kebaikan atau kesetaraan, menegaskan bahwa proses menasakhkan adalah keniscayaan dan bukan kekurangan. Allah SWT, sebagai Pembuat Syariat, memiliki pengetahuan sempurna (ilmu azali) tentang apa yang terbaik bagi hamba-Nya pada setiap periode waktu. Penetapan hukum yang berbeda pada waktu yang berbeda hanya mencerminkan pengetahuan-Nya yang sempurna, bukan perubahan pandangan.
Hikmah di Balik Menasakhkan
Hikmah Allah menasakhkan suatu hukum sangatlah mendalam, dan dapat dikelompokkan menjadi beberapa poin:
- Tahapan Hukum (Tadarruj fi al-Tasyri'): Hukum syariat sering diturunkan secara bertahap untuk memudahkan umat dalam menerima dan mengamalkannya. Contoh klasik adalah pengharaman khamar (minuman keras) yang dilakukan melalui tiga atau empat tahapan, di mana setiap tahapan menasakhkan kebolehan sebelumnya. Tahapan ini sangat penting untuk masyarakat yang sudah terbiasa dengan praktik tertentu.
- Pengujian dan Kepatuhan (Ibtila'): Proses menasakhkan juga berfungsi sebagai ujian keimanan. Ketika arah kiblat diubah dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, ini adalah ujian bagi orang-orang yang hanya mengikuti kebiasaan lama. Mereka yang menaati hukum yang baru (nasikh) membuktikan kepatuhan mutlak mereka kepada kehendak Allah.
- Realisasi Kemaslahatan (Jalb al-Masalih): Terkadang, suatu hukum diangkat karena maslahat (kebaikan) yang dicari telah tercapai atau telah digantikan oleh maslahat yang lebih besar. Hukum yang dinasakh adalah hukum yang paling tepat untuk kondisi waktu tertentu, dan hukum yang menasakh adalah yang paling tepat untuk kondisi selanjutnya.
- Keringanan (Takhfif) atau Pemberatan (Tasyri'): Menasakhkan bisa berarti mengganti hukum yang lebih berat menjadi lebih ringan (seperti dalam kasus kewajiban menghadapi musuh dalam perang), atau sebaliknya, mengganti hukum yang ringan menjadi lebih berat seiring meningkatnya kekuatan dan keimanan umat.
Kesimpulannya, perbuatan menasakhkan tidak menghilangkan kesempurnaan syariat. Sebaliknya, ia menunjukkan fleksibilitas hukum Ilahi untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa mengorbankan prinsip dasarnya, sebuah bukti nyata akan Rahmat dan Hikmah Allah yang tak terbatas.
Jenis-Jenis Naskh Berdasarkan Objek yang Dinasakh
Para ulama ushul membagi *naskh* menjadi beberapa jenis utama, yang berfokus pada apa yang diangkat: apakah teks bacaan (tilawah), hukumnya ('hukm), atau keduanya. Pemahaman akan jenis-jenis ini sangat krusial dalam menafsirkan teks-teks Al-Qur'an.
1. Naskh al-Hukm wa Baqa' al-Tilawah (Abrogasi Hukum, Teks Tetap Dibaca)
Ini adalah jenis menasakhkan yang paling umum. Ayat Al-Qur'an tetap ada, tetap dibaca, dan tetap bernilai pahala (ibadah) saat dibaca, namun ketetapan hukum praktis yang terkandung di dalamnya telah diangkat atau diganti oleh ayat atau hadis lain yang datang belakangan. Hikmah dari tetap dibacanya ayat ini adalah untuk mengingatkan umat akan proses historis pensyariatan dan untuk tetap mendapatkan pahala qira'ah.
Contoh Klasik: Masa Tunggu Wanita (Iddah)
Ayat awal mengenai iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah QS. Al-Baqarah ayat 240, yang menyatakan bahwa wanita memiliki hak nafkah dan harus tinggal di rumah suaminya selama satu tahun. Hukum ini kemudian dinasakh oleh QS. Al-Baqarah ayat 234, yang menasakhkan masa tunggu tersebut menjadi empat bulan sepuluh hari. Meskipun hukum satu tahun telah diganti, ayat 240 tetap ada dalam mushaf dan tetap dibaca. Ayat 234 adalah *nasikh* yang menasakhkan hukum ayat 240 (*mansukh*).
2. Naskh al-Tilawah wa Baqa' al-Hukm (Abrogasi Teks, Hukum Tetap Berlaku)
Dalam jenis menasakhkan ini, lafal atau teks ayat Al-Qur'an diangkat dari mushaf, tidak lagi dibaca atau dihafal, tetapi hukum yang terkandung di dalamnya tetap berlaku. Ini adalah bentuk *naskh* yang menimbulkan perdebatan, tetapi diakui oleh mayoritas ulama. Hikmahnya adalah untuk menunjukkan otoritas Allah dalam mengubah bentuk wahyu, sementara esensi hukumnya masih relevan.
Contoh Klasik: Hukum Rajam
Hukum rajam (hukuman mati dengan dilempari batu bagi pezina muhshan—yang sudah menikah) adalah hukum yang disepakati oleh ulama meskipun teks ayatnya (yang dikenal sebagai 'Ayat Rajam') telah diangkat dari mushaf. Umar bin Khattab pernah meriwayatkan bahwa dahulu terdapat ayat yang berbunyi: "Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan, apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu sebagai ketetapan dari Allah." Teks ini tidak lagi ada dalam Al-Qur'an, tetapi Nabi Muhammad SAW tetap menjalankan hukum rajam. Ini adalah kasus di mana Allah menasakhkan tilawah (bacaannya) tetapi mengekalkan hukumnya melalui Sunnah yang *mutawatir*.
3. Naskh al-Hukm wa al-Tilawah (Abrogasi Keduanya)
Ini adalah jenis menasakhkan di mana baik hukumnya maupun teks bacaannya diangkat, seolah-olah ayat itu tidak pernah diturunkan. Tujuan dari *naskh* jenis ini adalah untuk mengakhiri hukum secara total, baik sebagai praktik maupun sebagai bagian dari wahyu yang dibaca.
Contoh Klasik: Menyusui Sepuluh Kali
Dahulu, terdapat ketetapan bahwa hubungan mahram karena persusuan harus terjadi melalui sepuluh kali susuan yang mengenyangkan. Aisyah RA meriwayatkan bahwa ayat ini pernah diturunkan, namun kemudian diangkat (dinasakh) seluruhnya—hukum dan lafaznya—dan digantikan dengan lima kali susuan yang mengenyangkan. Dengan proses menasakhkan ini, hukum sepuluh kali susuan dan teks yang menyertai hukum tersebut tidak lagi berlaku dalam syariat Islam.
Kondisi dan Syarat Sahnya Proses Menasakhkan
Proses menasakhkan tidak terjadi secara acak. Para mujtahid menetapkan syarat-syarat yang ketat untuk mengidentifikasi dalil *nasikh* (pengganti) dan *mansukh* (yang diganti). Syarat-syarat ini harus dipenuhi untuk memastikan bahwa klaim *naskh* adalah valid dan bukan sekadar interpretasi yang keliru (wahm) atau upaya untuk menyelaraskan dua dalil yang sebenarnya bisa digabungkan.
Syarat-Syarat Mutlak
1. Dalil Mansukh Harus Berupa Hukum Syar'i: Hukum yang dinasakh haruslah hukum yang bersifat *taklif* (kewajiban, larangan, mubah, sunnah, makruh), bukan berita atau keyakinan (akidah). Keyakinan akan Keesaan Allah, misalnya, tidak mungkin menasakhkan atau dinasakh.
2. Tidak Terikat Waktu: Hukum yang dinasakh haruslah bersifat umum (mutlaq) dan tidak terikat oleh jangka waktu tertentu. Jika sebuah hukum telah ditetapkan batas waktunya (misalnya, hukum berlaku hingga kiamat atau berlaku hanya selama satu bulan), maka ketika batas waktu itu habis, itu disebut berakhirnya masa berlaku (*intihau muddat al-hukm*), bukan *naskh*.
3. Dalil Nasikh Harus Datang Kemudian: Secara kronologis, dalil *nasikh* (yang menasakhkan) harus diturunkan atau ditetapkan setelah dalil *mansukh*. Ini adalah syarat logis yang tidak dapat diganggu gugat. Mengetahui kronologi turunnya wahyu (asbabun nuzul) menjadi sangat penting di sini.
4. Kontradiksi Mutlak (Ta'arudh Kulli): Harus ada pertentangan yang nyata dan absolut antara dua dalil sehingga tidak mungkin untuk menggabungkan keduanya (al-jam'u) atau mengkhususkan salah satunya (takhsis). Jika kedua dalil dapat diamalkan dalam situasi yang berbeda, maka *naskh* tidak terjadi; sebaliknya, itu adalah *takhsis* atau *tafsil* (perincian).
5. Adanya Penjelasan Tegas (Tashrih): Harus ada indikasi yang jelas dari Pembuat Syariat (Allah atau Nabi) bahwa hukum yang baru dimaksudkan untuk menasakhkan hukum yang lama. Indikasi ini bisa berupa pernyataan eksplisit atau adanya konsensus ulama bahwa tidak ada cara lain untuk menerapkan keduanya.
Jenis Hubungan Antar Sumber dalam Menasakhkan
Salah satu perdebatan metodologis terbesar berkisar pada sumber mana yang dapat menasakhkan sumber lainnya. Secara umum, para ulama menyepakati hal berikut, meskipun ada perbedaan pendapat minor:
a. Qur'an Menasakhkan Qur'an: Disepakati secara ijma'. (Contoh: perubahan iddah wanita yang ditinggal mati suami).
b. Sunnah Menasakhkan Sunnah: Disepakati secara ijma'. (Contoh: perubahan perintah puasa 'Asyura dari wajib menjadi sunnah setelah diwajibkannya puasa Ramadan).
c. Qur'an Menasakhkan Sunnah: Disepakati oleh mayoritas ulama. Contohnya adalah dalam kasus kiblat. Awalnya, kiblat ke Baitul Maqdis ditetapkan melalui praktik Nabi (Sunnah). Kemudian, QS. Al-Baqarah ayat 144 secara tegas menasakhkan praktik ini dan memerintahkan menghadap Ka'bah.
d. Sunnah Menasakhkan Qur'an: Ini adalah poin kontroversial. Imam Syafi'i pada mulanya menolak bahwa Sunnah dapat menasakhkan Al-Qur'an, berpegang pada ide bahwa Al-Qur'an memiliki otoritas yang lebih tinggi. Namun, mayoritas ulama (Hanafi, Maliki, Hanbali) dan pandangan Syafi'i yang lebih baru menerima kemungkinan ini, dengan syarat bahwa Sunnah tersebut harus *mutawatir* (sangat kuat) dan dianggap sebagai wahyu yang tidak dibaca (*wahyu ghairu matluw*). Contohnya, hukum cambuk bagi pezina yang belum menikah (bakarat) ditetapkan oleh Al-Qur'an, namun Sunnah menasakhkan kebolehan mendapatkan harta warisan bagi seorang muslim dari kerabat non-muslim.
Penting untuk dicatat bahwa *naskh* tidak berlaku pada Ijtihad atau Qiyas. Ijtihad dapat diganti oleh ijtihad baru, tetapi ini bukan *naskh* dalam terminologi syar'i karena hukum tersebut bukan berasal dari wahyu yang pasti.
Analisis Kasus-Kasus Fiqh Klasik Menasakhkan Hukum
Untuk mencapai pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana proses menasakhkan bekerja dalam praktik, perlu ditelaah beberapa kasus fiqh yang paling sering dikutip, yang menunjukkan evolusi syariat Islam.
Kasus 1: Perubahan Arah Kiblat (Naskh al-Hukm bi al-Hukm)
Ini adalah contoh fundamental dari *naskh* yang terjadi di awal periode Madinah. Setelah hijrah, umat Islam diperintahkan salat menghadap Baitul Maqdis (Yerusalem) selama kurang lebih enam belas atau tujuh belas bulan. Ini adalah penetapan hukum awal yang bersifat sementara namun sah.
Mansukh: Praktik salat menghadap Baitul Maqdis (ditetapkan melalui Sunnah/praktik awal Nabi).
Nasikh: Firman Allah: “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144).
Ayat ini secara eksplisit dan tegas menasakhkan ketetapan hukum sebelumnya. Perubahan ini menunjukkan bagaimana Allah menguji kepatuhan umat dan memastikan sentralitas Ka'bah sebagai simbol persatuan umat, sebuah hikmah yang lebih besar daripada hukum sebelumnya. Para ulama menjadikannya bukti bahwa perubahan hukum dapat terjadi bahkan setelah praktik tersebut berjalan, selama wahyu masih turun.
Kasus 2: Tahapan Pengharaman Khamar (Tadarruj)
Proses pengharaman khamar (minuman keras) adalah contoh terbaik dari *tadarruj* (bertahap) dan bagaimana dalil berikutnya menasakhkan kebolehan pada tahap sebelumnya.
Tahap 1 (Mansukh Parsial): Allah berfirman bahwa dalam khamar dan judi terdapat dosa besar dan juga manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya (QS. Al-Baqarah: 219). Hukum ini belum mengharamkan secara mutlak, tetapi memberikan peringatan, menasakhkan kebolehan minum tanpa peringatan.
Tahap 2 (Mansukh Lebih Lanjut): Larangan salat dalam keadaan mabuk (QS. An-Nisa': 43). Ini menasakhkan kebolehan minum khamar pada waktu-waktu menjelang salat.
Tahap 3 (Nasikh Total): Pengharaman total. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma'idah: 90). Ayat ini menasakhkan semua kebolehan sebelumnya dan menetapkan pengharaman mutlak. Proses bertahap ini menunjukkan kelembutan Syariat dalam menasakhkan kebiasaan yang mengakar.
Kasus 3: Kewajiban Nafkah Istri dan Wasiat (Naskh Takhfif)
Al-Qur'an awalnya mewajibkan suami untuk meninggalkan wasiat kepada istri berupa nafkah selama setahun setelah ia meninggal, dengan syarat istri tidak diusir dari rumahnya (QS. Al-Baqarah: 240). Hukum ini dinilai berat dan membatasi hak waris ahli waris lainnya.
Hukum ini kemudian dinasakh dengan dua hukum yang lebih baru:
1. Masa iddah diubah menjadi 4 bulan 10 hari (QS. Al-Baqarah: 234).
2. Kewajiban wasiat digantikan oleh hukum waris yang rinci (QS. An-Nisa': 12), di mana istri mendapatkan bagian warisan yang telah ditentukan. Hukum waris menasakhkan kebutuhan akan wasiat nafkah setahun. Proses menasakhkan ini membawa kemudahan (takhfif) bagi harta peninggalan dan keluarga secara keseluruhan.
Batas-Batas Menasakhkan dan Perbedaan dengan Takhsis
Mencermati teks Syariat, ulama harus sangat berhati-hati sebelum mengklaim bahwa suatu hukum telah dinasakh. Seringkali, apa yang dianggap sebagai *naskh* sebenarnya hanyalah *takhsis* (pengkhususan), *bayan* (penjelasan), atau *taqyid* (pembatasan).
Perbedaan Kunci: Naskh vs. Takhsis
Perbedaan antara menasakhkan (Naskh) dan mengkhususkan (Takhsis) adalah metodologis dan fundamental:
- Naskh: Menghilangkan keberlakuan hukum secara total atau parsial (sebagian besar hukumnya) untuk masa depan. Keduanya tidak dapat diamalkan secara bersamaan. Contoh: Hukum A diganti Hukum B.
- Takhsis: Membatasi cakupan penerapan hukum umum pada sebagian individu atau kasus saja. Hukum umum itu sendiri tetap berlaku untuk kasus-kasus lain. Keduanya diamalkan secara bersamaan. Contoh: "Hormati semua orang tua," (umum) lalu datang dalil "Kecuali orang tua yang zalim." (Khusus). Hukum umum tetap berlaku untuk orang tua yang tidak zalim.
Klaim *naskh* hanya sah jika dalil yang dinasakh dan dalil yang menasakhkan tidak mungkin untuk diselaraskan (al-jam'u). Jika ada kemungkinan penyelarasan, maka *naskh* harus ditolak dan *takhsis* atau *bayan* harus diutamakan, sesuai kaidah Ushul Fiqh: "Menggunakan dalil-dalil itu lebih utama daripada membatalkan salah satunya."
Hal-Hal yang Tidak Bisa Menasakhkan
Beberapa sumber hukum tidak memiliki otoritas untuk menasakhkan hukum Syar'i, termasuk:
1. Qiyas (Analogi): Qiyas adalah metode ijtihad yang bersifat dzonni (spekulatif). Qiyas tidak dapat menasakhkan hukum yang ditetapkan secara qath'i (pasti) oleh Qur'an atau Sunnah Mutawatir.
2. Ijma' (Konsensus): Ijma' selalu datang setelah periode turunnya wahyu dan penetapan hukum. Oleh karena itu, Ijma' hanya dapat menguatkan suatu hukum, tetapi tidak dapat menasakhkan hukum yang telah ditetapkan secara jelas oleh teks primer.
3. Khabar Ahad (Hadis Tunggal): Hadis yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa perawi, meskipun shahih, dianggap bersifat *dzonni* (spekulatif dalam kepastian periwayatannya) dan tidak memiliki otoritas untuk menasakhkan hukum yang ditetapkan secara *qath'i* (pasti) oleh Al-Qur'an atau Sunnah Mutawatir.
Prinsip ini sangat penting: hukum yang pasti (qath'i) tidak boleh digantikan oleh hukum yang spekulatif (dzonni). Proses menasakhkan harus selalu dilakukan oleh dalil yang setara atau lebih kuat.
Perdebatan Mendalam Mengenai Menasakhkan Sunnah
Meskipun mayoritas ulama menyepakati konsep *naskh*, aplikasi spesifik mengenai hubungan antara Sunnah (Hadis) dan Al-Qur'an dalam konteks menasakhkan telah memicu perdebatan panjang di kalangan mazhab. Diskusi ini esensial karena Sunnah adalah penjelas Al-Qur'an.
Mazhab Hanafi: Keberlakuan Sunnah Mutawatir Menasakhkan Qur'an
Mazhab Hanafi, yang diwakili oleh Abu Hanifah dan murid-muridnya, cenderung menerima bahwa Sunnah Mutawatir (Hadis yang diriwayatkan oleh jalur periwayatan yang sangat banyak sehingga mustahil berbohong) dapat menasakhkan hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur'an. Argumen mereka didasarkan pada fakta bahwa Sunnah Mutawatir juga merupakan wahyu ilahi, meskipun tidak dibaca dalam salat. Otoritas Nabi SAW sebagai pembuat hukum (bi-idznillah) setara dengan otoritas teks Qur'an dalam menetapkan suatu hukum.
Mereka berdalil dengan hadis-hadis yang mengatur hukum rajam (hukum pidana yang dinasakh tilawahnya dari Al-Qur'an, tetapi hukumnya dikekalkan oleh Sunnah). Bagi Hanafi, jika hukum Sunnah itu sekuat dan sejelas Qur'an, maka ia memiliki kemampuan menasakhkan.
Mazhab Syafi'i: Penolakan Awal terhadap Sunnah Menasakhkan Qur'an
Imam Syafi'i (dalam pandangan lama, *qaul qadim*) awalnya menolak keras bahwa Sunnah dapat menasakhkan Al-Qur'an, berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nahl: 101, yang menyiratkan bahwa hanya Allah (melalui Qur'an) yang berhak mengganti ayat. Bagi Syafi'i, Sunnah hanya berfungsi sebagai penjelas (*bayan*), pengkhusus (*takhsis*), atau pembatas (*taqyid*) terhadap Qur'an, tetapi tidak dapat menghapus secara total (*naskh*).
Namun, dalam pandangan barunya (*qaul jadid*), Syafi'i menerima kemungkinan bahwa Sunnah (yang bersifat *mutawatir*) dapat menasakhkan Qur'an, terutama jika Sunnah tersebut dianggap sebagai manifestasi dari kehendak Allah SWT. Ia kemudian menginterpretasikan kembali kasus-kasus yang tampak seperti *naskh* sebagai *takhsis* atau *bayan* kecuali jika benar-benar tidak ada jalan lain.
Kesepakatan Umum tentang Sunnah Khusus Menasakhkan Sunnah Umum
Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan Qur'an-Sunnah, semua ulama sepakat bahwa Sunnah dapat menasakhkan Sunnah. Misalnya, adanya hadis awal yang memperbolehkan ziarah kubur, yang kemudian dinasakh oleh hadis yang melarangnya, dan kemudian dinasakh lagi oleh hadis yang memperbolehkan ziarah kubur dengan tujuan mengingat kematian (menasakhkan larangan, tetapi dengan tujuan yang dibatasi). Rantai menasakhkan dalam Sunnah ini menunjukkan dinamika syariat pada masa Nabi SAW.
Isu Kontemporer dan Bahaya Penyalahgunaan Klaim Menasakhkan
Di era kontemporer, pembahasan tentang menasakhkan menjadi sangat penting dan sensitif. Beberapa kelompok modernis atau liberal seringkali menggunakan klaim *naskh* untuk membatalkan hukum-hukum tertentu yang dianggap tidak relevan dengan zaman, sementara kelompok konservatif kadang terlalu mudah mengklaim *naskh* tanpa memenuhi syarat Ushul Fiqh yang ketat.
Bahaya Menasakhkan Tanpa Metodologi
Klaim *naskh* adalah alat tafsir yang sangat tajam dan berbahaya jika digunakan sembarangan. Jika seorang mujtahid keliru dalam mengidentifikasi *nasikh* dan *mansukh*, ia bisa saja mengamalkan hukum yang sudah tidak berlaku atau sebaliknya, membuang hukum yang masih sah.
Misinterpretasi Kebutuhan Zaman: Ada upaya-upaya modern untuk menasakhkan ayat-ayat tertentu mengenai jihad, perbudakan, atau poligami, dengan alasan bahwa hukum tersebut hanya berlaku untuk konteks abad ke-7. Ulama Ushul Fiqh menolak pendekatan ini. Hukum yang ditetapkan secara *qath'i* (pasti) dan tidak memiliki dalil *nasikh* yang kuat dari Qur'an atau Sunnah tidak dapat dibatalkan hanya berdasarkan perubahan kondisi sosial atau politik. Perubahan zaman mungkin memerlukan reinterpretasi (*i'adah al-tafsir*) atau ijtihad baru, tetapi bukan *naskh* dalam arti teknis.
Menasakhkan Hukum Internasional dalam Islam
Salah satu area yang sering diklaim terjadi *naskh* adalah hukum perang dan damai. Ayat-ayat awal di Mekkah memerintahkan kaum Muslim untuk bersabar dan memaafkan (seperti QS. Al-Muzammil: 10). Ayat-ayat ini kemudian diganti oleh ayat-ayat yang mengizinkan berperang untuk membela diri (QS. Al-Hajj: 39). Akhirnya, beberapa ulama mengklaim bahwa ayat-ayat damai telah di-nasakhkan oleh ayat-ayat perang (Ayat Saif/Pedang).
Namun, pandangan yang lebih mutakhir dan hati-hati menyatakan bahwa tidak semua ayat damai dinasakh. Sebaliknya, ayat-ayat tersebut adalah bagian dari hukum yang berlaku dalam konteks yang berbeda (misalnya, dalam keadaan lemah atau dalam perjanjian damai). Hukum damai (muhadanah) dan hukum perang (qital) adalah dua hukum yang eksis secara paralel, dan salah satunya berlaku tergantung pada situasi (bukan *naskh*, tetapi *takhsis* berdasarkan kondisi). Klaim menasakhkan secara total terhadap hukum damai hanya akan menghasilkan pandangan ekstremis yang tidak didukung oleh metodologi Ushul Fiqh yang benar.
Penetapan Menasakhkan: Tiga Cara Utama
Bagaimana seorang ulama dapat memastikan bahwa suatu hukum telah dinasakh? Ada tiga cara yang diakui dalam penetapan *naskh*:
1. Penjelasan Tegas dari Nabi atau Sahabat (Tashrih)
Cara yang paling pasti adalah jika Rasulullah SAW atau salah seorang sahabat memberikan penjelasan secara eksplisit bahwa hukum yang satu telah menasakhkan hukum yang lain. Contohnya adalah hadis yang menjelaskan bahwa puasa 'Asyura yang tadinya wajib telah dinasakh kewajibannya setelah turunnya kewajiban puasa Ramadan, sehingga statusnya menjadi sunnah saja.
2. Konsensus Umat (Ijma')
Jika ada ijma' (konsensus) di kalangan ulama mujtahid bahwa suatu hukum tertentu telah diangkat dan diganti oleh hukum lain, maka klaim menasakhkan diterima. Ijma' ini biasanya didasarkan pada pengetahuan historis tentang praktik para sahabat Nabi.
3. Pengetahuan Kronologis yang Mustahil Digabungkan
Jika ulama mengetahui secara pasti bahwa dua dalil bertentangan secara total (ta'arudh kulli) dan juga mengetahui secara pasti urutan waktu turunnya (kronologi), maka dalil yang datang belakangan dianggap secara otomatis menasakhkan dalil yang pertama. Pengetahuan tentang *asbabun nuzul* (sebab-sebab turunnya ayat) menjadi vital dalam penentuan ini.
Proses menasakhkan membutuhkan kecermatan historis yang luar biasa. Tanpa memahami kronologi pewahyuan, semua klaim *naskh* hanyalah dugaan yang lemah dan berpotensi merusak integritas Syariat.
Kontribusi Naskh terhadap Kesempurnaan Syariat
Pada akhirnya, konsep menasakhkan tidak boleh dipandang sebagai kelemahan dalam Syariat, melainkan sebagai salah satu bukti terbesar dari kesempurnaannya. Syariat diturunkan dalam konteks realitas manusia dan perkembangannya.
Bayangkan jika hukum awal mengenai iddah setahun, atau kebolehan minum khamar, harus diterapkan selamanya. Hal ini akan menimbulkan kesulitan (masyaqqah) yang tidak perlu bagi umat Islam yang sudah siap menerima hukum yang lebih sempurna. Proses menasakhkan memungkinkan syariat untuk: (1) Mengurangi beban (takhfif), (2) Menyempurnakan ibadah (tasyri'), dan (3) Mengakomodasi perkembangan spiritual umat.
Dalam konteks teologi, *naskh* memperkuat konsep Tauhid Rububiyah (Kekuasaan Allah atas penciptaan dan pengaturan). Hanya Allah, Yang Mahatahu dan Mahabijaksana, yang berhak untuk menetapkan, mengubah, membatalkan, atau menasakhkan hukum-hukum-Nya. Manusia, dengan keterbatasan pengetahuan dan prasangkanya, tidak memiliki hak untuk memutuskan bahwa suatu hukum telah kedaluwarsa tanpa adanya dalil *nasikh* yang otentik dan kuat.
Oleh karena itu, studi mendalam mengenai *naskh* adalah kewajiban bagi setiap mujtahid, memastikan bahwa setiap penerapan hukum Islam adalah valid, relevan, dan sesuai dengan kehendak Ilahi yang terakhir dan paling sempurna. Kehati-hatian dalam menentukan apakah suatu dalil bersifat *nasikh* atau *mansukh* mencerminkan integritas metodologis yang dijunjung tinggi oleh ilmu Ushul Fiqh selama berabad-abad.
Pendekatan terhadap teks suci harus selalu berpegang pada prinsip keutuhan. Hanya ketika terbukti secara meyakinkan dan metodologis bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelaraskan dua perintah yang tampak bertentangan, barulah kita dapat menggunakan instrumen *naskh*. Proses menasakhkan bukanlah jalan pintas untuk menyelesaikan perbedaan, melainkan konfirmasi bahwa Allah telah mengganti hukum lama dengan hukum yang lebih baik atau sebanding. Ini adalah penanda penting transisi hukum yang terjadi pada masa turunnya wahyu, menjamin bahwa hukum yang kita amalkan hari ini adalah versi final yang ditetapkan Allah untuk umat Muhammad SAW hingga akhir zaman.
Pengkajian mendalam terhadap ilmu *naskh* membuktikan bahwa Al-Qur'an dan Sunnah adalah sumber hukum yang hidup, namun tersusun rapi, dengan mekanisme koreksi internal yang dirancang langsung oleh Sang Pencipta, memastikan keadilan dan kemaslahatan abadi bagi seluruh umat manusia. Seluruh proses menasakhkan ini merupakan warisan ilmu yang tak ternilai harganya.