Kesabaran Abadi Nabi Ayub: Telaah Mendalam Surah Al-Anbiya Ayat 83

Simbol Kesabaran dan Doa Ilustrasi simbolis yang menampilkan figur dalam posisi berdoa, dikelilingi oleh cahaya yang melambangkan Rahmat dan kesembuhan, merujuk pada kisah Nabi Ayub. "Aku ditimpa penyakit..."

Kesabaran dalam menghadapi ujian tak terperi.

Mukadimah Kisah Nabi Ayub dalam Al-Qur'an

Kisah Nabi Ayub (Job dalam tradisi Barat) adalah salah satu narasi kenabian yang paling sarat makna dan mendalam dalam seluruh literatur Al-Qur'an. Ia bukan hanya sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah kurikulum lengkap tentang keimanan, ketabahan, dan penyerahan diri total kepada Sang Pencipta. Nabi Ayub dikenal sebagai figur kesempurnaan dalam kesabaran (*Ash-Shabur*). Sebelum ujian melanda, beliau adalah sosok yang diberkahi dengan kekayaan melimpah, keluarga harmonis, dan kesehatan prima, namun di atas segalanya, beliau adalah hamba yang sangat taat dan bersyukur.

Ketika ujian datang, ia datang secara menyeluruh dan bertubi-tubi, menghancurkan fondasi duniawinya: kehilangan harta, kematian anak-anak, dan yang terberat adalah penyakit fisik yang parah dan berkepanjangan. Di tengah kondisi ini, Surah Al-Anbiya ayat 83 mengabadikan momen puncak dari penderitaan beliau, saat beliau memanjatkan doa yang menjadi lambang kepasrahan abadi.

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
"Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia menyeru Tuhannya: '(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.'" (QS. Al-Anbiya [21]: 83)

I. Tafsir Struktural Ayat: Analisis Setiap Kata

1. Pengenalan Ayub (وَأَيُّوبَ - Wa Ayyūba)

Penyebutan nama Ayub di awal ayat segera mengarahkan perhatian pada sosok nabi yang menjadi ikon kesabaran. Struktur kalimat ini menandakan bahwa kisahnya adalah pelajaran yang harus dihayati oleh setiap orang beriman. Ini adalah penekanan bahwa jika seorang nabi, hamba pilihan Allah, dapat diuji sedemikian rupa, maka ujian adalah sunnatullah bagi seluruh umat manusia.

2. Seruan Kepada Tuhan (إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ - Idh Nādā Rabbahu)

Kata 'nādā' (menyeru) menunjukkan sebuah panggilan yang mungkin dilakukan dalam keadaan sunyi, penuh keintiman, bukan seruan publik yang putus asa. Kata 'Rabbahu' (Tuhannya) adalah kunci. Ia tidak hanya memanggil Allah secara umum, tetapi memanggil-Nya dalam konteks Rububiyah—sebagai Pemelihara, Pengatur, dan Pemberi Rahmat. Ini menunjukkan kesadaran Ayub bahwa yang berhak mengatur dan menyembuhkan hanyalah Rabbnya.

3. Pengakuan Keadaan (أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ - Annī Massanīyaḍ-Ḍurru)

Frasa ini merupakan inti dari pengaduan Ayub. 'Massanīya' berarti 'telah menyentuhku' atau 'telah menimpaku'. Penggunaan kata 'mass' (sentuhan) sering diartikan sebagai sentuhan yang lembut, bukan hantaman keras, meskipun penderitaan beliau sangat parah. Ini adalah bentuk adab dalam berdoa, mengakui cobaan tanpa mengeluh atau menyalahkan takdir.

Kata 'Aḍ-Ḍurru' mencakup segala bentuk kemudaratan, baik fisik, material, maupun spiritual. Dalam konteks Ayub, ini meliputi kehilangan kekayaan, kematian keluarga, dan penyakit kulit yang sangat menyakitkan. Namun, Ayub hanya menyatakan fakta, ia tidak meminta pembebasan instan; ia hanya menyampaikan keadaannya kepada Yang Maha Mengetahui.

4. Puncak Pengakuan (وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ - Wa Anta Arḥamur-Rāḥimīn)

Inilah klimaks doa Ayub, yang menjadikannya luar biasa dan unik. Ayub tidak meminta kesembuhan secara eksplisit. Ia hanya menutup doanya dengan pengakuan agung: "Padahal Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang."

Pengakuan ini mengandung makna teologis yang dalam:

🏠 Kembali ke Homepage