Kesabaran dalam menghadapi ujian tak terperi.
Kisah Nabi Ayub (Job dalam tradisi Barat) adalah salah satu narasi kenabian yang paling sarat makna dan mendalam dalam seluruh literatur Al-Qur'an. Ia bukan hanya sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah kurikulum lengkap tentang keimanan, ketabahan, dan penyerahan diri total kepada Sang Pencipta. Nabi Ayub dikenal sebagai figur kesempurnaan dalam kesabaran (*Ash-Shabur*). Sebelum ujian melanda, beliau adalah sosok yang diberkahi dengan kekayaan melimpah, keluarga harmonis, dan kesehatan prima, namun di atas segalanya, beliau adalah hamba yang sangat taat dan bersyukur.
Ketika ujian datang, ia datang secara menyeluruh dan bertubi-tubi, menghancurkan fondasi duniawinya: kehilangan harta, kematian anak-anak, dan yang terberat adalah penyakit fisik yang parah dan berkepanjangan. Di tengah kondisi ini, Surah Al-Anbiya ayat 83 mengabadikan momen puncak dari penderitaan beliau, saat beliau memanjatkan doa yang menjadi lambang kepasrahan abadi.
Penyebutan nama Ayub di awal ayat segera mengarahkan perhatian pada sosok nabi yang menjadi ikon kesabaran. Struktur kalimat ini menandakan bahwa kisahnya adalah pelajaran yang harus dihayati oleh setiap orang beriman. Ini adalah penekanan bahwa jika seorang nabi, hamba pilihan Allah, dapat diuji sedemikian rupa, maka ujian adalah sunnatullah bagi seluruh umat manusia.
Kata 'nādā' (menyeru) menunjukkan sebuah panggilan yang mungkin dilakukan dalam keadaan sunyi, penuh keintiman, bukan seruan publik yang putus asa. Kata 'Rabbahu' (Tuhannya) adalah kunci. Ia tidak hanya memanggil Allah secara umum, tetapi memanggil-Nya dalam konteks Rububiyah—sebagai Pemelihara, Pengatur, dan Pemberi Rahmat. Ini menunjukkan kesadaran Ayub bahwa yang berhak mengatur dan menyembuhkan hanyalah Rabbnya.
Frasa ini merupakan inti dari pengaduan Ayub. 'Massanīya' berarti 'telah menyentuhku' atau 'telah menimpaku'. Penggunaan kata 'mass' (sentuhan) sering diartikan sebagai sentuhan yang lembut, bukan hantaman keras, meskipun penderitaan beliau sangat parah. Ini adalah bentuk adab dalam berdoa, mengakui cobaan tanpa mengeluh atau menyalahkan takdir.
Kata 'Aḍ-Ḍurru' mencakup segala bentuk kemudaratan, baik fisik, material, maupun spiritual. Dalam konteks Ayub, ini meliputi kehilangan kekayaan, kematian keluarga, dan penyakit kulit yang sangat menyakitkan. Namun, Ayub hanya menyatakan fakta, ia tidak meminta pembebasan instan; ia hanya menyampaikan keadaannya kepada Yang Maha Mengetahui.
Inilah klimaks doa Ayub, yang menjadikannya luar biasa dan unik. Ayub tidak meminta kesembuhan secara eksplisit. Ia hanya menutup doanya dengan pengakuan agung: "Padahal Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang."
Pengakuan ini mengandung makna teologis yang dalam:
Kesabaran Nabi Ayub bukanlah pasifisme atau ketidakpedulian terhadap penderitaan. Sabar Ayub adalah ketabahan aktif yang berakar pada keyakinan teguh (*yaqin*) terhadap takdir Ilahi (*qadar*). Para ulama membagi kesabaran Ayub menjadi tiga dimensi yang saling terkait:
Sabar atas Kewajiban (Ketaatan): Meskipun sakit parah, Ayub tetap melaksanakan ketaatan yang ia mampu. Beliau tidak pernah meninggalkan kewajiban dasar kepada Allah meskipun tubuhnya hancur. Ini adalah lapisan kesabaran yang paling mendasar.
Sabar atas Musibah (Penderitaan): Ini adalah dimensi yang paling terlihat. Beliau menanggung kehilangan harta, kematian anak, dan penyakit yang menjauhkan orang-orang tanpa protes. Kesabaran ini adalah pengekangan lisan dan hati dari ratapan yang berlebihan atau putus asa.
Sabar atas Godaan Ketaatan: Selama masa ujian, Ayub digoda oleh Iblis dan bahkan mungkin oleh beberapa orang di sekitarnya untuk meragukan keadilan Allah. Kesabarannya dalam menjaga keimanan dan menjauhkan diri dari syirik atau kemarahan adalah puncak dari ibadah.
Kisah ini menegaskan bahwa ujian yang menimpa para nabi, meskipun luar biasa berat, berfungsi untuk meningkatkan derajat mereka, membersihkan mereka dari dosa kecil (sebab mereka maksum dari dosa besar), dan menjadi teladan abadi bagi umat manusia hingga akhir zaman. Penderitaan Ayub adalah pemurnian spiritual yang tiada banding.
Meskipun Ayub kehilangan segalanya secara materi—kekayaan, pengikut, dan kesehatan—hal yang paling menyakitkan adalah kekhawatiran bahwa ujian ini akan merusak hubungannya dengan Allah. Beberapa riwayat tafsir menyebutkan bahwa Iblis berusaha keras membuat Ayub merasa bahwa Allah telah meninggalkannya. Namun, doa beliau dalam ayat 83, yang fokus pada pengakuan Rahmat Allah, membuktikan bahwa meskipun tubuhnya hancur, jiwanya tetap utuh dan penuh pengharapan.
Kesabaran Ayub menggarisbawahi pentingnya menjaga fondasi spiritual di tengah kehancuran material. Doanya adalah manifestasi dari keyakinan bahwa kehilangan dunia tidak berarti kehilangan Akhirat, asalkan iman tetap terjaga.
Mengapa Ayub memilih nama 'Arḥamur-Rāḥimīn' (Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang) sebagai penutup doanya, padahal ia sedang berada dalam puncak penderitaan? Pemilihan sifat ini adalah strategi doa yang paling efektif.
Dalam teologi Islam, nama dan sifat Allah memiliki pengaruh mendalam pada respons doa. Ketika Ayub memanggil Allah dengan sifat Rahmat-Nya, beliau secara implisit memohon agar Allah tidak memperlakukannya berdasarkan keadilan murni, melainkan berdasarkan kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Keadilan mungkin menuntut Ayub untuk terus diuji, tetapi Rahmat Allah melampaui segala pertimbangan.
Frasa ini mengandung makna ganda: Pertama, penegasan bahwa tidak ada kasih sayang yang setara dengan kasih sayang Allah. Kasih sayang manusia terbatas, fana, dan seringkali bersyarat. Kedua, ini adalah bentuk kerendahan hati. Ayub mengakui bahwa ia tidak pantas menuntut kesembuhan, tetapi ia hanya berharap pada Rahmat yang melimpah ruah.
Perhatikan bahwa dalam ayat 83, Ayub tidak pernah mengeluh kepada Allah. Beliau hanya berujar, "Aku telah ditimpa penyakit." Doa ini kontras dengan doa manusia biasa yang mungkin akan menuntut, "Ya Allah, angkatlah penyakit ini segera!" atau bertanya, "Mengapa Engkau mengujiku sedemikian rupa?"
Adab Ayub adalah mengajarkan bahwa mengadu kepada Allah bukanlah mengeluh. Mengadu adalah menyampaikan fakta penderitaan kepada Sumber kekuatan dan Rahmat, sementara mengeluh adalah menampakkan ketidakpuasan terhadap takdir. Nabi Ayub berhasil membedakan keduanya, mempertahankan rasa syukur bahkan ketika tubuhnya tersiksa. Inilah yang menjadikan doa ini sebagai salah satu doa utama yang dianjurkan untuk dibaca saat ditimpa kesulitan.
Dari perspektif Ayub, Rahmat Allah tidak hanya terlihat saat kesembuhan datang, tetapi juga saat ujian itu sendiri berlangsung. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ujian yang berat adalah Rahmat karena ia:
Oleh karena itu, ketika Ayub memanggil Allah sebagai Arḥamur-Rāḥimīn, beliau tidak hanya memohon akhir dari penderitaan, tetapi juga bersyukur atas Rahmat yang terselubung di dalam penderitaan itu sendiri.
Meskipun fokus kita adalah ayat 83, pemahaman akan jawabannya (ayat 84) sangat penting untuk menyempurnakan pelajaran. Allah SWT menjawab doa Ayub dengan segera, menunjukkan betapa besarnya nilai adab dan kesabaran beliau.
Firman Allah dalam ayat berikutnya (84) adalah:
“Maka Kami kabulkan doanya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beribadah.”
Allah tidak hanya menyembuhkan penyakit fisik Ayub, tetapi juga mengembalikan apa yang telah hilang, bahkan melipatgandakannya. Ini menunjukkan balasan yang proporsional dan melimpah bagi kesabaran yang luar biasa.
Kesembuhan fisik Ayub disertai dengan kesembuhan spiritual: pengembalian keluarganya dan limpahan rezeki baru adalah simbol bahwa Allah memulihkan kehormatan dan statusnya sebagai seorang nabi dan pemimpin. Ujian tersebut selesai, dan Ayub keluar sebagai pemenang dengan derajat yang jauh lebih tinggi.
Bagian akhir ayat 84, "sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beribadah," memberikan dua tujuan utama dari seluruh kisah Ayub.
Sebagai Rahmat: Kesembuhan Ayub adalah rahmat langsung dari Allah. Ini adalah penegasan bahwa Allah tidak pernah menelantarkan hamba-Nya yang bersabar, seberat apapun ujiannya.
Pelajaran bagi Para Abidin: Kisah ini menjadi mercusuar bagi semua hamba yang beribadah (*Al-Abidīn*). Pelajaran utamanya adalah bahwa hidup di dunia adalah ladang ujian, dan kesabaran yang tertinggi adalah kunci untuk meraih ganjaran terbaik di sisi Allah. Jika Ayub, dengan segala penderitaannya, tetap bersabar, maka umat yang lebih lemah wajib mencontoh ketabahannya.
Kisah Ayub mengajarkan bahwa saat penderitaan mencapai puncaknya, justru saat itulah kesempatan untuk memperkuat tauhid paling terbuka lebar. Ketika semua sumber daya duniawi gagal (harta habis, teman menjauh, kesehatan lenyap), yang tersisa hanyalah Allah. Ketergantungan total inilah yang disebut optimisme tauhid.
Doa Ayub mengajarkan kita untuk tidak pernah membiarkan keputusasaan merayap masuk ke dalam hati. Selama kita masih bisa bernapas dan memanggil Allah dengan nama-nama-Nya yang indah, Rahmat-Nya selalu tersedia. Keputusasaan (*al-qunuth*) adalah dosa terbesar dalam ujian, karena ia menyangkal sifat Arḥamur-Rāḥimīn dari Allah.
Walaupun ayat 83 fokus pada doa Ayub, riwayat-riwayat tafsir tidak bisa dipisahkan dari peran istrinya, Rahmah. Beliau tetap setia merawat Ayub, bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan mereka, bahkan ketika semua orang berpaling. Kehadiran pasangan yang setia dalam ujian adalah Rahmat tersendiri yang harus disyukuri. Kisah ini menegaskan bahwa kesabaran seringkali merupakan ibadah kolektif, di mana dukungan orang terdekat menjadi tiang penopang keimanan.
Nabi Ayub dihadapkan pada godaan melalui bisikan Iblis dan tekanan sosial. Ketika orang-orang mulai mempertanyakan kesalehannya, Ayub tetap teguh. Ini adalah pelajaran penting: di tengah penderitaan, seringkali kita menerima saran yang menyimpang dari tauhid (misalnya, saran untuk menyalahkan takdir atau mencari jalan pintas haram). Ayub mengajarkan pentingnya menjaga prinsip keimanan dan tidak terpengaruh oleh opini manusia yang dangkal saat hati sedang diuji.
Penggunaan sifat Arḥamur-Rāḥimīn oleh Ayub adalah pengakuan akan ayat yang lebih luas: “Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS Al-A’raf: 156). Ini berarti bahwa bahkan dalam keadaan Aḍ-Ḍurru (kemudaratan), Ayub yakin bahwa ia masih diselimuti oleh Rahmat Allah.
Jika Ayub tidak diuji, ia tidak akan pernah mencapai kedudukan sabar yang sedemikian tinggi. Oleh karena itu, ujian itu sendiri adalah mekanisme Rahmat untuk mengangkat hamba-Nya. Ujian adalah proses penyaringan dan pemurnian yang diperlukan untuk mendekatkan hamba kepada Penciptanya. Tanpa ujian, manusia cenderung terlena dalam kesenangan duniawi dan lupa akan hakikat keberadaannya.
Bagi umat Islam, doa Nabi Ayub menjadi model universal untuk menghadapi semua jenis kesulitan, mulai dari penyakit ringan hingga krisis eksistensial. Doa ini adalah pengingat bahwa kita harus:
Ketika seseorang mengakhiri doanya dengan "Wa Anta Arḥamur-Rāḥimīn," ia sebenarnya sedang menyerahkan seluruh urusannya kepada Kehendak Ilahi, percaya bahwa apa pun keputusan-Nya adalah yang terbaik karena berasal dari sumber kasih sayang yang paling murni.
Secara spesifik, sebagian besar riwayat tafsir menekankan penyakit kulit kronis yang diderita Ayub. Penderitaan ini begitu parah hingga konon beliau dijauhi masyarakat karena khawatir penyakit itu menular. Ini adalah ujian yang sangat berat karena menyerang identitas diri dan interaksi sosial. Dalam pandangan medis kontemporer, penderitaan yang berkepanjangan tersebut akan mengarah pada depresi, isolasi, dan keputusasaan total.
Namun, Ayub membuktikan bahwa kesehatan fisik, seberapa pun parahnya, tidak boleh menjadi alasan untuk mengorbankan kesehatan spiritual. Beliau menjadikan kelemahan fisik sebagai sarana untuk memperkuat koneksi jiwanya kepada Allah, menunjukkan bahwa tubuh hanyalah wadah sementara, sedangkan iman adalah esensi yang abadi. Penderitaan Ayub mengajarkan bahwa batas antara sakit dan syukur sangat tipis, dan hanya keteguhan hati yang mampu memisahkan keduanya.
Kemudaratan Ayub diperparah dengan kehilangan harta dan anak-anak, yang merupakan tonggak stabilitas dalam kehidupan. Kehilangan anak, khususnya, adalah pukulan emosional yang seringkali tak tertahankan bagi manusia. Ayub menghadapi duka ini tanpa kehilangan akal sehat atau imannya. Ini adalah bukti bahwa harta dan keluarga adalah ujian, yang bisa diambil kapan saja, dan hanya Allah yang kekal.
Pengalaman Ayub yang ditinggalkan oleh hampir semua orang (kecuali istrinya) menyoroti ujian kesendirian. Kesendirian bisa menjadi ladang subur bagi waswas dan keraguan. Namun, Ayub mengubah kesendiriannya menjadi momen intim dengan Allah, menjadikan doanya sebagai teman setia. Ia membuktikan bahwa kehadiran Allah adalah lebih dari cukup, bahkan ketika seluruh dunia menjauh.
Salah satu aspek Aḍ-Ḍurru yang jarang dibahas adalah penderitaan yang diakibatkan oleh penilaian negatif masyarakat. Ada anggapan di kalangan umatnya bahwa Ayub pasti telah melakukan dosa besar sehingga Allah menghukumnya dengan musibah yang bertubi-tubi. Menghadapi fitnah dan tuduhan, Ayub tetap diam dan berfokus pada hubungannya dengan Allah. Beliau tidak menyia-nyiakan energinya untuk membela diri di hadapan manusia, melainkan mengarahkan seluruh keluh kesahnya kepada Allah, Arḥamur-Rāḥimīn. Ini adalah pelajaran tentang prioritas dalam menghadapi cobaan: fokus pada pemulihan hubungan dengan Allah, bukan pemulihan reputasi di mata manusia.
Doa yang diucapkan Ayub, yang dikenal sebagai "Dua Ayyub", adalah kunci penyelesaian masalah karena ia melewati semua tahapan adab berdoa yang sempurna. Ia adalah doa yang memenangkan hati Allah bukan karena keparahan penyakit yang diderita, melainkan karena keindahan pengakuan dan ketulusan niat.
Para ulama spiritual menyarankan bahwa ketika seseorang menghadapi krisis kesehatan, krisis finansial, atau krisis rumah tangga, doa ini harus dibaca berulang kali, bukan sekadar sebagai mantra, tetapi sebagai penginternalisasian total terhadap konsep bahwa Allah adalah satu-satunya pelindung dan Maha Penyayang. Mengulang-ulang Arḥamur-Rāḥimīn adalah penguatan jiwa bahwa solusi pasti datang, meskipun waktunya di luar kendali kita.
Kisah Ayub (Anbiya 83) sering disandingkan dengan kisah Nabi Yunus (Anbiya 87-88). Nabi Yunus berdoa di dalam kegelapan perut ikan, "Tiada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim." Kedua doa ini, meskipun berbeda konteks, memiliki inti yang sama: pengakuan keesaan Allah, pemujian sifat-sifat-Nya yang agung, dan pengakuan kerendahan diri hamba.
Perbedaan utamanya terletak pada fokus: Doa Yunus fokus pada pengakuan dosa (*dhulm*), sedangkan doa Ayub fokus pada pengakuan Rahmat (*rahmah*) di tengah penderitaan. Keduanya mengajarkan bahwa kunci untuk terlepas dari kesulitan adalah kembali kepada Allah dengan penyerahan diri yang murni, terlepas dari apakah penderitaan itu berasal dari kesalahan diri sendiri atau merupakan ujian yang meningkatkan derajat.
Kisah Nabi Ayub menegaskan bahwa ujian bukanlah tanda kebencian Allah, melainkan manifestasi dari keadilan-Nya yang lebih tinggi, yang seringkali tidak dapat kita pahami. Keadilan-Nya adalah menempatkan setiap hamba pada posisi yang paling sesuai dengan kapasitasnya untuk bersabar dan bersyukur.
Ayub diuji karena beliau memiliki kapasitas kesabaran yang tak terhingga. Hadiah yang diberikan Allah kepadanya—kembalinya kesehatan, harta berlipat ganda, dan keutuhan keluarga—adalah keadilan bagi kesabaran yang sempurna. Allah tidak pernah menyia-nyiakan pahala bagi mereka yang berbuat kebajikan.
Warisan terbesar Nabi Ayub yang diabadikan dalam Surah Al-Anbiya 83 adalah cetak biru untuk menjalani kehidupan di dunia yang penuh cobaan. Beliau mengajarkan bahwa spiritualitas sejati tidak diukur saat kita berada di puncak kesenangan, melainkan saat kita berada di jurang penderitaan.
Setiap rasa sakit, setiap kehilangan, setiap penyakit, adalah panggilan tersembunyi untuk memanggil Rabbahu, dan menutup panggilan itu dengan keyakinan tak tergoyahkan bahwa Ia adalah Arḥamur-Rāḥimīn. Selama Rahmat-Nya lebih besar dari kesulitan kita, harapan kita tidak akan pernah padam.
Maka, bagi setiap jiwa yang merasa lelah dan terbebani, kisah Ayub adalah pengingat bahwa ujian yang paling berat pun akan berakhir, dan setiap tetes air mata kesabaran akan dibalas dengan limpahan kasih sayang yang tak terbayangkan dari Yang Maha Pengasih. Keyakinan inilah yang menjadi fondasi bagi kehidupan yang damai, di mana hati menerima takdir dengan penuh kerelaan dan optimisme terhadap masa depan yang dijanjikan oleh Allah.
Inti dari doa Nabi Ayub adalah pengakuan akan kebutuhannya yang mutlak kepada Allah, sebuah konsep yang dikenal sebagai al-faqr ila Allah. Dalam kondisi sehat dan kaya, manusia cenderung merasa mandiri dan kuat. Namun, ketika Ayub kehilangan segalanya, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa ia adalah makhluk yang sepenuhnya bergantung. Doa "sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit" adalah pengakuan jujur akan kelemahan dan ketidakberdayaan manusia. Ini adalah momen tertinggi kerendahan hati yang harus dicapai oleh setiap hamba yang berdoa.
Pengakuan ini menghasilkan penyerahan total, di mana Ayub tidak lagi mencari solusi di luar kekuasaan Ilahi. Dengan menanggalkan segala daya dan upaya manusiawi, ia membuka pintu Rahmat yang hanya bisa dibuka melalui pengakuan total akan kelemahan diri. Kebutuhan mutlak ini menjadi magnet yang menarik pertolongan Allah, karena Allah menyukai hamba-Nya yang datang dengan hati yang hancur dan penuh harap.
Banyak manusia yang, saat diuji, fokus pada keagungan masalahnya. Mereka membesarkan penderitaan hingga penderitaan itu menenggelamkan pandangan mereka terhadap Allah. Nabi Ayub melakukan sebaliknya. Ia mengakui penderitaan, tetapi dengan segera ia mengalihkan fokusnya kepada keagungan Allah dengan bersaksi, "Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang."
Pola doa ini mengajarkan strategi spiritual: jadikanlah Allah lebih besar di mata hatimu daripada masalah yang kau hadapi. Ketika keagungan Allah (*Al-Azhamah*) memenuhi hati, masalah sebesar apapun akan tampak kecil. Pengagungan ini adalah benteng pertahanan spiritual yang mencegah keputusasaan dan kekufuran. Ini adalah ibadah pemikiran yang dilakukan Ayub bahkan ketika tubuhnya sakit tak tertahankan.
Doa Ayub bukan sekadar permintaan, melainkan dialog yang intim antara hamba dan Penciptanya. Ia menggunakan kata 'Rabbahu' (Tuhannya/Pemeliharanya), yang menyiratkan hubungan pribadi yang mendalam. Nabi Ayub tidak hanya berinteraksi dengan Tuhan sebagai Hakim Yang Maha Adil, tetapi juga sebagai Rabb yang mengasuh dan memelihara.
Dalam penderitaan Ayub selama bertahun-tahun, dialog ini adalah satu-satunya sumber ketenangan. Keintiman dalam doa ini mengajarkan kita bahwa ujian adalah sarana untuk meningkatkan kualitas komunikasi kita dengan Allah. Semakin berat ujian, semakin dalam dan tulus pula panggilan kita, sehingga menghasilkan kedekatan yang tidak mungkin dicapai dalam kondisi normal.
Meskipun ayat 83 mengabadikan satu seruan, para ulama menjelaskan bahwa penderitaan Ayub berlangsung lama, dan pasti beliau mengulang-ulang doanya dengan keyakinan yang sama. Kesabaran Ayub adalah kesabaran yang berulang dan berkelanjutan. Ini bukan kesabaran satu kali, melainkan ketekunan harian untuk tetap berprasangka baik (*husnuzzan*) kepada Allah.
Ketekunan dalam berdoa, bahkan ketika kesembuhan belum tampak, adalah ibadah yang sangat dicintai oleh Allah. Kisah Ayub menjamin bahwa jika hamba terus mengetuk pintu Rahmat dengan adab yang sempurna, pintu itu pasti akan dibuka pada waktu terbaik yang telah ditetapkan oleh Arḥamur-Rāḥimīn.
Dengan demikian, Surah Al-Anbiya ayat 83 bukan hanya catatan sejarah tentang seorang nabi yang menderita. Ia adalah manual spiritual yang abadi, mengajarkan setiap orang beriman bagaimana mengubah penderitaan menjadi kesempatan paling berharga untuk mendapatkan Rahmat dan kedudukan tertinggi di sisi Allah SWT. Ini adalah kisah tentang penemuan kekuatan tak terbatas dalam penyerahan diri yang paling total, menjadikannya warisan kesabaran yang terus menginspirasi generasi demi generasi umat manusia.