Kekuatan Tauhid, Pengakuan Diri, dan Harapan dalam Kegelapan
Surat Al-Anbiya dalam Al-Qur'an merupakan kumpulan kisah para nabi, yang ditujukan untuk meneguhkan hati Rasulullah ﷺ dan memberi pelajaran berharga bagi umat manusia. Di antara kisah-kisah penuh ujian dan keajaiban tersebut, terdapat kisah Nabi Yunus bin Matta, yang dikenal juga sebagai Dzan Nun, "Pemilik Ikan Besar." Kisah ini mencakup pelajaran fundamental mengenai kesabaran, tugas dakwah, dan kekuatan luar biasa dari pengakuan tauhid yang tulus di tengah kesulitan yang paling pekat.
Ayat 87 dari surat ini menangkap puncak dari krisis yang dialami Nabi Yunus. Setelah meninggalkan kaumnya karena merasa putus asa dan marah terhadap kekafiran mereka, ia menaiki kapal yang kemudian dilanda badai hebat. Dalam sebuah undian, ia terpilih sebagai orang yang harus dilempar ke laut untuk meringankan beban kapal. Di sinilah dimulai ujian besar: ditelan oleh ikan besar, terperangkap dalam tiga kegelapan—kegelapan malam, kegelapan lautan, dan kegelapan perut ikan.
Kondisi isolasi total, tanpa jalan keluar yang terlihat oleh mata manusia, menuntut respons spiritual yang paling murni. Al-Anbiya 87 bukan hanya menceritakan peristiwa, tetapi mewariskan formula penyelamatan universal, sebuah kunci yang dapat membuka pintu rahmat Ilahi saat semua pintu dunia tertutup rapat.
Allah SWT berfirman mengenai Nabi Yunus:
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
Terjemah: "Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam kegelapan yang amat pekat: 'Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.'" (QS. Al-Anbiya: 87)
Fokus utama tafsir ini adalah pada seruan yang diucapkan Yunus dalam kesulitan. Doa ini—yang sering disebut sebagai Dzikir Yunus—adalah manifestasi tertinggi dari tauhid, pengakuan kesucian Allah, dan pengakuan total atas kelemahan dan kesalahan diri sendiri. Doa ini adalah jembatan spiritual dari keputusasaan menuju harapan, dari kegelapan menuju cahaya.
Doa ini terbagi menjadi tiga komponen krusial, yang masing-masing membawa makna teologis yang mendalam dan saling menguatkan.
Ini adalah fondasi Islam, pernyataan tauhid yang murni. Dalam keadaan yang paling mustahil, Nabi Yunus kembali kepada akar keyakinannya. Pengakuan bahwa "Tidak ada Tuhan selain Engkau" adalah penolakan terhadap segala bentuk kekuatan lain yang mungkin dianggap bisa menolong. Di tengah lautan, di perut ikan, ia mengakui bahwa tidak ada penyelamat, tidak ada sekutu, dan tidak ada penguasa selain Allah semata. Hal ini menunjukkan bahwa kesulitan terberat seharusnya membawa seorang hamba kembali pada inti keimanan, bukan menjauhkannya.
Kalimat tauhid ini diucapkan bukan sebagai hafalan biasa, melainkan sebagai keyakinan yang menghancurkan semua hijab antara hamba dan Rabbnya. Ketika seseorang berada dalam situasi di mana tidak ada lagi yang bisa diandalkan—tidak ada harta, tidak ada teman, tidak ada keahlian—maka 'La ilaha illa anta' menjadi satu-satunya realitas. Ini adalah tauhid *fi al-syiddah* (tauhid dalam kesulitan). Pengulangan dan penghayatan frasa ini mengikis ego dan kesombongan manusia yang mungkin sebelumnya merasa mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Penggunaan kata ganti tunggal, *anta* (Engkau), menunjukkan kedekatan yang ekstrem. Ini bukan sekadar pengakuan filosofis tentang Keesaan Tuhan, melainkan seruan personal dari hamba yang sedang berdialog dengan Penciptanya. Nabi Yunus tidak hanya menyatakan bahwa Tuhan itu Esa, tetapi bahwa Tuhan yang Esa itu adalah *satu-satunya* yang ia seru saat itu juga. Kedekatan ini mempercepat respons Ilahi.
Frasa "Maha Suci Engkau" adalah pengakuan atas transendensi (kesucian) Allah dari segala kekurangan, kesalahan, atau ketidakadilan. Ketika Nabi Yunus merasa dipersempit dan diuji, ia tidak menyalahkan takdir atau meragukan kekuasaan Allah. Sebaliknya, ia menyucikan Allah dari segala persepsi negatif yang mungkin muncul dari penderitaannya.
Dengan mengatakan *Subhānaka*, Nabi Yunus secara implisit menyatakan bahwa ujian yang ia hadapi bukanlah karena Allah tidak adil atau tidak mampu menyelamatkannya. Ujian ini pasti memiliki hikmah, dan bahkan dalam kegelapan, keagungan dan kesempurnaan Allah tetap tidak tercela. Ini adalah puncak adab seorang hamba terhadap Tuhannya, mengakui keagungan Ilahi bahkan ketika berada di titik terendah kehidupan. Tasbih (penyucian) adalah tindakan membebaskan Allah dari segala asumsi manusiawi yang terbatas.
Dua bagian pertama ini (Tauhid dan Tasbih) menciptakan fondasi yang kuat: Pengakuan bahwa Allah adalah Satu-satunya (Tauhid), dan Dia sempurna, bebas dari segala cacat (Tasbih). Hanya setelah membangun fondasi keyakinan yang kokoh ini, hamba tersebut siap untuk beralih ke tahap berikutnya: pengakuan atas kesalahan diri.
Ini adalah bagian istighfar (permohonan ampun) yang paling menyentuh. "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim." Zalim di sini berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, dan dalam konteks ini, zalim terhadap diri sendiri. Kesalahan Yunus adalah terburu-buru meninggalkan tugas dakwah sebelum mendapat izin dari Allah, sebuah kesalahan yang ditafsirkan sebagai bentuk *zulm* (kezaliman) terhadap mandat kenabiannya.
Poin krusial dari frasa ini adalah pengakuan yang eksplisit dan tanpa pembelaan. Nabi Yunus tidak mencari kambing hitam; ia tidak menyalahkan kaumnya atau lingkungan. Ia mengambil tanggung jawab penuh atas tindakannya. Dalam gelap perut ikan, ia melihat dengan jelas bahwa kesulitan yang ia hadapi adalah konsekuensi dari tindakannya sendiri, betapapun kecil kesalahan itu di mata manusia.
Bagi umat Islam, frasa ini mengajarkan bahwa setiap musibah, sekecil apapun, haruslah ditinjau ulang sebagai potensi hasil dari kesalahan atau kelalaian diri. Jika seorang nabi saja mengakui dirinya zalim, betapa layaknya kita, manusia biasa, untuk mengakui kelemahan dan dosa-dosa kita. Ini adalah formula untuk kerendahan hati: meletakkan kesalahan pada diri sendiri, bukan pada Tuhan atau takdir, setelah sebelumnya meneguhkan Keesaan dan Kesucian-Nya.
Al-Qur'an secara spesifik menyebutkan bahwa Nabi Yunus menyeru "dalam kegelapan yang amat pekat" (فِي الظُّلُمَاتِ). Para mufasir sepakat bahwa ini merujuk pada tiga lapisan kegelapan yang mengelilinginya, memperparah rasa isolasi dan keputusasaan:
Kisah ini mengajarkan bahwa meskipun dikelilingi oleh kesulitan fisik dan spiritual yang berlapis-lapis, cahaya tauhid dan istighfar memiliki kekuatan untuk menembus semuanya. Doa Nabi Yunus adalah manifestasi bahwa hubungan vertikal (dengan Allah) dapat mengatasi segala rintangan horizontal (duniawi).
Ketika Yunus mengucapkan doa ini, ia beralih dari keadaan ketakutan dan penyesalan menjadi keadaan penyembahan yang murni. Ini adalah transformasi psikologis dan spiritual. Kepasrahan total ini memicu respons dari Allah, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikutnya (Al-Anbiya: 88):
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَTerjemah: "Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman."
Janji penutup, *Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman*, mengubah kisah Yunus dari sekadar cerita sejarah menjadi sebuah aturan Ilahi (sunnatullah). Formula penyelamatan ini berlaku untuk setiap mukmin yang menghadapi kesulitan, asalkan mereka mengucapkannya dengan tingkat keyakinan dan pengakuan diri yang sama.
Para ulama telah meneliti secara ekstensif keutamaan dzikir ini. Keutamaannya tidak terbatas pada penyelamatan dari musibah fisik, tetapi juga penyelamatan dari tekanan psikologis, hutang, kesedihan, dan segala bentuk kedukaan (*ghamm*).
Hadis-hadis Nabi ﷺ menguatkan bahwa doa ini sangat efektif untuk menghilangkan kesedihan dan kegelisahan. Ketika seseorang merasa tertekan, terperangkap dalam masalah yang tampak tanpa solusi, doa ini berfungsi sebagai katarsis spiritual. Ia memaksa individu untuk melepaskan kendali dan menyerahkan sepenuhnya hasil kepada Allah, sebuah tindakan yang segera mengurangi beban psikologis.
Kegelapan yang dialami Yunus melambangkan ketakutan eksistensial—rasa tidak berdaya total. Doa ini adalah penawar untuk kepanikan. Ia mengingatkan bahwa meskipun hamba lemah dan mungkin berdosa, Rabb-nya Maha Kuat dan Maha Pengampun. Dengan mengakui kelemahan, kita mengundang kekuatan tak terbatas.
Istighfar dalam dzikir ini memiliki keunikan. Ia didahului oleh pengakuan tauhid dan tasbih. Ini berarti permohonan ampun yang diucapkan Yunus bukan berasal dari keraguan terhadap Tuhan, melainkan dari keyakinan penuh akan kemuliaan-Nya. Ini adalah istighfar yang sempurna karena menggabungkan:
Seorang ulama berkata, "Tidak ada doa yang dikabulkan lebih cepat daripada doa yang diawali dengan pengakuan bahwa diri adalah pelaku kezaliman, sebab itu adalah puncak dari kehambaan."
Dalam konteks modern, kita mungkin tidak ditelan oleh ikan, tetapi kita sering ditelan oleh kegelapan lain: hutang yang menumpuk, penyakit kronis, krisis identitas, atau depresi. Dzikir Yunus mengajarkan metodologi spiritual untuk menghadapi kesulitan:
Dengan mengamalkan dzikir ini secara konsisten, seorang mukmin melatih dirinya untuk selalu kembali kepada Allah dalam setiap keadaan, menjadikan kesulitan sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan, bukan melemahkannya.
Keagungan dzikir ini terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan seluruh konsep tauhid dalam satu kalimat pendek. Setiap kata adalah pilar yang saling menopang, menjelaskan bagaimana tauhid harus diwujudkan, terutama di saat-saat paling genting. Kita akan menguraikan lebih jauh bagaimana tiga komponen ini berinteraksi dalam membentuk tauhid yang resilient.
Pengakuan *Lā ilāha illā anta* mencakup dua aspek utama tauhid:
Dalam kegelapan, Tauhid Rububiyah memberikan kepastian bahwa Allah Maha Kuasa untuk menyelamatkan, dan Tauhid Uluhiyah memberikan saluran yang benar untuk meminta penyelamatan tersebut.
Tasbih, *Subhānaka*, adalah pengakuan terhadap Tauhid Asma wa Sifat (Keesaan Nama dan Sifat Allah). Dalam konteks penderitaan, sangat mudah bagi hati manusia yang lemah untuk meragukan sifat-sifat Allah, misalnya meragukan rahmat atau keadilan-Nya. Dengan bertasbih, Yunus secara aktif menolak pikiran negatif tersebut. Ia mengakui:
Tasbih memastikan bahwa doa yang dipanjatkan bukan berasal dari keputusasaan, melainkan dari keyakinan yang teguh pada kesempurnaan sifat-sifat Ilahi.
Pengakuan *Innī kuntu minaẓ-ẓālimīn* menghubungkan tauhid dengan akhlak pribadi dan tanggung jawab. Tauhid tidak hanya teoritis; ia menuntut pertanggungjawaban diri. Kezaliman (zulm) yang diakui Yunus adalah terhadap dirinya sendiri (meninggalkan dakwah sebelum waktunya). Ini mengajarkan bahwa pemurnian tauhid harus disertai dengan pemurnian jiwa dari dosa dan kesalahan.
Ketika masalah datang, respons pertama seorang mukmin yang benar haruslah introspeksi: *Apa yang telah aku perbuat yang menyebabkan kegelapan ini?* Dzikir Yunus adalah model untuk proses introspeksi ini. Ia adalah pengakuan bahwa hamba, dalam kefanaan dan kelemahannya, telah gagal memenuhi hak-hak Allah atau hak-hak dirinya sendiri, dan karena itu, ia berhak menerima konsekuensi. Hanya dengan pengakuan tulus ini, proses pengampunan dan penyelamatan dapat dimulai.
Kombinasi ketiga komponen ini membentuk sebuah benteng spiritual yang tak tertembus. Tauhid memberikan arah, Tasbih memberikan adab, dan Istighfar membuka pintu rahmat.
Kepadatan dan ketepatan bahasa Arab dalam Al-Anbiya 87 memberikan lapisan makna yang kaya. Pilihan kata-kata oleh Allah SWT tidak pernah kebetulan, terutama dalam menggambarkan krisis kenabian.
Ayat dimulai dengan deskripsi Yunus pergi dalam keadaan "marah" atau "mughāḍiban." Kemarahan ini bukan kemarahan terhadap Allah, melainkan frustrasi yang mendalam terhadap kekafiran dan penolakan kaumnya. Frustrasi ini mendorongnya untuk meninggalkan tugasnya. Kata ini menunjukkan adanya elemen emosi manusiawi yang mendominasi penilaian kenabian, yang menjadi titik koreksi Ilahi. Koreksi ini lembut, tujuannya bukan menghukum, melainkan mendidik sang nabi untuk bersabar hingga batas waktu yang ditentukan Tuhan, bukan batas waktu yang ditentukan emosi diri.
Frasa ini sering diterjemahkan sebagai "ia menyangka bahwa Kami tidak akan menyempitkannya (menyulitkannya)." Ada tafsir lain yang lebih halus, yaitu "ia menyangka bahwa Kami tidak akan menguasainya," atau "menghakiminya." Namun, mayoritas mufasir kontemporer menekankan makna "menyempitkan" atau "menyulitkan" (dari akar kata *qadara*). Yunus menyangka bahwa ia telah menyelesaikan bagiannya dan bahwa ia dapat pergi tanpa konsekuensi segera dari Allah. Ini adalah *zhann* (prasangka) yang perlu dikoreksi. Allah lantas mengoreksinya dengan menempatkannya dalam kondisi yang paling sempit (perut ikan), membuktikan bahwa kekuasaan-Nya meliputi di mana pun hamba-Nya berada.
Penggunaan kata kerja *nādā* (menyeru) yang intens menunjukkan seruan yang keras dan mendesak, seruan yang dipicu oleh keputusasaan fisik namun didorong oleh kesadaran spiritual. Ini bukan bisikan, melainkan teriakan dari lubuk hati yang paling dalam, yang menembus tiga kegelapan. Retorika Al-Qur'an memilih kata yang menunjukkan intensitas komunikasi yang luar biasa—seruan yang tidak dapat diabaikan.
Dalam *Innī kuntu minaẓ-ẓālimīn* (sesungguhnya aku *adalah* dari orang-orang yang zalim), penggunaan kata kerja lampau (*kuntu*) menunjukkan pengakuan yang kokoh dan menetap. Ini bukan sekadar penyesalan sesaat, melainkan kesadaran bahwa kezaliman itu telah menjadi bagian dari dirinya pada masa lalu, dan ia mengakui status tersebut sepenuhnya. Ini memperkuat aspek ketulusan dalam istighfar.
Al-Qur'an memuat banyak contoh istighfar (permohonan ampun) dari para nabi, seperti istighfar Nabi Adam, Nabi Musa, dan Nabi Ibrahim. Namun, dzikir Yunus memiliki keunggulan yang menjadikannya formula penyelamatan universal yang istimewa.
Keunikan utama dzikir Yunus adalah integrasi tiga elemen inti akidah dalam satu kalimat yang sangat singkat. Kebanyakan istighfar berfokus pada pengakuan kesalahan dan memohon ampun, tetapi dzikir Yunus mewajibkan hamba untuk terlebih dahulu meneguhkan kesucian dan keesaan Allah sebelum mengakui kezaliman diri. Ini memastikan bahwa permohonan ampun didasarkan pada fondasi yang tak tergoyahkan.
Istighfar Yunus terjadi dalam situasi yang secara logika manusia tidak mungkin diselamatkan. Biasanya, doa dikabulkan dalam situasi yang masih memiliki harapan. Namun, krisis Yunus adalah kematian yang sudah di depan mata. Hal ini mengajarkan umat, bahwa bahkan ketika tidak ada harapan sama sekali dari sisi duniawi, kekuatan dzikir ini dapat membatalkan hukum alam demi rahmat Ilahi.
Rasulullah ﷺ menegaskan keutamaan dzikir ini. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqas, Rasulullah ﷺ bersabda: "Doa Dzun Nun (Nabi Yunus) yang ia ucapkan ketika berada dalam perut ikan adalah: *Lā ilāha illā anta subḥānaka innī kuntu minaẓ-ẓālimīn*. Sesungguhnya tidak seorang muslim pun yang berdoa dengannya untuk suatu keperluan melainkan Allah akan mengabulkannya."
Penegasan ini menjadikan dzikir ini sebagai salah satu kunci utama untuk memecahkan kesulitan yang diwariskan langsung kepada umat Nabi Muhammad ﷺ. Ini bukan hanya sebuah cerita, melainkan sebuah instrumen spiritual.
Penyelamatan Yunus dari *al-ghamm* (kesedihan mendalam, kegelisahan, kedukaan) sangat relevan. *Al-Ghamm* adalah penderitaan internal yang bisa lebih berat daripada penderitaan fisik. Allah berjanji menyelamatkan Yunus dari kedukaan, bukan hanya dari perut ikan. Ini menunjukkan bahwa kekuatan dzikir ini meluas hingga ke penyembuhan jiwa, bukan hanya raga.
Beberapa ulama dan praktisi spiritual merekomendasikan pengulangan dzikir Yunus dalam jumlah tertentu, seringkali seratus kali atau lebih, terutama saat menghadapi ujian berat. Pengulangan ini bukan sekadar rutinitas, tetapi praktik untuk mencapai *hudhur al-qalb* (kehadiran hati) yang dialami Yunus.
Pengulangan berfungsi untuk memahat makna tauhid, tasbih, dan istighfar ke dalam jiwa. Ketika seseorang mengulanginya, ia berulang kali mengukuhkan tiga keyakinan esensial:
Proses ini secara bertahap membersihkan hati dari keterikatan duniawi dan ketergantungan pada makhluk, membiarkan hanya ketergantungan murni kepada Al-Khaliq (Sang Pencipta).
Setiap kali dzikir ini diulang, seorang hamba berusaha menempatkan dirinya secara mental dan spiritual dalam posisi Yunus: dalam kegelapan total, menyadari kezaliman diri, dan menyeru dengan keyakinan penuh. Praktik kontemplatif ini mengubah dzikir dari rangkaian kata menjadi pengalaman spiritual yang mendalam, yang merupakan prasyarat utama untuk dikabulkannya doa.
Pengakuan dosa yang didahului oleh pujian terhadap Allah adalah cara terbaik untuk menarik Rahmat-Nya. Dalam Ilmu Tawassul, tawassul melalui Asma wa Sifat (Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah) dan pengakuan dosa dianggap sebagai salah satu bentuk tawassul paling efektif. Dzikir Yunus menggabungkan keduanya: pujian kepada Allah (*Subhanaka*) dan pengakuan terhadap kelemahan diri (*Inni kuntu minaẓ-ẓālimīn*).
Dengan mengakui kezaliman diri, hamba tersebut secara langsung memanggil sifat Allah Al-Ghafur (Maha Pengampun). Dzikir ini adalah dialog di mana hamba datang dengan pengakuan, dan Allah menjawab dengan pengampunan dan penyelamatan. Ini adalah perwujudan sempurna dari hadis Qudsi, di mana Allah berfirman, "Aku adalah sesuai persangkaan hamba-Ku kepada-Ku." Ketika hamba berprasangka baik bahwa Allah akan mengampuni dan menyelamatkannya berdasarkan pengakuan tulus ini, Allah memenuhinya.
Seluruh proses dalam Al-Anbiya 87, dari kegelapan hingga penyelamatan, adalah studi kasus abadi mengenai mekanisme kerja tauhid dalam kondisi yang paling ekstrem. Ia menegaskan bahwa kelemahan manusiawi—seperti kemarahan dan tergesa-gesa yang dialami Yunus—dapat diperbaiki, asalkan diikuti dengan kerendahan hati yang murni dan keyakinan mutlak pada Keesaan Ilahi.
Bukan hanya dalam krisis besar, dzikir ini juga meningkatkan kualitas hidup sehari-hari. Ia menanamkan rasa rendah hati yang konstan. Dengan secara rutin mengakui, *Innī kuntu minaẓ-ẓālimīn*, seorang mukmin senantiasa berada dalam mode introspeksi dan perbaikan diri. Ini mencegah kesombongan dan mendorong kepekaan terhadap dosa-dosa kecil, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas ibadah dan interaksi sosialnya.
Kisah Nabi Yunus dan doa agungnya dalam Surat Al-Anbiya ayat 87 adalah salah satu warisan spiritual paling berharga bagi umat manusia. Doa ini melampaui batas waktu dan geografi, menjadi pelipur lara dan senjata spiritual bagi setiap jiwa yang merasa terperangkap oleh kesulitan dunia.
Yunus mengajarkan bahwa setiap nabi, meskipun maksum (terjaga dari dosa besar), tetap dapat mengalami koreksi. Kisahnya mengajarkan umat untuk memandang kesulitan bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai kesempatan untuk kalibrasi ulang spiritual. Penyelamatan Yunus adalah hasil dari tawakkal (penyerahan diri) yang ekstrem, di mana ia sepenuhnya bergantung pada Rahmat Allah setelah mengakui segala keterbatasannya.
Setelah diselamatkan, Yunus dilemparkan ke daratan dalam keadaan sakit, dan Allah menumbuhkan pohon labu untuknya (QS. Ash-Shaffat: 146). Setelah pulih, ia diutus kembali kepada kaumnya, yang kali ini—berkat pertobatan mereka yang diinspirasi oleh ancaman hukuman—berjumlah seratus ribu atau lebih, dan mereka beriman. Ini adalah penutup kisah yang luar biasa, menunjukkan bahwa setelah ujian, Allah tidak hanya menyelamatkan, tetapi juga mengembalikan kehormatan dan kesuksesan dalam tugas kenabiannya.
Pesan penutup dari Al-Anbiya 87 dan kisah Yunus secara keseluruhan adalah janji Allah: Rahmat-Nya mendahului murka-Nya. Meskipun Yunus pergi dalam keadaan marah, respons Allah terhadap seruannya adalah penyelamatan dan pengampunan. Ini adalah penegasan yang kuat bahwa pintu tobat selalu terbuka, tidak peduli seberapa gelap kegelapan yang mengelilingi seorang hamba.
Dengan mengamalkan dan merenungkan Dzikir Yunus—*Lā ilāha illā anta subḥānaka innī kuntu minaẓ-ẓālimīn*—kita tidak hanya meminta pertolongan, tetapi kita meneguhkan kembali janji primordial kita kepada Allah: janji tauhid, penyucian, dan kerendahan hati. Inilah kunci yang menyelamatkan Sang Pemilik Ikan, dan kunci yang terus menyelamatkan orang-orang beriman dari segala bentuk kesulitan, duka, dan keputusasaan hingga akhir zaman.
Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan kepada kita taufiq untuk menghayati makna agung dari ayat ini.