Surah Al-Alaq (Segumpal Darah), Surah ke-96 dalam Al-Qur'an, memegang posisi yang tak tertandingi dalam sejarah spiritualitas dan peradaban Islam. Bukan sekadar sebuah bab dalam kitab suci, Al-Alaq adalah titik tolak; momen krusial ketika kontak antara langit dan bumi diresmikan, mengawali kenabian Muhammad ﷺ. Lima ayat pertamanya, yang turun di Gua Hira, bukanlah sekadar perintah ritual, melainkan cetak biru (blueprint) peradaban yang berlandaskan pada ilmu, ketundukan, dan introspeksi mendalam.
Di tengah kegelapan Makkah, sebuah masyarakat yang tenggelam dalam kebodohan (jahiliyah), penyembahan berhala, dan konflik suku, perintah pertama yang diturunkan kepada seorang yang buta huruf bukanlah perintah untuk berperang, berdagang, atau membangun. Perintah itu adalah: “Bacalah” (Iqra'). Perintah ini mengandung makna revolusioner yang mendalam, menempatkan ilmu pengetahuan sebagai pilar utama iman, dan mengingatkan manusia akan asal-usulnya yang hina, meski ditakdirkan untuk kemuliaan melalui akal dan pena.
Al-Alaq dapat dibagi menjadi tiga segmen naratif utama yang saling terikat: pencerahan (ilmu dan penciptaan), pengingkaran (kesombongan dan keangkuhan), dan konfrontasi (perlawanan terhadap kebenaran dan peringatan azab). Keseluruhan surah ini membentuk sebuah dikotomi tajam antara potensi luar biasa yang diberikan Allah kepada manusia, dan kecenderungan buruk manusia untuk melampaui batas ketika merasa dirinya cukup (istighna).
Wahyu ini diturunkan saat Nabi Muhammad ﷺ sedang menyendiri (tahannuth) di Gua Hira, sebuah praktik spiritual yang ia lakukan untuk menjauhkan diri dari kekacauan moral Makkah. Dalam kesendirian itu, Malaikat Jibril datang dan memerintahkan beliau: “Iqra'.” Nabi menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Peristiwa ini terulang tiga kali, hingga akhirnya Jibril membacakan lima ayat pertama. Momen ini bukan hanya menandai awal risalah, tetapi juga menekankan bahwa ilmu (bacaan, pemahaman) adalah kunci pembuka gerbang kebenaran.
Kisah ini menegaskan bahwa bahkan seorang Nabi yang dipilih Allah harus melalui proses pembelajaran dan penerimaan ilmu secara langsung dari sumber Ilahi. Ini adalah penegasan universal bahwa jalan menuju kebenaran selalu berawal dari “membaca”—baik membaca tanda-tanda alam, membaca kitab suci, maupun membaca diri sendiri.
Kata 'Iqra' (ٱقْرَأْ) adalah perintah (fi'il amr) dari kata kerja dasar *qara'a*. Makna kata ini jauh lebih luas daripada sekadar membaca teks tertulis. Dalam konteks wahyu pertama, 'Iqra' mencakup tiga dimensi utama:
Perintah 'Iqra' ditempatkan sebagai sebuah kegiatan yang harus disandarkan kepada otoritas tertinggi: *Bismirabbika* (Dengan nama Tuhanmu). Ini adalah fondasi epistemologi Islam: ilmu pengetahuan tidak boleh sekuler atau terpisah dari kesadaran Ilahi, melainkan harus diarahkan untuk mengenal Sang Pencipta. Segala usaha ilmiah, pencarian kebenaran, dan literasi harus berniat spiritual.
Simbolisme perintah 'Iqra' yang mengutamakan literasi dan ilmu.
Ayat kedua membawa kita kembali ke asal-usul yang sangat sederhana: *Khalaqal insana min 'alaq* (Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah/zat yang menempel). Kata *alaq* (عَلَق) memiliki beberapa makna, termasuk:
Kontras antara perintah revolusioner 'Iqra' dan asal-usul biologis 'alaq' sangat mencolok. Manusia diperintahkan untuk mencari ilmu tertinggi, menggunakan alat yang paling mulia (pena), namun harus selalu mengingat bahwa ia berasal dari materi yang sangat sederhana dan bergantung. Hal ini menanamkan fondasi kerendahan hati (tawadhu') dalam mengejar ilmu, mencegah ilmuwan atau cendekiawan jatuh dalam kesombongan intelektual.
Ayat 4 adalah penegasan yang monumental: *Alladzii 'allama bil-qalam* (Yang mengajar manusia dengan pena). Dalam masyarakat yang mengandalkan memori lisan, penekanan pada pena (Al-Qalam) adalah sebuah deklarasi peradaban. Pena adalah simbol:
Allah sendiri menggunakan Pena (Al-Qalam) sebagai instrumen pengajaran. Dalam tradisi Islam, Pena adalah makhluk pertama yang diciptakan, diperintahkan untuk menuliskan takdir segala sesuatu. Dengan demikian, pena dalam Al-Alaq bukan hanya alat tulis, melainkan representasi dari wahyu, hukum kosmik, dan transmisi pengetahuan Ilahi kepada manusia.
Ayat kelima, *'Allamal insana ma lam ya’lam*, merangkum tujuan akhir pendidikan: membawa manusia dari kegelapan ketidaktahuan menuju cahaya pengetahuan. Ayat ini menekankan bahwa sumber utama ilmu adalah Allah, dan pengetahuan manusia, betapapun luasnya, selalu terbatas dan merupakan anugerah semata.
Pilar-pilar pertama Al-Alaq (Iqra', Rabb, Khalaq, Alaq, Qalam, Ilmu) bersama-sama membentuk etos peradaban yang berpusat pada akal yang tercerahkan dan jiwa yang rendah hati. Ilmu adalah tanggung jawab, bukan hak istimewa, dan pencariannya harus didorong oleh pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari Sang Pencipta.
Setelah lima ayat pertama membangun fondasi spiritual dan intelektual, surah ini tiba-tiba beralih ke sisi gelap sifat manusia. Ayat 6 menyatakan: *Kalla innāl-insāna layatghā* (Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas). Kata *yatgha* (يَطْغَى) berasal dari *taghā*, yang berarti melampaui batas, berlebihan, atau berbuat tirani. Ini adalah kecenderungan bawaan manusia untuk menyalahgunakan kekuasaan atau anugerah yang telah diberikan.
Mengapa manusia melampaui batas? Ayat 7 memberikan diagnosis tunggal dan tajam: *Ar ra'āhustaghnā* (Karena dia melihat dirinya serba cukup). Inilah dosa fundamental yang disebut *istighna* (ٱسْتَغْنَىٰ), perasaan mandiri atau tidak membutuhkan Tuhan. Istighna dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk:
Hubungan antara Ayat 1-5 dan Ayat 6-7 sangat dialektis. Ilmu yang seharusnya mengarahkan pada kerendahan hati (mengingat asal-usul *alaq*), justru dapat menjadi bumerang ketika ilmu itu menghasilkan kekayaan, teknologi, atau kekuasaan yang membuat individu merasa "serba cukup." Al-Alaq memperingatkan bahwa puncak ilmu tanpa iman adalah awal dari tirani.
Perasaan *istighna* adalah akar dari semua kezaliman. Ketika seseorang memutuskan bahwa ia tidak lagi memerlukan Allah, ia akan mulai menentukan sendiri moralitas, kebenaran, dan hukum. Ini adalah penolakan terhadap kedaulatan Tuhan (tauhid) dan klaim atas kedaulatan pribadi yang mutlak.
Surah ini mengajarkan bahwa kekayaan materi (harta) atau intelektual (ilmu) adalah ujian terbesar. Jika *alaq* (kerendahan hati) dilupakan, maka *istighna* akan tumbuh subur. Manusia yang sombong tidak hanya melampaui batas terhadap orang lain, tetapi juga melampaui batas terhadap dirinya sendiri, menghancurkan keseimbangan spiritualnya.
Ayat 8 memberikan penawaran sekaligus peringatan: *Inna ilā rabbikar ruj'ā* (Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali). Ayat ini berfungsi sebagai rem spiritual. Tidak peduli seberapa kaya, pintar, atau berkuasa seseorang, pada akhirnya ia akan kembali kepada Sang Pencipta untuk dihisab.
Pengingat akan Hari Kembali ini bertujuan untuk menghancurkan ilusi *istighna*. Bagaimana mungkin seseorang merasa serba cukup jika tujuan akhirnya adalah kembali ke hadapan Dzat yang memberi dan mengambil segala sesuatu? Kesadaran akan *Ruj'a* (Kepulangan) adalah obat paling mujarab untuk penyakit kesombongan.
Ayat-ayat ini secara spesifik merujuk pada konfrontasi awal antara Nabi Muhammad ﷺ dan tokoh musyrikin Makkah, Abu Jahl, yang merupakan perwujudan sempurna dari *istighna* dan keangkuhan. Ketika Nabi ﷺ mulai melaksanakan salat (rukun Islam pertama setelah syahadat), Abu Jahl berusaha menghalangi beliau, mengancam akan menginjak leher beliau saat sujud di hadapan Ka'bah.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa pertentangan antara kebenaran dan kebatilan seringkali berpusat pada hak untuk beribadah dan mengakui kedaulatan Allah. Abu Jahl tidak hanya menentang dakwah, tetapi secara fisik berusaha menghalangi perwujudan kerendahan hati tertinggi: sujud.
Salat adalah antitesis dari *istighna*. Dalam salat, manusia secara sukarela melepaskan klaim atas kekuasaannya, mengakui kelemahan, dan menunjukkan kerendahan hati total, terutama saat sujud. Bagi individu yang merasa dirinya serba cukup, sujud adalah penghinaan besar terhadap egonya. Oleh karena itu, melarang salat adalah upaya untuk mematikan sumber kerendahan hati dan mempertahankan supremasi ego manusia.
Ayat 11 hingga 13 menggunakan serangkaian pertanyaan retoris yang kuat (*ar-a’ayta*, bagaimana pendapatmu) untuk menggugah kesadaran pembaca. Allah menantang Abu Jahl (dan setiap penindas) dengan pertanyaan: Bagaimana jika orang yang ia larang (Nabi Muhammad) itu berada di jalan kebenaran dan memerintahkan ketakwaan?
Ini adalah pengadilan moral di tengah pertikaian. Ayat-ayat ini membalikkan situasi: Penindas yang merasa benar, ditanya tentang kebenaran orang yang ditindas. Puncak dari ancaman itu datang pada Ayat 14, yang merupakan fondasi pengawasan moral: *Alam ya‘lam bi annallāha yarā* (Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat?).
Kesadaran bahwa Allah Maha Melihat (*Muraqabah*) adalah senjata paling ampuh melawan kezaliman yang lahir dari *istighna*. Penguasa atau individu yang merasa serba cukup seringkali bertindak buruk karena mengira tidak ada yang akan menghakimi mereka. Peringatan Ilahi ini menghancurkan ilusi privasi dalam kejahatan.
Ancaman di Ayat 15 dan 16 bersifat fisik dan spiritual. *Nasfa'an bin-nāṣiyah* (Kami tarik ubun-ubunnya). Ubun-ubun (nāṣiyah) adalah bagian kepala yang dikaitkan dengan pengambilan keputusan, kontrol, dan kehormatan. Tindakan menarik ubun-ubun melambangkan penghinaan total dan hilangnya kontrol atas diri sendiri, terutama bagi seorang Arab yang sangat menjunjung tinggi kehormatan kepala.
Ayat ini menyebutnya sebagai ubun-ubun yang mendustakan (*kādhibah*) lagi durhaka (*khāṭi’ah*). Ini menggarisbawahi bahwa kebohongan dan dosa berasal dari pusat kendali manusia (otak), yang harus tunduk, namun justru menolak.
Ketika Abu Jahl mengancam Nabi dengan memanggil golongannya, Ayat 17-18 memberikan balasan mutlak: *Fal yad‘u nādiyah. Sānad‘uz-zabāniyah* (Maka biarlah dia memanggil golongannya. Kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah). Zabaniyah adalah Malaikat penjaga neraka, lambang kekuatan yang tak tertandingi. Ini adalah perbandingan antara kekuatan manusia yang fana (suku, klan) dan kekuatan kosmik Ilahi.
Surah Al-Alaq ditutup dengan perintah yang tegas dan menenangkan kepada Nabi (dan setiap mukmin): *Kallā lā tuṭi‘hu wasjud waqtarib* (Sekali-kali jangan! Janganlah engkau patuh kepadanya; dan sujudlah serta dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)).
Pesan ini memiliki dua bagian krusial:
Simbolisme Alaq, mengingatkan manusia akan asal-usulnya yang sederhana, menanamkan kerendahan hati.
Dalam bingkai modernitas, Al-Alaq menawarkan panduan etika intelektual yang tak lekang oleh waktu. Perintah untuk ‘Iqra’ telah mewujudkan dirinya dalam institusi-institusi pendidikan, universitas, dan kemajuan teknologi. Namun, surah ini juga mengingatkan bahwa kemajuan ini harus selalu tunduk pada batasan etika dan kesadaran akan Sang Pencipta.
Al-Alaq menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia. Kedua jenis ilmu tersebut berasal dari sumber yang sama (*Allamal insana ma lam ya’lam*) dan harus dibaca atas nama Tuhan (*Bismirabbika*). Konsekuensinya, ilmuwan Muslim diperintahkan untuk melihat alam bukan sebagai entitas sekuler yang terpisah, melainkan sebagai manifestasi kebesaran Allah (ayat-ayat-Nya). Fisika, biologi, dan matematika menjadi sarana untuk semakin mengenal Sang Pencipta.
Ketika sains modern semakin menghasilkan kekuasaan (teknologi nuklir, rekayasa genetika, kecerdasan buatan), risiko *istighna* semakin besar. Para ilmuwan dan insinyur, yang merasa mampu menciptakan dan mengontrol kehidupan atau alam, rentan melampaui batas. Al-Alaq berfungsi sebagai barometer moral: seberapa canggih pun pena (teknologi) yang kita gunakan, tujuan akhirnya haruslah mengakui keterbatasan kita sebagai makhluk yang berasal dari *alaq*.
Jika pada abad ke-7 pena adalah alat dokumentasi revolusioner, kini pena telah berevolusi menjadi kode komputer, algoritma, dan data. Prinsip Al-Alaq tetap berlaku: Siapa yang menguasai pena (teknologi), maka ia memiliki kekuatan untuk mengajar atau menyesatkan. Etika digital, privasi, dan transparansi data adalah perwujudan modern dari perintah *Allama bil-qalam*.
Pena digital saat ini sering kali digunakan untuk melayani kesombongan (istighna) perusahaan raksasa yang merasa "serba cukup" dan mampu memanipulasi informasi publik demi keuntungan. Surah Al-Alaq menuntut agar teknologi dan literasi digital digunakan untuk kebenaran (ayat 11) dan ketakwaan (ayat 12), bukan untuk kedustaan (kādhibah) dan durhaka (khāṭi’ah) (ayat 16).
Perintah 'Iqra' di era informasi berlebihan menuntut literasi kritis. Mukmin tidak hanya harus mampu membaca, tetapi juga harus mampu menyaring, memahami konteks, dan memverifikasi kebenaran informasi. Kegagalan dalam literasi kritis membuka jalan bagi orang-orang yang *yatghā* untuk menyebarkan kedustaan, yang merupakan dosa *nāṣiyah kādhibah*.
Konflik antara Nabi Muhammad dan Abu Jahl dalam Al-Alaq adalah prototipe dari konflik abadi antara kebenaran (yang lemah dan terzalimi) dan kekuasaan yang sombong. Peringatan keras terhadap *istighna* ditujukan kepada setiap bentuk kekuasaan yang korup—baik politik, ekonomi, maupun media.
Pemimpin yang merasa dirinya serba cukup akan:
Bagi rakyat atau pihak yang tertindas, solusi Al-Alaq tetap relevan: jangan patuh kepada tirani, tegakkan sujud (ibadah dan kerendahan hati), dan carilah kedekatan dengan Allah (*waqtarib*). Kekuatan spiritual yang diperoleh dari kedekatan Ilahi akan jauh lebih unggul daripada kekuatan duniawi manapun, seperti yang dibuktikan dengan janji pemanggilan Malaikat Zabaniyah sebagai respons terhadap panggilan kelompok Abu Jahl.
Surah Al-Alaq bukan hanya rekaman sejarah tentang wahyu pertama; ia adalah manifesto peradaban yang berupaya menyeimbangkan kemajuan materi dengan fondasi spiritual yang kokoh. Peradaban yang dibangun di atas Al-Alaq harus memiliki ciri-ciri berikut:
Setiap disiplin ilmu harus diajarkan dengan kesadaran bahwa ia adalah jalan untuk mengenal Allah. Pendidikan harus menghasilkan individu yang cerdas secara kognitif (IQRA') dan rendah hati secara spiritual (ALAQ). Kurikulum yang memisahkan ilmu dari etika dan ketuhanan hanya akan melahirkan ahli yang berpotensi menjadi zalim atau sombong.
Pengakuan bahwa kita berasal dari *alaq* berarti pengakuan bahwa ilmu kita hanyalah setetes air di lautan pengetahuan Allah. Ilmuwan sejati, terlepas dari penemuan mereka, harus tetap bersikap terbuka terhadap kemungkinan, dan yang paling penting, tunduk kepada Kebenaran Transenden.
Tawadhu' inilah yang mencegah seorang ahli jatuh ke dalam *istighna*, menjadikannya pelayan bagi kemanusiaan, bukan penguasa atasnya. Dengan demikian, Al-Alaq menyediakan kerangka kerja untuk etika penelitian yang mencegah penyalahgunaan kekuasaan ilmiah.
Sujud adalah aksi fisik dan spiritual yang menyimpulkan seluruh surah. Jika ‘Iqra’ adalah aktivitas tertinggi akal, maka ‘Sujud’ adalah aktivitas tertinggi jiwa. Keduanya harus dilakukan secara paralel. Semakin tinggi tingkat ilmu dan pencapaian seseorang, semakin dalam dan tulus sujudnya, memastikan bahwa kekuasaan atau pengetahuan yang ia peroleh tidak pernah menjadikannya orang yang melampaui batas (*yatgha*).
Kesimpulan dari Surah Al-Alaq adalah seruan yang jelas: Bangunlah peradabanmu di atas ilmu (Iqra'), tetapi selalu tundukkan hatimu kepada Sang Pencipta (Alaq, Bismirabbika). Jangan biarkan kekayaan atau ilmu menjadikanmu sombong (Istighna), karena pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada-Nya (Ruj'a), dan tindakan tertinggi dari keimanan adalah sujud (Waqtarib) yang membawa kedekatan sejati dengan sumber segala kebenaran.