I. Gerbang Keharmonisan: Memahami Maqam Kurdi dalam Konteks Adzan
Adzan, panggilan suci untuk salat, bukan sekadar pengumuman waktu, melainkan sebuah bentuk seni vokal liturgi Islam yang sarat makna. Dalam tradisi musikal Islam yang kaya, Adzan dibawakan menggunakan berbagai *maqamat* (tangga nada atau modus musik) yang berbeda, masing-masing membawa nuansa emosional dan spiritual yang unik. Di antara maqamat yang paling menawan dan mendalam adalah Maqam Kurdi, sebuah modus yang, seperti namanya, berakar kuat pada warisan budaya dan sejarah wilayah Kurdistan, sebuah area yang membentang melintasi Irak, Iran, Suriah, dan Turki.
Penggunaan Maqam Kurdi dalam Adzan adalah sebuah pilihan artistik yang menciptakan resonansi spesifik di hati pendengarnya. Berbeda dengan maqamat lain yang mungkin terdengar megah (seperti Maqam Rast) atau ceria, Maqam Kurdi sering dikaitkan dengan kedalaman, kesedihan yang lembut, atau suasana khidmat yang mendalam. Ia membawa elemen melankolis yang mengajak jiwa untuk merenung dan mempersiapkan diri menghadapi perjumpaan spiritual melalui salat.
Mengapa Maqam Penting dalam Adzan?
Musik dalam Islam, terutama dalam konteks liturgi, berfungsi sebagai medium untuk mencapai *khushu* (kekhusyukan). Maqam bukan sekadar melodi, melainkan sebuah kerangka emosional dan filosofis. Setiap maqam memiliki ‘rasa’ (hâl) tersendiri. Maqam Kurdi, dengan interval khasnya, dipercaya mampu menembus hati pendengar dengan cara yang berbeda dari, misalnya, Maqam Bayati (yang lebih santai) atau Maqam Nahawand (yang lebih romantis dan heroik).
Pilihan maqam seringkali disesuaikan dengan waktu salat, komunitas, dan tradisi lokal. Di banyak wilayah Timur Tengah, Maqam Kurdi atau variasinya dipilih untuk panggilan salat Dhuhr atau Asr, yang merupakan waktu di tengah kesibukan hari, di mana umat membutuhkan panggilan yang menenangkan namun tegas. Namun, tradisi lain, terutama di masjid-masjid besar di Anatolia dan Levant, menggunakannya untuk Fajr, menekankan suasana introspeksi sebelum fajar menyingsing.
II. Anatomia Musikal: Karakteristik dan Struktur Maqam Kurdi
Untuk memahami sepenuhnya keindahan Adzan Kurdi, kita harus menyelam ke dalam anatomi musiknya. Maqam Kurdi (sering juga disebut maqam Hijaz Kar/Kurd) adalah bagian dari keluarga Hijaz, tetapi memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya secara signifikan dari modus-modus lain yang lebih umum.
A. Interval dan Tetrakord (Jins)
Inti dari Maqam Kurdi terletak pada susunan intervalnya, terutama pada tetrakord (empat nada) dasarnya, yang dikenal sebagai *Jins Kurdi*. Struktur ini memberikan maqam tersebut rasa unik yang sering kali digambarkan sebagai gelap, introspektif, dan sangat emosional.
Jins Kurdi dimulai dengan interval semitone (setengah nada), diikuti oleh tone (satu nada), dan kemudian semitone lagi. Misalnya, jika dimulai pada nada D: D – Eb (semitone) – F (tone) – G (semitone). Penggunaan semitone di awal ini segera menciptakan suasana muram yang khas. Kontrasnya dengan maqamat mayoritas yang dimulai dengan tone penuh sangat mencolok.
B. Nada Khas dan Mikrotonalitas
Musik Maqam, termasuk Kurdi, beroperasi di luar sistem temperamen Barat yang terdiri dari 12 nada. Maqam Kurdi memanfaatkan mikrotonalitas, yaitu penggunaan nada-nada yang berada di antara nada-nada standar (quarter tones atau koma). Meskipun Maqam Kurdi tidak seberat Maqam Segah dalam penggunaan quarter tone, interpretasi Muezzin sering melibatkan sedikit penurunan atau penaikan nada tertentu untuk menambah kedalaman emosional.
Nada ketujuh dalam skala Kurdi sering menjadi titik gravitasi emosional, di mana Muezzin dapat berlama-lama dan mengayunkan nada untuk mengekspresikan kerinduan spiritual. Teknik vokal ini, yang dikenal sebagai *tahrir* atau ornamentasi, adalah kunci untuk menghidupkan Maqam Kurdi. Tanpa penghayatan vokal yang tepat, Maqam Kurdi bisa terdengar datar, namun di tangan seorang ahli, ia menjadi sebuah ratapan yang agung.
C. Perbandingan dengan Maqam Hijaz
Seringkali Maqam Kurdi disalahpahami sebagai Maqam Hijaz, karena keduanya berbagi karakteristik melankolis. Namun, perbedaannya terletak pada urutan interval. Hijaz (misalnya, pada nada D) memiliki D – Eb (semitone) – F# (one-and-a-half tone) – G (semitone). Interval satu setengah tone dalam Hijaz memberikan kesan yang lebih 'timur' atau 'gipsi', penuh api dan gairah, sedangkan Kurdi lebih fokus pada pergerakan stepwise (berurutan) yang menciptakan rasa penyesalan atau kesyahduan yang lebih terkendali.
Dalam praktik Adzan, Kurdi sering digunakan sebagai maqam transisi, terutama pada bagian-bagian yang meminta penekanan spiritual yang kuat, seperti "Hayya 'ala al-Falah" (Marilah menuju kemenangan), di mana melodi yang jatuh (descending) memperkuat makna seruan menuju kebahagiaan abadi.
D. Puncak dan Pengembangan Melodi (Sayr)
Struktur naratif Maqam Kurdi dalam Adzan, atau *sayr* (perjalanan melodi), biasanya dimulai dengan nada dasar yang kuat dan mantap (qarar). Melodi kemudian bergerak ke atas (jins kedua), mencapai puncak emosionalnya (jawāb) di mana suara Muezzin mencapai intensitas tertinggi, biasanya pada seruan "Allahu Akbar" atau "Ashhadu an la ilaha illallah".
Namun, tidak seperti maqamat yang berakhir dengan resolusi gembira, Kurdi seringkali kembali dengan lembut ke nada dasar (qarar) dalam proses yang tenang dan merangkul. Keseluruhan perjalanan ini mencerminkan perjalanan spiritual dari kekacauan duniawi menuju ketenangan ilahi.
III. Seni Eksekusi: Penerapan Maqam Kurdi dalam Ayat-Ayat Adzan
Seorang Muezzin yang mahir tidak hanya sekadar menyanyikan nada; ia menafsirkan teks suci melalui bingkai Maqam. Penerapan Kurdi harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menghilangkan kesakralan teks. Berikut adalah analisis bagaimana Maqam Kurdi diaplikasikan pada frase-frase kunci Adzan.
A. Allahu Akbar (Permulaan dan Penegasan)
Bagian ini berfungsi sebagai fondasi spiritual dan musikal. Dalam Maqam Kurdi, empat kali pengulangan "Allahu Akbar" sering dimulai dengan nada dasar yang kuat, namun segera bergerak menuju Jins Kurdi yang khas, memberikan rasa kerendahan hati di balik keagungan Tuhan. Nada-nada yang digunakan cenderung memiliki durasi yang panjang, memungkinkan vibrasi vokal yang kaya dan mendalam.
Penggunaan teknik *tarannum* (melodi yang dihiasi) pada bagian ini sangat penting. Muezzin sering memanfaatkan transisi dari nada dasar ke nada di atasnya untuk menekankan kebesaran Allah. Suasana yang tercipta adalah khidmat, bukan riang, yang mengundang pendengar untuk melepaskan segala kebanggaan duniawi.
B. Ashhadu an la ilaha illallah (Syahadat)
Syahadat adalah inti iman. Dalam Adzan Kurdi, ini adalah titik di mana Maqam Kurdi sering mencapai ekspresi emosional yang paling murni. Nada-nada melengkung (glissandi) digunakan untuk menghubungkan frase "la ilaha illallah," menekankan penolakan terhadap ilah-ilah lain dan penegasan keesaan Allah.
Pada frase "Muhammadar Rasulullah," melodi mungkin mengalami sedikit transisi ke Maqam yang berdekatan (seperti Hijaz Murassa' atau bahkan sedikit Nahawand) untuk memberikan kontras yang lembut, sebelum kembali ke inti Kurdi. Transisi ini adalah tanda kemahiran, menunjukkan bahwa Muezzin mampu menjaga kesatuan emosional meskipun ada variasi teknis.
C. Hayya ‘ala al-Salah dan Hayya ‘ala al-Falah (Panggilan Aksi)
Secara tradisional, maqamat yang digunakan untuk "Hayya ‘ala..." seringkali harus memiliki kualitas yang mengajak atau memotivasi. Meskipun Kurdi dikenal melankolis, dalam konteks ini, melankoli tersebut diinterpretasikan sebagai kerinduan dan dorongan lembut. Jins Kurdi digunakan untuk menciptakan perasaan mendesak, tetapi tanpa kegaduhan. Panggilan ini terdengar seolah-olah hati Muezzin yang memanggil, bukan hanya tenggorokannya.
Puncak dari Maqam Kurdi sering dicapai pada kata "al-Falah" (Kemenangan), yang secara musikal diangkat lebih tinggi, tetapi dengan cepat diturunkan kembali, mengisyaratkan bahwa kemenangan sejati (surga) bersifat kontemplatif dan bukan duniawi.
IV. Jejak Historis dan Variasi Geografis Maqam Kurdi
Meskipun namanya menyiratkan asal-usul yang jelas, Maqam Kurdi telah diadopsi dan diadaptasi oleh berbagai budaya, menjadikannya bagian integral dari tradisi musik Arab, Persia, dan Turki. Karakteristik Kurdi dalam Adzan dapat sedikit bervariasi tergantung pada di mana ia dibawakan.
A. Tradisi di Mosul dan Irak Utara
Di wilayah seperti Mosul, Kirkuk, dan Arbil, yang merupakan pusat budaya Kurdi-Islam, Maqam Kurdi dalam Adzan dibawakan dengan penuh ornamen dan penekanan pada nada-nada rendah. Gaya ini sangat dipengaruhi oleh tradisi *tilawah* (bacaan Al-Quran) Irak yang terkenal kompleks dan kaya akan *tawshih* (improvisasi melodi). Adzan Kurdi di sini cenderung lebih lambat dan membiarkan setiap frase berlama-lama, memaksimalkan efek melankolis dari Jins Kurdi.
B. Pengaruh Turki dan Sekolah Istanbul
Di Turki (termasuk Diyarbakir dan daerah Kurdi lainnya), tradisi Adzan sangat dipengaruhi oleh sistem Makam Turki Klasik. Di sini, Maqam Kurdi (disebut Karcigar atau Kurdi) mungkin disajikan dengan struktur yang sedikit lebih formal dan kurang improvisasi liar dibandingkan Irak. Meskipun tetap mempertahankan karakteristik kesedihan, pembawaannya lebih teratur, sesuai dengan etika musik Ottoman. Adzan Kurdi sering dipasangkan dengan Maqam Usak atau Segah tergantung pada waktu salat.
C. Transmisi ke Levant (Suriah dan Lebanon)
Melalui jalur perdagangan dan pertukaran ulama, Maqam Kurdi menyebar ke wilayah Levant. Di Damaskus atau Aleppo, Muezzin menggunakan Kurdi, tetapi sering kali mencampurnya dengan elemen Maqam Bayati, yang lebih umum di Levant. Hasilnya adalah Kurdi yang sedikit lebih ringan, mempertahankan kesyahduan tetapi menghindari kedalaman kesedihan Irak, membuatnya lebih dapat diterima untuk berbagai kesempatan spiritual, bukan hanya Adzan.
V. Kedalaman Spiritual: Resonansi Maqam Kurdi dengan Jiwa
Dampak abadi Maqam Kurdi bukan hanya pada teknisnya, tetapi pada kemampuannya untuk berinteraksi dengan kondisi batin manusia. Dalam konteks Islam, musik liturgi harus berfungsi sebagai jembatan antara dunia fana dan keabadian. Maqam Kurdi unggul dalam peran ini.
A. Ekspresi *Zuhd* dan Kerendahan Hati
Filosofi di balik Maqam Kurdi sering dikaitkan dengan *zuhd* (askesisme) dan perasaan *faqr* (kemiskinan spiritual di hadapan Tuhan). Nada-nada yang jatuh dan struktur semitone yang muram secara musikal mencerminkan perjuangan jiwa dan pengakuan atas kerapuhan manusia.
Ketika Adzan dibawakan dengan Kurdi, pendengar diundang untuk merenungkan kesalahan mereka dan mendekat kepada Allah dalam keadaan yang paling rendah hati. Ini adalah panggilan yang tidak menuntut tetapi merayu, sebuah undangan lembut untuk meninggalkan kesibukan duniawi dan mencari ketenangan.
B. Pengaruh terhadap *Khushu* (Kekhusyukan)
Kekhusyukan adalah inti dari salat. Maqam Kurdi, dengan karakteristiknya yang membumi dan introspektif, sangat efektif dalam membangkitkan kekhusyukan. Dibandingkan dengan maqamat lain yang mungkin terdengar indah secara estetika tetapi berpotensi mengalihkan perhatian, Kurdi membawa fokus pendengar kembali ke makna tekstual Adzan itu sendiri: kebesaran Tuhan, kesaksian, dan panggilan menuju keselamatan.
Struktur harmoninya yang tidak biasa memaksa otak untuk memproses bunyi dengan cara yang lebih sadar, menggeser fokus dari lingkungan sekitar ke suara yang merasuk. Ini adalah teknik akustik yang telah disempurnakan selama berabad-abad untuk tujuan liturgi.
C. Maqam Kurdi dalam Siklus Harian
Di banyak masjid tradisional, terdapat kecenderungan untuk mencocokkan maqam dengan suasana hati waktu salat:
- **Fajr (Subuh):** Sering menggunakan Kurdi atau Saba, karena suasananya yang tenang dan dingin, cocok untuk memulai hari dengan introspeksi.
- **Dhuhr (Siang):** Kurdi atau Bayati, untuk mengistirahatkan pikiran dari panas dan aktivitas.
- **Ashar (Sore):** Mungkin transisi ke Rast atau Nahawand, yang lebih berenergi untuk mendorong penyelesaian hari.
- **Maghrib (Senja):** Sering Hijaz, yang terasa hangat dan merayakan akhir hari.
- **Isya (Malam):** Biasanya menggunakan Ajam atau Husaini, yang menenangkan jiwa sebelum tidur.
Pilihan Kurdi untuk Fajr atau Dhuhr menunjukkan perannya sebagai "penyegar spiritual" yang lembut. Kurdi berfungsi untuk membersihkan spiritualitas pendengar sebelum memasuki salat wajib.
VI. Analisis Mendalam Teknik Vokal dan Ornamentasi
Mencapai penguasaan Adzan Kurdi membutuhkan lebih dari sekadar mengetahui nada; itu membutuhkan penguasaan teknik vokal Timur Tengah yang spesifik, yang berfungsi untuk menyampaikan makna emosional mikrotonalitas yang mendasarinya.
A. Penguasaan Nafas dan Durasi
Adzan Kurdi, karena kecenderungannya untuk berlama-lama pada nada-nada tertentu, membutuhkan kapasitas pernapasan yang luar biasa. Seorang Muezzin harus mampu menahan nada sambil menjaga kualitas suara agar tetap penuh (bukan tegang) selama pengulangan frase seperti "Allahu Akbar." Teknik ini tidak hanya tentang daya tahan fisik tetapi juga tentang kontrol emosional—nafas yang stabil menyiratkan ketenangan dan keyakinan spiritual.
B. *Tahrir* (Ornamentasi Vokal)
*Tahrir*, atau hiasan vokal, adalah ciri khas musik Maqam. Dalam Kurdi, tahrir haruslah terkendali. Tahrir yang berlebihan dapat mengubah kesyahduan menjadi pertunjukan. Tahrir yang efektif dalam Kurdi seringkali terjadi pada akhir frase, di mana Muezzin menambahkan sedikit getaran cepat atau melodi singkat sebelum resolusi. Ini menciptakan "tangisan" spiritual yang sangat cepat dan halus.
C. Transisi Maqam (Tanaqqul)
Muezzin ulung akan menggunakan teknik *tanaqqul* (transisi) untuk memperkaya Adzan. Meskipun Adzan didominasi oleh Maqam Kurdi, ada saat-saat di mana transisi singkat dilakukan ke Maqam lain yang selaras (seperti Jins Bayati atau Jins Rast) untuk memberikan variasi warna, sebelum segera kembali ke Kurdi. Misalnya, transisi ini mungkin terjadi di tengah Syahadat, di mana melodi naik ke Nada Bayati yang lebih cerah, sebelum kemudian nada tersebut diturunkan kembali ke karakter Kurdi yang lebih gelap.
Kemampuan untuk melakukan transisi ini tanpa kehilangan *mood* Kurdi yang utama adalah tolok ukur keahlian Muezzin. Transisi ini seperti perjalanan spiritual singkat; kita melihat sekilas keindahan atau kegembiraan lain, tetapi selalu kembali ke realitas Kurdi yang khidmat.
D. Improvisasi dan Kreativitas Muezzin
Meskipun kerangka Maqam Kurdi ketat, ada ruang luas untuk improvisasi. Setiap Muezzin membawa penafsiran unik mereka sendiri, yang dipengaruhi oleh sekolah regional mereka, guru mereka, dan pengalaman spiritual pribadi mereka. Improvisasi ini terlihat dalam pemilihan *ghunnah* (nasalisasi), panjangnya *waqf* (jeda napas), dan intensitas vibrato. Dalam Kurdi, improvisasi cenderung fokus pada kedalaman dan penyampaian emosi, bukan pada pertunjukan teknis yang mencolok.
VII. Pelestarian dan Kontinuitas: Warisan Adzan Kurdi di Dunia Modern
Di tengah modernisasi dan standarisasi, upaya pelestarian Adzan Kurdi menjadi sangat krusial. Tradisi ini terancam oleh homogenisasi gaya Adzan yang cenderung menggunakan rekaman digital atau sistem suara yang menghilangkan nuansa mikrotonal yang esensial.
A. Peran Lembaga Pendidikan Maqam
Di pusat-pusat tradisional seperti Aleppo, Damaskus, dan kota-kota di Irak, sekolah-sekolah Maqam masih secara aktif mengajarkan Maqam Kurdi dan menerapkannya dalam Adzan. Kurikulum ini tidak hanya mengajarkan notasi, tetapi juga transmisi oral (silsilah) dari guru ke murid, memastikan bahwa nuansa emosional dan teknis yang halus tidak hilang. Pelestarian ini bergantung pada komitmen para ulama dan ahli musik yang memahami bahwa Adzan Kurdi adalah bagian tak terpisahkan dari identitas budaya dan agama mereka.
B. Tantangan Digitalisasi
Banyak sistem Adzan otomatis di dunia menggunakan rekaman standar yang disesuaikan dengan nada Barat, yang seringkali menghilangkan quarter tones khas Kurdi. Ketika Maqam Kurdi disaring melalui speaker digital berkualitas rendah, efek melankolisnya bisa hilang, berubah menjadi sekadar minor scale Barat. Tantangan bagi komunitas Muslim adalah menggunakan teknologi tanpa mengorbankan kedalaman tradisi musikalnya.
Oleh karena itu, semakin banyak Muezzin yang merekam Adzan Kurdi mereka dengan kualitas tinggi untuk memastikan bahwa generasi mendatang memiliki akses ke contoh autentik dari modus ini, lengkap dengan segala ornamentasi dan kehalusan mikrotonalnya.
C. Kurdi dalam Seni Vokal Islam Kontemporer
Pengaruh Maqam Kurdi meluas ke luar Adzan. Banyak penyanyi *nasheed* dan pembacaan Al-Quran yang menggunakan Maqam Kurdi untuk bagian-bagian yang membahas introspeksi, penderitaan, atau kerinduan akan keadilan. Modus ini telah terbukti sangat fleksibel dalam menyampaikan tema-tema spiritual yang mendalam, membuktikan relevansinya yang abadi dalam ekspresi seni vokal Islam kontemporer.
Penggunaannya dalam seni kontemporer juga membantu mengenalkan Maqam Kurdi kepada khalayak yang lebih luas, melintasi batas-batas geografis tradisional, dan memastikan bahwa harmoni Kurdi terus bergema di seluruh penjuru dunia Islam.
D. Harmoni Universalitas
Meskipun berasal dari tradisi Kurdi, melodi ini telah melampaui etnisitas. Ketika seorang Muezzin membawakan Adzan Kurdi, ia berbicara kepada setiap jiwa yang mendengarkan, tanpa memandang latar belakang. Kesedihan dan kerinduan yang terkandung di dalamnya adalah emosi universal manusia, yang membuat panggilan salat ini efektif sebagai seruan yang bersifat inklusif dan mendalam.
Keunikan Kurdi terletak pada kemampuannya untuk mengambil teks suci yang statis dan memberinya dimensi emosional yang berputar dan bernafas, mengubah setiap frase menjadi doa yang terangkat ke langit.
VIII. Penutup: Maqam Kurdi Sebagai Warisan Kemanusiaan
Maqam Kurdi dalam Adzan berdiri sebagai monumen keagungan seni liturgi Islam. Ia mewakili perpaduan yang sempurna antara disiplin musikal Timur Tengah dan kedalaman spiritual Islam. Dari akar historisnya di Mesopotamia hingga resonansinya di masjid-masjid di seluruh dunia, Maqam Kurdi menawarkan sebuah jendela ke dalam hati tradisi musik yang memandang suara bukan hanya sebagai gelombang fisik, tetapi sebagai manifestasi dari kerinduan ilahi.
Melodi Kurdi adalah pengingat bahwa panggilan salat adalah waktu untuk introspeksi, bukan euforia; waktu untuk menundukkan kepala dan hati. Pilihan modus ini oleh banyak Muezzin ahli adalah pengakuan atas kekuatannya yang unik untuk mencapai kekhusyukan tanpa perlu kemegahan yang mencolok. Ia adalah kesyahduan yang merangkul, sebuah ratapan lembut yang memanggil umat manusia kembali ke pangkuan Penciptanya.
Warisan Adzan Kurdi adalah bukti nyata bahwa musik liturgi dapat menjadi ekspresi tertinggi dari iman. Melalui intervalnya yang khas, ornamentasi yang terkontrol, dan perjalanan melodi yang penuh makna, Maqam Kurdi memastikan bahwa setiap panggilan salat adalah pengalaman yang mendalam, khidmat, dan abadi.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, suara Maqam Kurdi tetap menjadi mercusuar ketenangan. Ia mengajarkan kita bahwa kerinduan dan kerendahan hati adalah jalan tercepat menuju kedamaian spiritual, sebuah pelajaran yang relevan kapanpun dan di manapun Adzan itu berkumandang.
***