Tindakan mempermasalahkan adalah inti dari interaksi manusia. Sejak awal peradaban, kemampuan untuk mengidentifikasi ketidaksesuaian, menyoroti ketidakadilan, atau sekadar menantang status quo telah menjadi motor penggerak perubahan sosial, hukum, dan filosofis. Namun, di era modern yang penuh hiruk pikuk informasi, istilah mempermasalahkan sering kali membawa konotasi negatif—dianggap sebagai bentuk perdebatan yang tidak perlu, mencari-cari kesalahan, atau bahkan sebagai manifestasi dari kecemasan kolektif yang berlebihan. Artikel ini akan menelusuri secara mendalam mengapa manusia memiliki dorongan kuat untuk mempermasalahkan, bagaimana mekanisme psikologisnya bekerja, dan kapan tindakan ini berubah dari kritik konstruktif menjadi halangan destruktif.
Dalam konteks yang lebih luas, mempermasalahkan berarti mengangkat suatu isu, mengubahnya dari fakta laten atau keadaan yang diterima menjadi objek analisis, diskusi, dan potensi resolusi. Proses ini bukanlah hal yang sederhana; ia melibatkan pemetaan kognitif yang kompleks, di mana individu harus menyelaraskan pengalaman subjektif mereka dengan norma-norma objektif yang berlaku. Keinginan untuk mempermasalahkan sering kali berakar pada kebutuhan mendasar akan kejelasan, keadilan, atau kontrol.
Visualisasi kompleksitas kognitif dalam proses mempermasalahkan suatu isu.
I. Fondasi Psikologis Tindakan Mempermasalahkan
Mengapa kita cenderung untuk mempermasalahkan sesuatu? Jawabannya terletak jauh di dalam struktur kognitif dan evolusi sosial kita. Manusia adalah makhluk yang mencari pola dan konsistensi. Ketika pola tersebut terganggu, atau ketika inkonsistensi muncul antara harapan dan realitas, otak kita secara otomatis memicu respon untuk menyelidiki, yang kemudian berkembang menjadi upaya untuk mempermasalahkan sumber ketidaknyamanan tersebut.
A. Peran Disonansi Kognitif
Disonansi kognitif, sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Leon Festinger, adalah pendorong utama di balik keinginan kita untuk mempermasalahkan. Ketika dua keyakinan, atau keyakinan dan tindakan, saling bertentangan, kita merasakan ketegangan yang mendalam. Untuk meredakan ketegangan ini, kita memiliki dua pilihan: mengubah keyakinan atau mengubah tindakan. Namun, seringkali cara termudah adalah dengan mempermasalahkan elemen eksternal yang menyebabkan disonansi tersebut. Misalnya, jika seseorang meyakini bahwa sistem bekerja adil, namun secara pribadi mengalami ketidakadilan, daripada mengakui sistem itu rusak (yang mungkin terlalu mengancam), ia mungkin akan mempermasalahkan interpretasi atau prosedur spesifik yang diterapkan dalam kasusnya.
Kecenderungan untuk mempermasalahkan lingkungan atau interpretasi orang lain adalah mekanisme pertahanan diri. Ketika kita merasa disonansi, kita mencari bukti yang membenarkan posisi awal kita, dan secara aktif mulai mempermasalahkan keabsahan argumen atau bukti lawan. Proses mempermasalahkan ini menjadi filter yang menyaring informasi yang mengancam kepastian diri kita.
B. Kebutuhan akan Kejelasan dan Prediktabilitas
Otak manusia berevolusi untuk memprediksi. Kita berusaha meminimalkan kejutan karena kejutan identik dengan potensi bahaya. Ketika sebuah situasi tidak jelas atau ambigius, kebutuhan untuk mempermasalahkan ketidakjelasan itu muncul. Individu yang sangat cemas mungkin lebih sering mempermasalahkan situasi sehari-hari karena toleransi mereka terhadap ambiguitas sangat rendah. Mereka melihat potensi masalah di mana orang lain hanya melihat peluang atau fakta netral.
Jika suatu kebijakan publik dibuat kabur, masyarakat akan segera mempermasalahkan implementasinya, bukan karena mereka menentang tujuan kebijakan itu sendiri, tetapi karena kurangnya kepastian mengenai konsekuensi pribadinya. Tindakan mempermasalahkan adalah permintaan terselubung untuk transparansi dan definisi yang lebih ketat, yang pada gilirannya akan mengembalikan rasa kontrol dan prediktabilitas yang hilang.
Aspek Positif dari Mempermasalahkan
Meskipun sering dilihat negatif, kemampuan untuk mempermasalahkan adalah dasar dari pemikiran kritis (critical thinking). Tanpa kemauan untuk mempermasalahkan asumsi yang ada, tidak akan ada inovasi, reformasi hukum, atau kemajuan ilmiah. Ilmuwan selalu mempermasalahkan hipotesis sebelumnya, filsuf selalu mempermasalahkan kebenaran absolut, dan reformis selalu mempermasalahkan struktur kekuasaan yang mapan.
- Inovasi: Mempermasalahkan metode lama mendorong pencarian solusi baru.
- Keadilan: Mempermasalahkan ketidakadilan adalah langkah pertama menuju kesetaraan.
- Peningkatan Kualitas: Organisasi yang mendorong karyawannya untuk mempermasalahkan prosedur yang tidak efisien cenderung lebih sukses.
II. Dimensi Sosiologis: Mempermasalahkan dalam Ruang Publik dan Hukum
Ketika tindakan mempermasalahkan bergeser dari ranah pribadi ke ranah publik, dampaknya menjadi monumental. Di sini, mempermasalahkan bukan hanya tentang mencari kepastian individu, tetapi tentang menegosiasikan norma, batas, dan pembagian sumber daya dalam kelompok masyarakat. Hukum dan politik adalah arena utama di mana kebiasaan mempermasalahkan diinstitusionalkan.
Pembagian dan perselisihan yang muncul saat mempermasalahkan suatu isu secara kolektif.
A. Mempermasalahkan sebagai Mekanisme Kontrol Sosial
Dalam politik, oposisi memiliki tugas yang diinstitusionalisasi untuk mempermasalahkan kebijakan pemerintah yang berkuasa. Ini adalah fungsi penting dari demokrasi. Ketika suatu kebijakan baru diumumkan, para ahli, media, dan oposisi akan segera mempermasalahkan dasar legalnya, efisiensi ekonominya, dan dampak sosialnya. Tindakan mempermasalahkan ini memastikan bahwa kekuasaan tidak berjalan tanpa pengawasan. Tanpa dorongan kuat untuk mempermasalahkan, pemerintahan akan beroperasi dalam ruang hampa akuntabilitas.
Tentu saja, tindakan mempermasalahkan ini sering kali dimotivasi oleh kepentingan politik. Pihak yang mempermasalahkan mungkin tidak mencari solusi, tetapi mencari kelemahan lawan untuk keuntungan elektoral. Inilah yang membedakan kritik politik konstruktif dari retorika oposisi murni. Meskipun demikian, hasil akhirnya sering kali memaksa pemerintah untuk lebih transparan, yang menunjukkan bahwa bahkan mempermasalahkan yang dimotivasi oleh kepentingan pribadi dapat menghasilkan manfaat publik.
Contoh Institusional Mempermasalahkan
Sistem hukum adalah contoh terbaik bagaimana masyarakat melembagakan proses mempermasalahkan. Setiap tuntutan hukum adalah tindakan resmi mempermasalahkan klaim atau kerugian yang diderita oleh pihak lain.:
- Gugatan Konstitusional: Individu atau kelompok mempermasalahkan undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi dasar negara. Ini adalah bentuk mempermasalahkan struktur kekuasaan tertinggi.
- Sengketa Perdata: Dua pihak mempermasalahkan hak kepemilikan, kontrak, atau ganti rugi. Fokusnya adalah mempermasalahkan interpretasi kewajiban.
- Banding: Pihak yang kalah mempermasalahkan keputusan pengadilan yang lebih rendah, menantang penerapan hukum atau penilaian fakta.
Seluruh proses peradilan dirancang untuk memastikan bahwa setiap klaim yang diajukan dapat dipertanyakan, diteliti, dan dipastikan kebenarannya—yaitu, selalu ada pihak yang bertugas secara formal untuk mempermasalahkan setiap argumen yang diajukan.
B. Mempermasalahkan dalam Konteks Norma dan Budaya
Perubahan sosial besar dimulai ketika sekelompok orang mulai mempermasalahkan norma budaya yang telah lama diterima. Hak pilih perempuan, gerakan hak sipil, dan perjuangan kesetaraan gender semuanya lahir dari keputusan kolektif untuk mempermasalahkan struktur masyarakat yang opresif. Ini adalah bentuk mempermasalahkan yang memerlukan keberanian karena menantang konsensus sosial yang kuat.
Kelompok minoritas seringkali berada dalam posisi harus secara terus-menerus mempermasalahkan bias struktural dan asumsi mayoritas. Keengganan mayoritas untuk memahami atau mengakui masalah seringkali memaksa minoritas untuk menggunakan taktik yang lebih radikal dalam mempermasalahkan ketidakadilan, hanya agar suara mereka didengar. Tindakan mempermasalahkan, dalam hal ini, bukan hanya kritik; ini adalah klaim eksistensial atas martabat dan kesetaraan.
Namun, dalam interaksi sehari-hari, kita juga melihat batasan-batasan dalam mempermasalahkan. Ada "etiket sosial" yang mengatur apa yang pantas untuk dipertanyakan. Seseorang mungkin dicap sebagai "cengeng" atau "terlalu sensitif" jika ia mempermasalahkan hal-hal yang dianggap sepele oleh kelompok sosialnya. Label ini berfungsi sebagai mekanisme penahanan sosial untuk membatasi jumlah isu yang boleh dipermasalahkan, menjaga stabilitas superfisial kelompok.
III. Mempermasalahkan di Era Digital: Hiper-Problematisasi dan Bias Konfirmasi
Internet telah secara fundamental mengubah cara kita mempermasalahkan, siapa yang berhak mempermasalahkan, dan kecepatan penyebaran masalah tersebut. Media sosial berfungsi sebagai megafon yang tak terbatas, memungkinkan setiap orang untuk mengangkat dan mempermasalahkan isu, dari skala global hingga keluhan pribadi mengenai layanan pelanggan, dalam hitungan detik. Fenomena ini memunculkan apa yang dapat kita sebut sebagai "Hiper-Problematisasi."
Scrutiny intensif di era digital mendorong proliferasi isu yang dipermasalahkan.
A. Kecepatan dan Konsekuensi Mempermasalahkan Viral
Sebelum internet, proses untuk mempermasalahkan suatu isu memerlukan sumber daya yang besar: organisasi, pendanaan, dan dukungan media tradisional. Sekarang, satu unggahan viral dapat memaksa perusahaan multinasional untuk mengubah kebijakannya dalam semalam. Kecepatan ini, meskipun demokratis, juga menghilangkan fase penting dari deliberasi: waktu untuk memverifikasi dan menganalisis secara mendalam mengapa suatu isu harus dipermasalahkan dan apa konsekuensinya.
Ketika publik secara kolektif memutuskan untuk mempermasalahkan perilaku seseorang (misalnya, dalam konteks "cancel culture"), keputusan untuk mempermasalahkan tersebut sering kali bersifat emosional dan didorong oleh algoritma yang mengutamakan kemarahan dan konflik. Efeknya adalah peningkatan drastis dalam jumlah hal yang dianggap layak untuk dipermasalahkan, meskipun banyak di antaranya mungkin bersifat dangkal atau dilebih-lebihkan di luar proporsi.
B. Echo Chamber dan Mempermasalahkan yang Bersifat Tribal
Filter algoritma dan ruang gema (echo chamber) memperburuk kecenderungan kita untuk hanya mempermasalahkan hal-hal yang sudah sesuai dengan pandangan kelompok kita. Dalam ruang gema, semua orang berbagi asumsi dasar yang sama, sehingga ketika satu anggota kelompok mulai mempermasalahkan lawan, anggota lain langsung mengadopsi masalah tersebut tanpa pemeriksaan kritis. Ini menghasilkan polarisasi di mana kedua belah pihak secara aktif mempermasalahkan dasar-dasar realitas pihak lain, bukan hanya kebijakan atau tindakan mereka.
Dalam lingkungan tribal ini, tindakan mempermasalahkan menjadi penanda identitas. Siapa pun yang menolak untuk mempermasalahkan narasi yang dominan dalam kelompok mereka berisiko diasingkan. Oleh karena itu, individu merasa tertekan untuk terus mencari hal-hal baru yang dapat dipermasalahkan oleh kelompok mereka, mempertahankan momentum konflik digital yang berkelanjutan.
IV. Batas Antara Kritik Konstruktif dan Sikap Hiper-Kritis
Inti dari analisis ini adalah membedakan kapan kemampuan untuk mempermasalahkan berfungsi sebagai alat perbaikan, dan kapan ia berubah menjadi gangguan neurotik atau penghambat kemajuan. Perbedaan ini seringkali terletak pada niat dan metodologi di balik tindakan mempermasalahkan tersebut.
A. Mempermasalahkan untuk Solusi vs. Mempermasalahkan untuk Dominasi
Kritik yang konstruktif selalu memiliki tujuan akhir: resolusi atau peningkatan. Ketika seseorang mempermasalahkan, tujuannya adalah menjembatani kesenjangan antara keadaan saat ini dan keadaan yang diinginkan. Ini membutuhkan kemampuan untuk tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga mengusulkan alternatif yang layak.
Sebaliknya, ada individu atau kelompok yang mempermasalahkan sebagai bentuk dominasi atau permainan kekuasaan. Bagi mereka, tujuan mempermasalahkan bukanlah menemukan kebenaran, tetapi memenangkan perdebatan, merendahkan lawan, atau sekadar menikmati perasaan superioritas intelektual. Jenis mempermasalahkan ini bersifat nihilistik; ia menghancurkan solusi, bukan menciptakannya. Orang yang selalu mempermasalahkan orang lain tanpa pernah menawarkan perbaikan seringkali menggunakan kritik sebagai topeng untuk rasa tidak aman atau sinisme yang mendalam.
"Kecenderungan untuk mempermasalahkan tanpa menawarkan jalur keluar adalah resep untuk stagnasi. Ini mengubah energi yang seharusnya dialokasikan untuk pemecahan masalah menjadi siklus tanpa akhir penunjukan kesalahan."
Psikologi organisasi menunjukkan bahwa tim yang terlalu sering mempermasalahkan ide satu sama lain, alih-alih mempermasalahkan isu secara impersonal, akan mengalami kelumpuhan keputusan. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk mempertahankan diri daripada untuk mencari inovasi.
B. Analisis Mendalam Mengenai Sinisme dan Sikap Mempermasalahkan
Sinisme modern seringkali bermanifestasi sebagai kebiasaan untuk secara otomatis mempermasalahkan niat baik atau motif di balik setiap tindakan. Jika pemerintah mengumumkan program sosial, kaum sinis akan segera mempermasalahkan potensi korupsi. Jika seorang dermawan besar memberikan sumbangan, mereka akan mempermasalahkan motif tersembunyi seperti pencitraan pajak atau pengalihan perhatian dari skandal.
Meskipun skeptisisme yang sehat (kemauan untuk mempermasalahkan bukti) sangat penting, sinisme berlebihan merusak kemampuan kolektif untuk bertindak. Ketika segala sesuatu dapat dipermasalahkan hanya berdasarkan asumsi terburuk, masyarakat menjadi tidak mampu mencapai kesepakatan minimum yang diperlukan untuk kolaborasi. Sinisme menggunakan alat mempermasalahkan untuk menjustifikasi ketidakaktifan dan nihilisme moral. Orang sinis meyakini bahwa karena semua sistem cacat dan semua orang korup, maka tidak ada gunanya mempermasalahkan atau berusaha mengubah apa pun, kecuali untuk menunjukkan keunggulan moral mereka dalam melihat kebusukan dunia.
V. Filosofi di Balik Pembentukan Masalah: Ontologi dan Epistemologi Konflik
Dalam filsafat, tindakan mempermasalahkan adalah inti dari inkuiri. Epistemologi (studi tentang pengetahuan) pada dasarnya adalah upaya sistematis untuk mempermasalahkan keabsahan klaim pengetahuan. Ontologi (studi tentang keberadaan) mencoba mempermasalahkan sifat fundamental realitas. Untuk mencapai kedalaman 5000 kata, kita harus menyelam lebih dalam ke dalam struktur filosofis yang mendukung keharusan kita untuk mempermasalahkan.
A. Tradisi Skeptisisme dan Kritik Rasional
Filsafat Barat, sejak Socrates, telah menjunjung tinggi kewajiban untuk mempermasalahkan. Metode Socrates, yang dikenal sebagai elenchus, adalah serangkaian pertanyaan yang bertujuan untuk mempermasalahkan dan akhirnya membongkar definisi atau keyakinan yang diterima oleh lawan bicara. Socrates melihat bahwa kebijaksanaan sejati dimulai ketika seseorang mampu mempermasalahkan apa yang ia pikir sudah ia ketahui. Kebiasaan mempermasalahkan ini menjadi dasar bagi seluruh tradisi rasionalisme.
Immanuel Kant, dalam upaya mempermasalahkan batas-batas akal murni, mendefinisikan kritik bukan sebagai penolakan, tetapi sebagai penyelidikan mengenai kondisi kemungkinan sesuatu. Bagi Kant, tugas filsafat bukanlah sekadar mempermasalahkan, tetapi mempermasalahkan mengapa kita bisa mengetahui atau bisa bertindak moral. Tindakan mempermasalahkan ini memerlukan disiplin yang ketat—bukan hanya keluhan, tetapi analisis transendental.
Ini memunculkan pertanyaan penting: Apakah semua yang dapat dipermasalahkan harus dipermasalahkan? Filsuf pragmatis cenderung mengatakan tidak. Mereka berpendapat bahwa kita harus menghentikan proses mempermasalahkan ketika keyakinan yang ada menghasilkan hasil yang dapat diandalkan dalam praktik. Jika kita terus-menerus mempermasalahkan dasar-dasar keberadaan setiap saat, kita tidak akan pernah bisa bertindak. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, kita memilih untuk menerima banyak asumsi sebagai ‘given’ (diberikan), membatasi energi mempermasalahkan kita hanya pada area yang benar-benar memerlukan perubahan atau perbaikan.
B. Mempermasalahkan sebagai Praksis Kritis (Marxisme dan Teori Kritis)
Teori kritis, yang sangat dipengaruhi oleh Marxisme dan Mazhab Frankfurt, menjadikan mempermasalahkan sebagai tugas politik dan sosial utama. Bagi para teoretisi ini, tugas intelektual adalah mempermasalahkan dan mengungkap struktur kekuasaan tersembunyi yang membentuk kesadaran kita (ideologi). Mereka mempermasalahkan segala sesuatu yang dianggap "alami" atau "tak terhindarkan" dalam masyarakat kapitalis, menunjukkan bahwa hal-hal tersebut sebenarnya merupakan konstruksi sosial yang melayani kepentingan kelas dominan.
Tindakan mempermasalahkan di sini diarahkan pada pembebasan. Dengan mempermasalahkan mitos-mitos yang menahan masyarakat, Teori Kritis berharap untuk memicu kesadaran yang diperlukan untuk perubahan radikal. Contohnya, ketika feminis mempermasalahkan norma-norma gender tradisional, mereka tidak hanya mempermasalahkan perilaku individu, tetapi mempermasalahkan seluruh sistem patriarki yang membuat norma-norma tersebut tampak normal.
Kritik yang muncul terhadap pendekatan ini adalah bahwa ia dapat jatuh ke dalam perangkap mempermasalahkan tanpa batas, di mana upaya untuk dekonstruksi menjadi tujuan itu sendiri. Jika kita terus-menerus mempermasalahkan setiap basis moral, apakah ada landasan yang tersisa untuk bertindak secara etis? Ini adalah dilema sentral dari hiper-problematisasi filosofis.
VI. Studi Kasus Perluasan Isu: Mengapa Hal Kecil Sering Dipermasalahkan Lebih Hebat
Seringkali, isu yang paling kecil atau paling tidak signifikan di permukaan adalah yang paling gencar dipermasalahkan. Ada beberapa alasan psikologis dan sosiologis yang menjelaskan mengapa isu-isu mikro dapat memicu reaksi makro, di mana orang-orang berbondong-bondong untuk mempermasalahkan detail-detail yang tampaknya remeh.
A. Prinsip Katarsis: Melepas Ketegangan Besar pada Target Kecil
Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali tidak mampu mempermasalahkan sumber stres kita yang sebenarnya. Kita tidak bisa mempermasalahkan atasan kita yang kejam (karena takut dipecat), atau mempermasalahkan pasangan kita tentang masalah yang mendalam (karena takut konflik). Jadi, energi frustrasi yang terpendam ini mencari saluran keluar yang lebih aman.
Hal-hal sepele—kesalahan tata bahasa di papan pengumuman publik, detail kecil yang tidak konsisten dalam film, atau kebijakan kantor yang sedikit mengganggu—menjadi target yang sempurna untuk mempermasalahkan. Dengan mempermasalahkan hal-hal kecil ini, individu merasakan pelepasan katarsis, seolah-olah mereka telah menaklukkan kekacauan, padahal sebenarnya mereka hanya mengalihkan ketegangan yang lebih besar dan tak tertangani. Mereka mempermasalahkan hal yang mudah diperbaiki karena mereka tidak sanggup mempermasalahkan hal yang mustahil diperbaiki.
Contoh Kasus Mempermasalahkan Detail
Ambil contoh debat sengit mengenai format dokumen standar di sebuah perusahaan. Meskipun format adalah masalah kecil, intensitas karyawan dalam mempermasalahkan pilihan font atau margin mencerminkan pertempuran kekuasaan yang lebih besar mengenai siapa yang memiliki kontrol atas alur kerja. Konflik nyata bukanlah tentang font, tetapi tentang otoritas. Namun, untuk memenangkan otoritas, mereka harus mempermasalahkan detail spesifik yang dapat dibuktikan, yaitu font.
B. Fenomena Kekalahan Moral dan Komodifikasi Problematisasi
Di era digital, tindakan mempermasalahkan telah menjadi komoditas. Untuk menarik perhatian (mata uang utama di internet), seseorang harus mampu mempermasalahkan sesuatu dengan cara yang baru, lebih keras, atau lebih provokatif. Ada insentif finansial dan sosial yang besar bagi para influencer atau komentator media untuk terus-menerus menemukan hal baru untuk dipermasalahkan.
Jika seorang influencer secara rutin mempermasalahkan ketidakadilan besar, isu tersebut mungkin menjadi jenuh. Oleh karena itu, mereka harus menurunkan level fokus, mulai mempermasalahkan nuansa mikro dari isu yang lebih besar, atau bahkan menciptakan masalah dari kekosongan. Ini adalah siklus di mana keharusan untuk tetap relevan mendorong hiper-produksi masalah yang harus dipermasalahkan oleh audiens. Semakin banyak yang dapat dipermasalahkan, semakin banyak klik yang dihasilkan.
Komodifikasi ini merusak tujuan asli dari mempermasalahkan, yaitu mencapai keadilan atau kebenaran. Sebaliknya, hal itu mengubah kritik menjadi bentuk hiburan yang didasarkan pada kemarahan dan perpecahan. Para 'pencari masalah' profesional ini tahu persis tombol mana yang harus ditekan untuk membuat audiens mereka mempermasalahkan, bahkan jika isu tersebut tidak memiliki relevansi jangka panjang.
VII. Manajemen Diri dan Mempermasalahkan yang Bertanggung Jawab
Mengingat bahwa naluri untuk mempermasalahkan adalah bawaan manusia, tujuannya bukanlah menghilangkannya, tetapi mengelolanya. Bagaimana kita dapat memastikan bahwa kecenderungan kita untuk mempermasalahkan diarahkan pada hasil yang produktif, bukan siklus frustrasi yang tidak berguna?
A. Filter Kritis Sebelum Mempermasalahkan
Sebelum kita memutuskan untuk mempermasalahkan suatu isu—baik di lingkungan kerja, dalam hubungan pribadi, atau di forum publik—kita perlu menerapkan serangkaian filter evaluatif. Ini adalah semacam pemeriksaan diri (meta-kognitif) terhadap dorongan problematizing kita.
Tiga Pertanyaan Kunci Sebelum Mempermasalahkan:
- Prinsip Signifikansi: Apakah isu yang saya coba permasalahkan ini memiliki konsekuensi nyata bagi diri saya atau orang lain? Atau apakah ini hanyalah preferensi pribadi yang saya coba paksakan sebagai norma universal? Jika isunya sepele, energi yang dihabiskan untuk mempermasalahkan dapat dialihkan ke isu yang lebih besar.
- Prinsip Kendali (Locus of Control): Apakah saya memiliki kekuatan, atau apakah komunitas saya memiliki kekuatan, untuk memengaruhi atau menyelesaikan isu yang sedang saya permasalahkan ini? Jika jawabannya tidak, apakah mempermasalahkan itu hanya akan menimbulkan kecemasan tanpa tindakan? Kadang-kadang, kita harus memilih untuk melepaskan keinginan untuk mempermasalahkan hal-hal yang berada di luar jangkauan kita.
- Prinsip Solusi: Ketika saya mempermasalahkan ini, apakah saya juga siap untuk mengusulkan setidaknya satu solusi atau jalur perbaikan yang masuk akal? Jika satu-satunya tujuan adalah dekonstruksi dan keluhan, tindakan mempermasalahkan tersebut kemungkinan besar destruktif.
Menginternalisasi filter ini membantu mengubah tindakan impulsif mempermasalahkan menjadi kritik yang terukur dan strategis. Ini mendorong kita untuk menjadi pemecah masalah, bukan hanya pencipta masalah yang berulang-ulang.
B. Mempermasalahkan sebagai Jembatan Empati
Salah satu penggunaan paling transformatif dari kemampuan mempermasalahkan adalah sebagai sarana untuk membangun empati. Daripada segera mempermasalahkan tindakan buruk seseorang, kita dapat mempermasalahkan kondisi struktural atau motivasi pribadi yang mungkin mendorong tindakan tersebut.
Misalnya, alih-alih hanya mempermasalahkan kinerja buruk seorang karyawan (sebuah kritik dangkal), manajer yang efektif akan mempermasalahkan mengapa sistem pelaporan gagal, mengapa pelatihan tidak memadai, atau mengapa karyawan tersebut menghadapi hambatan pribadi. Ini adalah pergeseran dari mempermasalahkan individu menjadi mempermasalahkan sistem yang ada. Proses ini memerlukan kerendahan hati untuk mengakui bahwa masalah jarang sekali hanya terletak pada satu titik, melainkan menyebar dalam jaringan interaksi yang kompleks.
Filsuf politik sering mempermasalahkan, bukan hanya kebijakan ekonomi yang gagal, tetapi kerangka moral yang membuat kebijakan itu terasa dapat diterima. Dengan mempermasalahkan pada tingkat fundamental, kita dapat menantang asumsi dasar masyarakat, yang merupakan langkah yang jauh lebih dalam dan lebih produktif daripada sekadar mempermasalahkan hasil permukaan yang terlihat.
Intinya, tindakan mempermasalahkan harus dilihat sebagai sebuah alat diagnostik. Seperti halnya seorang dokter yang mempermasalahkan gejala-gejala pasien untuk menemukan penyakit yang mendasarinya, masyarakat harus menggunakan energi untuk mempermasalahkan guna mengungkap penyakit sosial dan kelemahan struktural, bukan sekadar merawat luka luar yang terus berdarah.
VIII. Etika Mempermasalahkan: Kewajiban Intelektual dan Moral
Sebagai individu yang hidup dalam masyarakat yang kompleks, kita memiliki kewajiban moral untuk memilih dengan bijak apa yang kita pilih untuk permasalahkan. Etika mempermasalahkan melibatkan pengakuan bahwa setiap isu yang kita angkat memiliki biaya—biaya perhatian, biaya emosional, dan biaya waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk kolaborasi.
A. Isu yang Layak Dipermasalahkan (The Moral Imperative)
Terdapat kategori masalah yang secara etis wajib untuk dipermasalahkan. Ini termasuk isu-isu yang melibatkan kerusakan yang tidak dapat ditarik kembali (seperti kerusakan lingkungan), ketidakadilan mendasar (seperti pelanggaran hak asasi manusia), atau penyalahgunaan kekuasaan sistematis. Ketika menghadapi bahaya nyata, menolak untuk mempermasalahkan adalah bentuk kelalaian moral.
Dalam konteks global, kegagalan untuk mempermasalahkan standar kerja yang eksploitatif di rantai pasokan global atau kegagalan untuk mempermasalahkan risiko perubahan iklim adalah contoh di mana kelambanan dalam mempermasalahkan membawa konsekuensi yang jauh lebih buruk daripada potensi ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh kritik.
Namun, kewajiban untuk mempermasalahkan harus diimbangi dengan kehati-hatian. Ada risiko bahwa tindakan mempermasalahkan yang berulang kali dan histeris terhadap setiap potensi bahaya dapat menyebabkan "kelelahan masalah" (issue fatigue), di mana masyarakat menjadi mati rasa terhadap kritik dan berhenti menanggapi panggilan untuk mempermasalahkan hal-hal yang benar-benar penting. Kita harus memilih pertempuran kita dengan hati-hati, memfokuskan kekuatan kolektif kita untuk mempermasalahkan ancaman terbesar.
B. Mempermasalahkan dengan Akurasi dan Bukti
Etika mempermasalahkan menuntut keakuratan. Di era pasca-kebenaran, di mana fakta dapat dengan mudah diputarbalikkan, mempermasalahkan harus didasarkan pada data yang kuat, analisis yang jujur, dan pengakuan atas kompleksitas. Mempermasalahkan klaim palsu atau data yang salah bukan hanya tidak etis, tetapi juga kontraproduktif, karena hal itu hanya memberikan amunisi kepada mereka yang menentang proses mempermasalahkan secara keseluruhan.
Ketika kita mempermasalahkan suatu narasi atau institusi, kita harus siap untuk menanggung beban verifikasi dan ketelitian. Mempermasalahkan tanpa dasar yang jelas dapat dengan cepat berubah menjadi fitnah atau propaganda, yang merusak kredibilitas individu dan kolektif yang berusaha menantang status quo.
Proses ini memerlukan kesediaan untuk mempermasalahkan bukti kita sendiri. Sebelum meluncurkan kritik, seseorang harus mampu menguji dan bahkan mempermasalahkan asumsi dasarnya sendiri. Hanya dengan kesediaan untuk dipertanyakanlah (dan dipermasalahkan) seseorang dapat berharap untuk meluncurkan kritik yang berdampak dan bertahan lama.
Pada akhirnya, kemampuan manusia untuk mempermasalahkan adalah anugerah dan kutukan. Ia adalah mesin reformasi dan, sekaligus, sumber polarisasi yang tak berkesudahan. Dalam menghadapi kompleksitas modern, tugas kita adalah mengasah naluri mempermasalahkan ini, menjadikannya alat bedah yang presisi daripada gada yang menghancurkan semua yang disentuhnya. Dengan demikian, kita dapat menggunakan kecenderungan kita untuk mempermasalahkan sebagai kekuatan pendorong menuju masyarakat yang lebih adil, transparan, dan pada akhirnya, lebih baik.
Kesimpulan: Mempermasalahkan sebagai Kontrak Sosial Abadi
Tindakan mempermasalahkan suatu hal adalah cerminan dari kecerdasan dan kebutuhan mendasar manusia untuk membentuk dunia di sekitarnya agar sesuai dengan standar keadilan dan rasionalitas yang dipersepsikan. Dari disonansi kognitif yang kita rasakan secara pribadi, hingga mekanisme peradilan yang terstruktur untuk secara formal mempermasalahkan kerugian, hingga debat sengit di media sosial, kita adalah spesies yang terprogram untuk mencari dan menantang ketidaksempurnaan. Jika kita berhenti mempermasalahkan, kita berhenti berevolusi.
Namun, di tengah banjir informasi dan intensitas konflik digital, kita harus lebih cermat dalam memilih apa yang layak dipermasalahkan. Memastikan bahwa proses mempermasalahkan kita didasarkan pada niat untuk meningkatkan, didukung oleh bukti, dan diarahkan pada solusi adalah tantangan etika dan psikologis terbesar di abad ini. Kita tidak boleh membiarkan kemampuan kritis kita untuk mempermasalahkan terdegradasi menjadi sekadar mekanisme untuk mengekspresikan kemarahan dan kepahitan. Sebaliknya, kita harus mengarahkannya menjadi tindakan refleksi yang mendalam dan berani, yang terus-menerus mendorong batas-batas pengetahuan dan keadilan sosial.