Faṣalli lirabbika wanḥar: Perintah Keikhlasan dan Esensi Pengorbanan dalam Surah Al-Kawthar Ayat 2

Simbol Salat dan Kurban فَصَلِّ وَانْحَرْ

Ilustrasi simbolis perintah salat dan berkurban dari Surah Al-Kawthar ayat 2.

Surah Al-Kawthar, meskipun merupakan surah terpendek dalam Al-Qur'an, mengandung kedalaman makna dan kekayaan perintah yang luar biasa. Surah yang terdiri dari hanya tiga ayat ini diturunkan sebagai penghiburan agung bagi Nabi Muhammad ﷺ di saat beliau menghadapi tekanan, penghinaan, dan kesulitan terbesar di Makkah. Janji Allah berupa karunia melimpah (Al-Kawthar) diimbangi dengan perintah yang tegas dan tunggal: **"Faṣalli lirabbika wanḥar"** (Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah).

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Ayat kedua ini adalah inti aksiologis dari seluruh surah. Jika ayat pertama berisi janji ilahiah yang agung ("Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kawthar"), dan ayat ketiga berisi penegasan hukuman bagi musuh ("Sesungguhnya orang-orang yang membencimu, dialah yang terputus"), maka ayat kedua ini adalah jembatan yang menghubungkan karunia dengan kepatuhan. Ia adalah resep spiritual dan praktis untuk menghadapi dunia: Bersyukur melalui ibadah dan pengorbanan yang murni hanya ditujukan kepada Allah SWT.

I. Analisis Linguistik dan Semantik "Faṣalli lirabbika wanḥar"

Untuk memahami sepenuhnya perintah ini, kita harus membedah setiap kata dengan cermat, memahami akar kata, morfologi, dan implikasi gramatikalnya dalam konteks bahasa Arab klasik.

1. Faṣalli (Maka Dirikanlah Salat)

Kata Faṣalli merupakan perintah (fi’il amr) yang berasal dari akar kata ص.ل.و (Ṣ-L-W), yang secara umum merujuk pada doa, pujian, dan terutama, ibadah ritual yang dikenal sebagai salat. Huruf "Fa" (ف) di awal memiliki makna penegasan kausalitas atau konsekuensi logis ("Maka" atau "Oleh karena itu").

A. Implikasi Kausalitas (Fa)

Penggunaan huruf Fa menunjukkan bahwa perintah ini adalah tanggapan langsung terhadap karunia besar yang telah diberikan (Al-Kawthar). Karena Allah telah menganugerahkan karunia yang tak terhingga, maka respons yang logis dan wajib adalah menyembah-Nya semata. Ini bukan hanya sebuah perintah, tetapi sebuah kewajaran spiritual. Karunia menuntut syukur, dan syukur tertinggi adalah pengabdian total.

B. Perintah Khusus Salat

Walaupun Ṣalāh secara linguistik bisa berarti doa umum, dalam konteks Al-Qur'an dan setelah penetapan syariat, ia merujuk pada salat ritual lima waktu, atau, dalam interpretasi tertentu dalam surah ini, merujuk pada salat khusus yang memiliki makna pengorbanan, yaitu Salat Idul Adha. Perintah ini mengkhususkan ibadah fisik tertinggi sebagai bentuk respons terhadap kebaikan ilahi.

2. Lirabbika (Kepada Tuhanmu)

Kata Lirabbika (لِرَبِّكَ) adalah penekanan esensial pada aspek keikhlasan (Ikhlas). Ini terdiri dari:

Penempatan Lirabbika di antara Faṣalli dan Wanḥar menuntut bahwa kedua bentuk ibadah ini harus dilakukan dengan niat murni dan total hanya untuk Dzat yang telah memelihara dan memberikan karunia (Al-Kawthar). Ini adalah penolakan mutlak terhadap segala bentuk syirik dan riya' (pameran ibadah untuk selain Allah). Ketika musuh Nabi beribadah kepada berhala atau mengorbankan untuk tuhan palsu, perintah ini menetapkan standar tauhid yang tak tergoyahkan.

3. Wanḥar (Dan Berkurbanlah/Menyembelih)

Kata Wanḥar (وَانْحَرْ) adalah perintah yang berasal dari akar kata ن.ح.ر (N-Ḥ-R). Huruf "Wa" (و) berarti "dan," menghubungkan salat dan pengorbanan sebagai dua sisi mata uang ketaatan.

A. Makna Khusus Naḥr

Dalam bahasa Arab, *Naḥr* secara spesifik merujuk pada cara penyembelihan unta, yaitu dengan menusuk pangkal leher. Ini berbeda dari *Dhabh* (ذَبْح), yang merupakan metode penyembelihan untuk hewan lain (kambing, sapi, dll.). Penggunaan *Naḥr* dalam ayat ini memiliki beberapa implikasi:

  1. Nilai Pengorbanan: Pada masa itu, unta adalah harta paling berharga. Menyembelih unta (Naḥr) menunjukkan pengorbanan harta yang paling dicintai demi Allah.
  2. Konteks Idul Adha: *Naḥr* sangat kuat kaitannya dengan ibadah Qurban yang dilakukan setelah Salat Idul Adha.

B. Tafsiran Simbolis Wanḥar

Beberapa mufasir juga memberikan interpretasi simbolis untuk *Wanḥar*, yang memperluas maknanya melampaui penyembelihan fisik:

II. Tafsir Klasik: Dua Pilar Ketaatan

Para mufasir klasik melihat ayat ini sebagai poros syariat, menggabungkan ibadah fisik (Salat) dan ibadah harta (Naḥr/Qurban).

1. Pandangan Imam Ibnu Katsir

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini adalah perintah untuk mengkhususkan ibadah salat dan kurban hanya kepada Allah, Dzat yang telah menganugerahkan kebaikan yang tak terhitung, sebagai respons terhadap kaum musyrikin yang menyembah berhala dan berkurban untuk tuhan-tuhan mereka.

"Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk mengumpulkan dua ibadah teragung dan termulia: shalat, yang merupakan ibadah badaniyah (fisik), dan kurban, yang merupakan ibadah maliyah (harta). Dan kedua ibadah ini harus ditujukan hanya kepada Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Inilah penolakan mutlak terhadap musyrikin yang menyembah selain Allah dan berkurban untuk selain-Nya."

2. Fokus pada Salat Idul Adha (Tafsir At-Tabari)

Imam At-Tabari menyajikan pandangan yang kuat bahwa *Faṣalli* dan *Wanḥar* terkait erat dengan ritual Idul Adha. Menurutnya, ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk melaksanakan Salat Idul Adha (Shalat Nahr) dan kemudian langsung diikuti dengan penyembelihan kurban.

Dalam konteks Madinah, ini menjadi hukum syariat: penyembelihan Qurban tidak sah kecuali dilakukan setelah pelaksanaan Salat Idul Adha. Ini menggarisbawahi bahwa perintah di ayat 2 adalah perintah yang memiliki waktu dan pelaksanaan ritual yang spesifik, meskipun juga membawa makna ibadah umum.

3. Al-Qurtubi dan Konteks Kekayaan

Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa perintah berkurban ini adalah manifestasi konkret dari rasa syukur terhadap Al-Kawthar. Karunia yang melimpah (Kawthar, yang diartikan juga sebagai kebaikan yang banyak, sungai di surga, atau banyaknya keturunan) harus diimbangi dengan tindakan nyata. Kurban adalah cara terbaik untuk membagikan kekayaan dan menunjukkan bahwa harta benda tidak lebih berharga dari ketaatan kepada Allah.

III. Dimensi Fiqih: Hukum dan Pelaksanaan Perintah

Perintah "Faṣalli lirabbika wanḥar" membentuk dasar hukum (fiqih) bagi dua pilar utama ibadah dalam Islam, khususnya yang berkaitan dengan bulan Dzulhijjah.

1. Hukum Salat (Faṣalli)

Jika dimaknai sebagai salat umum, perintah ini menegaskan kewajiban salat lima waktu. Namun, jika dilihat dalam konteks Surah Al-Kawthar dan keterkaitannya dengan *Naḥr*, fokusnya adalah pada Salat Idul Adha.

A. Salat Idul Adha

Salat Idul Adha disepakati oleh seluruh mazhab sebagai ibadah yang sangat ditekankan. Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai status hukumnya (Sunnah Mu'akkadah atau Wajib Kifayah/Fardhu 'Ain), keharusan pelaksanaannya sebelum kurban adalah inti dari perintah ini. Shalat Idul Adha adalah ibadah yang mengawali hari pengorbanan besar, menghubungkan secara vertikal (ibadah salat) dan horizontal (pembagian daging kurban).

2. Hukum Kurban (Wanḥar)

Perintah *Wanḥar* memicu diskusi panjang di kalangan fukaha (ahli fiqih) mengenai status hukum kurban (Udhiyah).

A. Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi cenderung menganggap Kurban (Udhiyah) sebagai **Wajib** bagi setiap Muslim yang mampu (memiliki nisab harta) yang sudah baligh dan berakal. Mereka mendasarkan pandangan ini pada keumuman perintah dalam Al-Kawthar ayat 2 dan hadis-hadis Nabi yang sangat menganjurkan kurban.

B. Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali

Mayoritas mazhab lain, termasuk Syafi'i, Maliki, dan Hanbali, menetapkan hukum kurban sebagai **Sunnah Mu'akkadah** (Sunnah yang sangat ditekankan). Namun, mereka sepakat bahwa meninggalkannya bagi yang mampu adalah kerugian besar. Perintah dalam Al-Kawthar ayat 2, menurut mereka, adalah perintah yang bermakna anjuran yang sangat kuat (takid) dan bukan perintah yang menghasilkan kewajiban mutlak (fardhu/wajib).

Terlepas dari perbedaan status hukum, semua ulama sepakat bahwa tujuan dari *Wanḥar* adalah untuk menanamkan tiga nilai utama:

  1. Ketundukan: Pengakuan bahwa segala sesuatu (termasuk harta benda) adalah milik Allah.
  2. Solidaritas Sosial: Pembagian daging kepada fakir miskin, menciptakan jembatan kasih sayang dalam masyarakat.
  3. Peringatan Sejarah: Mengenang ketaatan Nabi Ibrahim dan Ismail (AS), yang mengajarkan pengorbanan tertinggi.

IV. Ayat 2 sebagai Respon terhadap Kebencian

Untuk memahami kekuatan spiritual ayat 2, kita harus melihatnya sebagai respons langsung terhadap konteks wahyu (Asbabun Nuzul). Surah Al-Kawthar turun ketika Nabi Muhammad ﷺ sedang berduka atas wafatnya putra beliau, Abdullah atau Al-Qasim. Kaum musyrikin Makkah, dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Al-'As bin Wa'il, mencela beliau dengan sebutan "Al-Abtar" (orang yang terputus keturunannya/orang yang tidak memiliki masa depan).

1. Kontras Spiritual

Musuh-musuh mengklaim bahwa dengan terputusnya keturunan laki-laki Nabi, warisan dan dakwah beliau akan segera berakhir. Allah menjawab penghinaan ini dengan janji Kawthar dan dua perintah yang kontras dengan praktik musyrikin:

Ayat 2 adalah manifesto keteguhan: hadapi kebencian dan kesulitan duniawi bukan dengan amarah, melainkan dengan peningkatan kualitas ibadah. Ketika dunia berusaha memutus ikatanmu (seperti yang dituduhkan Al-Abtar), kuatkan ikatanmu dengan Allah melalui salat dan pengorbanan.

2. Kesempurnaan Respons

Perintah *Faṣalli lirabbika wanḥar* menunjukkan jalan keluar yang sempurna dari kesedihan dan penghinaan. Salat adalah penenangan hati dan penyambung komunikasi vertikal. Kurban (Naḥr) adalah penegasan bahwa semua yang kita miliki adalah remeh di hadapan karunia Allah, sehingga kita rela melepaskannya demi Dia. Ini adalah bentuk tertinggi dari tawakkal (penyerahan diri).

V. Kedalaman Spiritual: Salat dan Kurban sebagai Dua Sisi Ikhlas

Perintah yang singkat ini mengajarkan bahwa Ikhlas—kemurnian niat—tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus diwujudkan dalam aksi yang menuntut pengorbanan tertinggi, baik fisik maupun material.

1. Salat: Ibadah Fisik dan Waktu

Salat adalah Mi’raj (kenaikan spiritual) bagi seorang mukmin. Ia menuntut pengorbanan waktu, konsentrasi, dan disiplin tubuh. Dalam salat, seorang hamba meninggalkan kesibukan duniawi untuk berdiri di hadapan Sang Pencipta. Perintah *Faṣalli* adalah penegasan bahwa kualitas salat adalah barometer keikhlasan seseorang. Salat yang dilakukan lirabbika adalah salat yang khusyuk, tepat waktu, dan memenuhi seluruh rukunnya.

2. Naḥr: Ibadah Harta dan Ego

Kurban melambangkan kemenangan atas hawa nafsu dan kecintaan berlebihan terhadap harta benda. Hewan kurban, khususnya unta (Naḥr), adalah aset berharga. Melepaskannya demi Allah adalah indikasi bahwa keimanan lebih dominan daripada materialisme.

Secara spiritual, *Wanḥar* juga dapat diartikan sebagai "sembelihlah" ego dan sifat-sifat tercela dalam diri kita. Pengorbanan sejati adalah ketika kita mampu membunuh keangkuhan, keserakahan, dan riya', sehingga ibadah kita—termasuk salat dan kurban fisik—menjadi murni tanpa cacat.

Prinsip Keterhubungan Spiritual

Mengapa salat dan kurban digandengkan dalam satu ayat? Karena keduanya mewakili ibadah yang paling rentan terhadap riya'. Orang bisa salat di depan umum untuk dipuji, dan orang bisa berkurban hewan besar untuk disanjung. Allah menyandingkan keduanya dan mewajibkan frasa lirabbika, menuntut totalitas keikhlasan dalam keduanya.

VI. Analisis Mendalam: Naḥr Versus Dhabḥ dan Implikasinya

Pemilihan kata نَحْر (Naḥr) alih-alih ذَبْح (Dhabḥ) oleh Al-Qur'an memiliki resonansi yang signifikan, yang jarang ditemukan dalam perintah umum kurban lainnya.

1. Naḥr: Pengorbanan yang Paling Spektakuler

Seperti yang telah disinggung, Naḥr adalah metode penyembelihan khusus untuk unta, di mana hewan tersebut dibiarkan berdiri dan pisau ditusukkan ke pangkal leher. Ini adalah proses yang membutuhkan keterampilan dan memakan sumber daya besar. Dengan memerintahkan Naḥr, Allah seolah-olah memerintahkan:

Jika Allah hanya ingin memerintahkan "sembelihlah," Dia bisa menggunakan kata dhabḥ. Penggunaan *Naḥr* menegaskan bahwa ibadah ini harus melibatkan "sesuatu yang besar" sebagai bentuk syukur kepada Al-Kawthar yang "besar" pula.

2. Naḥr dalam Konteks Haji

Perintah ini secara tidak langsung mengikat Surah Al-Kawthar dengan rukun Islam kelima, Haji. Salat dan Kurban adalah dua pilar terpenting dalam ritual haji (Salat Idul Adha di Mina, diikuti dengan penyembelihan). Ini mengingatkan umat bahwa kehidupan seorang Muslim haruslah senantiasa berada dalam semangat haji: pengorbanan diri dan materi demi keridaan Allah.

VII. Penerapan Kontemporer "Faṣalli lirabbika wanḥar"

Bagaimana perintah yang berumur ribuan tahun ini tetap relevan bagi Muslim di era modern, yang mungkin tidak selalu mampu berkurban unta?

1. Penguatan Salat Fardhu

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, salat seringkali dilakukan dengan tergesa-gesa atau lalai. Perintah *Faṣalli* hari ini berarti mengembalikan kualitas khusyuk dalam salat lima waktu. Setiap salat adalah kesempatan untuk menyegarkan kembali ikatan lirabbika, memastikan bahwa tidak ada agenda duniawi yang mengintervensi saat kita berhadapan dengan Allah.

Ini mencakup:

2. Pengorbanan Harta dalam Bentuk Kontemporer

Walaupun Kurban Idul Adha tetap menjadi perintah utama *Wanḥar*, di zaman ini, perintah tersebut meluas pada semua bentuk pengorbanan harta yang bertujuan murni untuk Allah (Ikhlas).

  1. Infaq dan Sedekah: Memberikan harta terbaik yang kita miliki, bukan sekadar sisa-sisa. Mengorbankan potensi keuntungan duniawi demi keridhaan Allah.
  2. Pengorbanan Waktu dan Bakat: Menyumbangkan keahlian, waktu, dan energi kita (seperti Naḥr, dari yang paling berharga) untuk dakwah, pendidikan, atau amal sosial, tanpa mengharapkan imbalan atau pujian manusia.
  3. Jihad Nafs: Melawan kecenderungan konsumtif dan materialistis, dan menggantinya dengan gaya hidup yang lebih sederhana dan dermawan.

Sikap mental Wanḥar adalah menempatkan kebutuhan dan perintah Allah di atas segala kenyamanan pribadi, sebuah perjuangan yang sangat relevan di tengah masyarakat yang didominasi oleh hedonisme dan individualisme.

VIII. Filosofi Integrasi Ibadah: Salat dan Naḥr

Integrasi antara ibadah fisik (Salat) dan ibadah materi (Naḥr) menciptakan model hamba yang utuh dan seimbang. Kekuatan spiritual yang diperoleh dari salat (taqwa, kesabaran, kedekatan ilahi) digunakan sebagai modal untuk melaksanakan pengorbanan harta dan ego (Naḥr) di dunia nyata. Sebaliknya, kemauan untuk berkurban menguatkan keikhlasan yang diekspresikan dalam salat.

1. Melawan Hipokrisi

Al-Qur'an sering mengkritik mereka yang salat namun pelit (seperti dalam Surah Al-Ma'un, yang menyoroti mereka yang lalai dari salat dan enggan menolong yatim dan orang miskin). Surah Al-Kawthar secara preventif mengatasi hipokrisi ini dengan menggabungkan ibadah fisik dan sosial-ekonomi. Salat tanpa kemurahan hati adalah kosong, dan sedekah tanpa hubungan vertikal yang kuat (salat) mudah tercemari riya'.

2. Puncak Ketaatan

Apabila ayat pertama menjanjikan karunia yang tak terhitung, maka ayat kedua menuntut balasan setimpal: ibadah yang tak terbatas, di mana setiap aspek kehidupan—baik yang berhubungan dengan tubuh (salat) maupun yang berhubungan dengan harta (kurban)—dipersembahkan sepenuhnya lirabbika. Inilah puncak ketaatan seorang hamba, sebuah cetak biru untuk mencapai keridaan ilahi yang menjadi tujuan akhir dari karunia Al-Kawthar.

Dengan demikian, "Faṣalli lirabbika wanḥar" bukan sekadar perintah sejarah, melainkan sebuah kurikulum hidup yang abadi. Ia menggarisbawahi bahwa di dunia yang penuh fitnah dan godaan, kekuatan sejati seorang Muslim terletak pada dua pilar: Ibadah murni yang menghubungkannya dengan Pencipta, dan Pengorbanan yang tulus yang memutusnya dari keterikatan duniawi dan ego pribadi. Kedua tindakan ini, ketika dilakukan dengan ikhlas (lirabbika), menjamin kemenangan spiritual yang jauh lebih besar daripada kehinaan yang dituduhkan oleh musuh-musuh.

Kajian mendalam terhadap surah yang pendek ini memperlihatkan kebijaksanaan Allah yang luar biasa. Surah Al-Kawthar, melalui perintah tegas di ayat 2, menegaskan bahwa kepastian akan karunia yang abadi hanya dapat dicapai melalui tindakan nyata berupa ketundukan total (salat) dan pelepasan harta (kurban), semuanya diikat dalam benang merah keikhlasan yang tak tercela.

Setiap muslim, dalam menghadapi tantangan dan cobaan, didorong untuk kembali kepada inti dari perintah ini. Ketika dunia mencoba untuk memutus semangat, ketika fitnah menerpa, ketika keputusasaan melanda, jawaban ilahi tetap sama: dirikanlah salatmu (Faṣalli), kurbankanlah yang kau cintai (Wanḥar), dan pastikan semuanya hanya ditujukan kepada Tuhanmu (Lirabbika).

Inilah warisan agung dari Al-Kawthar ayat 2, sebuah formula untuk keberkahan yang tiada akhir dan kemenangan atas segala bentuk kefanaan dan kebencian duniawi. Kehidupan seorang mukmin harus menjadi perwujudan salat yang khusyuk dan pengorbanan yang tanpa pamrih.

🏠 Kembali ke Homepage