Adzan, secara bahasa, berarti pemberitahuan atau pengumuman. Dalam konteks syariat Islam, Adzan adalah seruan khusus yang berisi lafal-lafal mulia yang bertujuan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat fardhu. Di antara lima waktu shalat, Adzan Maghrib memiliki kekhususan tersendiri, menandai berakhirnya waktu puasa (bagi yang berpuasa), permulaan waktu malam, dan urgensi pelaksanaan shalat yang sangat singkat jeda antara Adzan dan Iqamah-nya. Memahami secara mendalam setiap kata yang terangkai dalam seruan suci ini bukan hanya sekadar menghafal lafal, namun menyelami inti tauhid dan dakwah Islamiah.
Simbol Panggilan Suci
Secara umum, teks Adzan untuk Shalat Maghrib sama dengan teks Adzan untuk shalat fardhu lainnya, dengan pengecualian Adzan Subuh yang menyertakan tambahan lafal *At-Tatswib*. Struktur Adzan yang dipakai secara luas dalam mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali, serta yang paling masyhur di Indonesia, adalah Adzan dengan 15 lafal (penghitungan tanpa Tarji’).
Pengulangan empat kali pada permulaan ini menekankan pondasi ajaran Islam, yaitu Tauhid rububiyah dan uluhiyah, menegaskan bahwa tiada entitas yang lebih agung atau layak disembah selain Allah SWT.
Bagian ini adalah inti syahadat tauhid, membersihkan hati dari segala bentuk penyekutuan (syirik). Ini adalah penegasan eksistensi Allah dan penafian segala bentuk ilah selain-Nya.
Bagian ini adalah syahadat risalah, pengakuan bahwa jalan menuju Allah adalah melalui ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Kesaksian ini melengkapi rukun pertama keislaman.
Ini adalah seruan praktis, ajakan langsung kepada jamaah untuk meninggalkan aktivitas duniawi dan bergegas menuju shalat, yang merupakan tiang agama. Khusus Adzan Maghrib, seruan ini terasa lebih mendesak karena Maghrib adalah shalat yang dianjurkan untuk disegerakan.
Kemenangan di sini diartikan sebagai kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat, yang puncaknya dicapai melalui ketaatan dan pelaksanaan shalat yang khusyuk.
Pengulangan penutup ini berfungsi sebagai penegasan kembali pondasi tauhid setelah seruan praktis, memastikan bahwa segala aktivitas yang dilakukan (termasuk shalat) didasari oleh keagungan Allah semata.
Penutup Adzan adalah penegasan final dari syahadat, memastikan bahwa setiap seruan dimulai dan diakhiri dengan ikrar tauhid yang murni.
Berbeda dengan Adzan Subuh yang disunnahkan menambahkan *At-Tatswib* (الصلاة خير من النوم - Ash-Shalaatu khairum minan-naum) setelah *Hayya 'alal-Falaah*, Adzan Maghrib, Isya, Dzuhur, dan Ashar tidak memiliki lafal tambahan. Kesamaan lafal ini menegaskan kesatuan ajaran shalat, meskipun waktu Maghrib memiliki kekhususan dalam hal penyegeraan dan merupakan momen berbuka puasa.
Setiap lafal dalam Adzan bukan sekadar deretan kata, melainkan manifestasi dari ajaran tauhid, risalah, dan seruan praktis (amaliyah). Memahami kedalaman ini adalah kunci untuk meresapi kemuliaan seruan Maghrib yang singkat namun padat hikmah.
Frasa ini diucapkan sebanyak enam kali dalam Adzan standar (empat di awal, dua di penutup). Secara harfiah berarti 'Allah Maha Besar'. Namun, makna teologisnya jauh melampaui terjemahan literal. 'Akbar' (Maha Besar) dalam konteks ini adalah *Ism At-Tafdhil*, yang bermakna paling besar, atau lebih besar dari segala sesuatu. Ini adalah deklarasi bahwa tidak ada masalah duniawi, tidak ada urusan bisnis, tidak ada hawa nafsu, dan tidak ada penguasa yang kebesarannya melebihi kebesaran Allah.
Dua kalimat syahadat adalah poros utama Adzan. Tanpa dua kalimat ini, Adzan kehilangan esensi dakwahnya.
Lafal ini adalah penghapusan total segala bentuk ketuhanan palsu. Secara tata bahasa, ia menggunakan 'laa' (tidak ada), yang merupakan negasi total, diikuti oleh 'illa' (kecuali), yang merupakan pengecualian. Filosofi ini dikenal sebagai *Nafi* (peniadaan) dan *Itsbat* (penetapan). Peniadaan segala sesembahan lain secara tegas, kemudian penetapan hanya kepada Allah. Diucapkan dua kali setelah takbir, ia memastikan pondasi keimanan pendengar dikuatkan sebelum seruan shalat datang.
Pengakuan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Utusan Allah. Ini bukan hanya pengakuan kenabian, tetapi pengakuan atas otoritas syariat. Shalat yang diperintahkan dalam Adzan hanya sah jika dilaksanakan sesuai tuntunan yang dibawa oleh Rasulullah. Ini menghubungkan tauhid murni dengan praktik ibadah yang benar (*ittiba'*).
Dua seruan ini adalah bagian unik dari Adzan yang tidak ditemukan dalam ibadah lain. Kata ‘Hayya’ (mari) adalah kata perintah yang menunjukkan ajakan yang mendesak, bukan sekadar imbauan.
Ini adalah seruan untuk beraksi fisik dan spiritual. Shalat adalah ibadah yang menggabungkan dimensi fisik (gerakan) dan spiritual (niat, zikir). Karena Maghrib adalah waktu yang singkat, seruan ini mengandung makna agar segera menyucikan diri dan berdiri menghadap Kiblat.
Mengapa kemenangan dihubungkan dengan shalat? Karena shalat yang khusyuk adalah sebab utama kebahagiaan abadi (Al-Falaah) sebagaimana yang dijelaskan dalam awal surah Al-Mu'minun. Panggilan ini adalah motivasi tertinggi; bukan sekadar melaksanakan kewajiban, tetapi menggapai tujuan hidup tertinggi.
Adzan, termasuk Adzan Maghrib, adalah salah satu syi’ar Islam yang paling tampak. Fiqh Islam membahas secara rinci mengenai status hukum, syarat sah, dan tata krama pelaksanaannya.
Prinsip Fiqh Adzan
Mayoritas ulama, termasuk empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali), sepakat bahwa Adzan dan Iqamah adalah *Sunnah Muakkadah* (Sunnah yang sangat ditekankan) bagi shalat fardhu yang dilaksanakan secara berjamaah. Ini adalah kewajiban kolektif (*fardhu kifayah*); jika sudah dilakukan oleh satu komunitas (masjid), gugurlah kewajiban bagi yang lain. Namun, bagi musafir atau yang shalat sendirian, Adzan tetap disunnahkan untuk mendapatkan keutamaan.
Khusus Maghrib, karena waktunya sangat sempit dibandingkan shalat lainnya, keutamaan Adzan diikuti oleh Iqamah yang cepat sangat ditekankan, untuk menghindari tertundanya shalat dari waktu utamanya.
Agar Adzan Maghrib dianggap sah dan memenuhi syariat, beberapa syarat harus dipenuhi:
Bagi Muadzin yang mengumandangkan Adzan Maghrib, terdapat beberapa adab yang disunnahkan:
Momen Adzan Maghrib sangat spesial karena ia mengakhiri larangan makan dan minum bagi yang berpuasa dan memulai waktu shalat yang diberkahi. Nabi SAW menekankan pentingnya mendengarkan dan merespons Adzan.
Disunnahkan bagi setiap Muslim yang mendengar Adzan Maghrib untuk menjawabnya (Ijabah), kecuali pada lafal *Hayya 'alas-Shalah* dan *Hayya 'alal-Falaah*.
| Lafal Muadzin | Jawaban Pendengar |
|---|---|
| Allahu Akbar (4x) | Allahu Akbar (4x) |
| Asyhadu an laa ilaaha illallah (2x) | Asyhadu an laa ilaaha illallah (2x) |
| Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (2x) | Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (2x) |
| Hayya 'alas-Shalah (2x) | Laa hawla wa laa quwwata illa billah |
| Hayya 'alal-Falaah (2x) | Laa hawla wa laa quwwata illa billah |
| Allahu Akbar (2x) | Allahu Akbar (2x) |
| Laa ilaaha illallah (1x) | Laa ilaaha illallah (1x) |
Pengucapan *Laa hawla wa laa quwwata illa billah* (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah) saat seruan ‘Hayya’ adalah pengakuan bahwa kemampuan untuk melaksanakan shalat dan meraih kemenangan hanya dapat terwujud atas izin dan kekuatan dari Allah SWT.
Setelah Adzan Maghrib selesai dan Muadzin mengakhiri dengan Tahlil, disunnahkan untuk membaca shalawat dan doa khusus setelah Adzan. Doa ini adalah doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, yang dikenal sebagai Doa Wasilah.
Keutamaan membaca doa ini adalah mendapatkan syafaat Nabi Muhammad SAW di hari kiamat. Karena Adzan Maghrib menandai permulaan shalat, doa ini adalah pengharapan agar shalat yang akan didirikan diterima oleh Allah.
Salah satu keutamaan besar Adzan, termasuk Maghrib, adalah bahwa waktu antara Adzan dan Iqamah merupakan salah satu waktu mustajab untuk berdoa. Nabi SAW bersabda, "Doa yang tidak tertolak adalah (doa) antara Adzan dan Iqamah." (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Momen Maghrib, yang merupakan peralihan dari siang ke malam, adalah saat yang sangat baik untuk memanjatkan hajat, memohon ampunan, dan keberkahan, terutama saat umat Islam sedang dalam kondisi bergegas menuju ketaatan.
Adzan Maghrib memiliki nuansa urgensi yang berbeda. Waktu Maghrib adalah waktu terpendek di antara shalat fardhu lainnya. Oleh karena itu, hukum penyegeraan shalat Maghrib adalah hal yang sangat ditekankan, yang tercermin dalam jeda Adzan dan Iqamah yang biasanya sangat singkat.
Sunnah Nabi SAW menunjukkan anjuran kuat untuk melaksanakan shalat Maghrib segera setelah masuk waktu. Ini berbeda dengan Shalat Isya, Dzuhur, atau Ashar yang masih memiliki kelonggaran waktu tunda (ta'khir) jika ada kebutuhan syar'i. Segera setelah Muadzin menyelesaikan Tahlil Adzan Maghrib, hendaknya jamaah segera berwudhu dan bersiap shalat. Ini disebabkan waktu Maghrib berakhir ketika syafaq (mega merah) menghilang di ufuk barat, yang terjadi relatif cepat.
Penyegeraan ini berfungsi sebagai disiplin spiritual. Umat Islam diajarkan untuk segera menunaikan hak Allah tanpa menunda-nunda, terutama setelah seharian berpuasa (jika di bulan Ramadhan) atau sibuk dengan urusan duniawi.
Dalam praktik fiqh di banyak masjid, jeda antara Adzan dan Iqamah (Faslul Adzan wal Iqamah) diatur. Untuk Dzuhur dan Isya, jeda yang cukup panjang (15-20 menit) sering diberikan untuk memberi waktu bagi jamaah berkumpul. Namun, untuk Maghrib, jeda ini dipersingkat menjadi sangat minimal (terkadang hanya 5-10 menit, atau bahkan sebatas waktu untuk Muadzin turun dari menara dan Imam berdiri), sesuai anjuran untuk menyegerakannya.
Jeda yang singkat ini sekaligus menekankan makna lafal *Hayya 'alas-Shalah*; seruan tersebut membutuhkan respons instan dan persiapan yang cepat.
Memahami bagaimana tulisan Adzan Maghrib ini ditetapkan menambah keagungan seruan tersebut. Adzan tidak diturunkan melalui malaikat Jibril dalam bentuk wahyu yang dibaca (seperti Al-Qur'an), melainkan melalui ilham dalam bentuk mimpi yang benar (ru'ya shadiqah) kepada seorang sahabat.
Pada permulaan hijrah ke Madinah, para sahabat bingung menentukan cara terbaik memanggil kaum Muslimin untuk shalat. Mereka sempat mempertimbangkan menggunakan lonceng seperti umat Nasrani, atau terompet seperti umat Yahudi. Nabi SAW menolak keduanya. Kemudian, Abdullah bin Zaid bin Abd Rabbihi menceritakan mimpinya.
Dalam mimpi tersebut, ia didatangi seseorang yang mengajarkan lafal Adzan yang kita kenal sekarang ini. Ia kemudian menceritakan mimpi tersebut kepada Rasulullah SAW. Umar bin Khattab RA juga mendapatkan mimpi yang sama setelah Abdullah bin Zaid. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya ini adalah mimpi yang benar, insya Allah."
Nabi SAW kemudian memerintahkan Abdullah bin Zaid untuk mengajarkan lafal tersebut kepada Bilal bin Rabah, karena Bilal memiliki suara yang lantang dan merdu. Sejak saat itu, Bilal diangkat menjadi Muadzin pertama, dan lafal Adzan yang dibawanya menjadi standar bagi seluruh umat Islam, termasuk Adzan Maghrib.
Lafal Adzan yang dipilih Allah melalui mimpi ini bersifat komprehensif:
Struktur tulisan Adzan Maghrib ini, yang terdiri dari serangkaian deklarasi Tauhid, memastikan bahwa setiap Muslim yang mendengar seruan tersebut diingatkan akan seluruh pilar utama keislaman mereka sebelum mereka melangkah ke dalam shalat.
Meskipun tulisan dan lafal Adzan Maghrib adalah universal, terdapat variasi dalam pelaksanaan yang berkaitan dengan maqam (nada) dan kecepatan.
Di dunia Islam, Muadzin sering menggunakan pola melodi tertentu yang disebut *maqam*. Meskipun tidak ada ketentuan syar'i yang mengharuskan penggunaan maqam tertentu, keindahan suara Muadzin adalah sunnah. Beberapa maqam populer yang digunakan untuk Adzan, termasuk Maghrib, antara lain:
Khusus Adzan Maghrib, karena sifatnya yang singkat dan perlu segera diikuti shalat, irama yang digunakan cenderung lebih cepat dan tegas dibandingkan Adzan Subuh atau Isya yang biasanya lebih panjang dan melankolis.
Para ulama sepakat bahwa Adzan harus dibaca secara *tartil* (perlahan dan jelas), tidak terburu-buru, dan memberikan jeda yang cukup di antara setiap lafal, meskipun waktu Maghrib sempit. Tujuan dari tartil adalah agar setiap pendengar dapat memahami dan meresapi makna tulisan Adzan tersebut, serta memiliki waktu untuk menjawabnya (Ijabah) di dalam hati.
Tulisan Adzan Maghrib adalah sebuah mahakarya linguistik dan spiritual. Setiap huruf dan setiap kata yang dikumandangkan pada penghujung hari adalah pengingat akan kewajiban yang paling agung setelah syahadat. Ia adalah undangan yang memisahkan urusan dunia dan akhirat, menyeru kita menuju kemenangan (al-Falah) yang sesungguhnya. Ketika panggilan suci ini terdengar, kita diingatkan bahwa 'Allah Maha Besar', lebih besar dari rasa lapar, lebih besar dari pekerjaan yang belum usai, dan lebih besar dari setiap godaan duniawi yang menghalangi kita dari sujud kepada-Nya.
Pengulangan tulisan Adzan dari hari ke hari, terutama saat Maghrib, berfungsi sebagai penempaan spiritual yang tak terhindarkan. Ia mengokohkan tauhid, mengingatkan risalah Nabi, dan memaksa kita untuk disiplin dalam manajemen waktu ibadah. Memahami lafal, hukum, dan adab Adzan Maghrib adalah bagian integral dari kesempurnaan iman seorang Muslim.
Untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam terhadap tulisan Adzan Maghrib, kita perlu menganalisis konstruksi bahasa Arab klasik yang digunakan, yang memiliki kekuatan retorika dan ketegasan yang luar biasa.
Kata *Akbar* (أكْبَر) merupakan bentuk superlatif dari kata sifat *Kabiir* (كَبير) yang berarti 'besar'. Dalam bahasa Arab, superlatif sering digunakan untuk menegaskan keunggulan absolut. Ketika Muadzin menyerukan "Allahu Akbar", ia tidak hanya menyatakan bahwa Allah itu besar, tetapi bahwa Allah adalah Yang Paling Besar, mengatasi segala sesuatu dalam segala dimensi: kekuasaan, keagungan, ilmu, dan kehendak. Dalam konteks Maghrib, ini adalah penolakan halus terhadap kecintaan berlebihan pada dunia yang baru saja kita lalui di sepanjang hari.
Kalimat tauhid (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ) adalah contoh sempurna dari konstruksi negasi (nafyi) dan penetapan (itsbat) dalam bahasa Arab yang memberikan kekuatan pada makna. *Laa* (لا) adalah partikel negasi umum yang meniadakan keberadaan jenis secara keseluruhan. Ketika ia diikuti oleh *Ilaaha* (sesembahan/tuhan), ia meniadakan keberadaan segala jenis tuhan. Lalu datang *Illa* (إِلَّا), partikel pengecualian, yang mengalihkan fokus mutlak kepada *Allah* (اللّٰهُ). Ketegasan struktur ini memastikan tidak ada ruang abu-abu dalam akidah tauhid; segala ilah ditolak, kecuali Allah yang Maha Esa.
Kata *Hayya* (حَيَّ) adalah bentuk kata perintah yang berarti "mari kita", atau "bergegaslah menuju". Ini lebih kuat daripada sekadar ajakan (misalnya, *ta'aal* - datanglah). Penggunaan *Hayya* menunjukkan urgensi. Dalam Adzan Maghrib yang waktunya sempit, perintah untuk bergegas ini relevan secara temporal. Kata ini berasal dari akar kata yang juga berarti "hidup" (*hayat*), menyiratkan bahwa shalat adalah sumber kehidupan spiritual dan vitalitas umat.
Frasa *Hayya 'alas-Shalah* berarti "Mari menuju shalat", menggunakan preposisi *’alaa* (atas/menuju). Sementara *Hayya 'alal-Falaah* berarti "Mari menuju kemenangan," menghubungkan shalat bukan sebagai beban, tetapi sebagai jalan menuju kesuksesan yang diimpikan setiap manusia. Keterikatan linguistik antara seruan shalat dan seruan kemenangan ini memperkuat motivasi ibadah.
Adzan Maghrib bukan hanya penanda waktu shalat, tetapi juga penanda siklus harian dan spiritual yang penting bagi Muslim.
Selama bulan Ramadhan atau saat puasa sunnah, Adzan Maghrib adalah suara yang paling dinanti. Ia adalah penentu syar'i yang secara definitif mengumumkan bahwa kewajiban menahan diri telah usai. Bunyi Adzan Maghrib menjadi sinyal untuk berbuka puasa, sebuah momen yang secara spesifik disebut sebagai waktu mustajab untuk berdoa. Kekuatan emosional dari Adzan Maghrib di bulan Ramadhan jauh lebih intens, menjadikannya puncak penantian selama seharian penuh.
Waktu Maghrib sering disebut sebagai waktu peralihan yang dipercayai oleh banyak riwayat hadits sebagai momen di mana jin dan setan mulai menyebar di bumi. Rasulullah SAW menasihati umatnya untuk menahan anak-anak mereka pada waktu Maghrib. Dalam konteks ini, Adzan Maghrib berfungsi ganda: sebagai panggilan ibadah dan sebagai perlindungan. Suara Takbir dan Tauhid yang dikumandangkan dengan keras diyakini dapat mengusir atau menahan penyebaran entitas jahat.
Setiap lafal "Allahu Akbar" berfungsi sebagai benteng. Ini mengingatkan Muslim bahwa perlindungan yang paling utama adalah mengakui dan berlindung di bawah keagungan Allah, meyakinkan bahwa tidak ada kekuatan lain yang mampu melampaui-Nya.
Dalam sejarah Islam, Adzan dikumandangkan dari tempat tertinggi (seperti minaret) agar suaranya menjangkau luas. Di era modern, penggunaan pengeras suara (loudspeaker) telah menjadi norma, termasuk untuk Adzan Maghrib. Keputusan fiqh mengenai hal ini memiliki beberapa pertimbangan:
Tujuan utama Adzan adalah *I'lam* (pemberitahuan). Pengeras suara sangat efektif dalam mencapai tujuan ini, memungkinkan tulisan Adzan menjangkau ribuan orang dalam radius yang luas, memenuhi *fardhu kifayah* dengan sempurna.
Meskipun Adzan harus lantang, ulama kontemporer menekankan pentingnya menjaga adab agar suara tidak mengganggu orang yang sakit, anak-anak, atau lingkungan sekitar secara berlebihan. Kualitas suara dan kejelasan lafal tulisan Adzan lebih diutamakan daripada sekadar volume yang sangat tinggi. Muadzin Maghrib harus memastikan bahwa lantunan Adzan yang keras tetap indah (*tartil*) dan fasih (*fashih*), sesuai dengan lafal asli bahasa Arabnya.
Dengan demikian, teknologi modern menjadi alat yang memfasilitasi pelaksanaan sunnah Nabi SAW dalam mengumandangkan seruan suci ini dengan cakupan yang maksimal, memastikan bahwa tidak ada Muslim di kawasan tersebut yang terlewatkan dari panggilan untuk Shalat Maghrib.
Pengulangan syahadat dalam tulisan Adzan Maghrib (empat kali, termasuk Tarji' dalam mazhab tertentu) bukanlah pengulangan tanpa makna, melainkan penegasan terus-menerus atas komitmen hidup seorang Muslim. Syahadat yang diucapkan Muadzin dan dijawab oleh pendengar adalah pembaharuan perjanjian (mitsaq) setiap hari.
Lafal ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah’ mengandung janji untuk meninggalkan segala bentuk ketaatan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Dalam konteks Maghrib, ini berarti melepaskan diri dari sisa-sisa kesibukan duniawi (perdagangan, pekerjaan, harta) yang mungkin masih melekat, dan mengarahkan seluruh hati untuk shalat. Jika shalat adalah manifestasi terbesar dari ibadah (penyembahan), maka Syahadat Tauhid adalah izin dan alasan untuk melaksanakan shalat tersebut.
Dalam literatur tasawuf, mendengar syahadat Adzan Maghrib harusnya memicu muhasabah (introspeksi) seberapa jauh kita telah menuhankan hal-hal lain selain Allah sepanjang hari yang baru saja berlalu, dan seberapa tulus kita bersaksi saat ini.
Lafal ‘Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’ adalah pengakuan bahwa shalat Maghrib, dari cara takbir, ruku, sujud, hingga salamnya, harus mengikuti metodologi Nabi Muhammad SAW. Syahadat ini menolak segala bentuk inovasi (bid'ah) dalam ibadah. Adzan Maghrib mengingatkan bahwa pelaksanaan rukun Islam haruslah otentik, diwarisi langsung dari Sunnah Nabi.
Bagi pendengar Adzan, respons terhadap syahadat risalah ini adalah komitmen untuk terus mempelajari dan mengamalkan ajaran Nabi, menjadikannya teladan utama dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam bergegas menunaikan shalat Maghrib.
Tulisan Adzan Maghrib memiliki fungsi sosial yang mendalam, bukan hanya sebatas seruan individual.
Secara sosial, Adzan Maghrib berfungsi sebagai jam komunal yang disinkronkan. Di masa lalu, tanpa jam tangan, suara Adzan adalah penentu waktu yang sah bagi seluruh masyarakat untuk menghentikan pekerjaan, mengatur jadwal makan, dan memulai kegiatan malam. Bahkan di era modern, bagi komunitas Muslim, suara Adzan Maghrib adalah penanda yang paling otoritatif.
Syi’ar Adzan yang dikumandangkan di ruang publik menegaskan identitas Islam dalam suatu wilayah. Bunyi Takbir dan Tahlil yang berulang adalah deklarasi keimanan yang menyatukan hati-hati Muslim. Khusus Maghrib, Adzan yang terdengar saat suasana mulai gelap memberikan rasa aman dan persatuan di antara jamaah yang bergegas menuju masjid, menguatkan ikatan ukhuwah.
Bagi seorang Muslim yang telah penat bekerja seharian, suara Adzan Maghrib seringkali membawa ketenangan psikologis. Lafal-lafal tauhid berfungsi sebagai pelepas penat dan pengingat bahwa tujuan hidup yang hakiki telah menanti, memberikan perspektif ulang terhadap prioritas. Panggilan menuju *al-Falah* menjanjikan istirahat dan keberhasilan sejati yang tidak ditemukan dalam kesibukan dunia.
Meskipun mayoritas praktik Adzan di Indonesia mengikuti Mazhab Syafi'i (15 lafal tanpa Tarji'), penting untuk mencermati variasi lafal Adzan, terutama Tarji', yang berlaku dalam Mazhab Hanafi dan Hambali, untuk memahami kekayaan fiqh.
Tarji' adalah pengulangan dua kalimat syahadat sebanyak dua kali dengan suara yang pelan/rendah, sebelum kemudian diulang dua kali lagi dengan suara yang keras dan lantang. Jika Adzan menggunakan Tarji', jumlah lafalnya menjadi 19. Tarji' bertujuan untuk introspeksi batin Muadzin sebelum memproklamasikan syahadat kepada publik.
Lafal Adzan dengan Tarji' (Tambahan):
Meskipun Adzan Maghrib di sebagian besar Asia Tenggara tidak menggunakan Tarji', pemahaman tentang variasi tulisan Adzan ini menunjukkan keluwesan fiqh yang tetap berpegangan pada esensi Tauhid dan Risalah.
Oleh karena variasi seperti Tarji' dan Tatswib, jumlah total lafal Adzan dihitung berbeda. Adzan Bilal (15 lafal) yang umum digunakan di Indonesia dan Mazhab Syafi'i menekankan ketegasan dan keringkasan. Sementara versi Tarji' (19 lafal) menekankan pada proses batin Muadzin.
Apapun variasi lafal yang digunakan (baik 15 atau 19 lafal), esensi tulisan Adzan Maghrib tetap sama: proklamasi keagungan Allah, kesaksian akan Tauhid dan Risalah, serta seruan mendesak untuk shalat.
Tulisan Adzan Maghrib adalah contoh sempurna dari keseimbangan antara keyakinan fundamental (*aqidah*) dan tindakan praktis (*amal*). Struktur teksnya secara cerdas memimpin pendengar dari pengakuan teologis menuju implementasi ibadah.
Empat Takbir awal dan empat Syahadat adalah representasi dari *Aqidah* (keyakinan). Ini adalah landasan filosofis mengapa seorang Muslim harus beribadah. Setelah fondasi ini kokoh, barulah datang seruan praktis, yaitu dua lafal *Hayya 'alas-Shalah* dan dua lafal *Hayya 'alal-Falaah* (Amal).
Ini mengajarkan bahwa ibadah fisik tidak boleh lepas dari fondasi keimanan yang benar. Seorang Muslim tidak hanya diperintah untuk shalat, tetapi juga harus mengerti *mengapa* ia shalat—karena Allah Maha Besar dan karena ia bersaksi atas keesaan-Nya.
Setelah seruan amal selesai, Adzan ditutup dengan pengulangan Takbir dan Tahlil. Ini berfungsi sebagai pengunci. Setelah menerima panggilan untuk beramal, kita diingatkan kembali bahwa segala tindakan itu harus dikembalikan kepada keagungan Allah. Penutup ini memastikan bahwa shalat Maghrib yang akan didirikan adalah ibadah yang tulus (*ikhlas*), tidak tercampuri oleh riya atau tujuan duniawi lainnya.
Penutup ‘Laa ilaaha illallah’ yang tunggal pada akhirnya adalah penekanan terakhir bahwa segala sesuatu telah kembali kepada sumbernya, yaitu keesaan Allah SWT.
Momen Maghrib adalah permulaan malam, waktu di mana banyak kegiatan spiritual malam dimulai, termasuk shalat Isya, shalat malam (Qiyamul Lail), dan membaca Al-Qur'an. Adzan Maghrib adalah pintu gerbang menuju keberkahan malam tersebut.
Ketaatan dan penyegeraan Shalat Maghrib secara langsung mempengaruhi kualitas ibadah malam selanjutnya. Dengan menyelesaikan shalat fardhu pertama pada waktu malam dengan baik, seorang Muslim telah meletakkan fondasi ketaatan yang kuat. Lafal-lafal dalam Adzan Maghrib, terutama *Hayya 'alal-Falaah*, mendorong hati untuk tidak berhenti pada shalat Maghrib saja, melainkan melanjutkan pencarian keberkahan di malam hari.
Adzan Maghrib menandai waktu di mana Allah memanggil hamba-Nya untuk beristirahat dari kesibukan dunia dan fokus pada Sang Pencipta. Cahaya matahari telah sirna, simbol dari kesibukan fana, dan digantikan oleh ketenangan malam, waktu yang lebih kondusif untuk kontemplasi dan ibadah. Tulisan Adzan Maghrib dengan lafal Tauhidnya menyambut perubahan atmosfer ini dengan mengingatkan setiap jiwa akan Tuhannya.
Keagungan Allah sebagai Inti Adzan