Pendahuluan: Jembatan Memahami Kalamullah
Al-Qur’an, sebagai kitab suci terakhir dan sumber utama hukum serta petunjuk bagi umat Islam, diturunkan dalam bahasa Arab yang sangat kaya, mendalam, dan memiliki struktur linguistik yang unik, dikenal sebagai i'jaz (kemukjizatan). Bagi miliaran Muslim di seluruh dunia yang bahasa ibunya bukanlah bahasa Arab, kebutuhan untuk memahami pesan ilahi ini menjadi sangat mendesak. Di sinilah terjemahan Al-Qur’an memainkan peran krusial.
Terjemahan bukan sekadar pengalihan kata dari satu bahasa ke bahasa lain. Dalam konteks Al-Qur’an, terjemahan adalah upaya mulia, namun penuh tantangan, untuk menjembatani jurang bahasa dan budaya agar makna esensial dari Kalamullah (Firman Allah) dapat diakses oleh khalayak yang lebih luas. Di Indonesia, sebuah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, terjemahan Al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sentral dalam praktik keagamaan, pendidikan, dan bahkan kehidupan sosial-politik.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk terjemahan Al-Qur’an, mulai dari landasan teologis yang memperbolehkannya, sejarah panjang penerjemahan di dunia Islam dan Nusantara, tantangan metodologis yang dihadapi para penerjemah, hingga menganalisis dampak serta perbedaan antara beberapa terjemahan utama yang digunakan di Indonesia saat ini. Pemahaman yang komprehensif terhadap proses penerjemahan akan membantu setiap Muslim Indonesia untuk berinteraksi dengan terjemahan secara lebih kritis dan mendalam.
Urgensi dan Kedudukan Terjemahan dalam Islam
Secara teologis, Al-Qur’an yang autentik adalah teks dalam bahasa Arab. Membaca dan menghafalnya dalam bahasa aslinya adalah ibadah. Namun, pemahaman terhadap isinya adalah prasyarat untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan. Jika teks Arab adalah wadah, maka makna adalah isinya, dan terjemahan berfungsi sebagai kunci untuk membuka isi tersebut.
Prinsip Dasar: Bukan Pengganti, Tapi Penjelas
Penting untuk ditegaskan bahwa tidak ada terjemahan yang dapat menggantikan Al-Qur’an yang asli dalam bahasa Arab. Terjemahan selalu dianggap sebagai “tafsir/penjelasan makna” (ma'ani) atau “penyampaian pesan” (naql al-risalah), bukan Al-Qur’an itu sendiri. Para ulama sepakat bahwa terjemahan adalah hasil upaya manusiawi yang rentan terhadap keterbatasan bahasa dan pemahaman penerjemah, sehingga tidak memiliki status kesakralan yang sama dengan teks aslinya.
Urgensi terjemahan muncul dari beberapa aspek:
- Kewajiban Memahami Syariat: Syariat Islam (hukum) bersumber dari Al-Qur’an. Tanpa memahami isi, seorang Muslim tidak dapat menjalankan kewajiban dengan benar, mulai dari tata cara ibadah (muamalah) hingga prinsip-prinsip etika (akhlak).
- Dawah dan Pendidikan: Terjemahan adalah alat vital dalam menyebarkan ajaran Islam (dawah) kepada non-Muslim atau kepada Muslim baru (mualaf) yang tidak menguasai bahasa Arab. Ia juga merupakan fondasi pendidikan Islam di sekolah-sekolah dan majelis taklim.
- Perlindungan dari Kesalahpahaman: Dalam dunia modern, akses informasi sangat luas. Jika tidak ada terjemahan yang kredibel, masyarakat rentan terhadap penafsiran liar atau bahkan ajaran sesat yang mengklaim bersumber dari Al-Qur’an. Terjemahan resmi membantu memberikan panduan standar.
- Pembangunan Peradaban: Pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai Al-Qur’an, seperti keadilan, ilmu pengetahuan, dan etos kerja, hanya dapat diinternalisasi jika maknanya dipahami dalam konteks budaya lokal melalui bahasa ibu.
Hukum Menerjemahkan Al-Qur'an
Secara historis, ada perdebatan di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya menerjemahkan Al-Qur’an. Namun, pendapat yang dominan dan diterima luas hari ini adalah boleh, bahkan wajib kifayah (kewajiban kolektif), terutama jika terjemahan tersebut berfungsi sebagai tafsir (penjelasan) dan bukan klaim sebagai teks ilahi yang identik. Sebagian ulama Hanafiyah bahkan membolehkan pembacaan terjemahan dalam salat bagi mereka yang sama sekali tidak bisa berbahasa Arab, meskipun pendapat ini jarang diikuti secara umum. Konsensus saat ini berfokus pada penerjemahan yang bersifat 'tafsiriah' (interpretatif).
Sejarah Panjang Penerjemahan Al-Qur'an
Fase Awal: Era Sahabat
Upaya penerjemahan Al-Qur’an dimulai sejak masa Nabi Muhammad SAW masih hidup. Kasus paling awal yang tercatat adalah permintaan Salman Al-Farisi, seorang Sahabat Persia, yang meminta izin untuk menerjemahkan Surah Al-Fatihah ke dalam bahasa Persia agar orang-orang yang baru masuk Islam di Persia dapat memahami esensi salat. Meskipun ini adalah terjemahan parsial, ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk mengakses makna telah ada sejak permulaan Islam.
Abad Pertengahan: Persia dan Latin
Penerjemahan besar-besaran dimulai setelah ekspansi Islam ke wilayah non-Arab. Persia menjadi pusat utama terjemahan. Versi Persia yang lebih komprehensif mulai muncul pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi, seringkali disandingkan langsung dengan tafsir ulama besar. Terjemahan ini sangat penting karena Persia adalah salah satu bahasa ilmu pengetahuan utama pada masa itu.
Di Barat, terjemahan ke bahasa Latin muncul sebagai bagian dari upaya intelektual dan, sayangnya, seringkali polemik. Terjemahan Latin tertua yang diketahui dibuat oleh Robert of Ketton di Spanyol pada abad ke-12 Masehi, atas perintah Peter the Venerable. Tujuan utama terjemahan ini bukanlah untuk memperluas pemahaman Muslim, melainkan untuk memberikan dasar bagi kritik Kristen terhadap Islam. Terjemahan ini, meskipun tidak akurat dan bias, menjadi basis untuk terjemahan Eropa lainnya selama berabad-abad.
Era Kolonial dan Kebangkitan Orientalisme
Pada abad ke-18 dan ke-19, ketika kekuatan Eropa mulai menjajah dunia Islam, terjemahan Al-Qur’an ke bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman meningkat tajam. Orientalis seperti George Sale (1734) dan Richard Bell (1937) menghasilkan terjemahan yang, meskipun penting secara akademis, sering dikritik oleh Muslim karena kurangnya latar belakang keimanan dan pemahaman konteks keislaman yang mendalam. Mereka sering gagal menangkap nuansa teologis dan hukum, cenderung menerjemahkan Al-Qur’an seolah-olah itu adalah teks sejarah biasa.
Terjemahan oleh Muslim: Respon dan Otoritas
Sebagai respons terhadap terjemahan Barat yang bias, para ulama Muslim mulai mengambil alih tugas penerjemahan. Tokoh-tokoh seperti Abdullah Yusuf Ali, Muhammad Marmaduke Pickthall, dan Muhammad Asad menghasilkan terjemahan yang dilengkapi dengan catatan kaki ekstensif, memastikan bahwa pembaca non-Arab mendapatkan konteks yang benar. Terjemahan-terjemahan ini didasarkan pada metodologi tafsir klasik, memberikan otoritas keagamaan yang lebih kuat.
Perbedaan mendasar: Terjemahan oleh Orientalis cenderung bersifat filologis dan historis, sementara terjemahan oleh ulama Muslim bersifat teologis dan interpretatif (tafsiriah), menekankan pada niat suci di balik setiap kata.
Metodologi Penerjemahan: Literalitas vs. Interpretasi
Proses menerjemahkan Al-Qur’an memerlukan pendekatan yang sangat hati-hati, karena teks tersebut adalah wahyu yang memiliki dimensi bahasa, hukum, spiritual, dan sejarah yang saling terkait. Ada dua pendekatan utama yang mendominasi upaya penerjemahan:
1. Terjemahan Harfiah (Literal Translation)
Pendekatan ini berusaha untuk mengikuti struktur sintaksis dan morfologi bahasa Arab sedekat mungkin. Tujuannya adalah mempertahankan keindahan dan keunikan bahasa aslinya. Namun, dalam konteks Al-Qur’an, pendekatan ini sangat sulit dan sering kali menghasilkan teks yang tidak dapat dipahami atau bahkan menyesatkan dalam bahasa target.
- Kelebihan: Paling mendekati struktur teks Arab asli.
- Kekurangan: Bahasa Arab sarat akan metafora, elipsis (penghilangan kata yang sudah dipahami), dan struktur kalimat yang tidak biasa dalam bahasa Indonesia. Terjemahan literal sering gagal menangkap makna yang dimaksud (murad). Misalnya, menerjemahkan 'tangan Allah' secara harfiah dapat memicu pemahaman antropomorfisme yang ditolak oleh teologi Sunni.
2. Terjemahan Maknawi atau Interpretatif (Tafsiriyah)
Ini adalah metode yang paling diterima dalam dunia Islam, terutama di Indonesia. Penerjemah tidak hanya mengalihkan kata, tetapi juga mengalihkan makna yang terkandung di dalamnya, berdasarkan interpretasi yang kokoh dari ulama terdahulu (Tafsir Klasik). Terjemahan jenis ini biasanya dilengkapi dengan catatan kaki atau teks tafsir yang lebih rinci.
- Kelebihan: Menghasilkan teks yang jelas, mudah dicerna, dan yang paling penting, teologisnya benar sesuai dengan akidah Islam arus utama.
- Kekurangan: Karena ia melibatkan interpretasi, terjemahan tersebut mencerminkan pilihan tafsir tertentu dari penerjemah. Ini berarti terjemahan A mungkin sedikit berbeda dengan terjemahan B dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat (ayat yang ambigu).
Peran Ilmu Bantu dalam Penerjemahan
Penerjemah Al-Qur’an tidak bisa hanya mengandalkan kamus. Mereka harus menguasai ilmu-ilmu Islam yang mendalam, termasuk:
- Ilmu Nahwu dan Sharf: Tata bahasa dan morfologi Arab yang kompleks.
- Ilmu Balaghah: Retorika, metafora, dan gaya bahasa Al-Qur’an (seperti isti’arah dan kinayah).
- Asbabun Nuzul: Konteks historis dan alasan diturunkannya ayat.
- Naskh dan Mansukh: Ayat-ayat yang hukumnya telah diganti atau dihapus.
- Tafsir Mu’tabar: Referensi kepada tafsir klasik (seperti Tafsir Ibnu Katsir, At-Tabari, atau Al-Jalalayn) untuk memastikan konsistensi interpretasi.
Tantangan dan Kompleksitas Terjemahan Al-Qur'an
Menerjemahkan teks yang dianggap suci dan final adalah tugas yang sangat berat. Tantangan-tantangan ini menjelaskan mengapa terjemahan, betapapun baiknya, tetap memerlukan tafsir yang mendampingi.
1. Multidimensi Makna (Wujuh Wa Nazha'ir)
Satu kata dalam bahasa Arab Al-Qur’an bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung konteksnya (wujuh) dan bagaimana kata tersebut dihubungkan dengan kata-kata lain (nazha’ir). Penerjemah harus memilih makna yang paling tepat sesuai kaidah syar'i dan konteks ayat.
Contoh: Kata Ummah dapat berarti: umat, periode waktu, atau sekelompok orang. Terjemahan harus sangat spesifik memilih salah satu padanan tersebut, yang mungkin menghilangkan dimensi makna lainnya.
2. Isu Kata Kunci Teologis dan Hukum
Beberapa konsep sentral Islam tidak memiliki padanan yang persis dalam bahasa target, termasuk Bahasa Indonesia:
- Taqwa: Sering diterjemahkan sebagai 'takut kepada Allah', padahal makna sesungguhnya jauh lebih dalam, meliputi kesadaran penuh, pencegahan diri dari dosa, dan ketaatan.
- Salah: Sering diterjemahkan 'berdoa', padahal ia adalah ritual ibadah spesifik (salat/sembahyang), bukan doa secara umum.
- Riba: Diterjemahkan 'bunga' atau 'interest', namun konsep riba dalam fiqh jauh lebih luas daripada sekadar bunga pinjaman.
Penerjemah sering terpaksa mempertahankan istilah Arab (seperti taqwa, shalat, zakat) dan menjelaskan maknanya dalam catatan kaki, daripada mencoba mencari padanan kata tunggal.
3. Mutasyabihat (Ayat yang Samar)
Ayat-ayat Mutasyabihat, yang maknanya tidak jelas dan hanya Allah yang tahu hakikatnya (misalnya, sifat-sifat Allah yang disebutkan seperti 'Arsy atau bentuk surga), menimbulkan tantangan teologis besar. Penerjemah harus berhati-hati agar terjemahan mereka tidak melanggar akidah tauhid, misalnya dengan menolak pemahaman yang menyerupakan Allah dengan makhluk (tasybih).
4. I’jaz Al-Qur’an (Aspek Retorika)
Kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada keindahan sastranya, irama, dan pemilihan kata yang sempurna. Kekuatan retorika ini—yang mampu menggetarkan hati penutur asli Arab—hilang hampir seluruhnya dalam proses terjemahan. Tidak ada bahasa, termasuk Bahasa Indonesia, yang dapat mereplikasi kedalaman linguistik i'jaz tersebut.
5. Konteks Budaya dan Sejarah
Banyak ayat merujuk pada praktik, makanan, pakaian, atau adat istiadat yang spesifik pada masyarakat Arab abad ke-7. Menerjemahkan istilah-istilah ini ke bahasa modern tanpa catatan kaki dapat membuat pembaca bingung atau salah mengartikan relevansi ayat tersebut.
Oleh karena kompleksitas ini, seorang Muslim yang berbahasa Indonesia dianjurkan untuk menggunakan terjemahan yang selalu disandingkan dengan Tafsir (interpretasi) yang kredibel, untuk memastikan makna yang diserap sesuai dengan ajaran Islam yang benar.
Perkembangan Terjemahan Al-Qur'an di Nusantara
Terjemahan Awal: Bahasa Lokal dan Melayu
Penerjemahan di Nusantara telah dimulai sejak abad ke-17. Terjemahan paling awal yang terdokumentasi dibuat ke dalam Bahasa Melayu, yang saat itu menjadi bahasa lingua franca perdagangan dan agama di Asia Tenggara. Salah satu upaya paling monumental adalah Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Syekh Abdur Rauf Singkil (w. 1693) dari Aceh. Karya ini, meskipun merupakan tafsir, juga berfungsi sebagai terjemahan makna yang sangat penting, yang menjadi rujukan utama Muslim Melayu selama berabad-abad.
Selain Melayu, terjemahan juga dibuat ke bahasa daerah lainnya, seperti Bahasa Jawa (seringkali dalam bentuk pêdhék atau makna gandul) dan Sunda, yang menunjukkan upaya ulama lokal untuk mendekatkan wahyu kepada masyarakat akar rumput.
Era Modern dan Standardisasi Bahasa Indonesia
Setelah kemerdekaan Indonesia, kebutuhan akan terjemahan tunggal, otoritatif, dan menggunakan Bahasa Indonesia yang standar menjadi prioritas nasional.
1. Al-Qur'an dan Terjemahnya (Kementerian Agama RI)
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama (saat itu Departemen Agama), memprakarsai proyek terjemahan resmi pada sekitar pertengahan abad ke-20. Proyek ini bertujuan untuk menciptakan terjemahan standar yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat dan bebas dari bias kelompok atau mazhab tertentu. Prosesnya melibatkan tim ulama, linguis, dan akademisi dari berbagai latar belakang ormas Islam (NU, Muhammadiyah, dll.).
Terjemahan Kemenag (yang dikenal sebagai Al-Qur'an dan Terjemahnya) memiliki beberapa ciri khas:
- Akurasi Kelembagaan: Karena disusun oleh lembaga negara dan direvisi secara berkala, terjemahan ini memiliki otoritas resmi tertinggi di Indonesia.
- Konsistensi Metodologi: Menggunakan pendekatan tafsiriyah yang konservatif, mengacu pada tafsir klasik yang diakui luas.
- Bahasa: Menggunakan Bahasa Indonesia baku, meskipun revisi-revisi terbaru mencoba membuatnya lebih kontekstual dan komunikatif.
2. Tafsir Al-Azhar oleh Buya Hamka
Tafsir dan terjemahan monumental ini disusun oleh Prof. Dr. Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Ditulis saat beliau berada di penjara, karya ini sangat populer karena menggunakan bahasa yang indah, mengalir, dan sangat dekat dengan jiwa Melayu-Indonesia.
- Corak Adabi Ijtima’i: Hamka dikenal menggunakan pendekatan sastra dan sosial kemasyarakatan. Terjemahannya mudah dipahami karena seringkali disajikan dalam konteks permasalahan kontemporer masyarakat Indonesia.
- Kekuatan Retorika: Meskipun fokusnya adalah tafsir, terjemahan Hamka berhasil mempertahankan sebagian besar semangat retoris Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia.
- Pengaruh Muhammadiyah: Meskipun bersifat universal, karya ini sedikit dipengaruhi oleh pandangan purifikasi dan pembaharuan (tajdid) yang dianut oleh Muhammadiyah.
3. Tafsir Al-Mishbah oleh M. Quraish Shihab
Karya monumental kontemporer ini (Al-Mishbah) seringkali disandingkan dengan terjemahan maknawi yang sangat detail dan modern. Quraish Shihab, seorang ahli tafsir dan linguistik, dikenal karena pendekatannya yang luwes, moderat, dan sangat memperhatikan konteks. Ia juga dikenal sering mengedepankan pemahaman yang selaras dengan ilmu pengetahuan modern.
- Komprehensivitas: Menyajikan berbagai pandangan ulama klasik dan modern, memungkinkan pembaca memahami spektrum interpretasi.
- Bahasa Kontemporer: Menggunakan Bahasa Indonesia yang sangat modern dan mudah dipahami oleh generasi sekarang, dengan penekanan pada etika dan moral.
Panduan Memilih dan Menggunakan Terjemahan yang Tepat
Mengingat banyaknya pilihan terjemahan di Indonesia, penting bagi pembaca Muslim untuk mengetahui bagaimana memilih dan menggunakan terjemahan secara efektif agar tidak salah tafsir.
Kriteria Pemilihan Terjemahan
- Kredibilitas Penerjemah/Lembaga: Pastikan terjemahan dibuat oleh ulama atau tim yang diakui otoritas keilmuannya (misalnya, Kementerian Agama RI atau ulama-ulama besar yang memiliki silsilah keilmuan jelas).
- Keberadaan Catatan Kaki (Footnotes): Terjemahan yang baik harus selalu menyertakan catatan kaki. Catatan ini berfungsi untuk menjelaskan konteks (asbabun nuzul), istilah teknis (fiqh), atau makna alternatif dari ayat-ayat yang ambigu (mutasyabihat).
- Keselarasan dengan Akidah Ahlussunnah wal Jama'ah: Terjemahan harus konsisten dengan akidah arus utama Islam di Indonesia (moderat dan tidak ekstrem), terutama dalam menafsirkan ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah (tauhid asma wa sifat).
- Gaya Bahasa yang Sesuai: Jika Anda seorang pemula, pilihlah terjemahan yang menggunakan Bahasa Indonesia yang lebih komunikatif. Jika Anda seorang akademisi atau ingin pendalaman, pilihlah terjemahan yang lebih detail dan dilengkapi dengan teks tafsir yang lengkap.
Cara Interaksi yang Tepat dengan Terjemahan
Membaca terjemahan Al-Qur’an tidak sama dengan membaca novel. Ada etika dan metodologi yang perlu diikuti:
- Jadikan Terjemahan sebagai Pintu Masuk: Jangan jadikan terjemahan sebagai sumber hukum final. Gunakan ia untuk memahami makna dasar, kemudian selidiki lebih lanjut melalui tafsir yang mendalam.
- Selalu Baca Teks Arabnya: Meskipun Anda tidak memahami artinya, membaca teks Arab Al-Qur’an tetap merupakan ibadah (tilawah). Idealnya, teks Arab harus dibaca terlebih dahulu sebelum beralih ke terjemahan.
- Hindari Tafsir Potongan: Jangan hanya membaca terjemahan satu ayat tanpa melihat konteks ayat sebelum dan sesudahnya (siyāq wa sibāq), karena seringkali makna satu ayat bergantung pada rangkaian ayat yang panjang.
- Perhatikan Keterbatasan Bahasa: Selalu ingat bahwa terjemahan hanyalah 'upaya terbaik' manusia untuk menangkap makna ilahi. Ia tidak akan pernah bisa 100% sempurna.
Kebutuhan Kontemporer: Terjemahan Digital dan Tematik
Di era digital, terjemahan juga harus memenuhi kebutuhan kontemporer. Aplikasi digital memungkinkan pencarian kata kunci dan perbandingan terjemahan secara instan. Selain itu, muncul pula terjemahan tematik (misalnya, fokus pada ayat-ayat ekonomi, lingkungan, atau sains) yang membantu pembaca mendapatkan pemahaman kontekstual yang spesifik.
Namun, terjemahan tematik ini harus digunakan dengan hati-hati. Meskipun bermanfaat untuk studi spesifik, ia rentan terhadap penafsiran yang memaksakan konteks modern ke dalam teks suci (disebut tafsir bi al-ra’yi yang tercela) jika tidak didasarkan pada metodologi tafsir yang kuat.
Oleh karena itu, penerbitan terjemahan resmi Kemenag dalam format digital dan multimedia menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa sumber primer yang paling kredibel tetap mudah diakses oleh masyarakat luas.
Mendalami Tantangan Linguistik Arab dalam Terjemahan
Agar pembaca lebih menghargai kompleksitas terjemahan, perlu dipahami beberapa fitur unik bahasa Arab Al-Qur’an yang tidak mudah dipindahkan ke Bahasa Indonesia. Tantangan ini seringkali menjadi penentu kualitas sebuah terjemahan.
1. Fonetik dan Irama (Tajwid dan Qira'at)
Bahasa Arab Al-Qur’an memiliki sistem fonetik yang sangat ketat (Tajwid) yang mempengaruhi makna. Perbedaan pembacaan (Qira'at) juga menghasilkan variasi makna. Contohnya, satu ayat yang dibaca dengan panjang vokal yang berbeda bisa mengubah kata kerja aktif menjadi pasif. Dalam terjemahan, kekayaan fonetik dan irama ini lenyap total, sehingga terjemahan hanya menangkap salah satu varian makna yang ada.
2. Isu Kata Ganti (Dhamir)
Dalam Bahasa Arab, kata ganti (ia, kamu, mereka) seringkali tidak eksplisit atau merujuk pada subjek yang sangat jauh di dalam teks. Penerjemah harus memutuskan kepada siapa kata ganti tersebut merujuk, yang terkadang memerlukan lompatan interpretatif yang besar. Jika salah menentukan rujukan kata ganti, makna keseluruhan ayat dapat terdistorsi, terutama pada ayat-ayat yang membahas hubungan antara Allah, Nabi, dan musuh-musuh Islam.
3. Masalah Partikel dan Preposisi
Partikel kecil (seperti ba', la, fa, wa) dalam Bahasa Arab memiliki fungsi yang sangat kuat dalam menentukan urutan logis, sebab akibat, atau penegasan. Satu partikel saja bisa mengubah nada dan makna kalimat secara drastis. Bahasa Indonesia seringkali tidak memiliki padanan yang tepat untuk menangkap nuansa halus dari partikel-partikel ini, sehingga penerjemah harus menggunakan satu frasa panjang hanya untuk menyampaikan efek satu partikel pendek.
4. Iltifat (Perubahan Tiba-tiba dalam Gaya Bahasa)
Al-Qur’an sering menggunakan teknik retorika Iltifat, yaitu perubahan mendadak dalam persona (misalnya, dari orang ketiga menjadi orang kedua, atau dari tunggal menjadi jamak) dalam satu konteks yang sama. Tujuan Iltifat adalah untuk menarik perhatian pembaca atau menunjukkan perpindahan fokus teologis. Jika diterjemahkan secara harfiah, Iltifat akan terdengar canggung dan membingungkan dalam Bahasa Indonesia, memaksa penerjemah untuk "meluruskan" gaya bahasa agar masuk akal, yang justru menghilangkan keunikan retorika Arab.
Contoh Iltifat yang sulit: Ketika Allah berbicara tentang diri-Nya menggunakan 'Kami' (keagungan) lalu tiba-tiba beralih menggunakan 'Dia' atau 'Aku' (ketunggalan). Menerjemahkan ini membutuhkan keahlian teologis agar tidak terkesan inkonsisten.
Kontribusi Terjemahan terhadap Kajian Islam dan Peradaban
Di luar kebutuhan ibadah sehari-hari, terjemahan Al-Qur’an memainkan peran vital dalam ranah akademik, dialog antaragama, dan pembangunan peradaban di Indonesia.
1. Memperkaya Kosakata Bahasa Indonesia
Proses penerjemahan, terutama yang dilakukan oleh Kemenag dan ulama besar seperti Hamka dan Quraish Shihab, telah memperkaya khazanah Bahasa Indonesia. Banyak istilah Arab (seperti maslahat, fitrah, musyawarah, zalim, hidayah) yang awalnya merupakan terjemahan teknis, kini telah diserap dan menjadi bagian integral dari kosakata baku Bahasa Indonesia. Ini menunjukkan bahwa terjemahan tidak hanya mengalihkan makna, tetapi juga membentuk bahasa nasional.
2. Basis Kajian Akademik di Perguruan Tinggi
Di IAIN, UIN, dan berbagai universitas lain di Indonesia, terjemahan Al-Qur’an menjadi teks primer yang digunakan mahasiswa untuk mempelajari Tafsir, Fiqh, dan Sejarah Islam. Terjemahan yang standar memastikan bahwa seluruh institusi pendidikan memiliki titik tolak pemahaman yang sama, memfasilitasi penelitian yang koheren dan perdebatan akademik yang konstruktif.
3. Dialog Antaragama dan Globalisasi
Terjemahan Bahasa Indonesia memungkinkan para penganut agama lain untuk memahami secara langsung apa yang diajarkan oleh Islam, memotong interpretasi pihak ketiga yang seringkali bias. Dalam konteks global, terjemahan yang dilakukan oleh ulama Indonesia juga mulai diakui dan digunakan oleh komunitas Muslim di negara-negara serumpun (Malaysia, Brunei, Thailand Selatan).
4. Respons terhadap Isu Kontemporer
Dalam beberapa dekade terakhir, isu-isu seperti hak asasi manusia, gender, dan lingkungan hidup semakin mendesak. Penerjemahan modern dan tafsir kontemporer di Indonesia berupaya menjelaskan bagaimana pesan Al-Qur’an—melalui terjemahan yang tepat—memberikan solusi dan panduan etika terhadap isu-isu ini. Misalnya, terjemahan tentang keadilan (‘adl) dan tanggung jawab terhadap alam (khalifah fil ardh) diterjemahkan dan dijelaskan untuk relevansi abad ke-21.
Peran Lembaga Resmi dalam Pemeliharaan Terjemahan
Lembaga resmi (seperti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an/LPMQ Kemenag) memainkan peran penting dalam memastikan kualitas terjemahan. Tugas mereka meliputi:
- Pentashihan (Koreksi): Memeriksa keakuratan teks Arab (rūsum) dan memastikan terjemahan tidak mengandung kesalahan interpretasi teologis.
- Pemutakhiran Bahasa: Melakukan revisi berkala terhadap terjemahan agar tetap relevan dengan perkembangan Bahasa Indonesia baku, tanpa mengubah makna dasar syar'i.
- Sosialisasi: Memastikan bahwa terjemahan resmi disebarluaskan secara merata dan mudah diakses oleh seluruh masyarakat, termasuk kelompok difabel (melalui terjemahan Braille) dan masyarakat pedalaman.
Penutup: Refleksi atas Upaya Memahami Wahyu
Perjalanan terjemahan Al-Qur’an, dari upaya personal Salman Al-Farisi hingga proyek kelembagaan nasional di Indonesia, adalah cerminan dari keinginan abadi umat Islam untuk hidup di bawah petunjuk ilahi. Di Nusantara, terjemahan telah bertransformasi dari sekadar alat bantu ritual menjadi fondasi peradaban, pendidikan, dan identitas keagamaan.
Terjemahan Bahasa Indonesia adalah anugerah besar yang memungkinkan jutaan Muslim mendapatkan akses langsung ke pesan-pesan Al-Qur’an, membuka jalan bagi pemahaman mandiri dan praktik keagamaan yang lebih mendalam. Namun, ia juga datang dengan tanggung jawab: tanggung jawab untuk mengakui batas-batas bahasa manusia dan untuk selalu mendekati terjemahan dengan kerendahan hati, mengetahui bahwa teks aslinya dalam bahasa Arab selalu memiliki kedalaman yang tak tertandingi.
Mengapresiasi terjemahan berarti menghargai kerja keras para ulama Nusantara yang telah berjuang keras menyajikan firman suci dalam bahasa ibu kita. Ini adalah upaya yang berkelanjutan, memastikan bahwa setiap generasi Muslim Indonesia dapat terus memahami dan mengamalkan pedoman hidup yang abadi dari Al-Qur’an.