Surah Luqman, yang merupakan surah ke-31 dalam Al-Qur'an, dikenal luas sebagai surah yang memuat nasihat-nasihat fundamental dalam membangun karakter spiritual dan moral seorang Muslim. Nasihat-nasihat ini, yang disampaikan oleh Luqman Al-Hakim kepada putranya, mencakup larangan syirik, perintah shalat, kesabaran, dan tentu saja, kewajiban berbakti kepada orang tua.
Ayat ke-15 dari surah ini merupakan titik krusial yang menggarisbawahi bagaimana seorang Muslim harus menyeimbangkan dua kewajiban terpenting dalam hidupnya: ketaatan mutlak kepada Allah Sang Pencipta, dan kebaikan serta penghormatan yang mendalam kepada kedua orang tua, bahkan dalam kondisi yang paling sulit sekalipun. Ayat ini berfungsi sebagai panduan etika (akhlak) yang mengatur batas-batas ketaatan, sebuah prinsip yang sangat penting dalam syariat Islam.
Konsep yang diangkat oleh Luqman Ayat 15 adalah kemuliaan hubungan anak-orang tua, namun diletakkan di bawah payung Tauhid. Islam mengakui dan menghargai peran orang tua sebagai sebab keberadaan manusia di dunia, namun Tauhid (mengesakan Allah) adalah hak tertinggi yang tidak boleh dikompromikan oleh ikatan darah atau hubungan emosional apa pun. Tanpa pemahaman mendalam terhadap ayat ini, seorang Muslim bisa salah langkah dalam menentukan prioritas spiritual dan sosialnya.
"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Q.S. Luqman [31]: 15)
Ayat 15 ini datang segera setelah ayat 14 yang menekankan perjuangan dan pengorbanan luar biasa yang dilakukan ibu, menanggung beban kehamilan dan penyusuan. Ayat 14 memerintahkan rasa syukur kepada Allah, kemudian kepada orang tua. Ayat 15 berfungsi sebagai pengecualian dan batasan terhadap perintah ketaatan yang sangat luas pada ayat sebelumnya.
Secara historis, sebagian besar ulama tafsir menyebutkan bahwa ayat ini (bersama beberapa ayat lain tentang *birr al-walidayn* - berbakti kepada orang tua) diturunkan dalam konteks ujian yang dihadapi oleh sahabat-sahabat awal. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah kisah Sa'ad bin Abi Waqqas, yang ibunya bersumpah untuk tidak makan dan minum sampai Sa'ad kembali kepada kekufuran setelah dia masuk Islam.
Diagram: Batasan Ketaatan dalam Islam berdasarkan Luqman Ayat 15
Kisah ini menunjukkan bahwa konflik antara ketaatan horizontal (manusia ke manusia) dan ketaatan vertikal (manusia ke Allah) adalah nyata, dan Al-Qur'an memberikan solusi tegas: kewajiban Tauhid tidak dapat dibatalkan oleh hubungan duniawi, sekudus apa pun itu.
Perintah 'janganlah kamu menaati keduanya' adalah penegasan tertinggi terhadap prinsip *Laa Ilaaha Illallah*. Prinsip ini mengajarkan bahwa tidak ada ketaatan mutlak yang boleh diberikan kepada makhluk, termasuk orang tua, jika ketaatan itu menyebabkan pelanggaran terhadap hak Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah. Ini adalah fondasi dari seluruh bangunan spiritual seorang mukmin.
Konteks ancaman dari orang tua dalam ayat ini adalah syirik. Syirik bukan hanya masalah teologis, tetapi juga etika tertinggi. Ketika orang tua menuntut anak untuk meninggalkan Tauhid, mereka sedang menuntut anak untuk menghancurkan perjanjian dasarnya dengan Tuhan. Oleh karena itu, penolakan anak dalam hal ini bukan dianggap sebagai durhaka (ughuq), melainkan sebagai pelaksanaan kewajiban terbesar.
Penolakan terhadap perintah syirik adalah tindakan ketaatan tertinggi. Namun, penolakan ini harus dilakukan dengan cara yang paling halus dan hormat. Islam tidak membenarkan anak untuk berteriak atau menyakiti perasaan orang tua, bahkan saat menolak perintah syirik. Ini menunjukkan keindahan syariat yang seimbang: ketegasan dalam akidah, kelembutan dalam muamalah (interaksi).
Ketaatan kepada orang tua bersifat kondisional, sementara ketaatan kepada Allah bersifat absolut dan universal. Dalam kaidah fikih, hal ini dirangkum dalam prinsip: “Tidak ada ketaatan bagi makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Pencipta).” Ayat 15 ini adalah dalil utama yang mendasari kaidah tersebut.
Meskipun ayat ini secara spesifik menyebutkan syirik, para ulama memperluas pemahaman ‘kemaksiatan’ ini. Jika orang tua memerintahkan anak untuk melakukan dosa besar lainnya (seperti membunuh, mencuri, atau meninggalkan shalat), anak juga wajib menolak. Namun, syirik disebutkan secara spesifik karena ia merupakan puncak dari segala dosa (dosa yang tidak terampuni jika meninggal dalam keadaan tersebut).
Sangat penting untuk membedakan antara perintah yang bertentangan dengan syariat (dosa/syirik) dan perintah yang sekadar bertentangan dengan keinginan pribadi anak atau urusan duniawi yang mubah (diperbolehkan). Jika perintah orang tua adalah hal yang mubah, meskipun berat bagi anak, mayoritas ulama menganjurkan anak untuk berusaha menaatinya demi menjaga keridhaan orang tua.
Tingkat kehati-hatian dalam menafsirkan *jahadaaka* (memaksamu) juga penting. Ini menyiratkan bahwa tekanan tersebut signifikan dan berulang. Allah mengetahui kesulitan yang dihadapi seorang anak ketika dihadapkan pada pilihan yang mustahil ini, dan oleh karena itu, Dia memberikan izin penolakan.
Sangat menarik bahwa setelah memerintahkan penolakan tegas terhadap syirik, Allah segera memerintahkan anak untuk melakukan hal sebaliknya: “dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik (*ma'rufaan*).” Ini adalah ajaran etika yang luar biasa yang membedakan Islam dari ideologi lain.
*Ma'ruf* secara harfiah berarti 'yang diketahui' atau 'yang dianggap baik' oleh akal sehat dan syariat. Dalam konteks ayat ini, *ma'ruf* mencakup segala bentuk kebaikan praktis yang tidak melanggar syariat, termasuk:
Poin pentingnya adalah bahwa perbedaan akidah (keimanan) tidak membatalkan kewajiban etika (akhlak). Orang tua non-Muslim yang memusuhi agama anaknya sekalipun tetap memiliki hak atas perlakuan baik di dunia ini. Kebaikan ini dilakukan sebagai bentuk pengakuan atas hak mereka sebagai orang tua biologis, serta bentuk ketaatan anak kepada perintah Allah untuk berbuat ihsan.
Ayat ini secara eksplisit membatasi pergaulan baik hanya “di dunia.” Ini menunjukkan adanya pemisahan jelas:
Kewajiban *birr al-walidayn* (berbakti kepada orang tua) adalah kewajiban yang bersifat *duniawi* dan *amali* (praktis), sementara Tauhid adalah kewajiban *ukhrawi* (akhirat) dan *i’tiqadi* (keyakinan). Ayat ini memastikan bahwa seorang Muslim mampu menjaga kedua dimensi ini tanpa saling merusak.
Ketika seseorang merenungkan kedalaman ajaran ini, terlihat bahwa Islam menuntut standar moral yang sangat tinggi. Meskipun orang tua tersebut berusaha menjerumuskan anak ke dalam api neraka (melalui syirik), anak tetap diperintahkan untuk menunjukkan belas kasihan dan pelayanan terbaik. Ini adalah manifestasi sempurna dari keadilan dan kasih sayang Ilahi.
Tidaklah cukup hanya dengan menolak perintah syirik; penolakan tersebut harus dibungkus dengan kesabaran dan kelembutan. Para ulama tafsir menekankan bahwa Sa'ad bin Abi Waqqas menunjukkan kesabaran luar biasa kepada ibunya, tidak menghinanya, tetapi tetap teguh pada imannya, sehingga Allah menurunkan ayat yang membenarkan tindakannya dan memuji kebaikannya secara umum.
Kesinambungan ketaatan dan kebaikan ini haruslah menjadi ciri khas seorang Muslim yang memahami bahwa semua kebaikan yang dilakukan kepada orang tua pada akhirnya adalah bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Bahkan ketika menolak, anak tersebut sedang menaati Allah, dan kebaikan yang ia berikan adalah buah dari imannya.
Bagian berikutnya dari ayat 15 adalah perintah: “dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (وَٱتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَىَّ). Bagian ini merupakan penegasan kembali tentang kemana arah hidup seorang Muslim harus ditujukan.
Kata *anāba* (kembali) berarti kembali dengan penyesalan, tekad, dan taubat yang sungguh-sungguh kepada Allah. Ini merujuk kepada:
Dengan kata lain, setelah memberi izin untuk menolak perintah orang tua yang menyesatkan, Allah memberikan arah yang jelas: pegang teguh komunitas orang-orang yang taat. Ini memberikan anak tersebut dukungan spiritual dan sosial di tengah konflik keluarga. Ayat ini memastikan bahwa anak yang berdiri teguh dalam Tauhid tidak merasa sendirian, karena ia berada di jalan yang telah diikuti oleh para kekasih Allah.
Perintah ini adalah penyeimbang. Jika orang tua menariknya ke jalan kesesatan, anak harus secara aktif mencari dan mengikuti jalan orang-orang yang shalih. Ketaatan kepada orang tua yang bersifat *jahadaaka* (memaksa kepada syirik) dapat menyebabkan isolasi, namun Allah mengarahkan anak kepada komunitas iman sebagai sumber kekuatan dan petunjuk.
Mempertimbangkan konteks historis Sa'ad bin Abi Waqqas, perintah ini sangat relevan. Ketika ibunya menentang dan mengucilkannya, Sa'ad mencari dan mengikuti bimbingan Nabi Muhammad ﷺ dan komunitas Muslim. Ini adalah jalur penyelamatan spiritual.
Mengikuti jalan orang yang kembali kepada Allah berarti mempertahankan kemurnian akidah dan metode ibadah yang benar. Ini adalah penekanan bahwa identitas utama seorang Muslim adalah ketaatannya kepada Allah, bukan kepada garis keturunan, suku, atau bahkan ikatan keluarga terdekat, apabila ikatan tersebut menuntut pengkhianatan terhadap Tauhid.
Jalan yang diikuti oleh *man anāba* adalah jalan yang berlandaskan ilmu dan keyakinan, bukan sekadar tradisi buta atau emosi sesaat. Ini memperkuat bagian ayat sebelumnya yang menyebutkan "...sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu..." (maksudnya, syirik yang tanpa dasar ilmu). Sementara jalan kebenaran (Tauhid) selalu didasarkan pada *ilmu* dan *hujjah* (bukti yang jelas).
Ayat ditutup dengan sebuah peringatan keras sekaligus janji kepastian: “Kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ).
Kalimat penutup ini berfungsi sebagai penutup yang memberikan otoritas mutlak pada seluruh instruksi di atas. Baik orang tua maupun anak akan kembali kepada Allah. Pada hari itu, semua perselisihan, konflik ketaatan, dan usaha di dunia akan diungkapkan dan dinilai dengan seadil-adilnya.
Bagi anak yang teguh dalam imannya namun tetap berbuat baik kepada orang tuanya, kalimat ini adalah janji pembalasan yang adil atas kesulitan yang ia hadapi dalam menyeimbangkan dua hak yang bertabrakan. Ia akan diberi pahala karena telah menaati Allah pada batas tertinggi, sambil tetap memenuhi hak orang tua dalam batasan *ma'ruf*.
Bagi orang tua yang menuntut syirik, kalimat ini adalah peringatan tegas bahwa tindakan memaksa anak keluar dari Tauhid adalah kezaliman besar, dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas kezaliman tersebut. Bahkan, tekanan dari orang tua yang paling dicintai pun tidak dapat membebaskan seseorang dari tanggung jawab pribadinya di hadapan Tuhan.
Pengetahuan tentang *Ilaiyyal Masīr* (hanya kepada-Ku lah tempat kembali) memberikan ketenangan luar biasa. Dalam situasi konflik keluarga yang parah karena perbedaan akidah, anak mungkin merasa bersalah atau dihukum oleh masyarakat. Namun, ayat ini mengalihkan fokus dari penilaian manusia (termasuk orang tua) ke penilaian Ilahi. Yang terpenting bukanlah ridha orang tua jika itu berarti murka Allah, melainkan ridha Allah di atas segalanya.
Penggunaan kata kerja 'فَأُنَبِّئُكُم' (maka Aku beritakan kepadamu) menunjukkan bahwa Allah akan mengungkap dengan detail dan rinci setiap amal perbuatan. Ini termasuk detail kecil tentang bagaimana anak tersebut menolak syirik (apakah dengan hormat atau kasar), dan bagaimana ia tetap menjaga pergaulan *ma'ruf* di dunia.
Keseluruhan ayat 15 mengajarkan bahwa kesetiaan tertinggi adalah kepada Allah. Hubungan kemanusiaan, betapapun sucinya, harus tunduk pada hubungan ketuhanan. Ini adalah inti dari ketaqwaan, memposisikan Allah sebagai prioritas mutlak, sementara hak-hak orang tua tetap dijaga dalam bingkai kemanusiaan yang terbaik.
Meskipun konteks turunnya ayat ini berfokus pada syirik (menyembah berhala), prinsip yang terkandung di dalamnya bersifat abadi dan dapat diterapkan pada tantangan kontemporer yang melibatkan konflik antara ketaatan kepada orang tua dan ketaatan kepada syariat.
Saat ini, orang tua mungkin tidak secara literal meminta anak untuk menyembah berhala, tetapi mereka mungkin memaksa anak untuk:
Dalam setiap kasus di mana perintah orang tua jelas-jelas melanggar batas-batas Allah dan mengarah pada dosa besar (kemaksiatan), kewajiban anak adalah menolak, namun penolakan tersebut harus dibarengi dengan pelayanan dan penghormatan yang maksimal.
Aspek ‘bergaul dengan baik di dunia’ menjadi sangat relevan dalam masyarakat multikultural atau bagi mualaf yang menghadapi penentangan keluarga. Seorang mualaf wajib mempertahankan keimanannya (Tauhid) meskipun orang tuanya mengucilkannya, tetapi ia juga wajib menyediakan kebutuhan orang tuanya, mengunjungi mereka, dan berbicara dengan hormat. Keimanan yang kuat harus menghasilkan akhlak yang paling mulia, bukan kesombongan atau kekasaran.
Kesulitan dalam mengaplikasikan ayat ini sering kali terletak pada garis batas antara 'kewajiban agama' dan 'urusan duniawi'. Para ulama menyarankan, jika perintah orang tua menyangkut hal-hal duniawi yang tidak berdosa (misalnya, pilihan pekerjaan, jurusan kuliah, atau pasangan hidup yang shalih), anak harus berusaha keras untuk mencari titik temu atau menaati, karena ridha orang tua sangat ditekankan dalam sunnah.
Namun, jika perintah tersebut berpotensi merusak agama anak (misalnya, melarang menikah dengan seseorang yang baik agamanya karena alasan suku atau harta), maka anak harus mendahulukan syariat, sambil tetap menjaga hubungan yang baik. Kasus-kasus ini menuntut kebijaksanaan (hikmah) dan konsultasi dengan ulama yang kredibel.
Ayat 15, walaupun memberikan izin penolakan, tidak melepaskan anak dari tanggung jawab mendoakan orang tua. Bahkan orang tua yang menentang keimanan anaknya tetap berhak didoakan agar mendapat hidayah. Doa *Rabbighfirli wa liwalidayya* (Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku) adalah inti dari *birr al-walidayn* yang tidak pernah terputus, meskipun orang tua tersebut belum Muslim.
Dalam tafsir yang lebih luas, ayat ini menggarisbawahi bahwa kesalehan sejati tidak hanya diukur dari ibadah ritual, tetapi juga dari bagaimana seseorang menghadapi ujian etika yang paling sulit—ketika ketaatan kepada Tuhan menuntut pertentangan dengan orang yang paling dicintai. Ayat Luqman 15 adalah masterclass dalam menavigasi etika ilahiah dan etika kemanusiaan.
Meskipun ayat 15 memberikan batasan yang jelas, sangatlah berbahaya jika seorang Muslim menggunakan ayat ini sebagai alasan untuk mengabaikan hak-hak orang tua secara keseluruhan. Ayat ini bukanlah pembenaran untuk durhaka (ughuq) dalam hal-hal yang mubah atau wajib lainnya, melainkan penegasan hierarki ketaatan.
Nabi Muhammad ﷺ sering menempatkan *birr al-walidayn* di urutan kedua setelah shalat, menunjukkan betapa sentralnya peran orang tua dalam sistem nilai Islam. Hal ini didukung oleh ayat 14 Surah Luqman yang menyebutkan pengorbanan ibu yang luar biasa.
Oleh karena itu, ketika anak menolak perintah syirik, ia harus melipatgandakan kebaikannya di area lain. Jika ia mengurangi ketaatan di satu sisi (menolak syirik), ia harus meningkatkan *ihsan* di sisi lain (pelayanan duniawi). Prinsip ini memastikan bahwa penolakan akidah tidak pernah disalahartikan sebagai permusuhan pribadi.
Seorang anak harus selalu berijtihad (berusaha keras) untuk mencari cara yang paling minimal konflik. Misalnya, jika orang tua non-Muslim melarang anak menghadiri shalat berjamaah, anak dapat memilih shalat di rumah (jika tidak ada dharurat), daripada menimbulkan konflik besar yang tidak perlu. Namun, jika orang tua melarang shalat secara total, maka ketaatan kepada Allah harus didahulukan.
Ruang untuk kompromi dan kebijaksanaan harus dimaksimalkan, tetapi batas tauhid tidak boleh digeser sedikitpun. Ini membutuhkan kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi. Anak yang cerdas secara agama akan selalu mencari solusi yang menghormati orang tua tanpa mengorbankan iman.
Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa nilai sebuah ketaatan tidak diukur dari kemudahannya, tetapi dari keteguhan hati di tengah badai ujian. Konflik yang diangkat oleh Luqman Ayat 15 adalah salah satu ujian paling berat yang mungkin dihadapi seorang Muslim, karena melibatkan dua cinta yang paling besar: cinta kepada Tuhan dan cinta kepada orang tua.
Penting untuk diingat bahwa ketaatan kepada orang tua juga mencakup ketaatan kepada prinsip-prinsip yang mereka tanamkan—bukan sekadar perintah lisan mereka saat ini. Jika mereka mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kerajinan, dan tanggung jawab, menaati nilai-nilai itu adalah bagian dari *birr al-walidayn*, bahkan jika mereka kemudian dalam keadaan marah memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Akhir ayat yang mengarahkan pada Hari Pengembalian (Masīr) mengingatkan kita bahwa peran orang tua, pada akhirnya, adalah peran perantara. Mereka adalah sebab adanya kita, tetapi bukan tujuan akhir kita. Tujuan akhir kita adalah Allah. Pemahaman ini membantu menghilangkan beban rasa bersalah yang tidak perlu ketika seorang anak harus mengatakan 'tidak' demi menjaga agamanya. Ketaatan kepada orang tua adalah jalan menuju surga, selama jalan tersebut tidak bertentangan dengan jalan menuju surga itu sendiri—yaitu Tauhid.
Ringkasnya, Surah Luqman ayat 15 adalah pilar fundamental dalam etika Islam yang menyajikan sebuah keseimbangan sempurna: integritas akidah yang tak tergoyahkan dan kewajiban etika kemanusiaan yang universal. Ayat ini mengajarkan bahwa menjadi seorang mukmin yang baik tidak berarti menjadi anak yang durhaka, tetapi sebaliknya, menjadi anak yang paling baik adalah hasil dari menjadi hamba yang taat kepada Tuhannya.
Pergaulan yang baik (*ma'ruf*) yang ditekankan oleh ayat ini merupakan bentuk dakwah bil hal (dakwah melalui perbuatan) yang paling efektif. Ketika orang tua yang menentang melihat anaknya tetap teguh dalam iman, tetapi pada saat yang sama melayani mereka dengan penuh kasih sayang, itu mungkin menjadi penyebab hati mereka dilembutkan dan terbuka pada kebenaran Islam. Kisah-kisah sahabat yang teguh namun lembut dalam menghadapi orang tua mereka adalah bukti konkret dari kekuatan akhlak yang diajarkan dalam ayat ini. Ini adalah kemenangan akhlak di atas emosi, kemenangan Tauhid di atas tekanan duniawi.
Pelajaran dari ayat ini meluas hingga ke hubungan keluarga yang lebih luas, seperti pasangan, saudara, dan kerabat. Jika ada kerabat yang meminta kita melanggar syariat, prinsip yang sama berlaku: penolakan tegas terhadap kemaksiatan, namun tetap menjaga hubungan baik secara umum. Ayat ini mengajarkan seni hidup dalam ketegangan moral tanpa kehilangan keimanan atau kemanusiaan.
Ketaatan kepada orang tua haruslah didasarkan pada cinta dan hormat, bukan rasa takut akan murka mereka yang bisa merusak iman. Ketakutan terbesar seorang Muslim haruslah murka Allah. Dan ketika kedua ketakutan itu bertabrakan, Islam memberikan kejelasan mutlak: utamakan Yang Maha Pencipta, dan perlakukan makhluk-Nya, bahkan yang menentang, dengan kebaikan terbaik.
Kesempurnaan ajaran Islam terletak pada kemampuannya memberikan solusi yang jelas dan manusiawi terhadap dilema moral yang paling sulit. Luqman Ayat 15 berdiri sebagai monumen keindahan syariat yang mengutamakan Tauhid tanpa mengabaikan *silaturahim* dan *ihsan*.
Setiap detail kata dalam ayat ini mengandung hikmah yang mendalam, mulai dari pemilihan kata *jahadaka* yang menggambarkan perjuangan berat, hingga penekanan *fid-dunya* yang membatasi kewajiban ketaatan pada ranah duniawi. Kita diwajibkan untuk merenungkan makna setiap kata tersebut agar kita dapat menerapkannya dengan benar dan meraih ridha Allah melalui bakti yang benar kepada orang tua.
Tugas seorang Muslim adalah senantiasa berada dalam kondisi *inabah* (kembali) kepada Allah, apapun kondisi lingkungan atau tekanan keluarga. Pada akhirnya, kita semua kembali kepada-Nya, dan hanya amal perbuatan yang sesuai dengan perintah-Nya lah yang akan menjadi bekal. Ayat ini adalah pengingat abadi akan tujuan hidup yang hakiki.