Surat Al-Ma'idah, yang berarti "Hidangan", adalah surat kelima dalam Al-Qur'an. Tergolong sebagai surat Madaniyah, yakni surat yang diturunkan setelah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah, surat ini terdiri dari 120 ayat. Namanya merujuk pada kisah para pengikut Nabi Isa AS yang meminta diturunkannya hidangan dari langit sebagai bukti kebesaran Allah. Surat ini kaya akan pembahasan hukum (syariat), perjanjian, kisah umat terdahulu, serta pedoman dalam berinteraksi sosial. Al-Ma'idah secara komprehensif mengatur berbagai aspek kehidupan seorang Muslim, mulai dari makanan yang halal, tata cara bersuci, hingga prinsip-prinsip keadilan dan hubungan antarumat beragama. Mempelajari surat ini membuka wawasan tentang kesempurnaan ajaran Islam yang mengatur tidak hanya hubungan vertikal dengan Sang Pencipta, tetapi juga hubungan horizontal antar sesama manusia.
Ilustrasi hidangan yang diturunkan dari langit sesuai nama surat Al-Ma'idah.
Teks Latin, Terjemahan, dan Tafsir Surat Al-Ma'idah
Ayat 1
Yā ayyuhallażīna āmanū aufū bil-'uqūd, uḥillat lakum bahīmatul-an'āmi illā mā yutlā 'alaikum gaira muḥilliṣ-ṣaidi wa antum ḥurum, innallāha yaḥkumu mā yurīd.
"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki."
Ayat pembuka ini menyeru seluruh orang beriman dengan panggilan mesra, "Yā ayyuhallażīna āmanū," yang menunjukkan pentingnya pesan yang akan disampaikan. Perintah utamanya adalah untuk memenuhi 'uqūd' atau akad (perjanjian). Kata ini mencakup segala bentuk perjanjian: perjanjian vertikal antara hamba dengan Allah (seperti syahadat dan kewajiban ibadah), dan perjanjian horizontal antar sesama manusia (seperti kontrak jual beli, pernikahan, kesepakatan sosial, dan perjanjian internasional). Pemenuhan janji adalah pilar utama dalam membangun kepercayaan dan stabilitas dalam masyarakat. Selanjutnya, ayat ini menjelaskan salah satu hukum Allah, yaitu kehalalan hewan ternak (unta, sapi, kambing) sebagai karunia-Nya, dengan beberapa pengecualian yang akan dirinci pada ayat-ayat berikutnya. Ditekankan pula larangan berburu saat dalam keadaan ihram, sebagai bentuk penghormatan terhadap kesucian ibadah haji dan umrah. Ayat ini ditutup dengan penegasan bahwa Allah Maha Berkuasa menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya yang penuh hikmah dan keadilan.
Ayat 2
Yā ayyuhallażīna āmanū lā tuḥillū sya'ā'irallāhi wa lasy-syahral-ḥarāma wa lal-hadya wa lal-qalā'ida wa lā āmmīnal-baital-ḥarāma yabtagūna faḍlam mir rabbihim wa riḍwānā, wa iżā ḥalaltum faṣṭādū, wa lā yajrimannakum syana'ānu qaumin an ṣaddūkum 'anil-masjidil-ḥarāmi an ta'tadū, wa ta'āwanū 'alal-birri wat-taqwā wa lā ta'āwanū 'alal-iṡmi wal-'udwān, wattaqullāh, innallāha syadīdul-'iqāb.
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala'id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya."
Ayat ini melanjutkan seruan kepada orang beriman untuk menjaga kehormatan syiar-syiar Allah. Syiar ini mencakup segala sesuatu yang melambangkan ketaatan kepada Allah, seperti manasik haji, bulan-bulan haram (Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, Rajab) yang di dalamnya dilarang berperang, serta hewan kurban yang dipersembahkan. Larangan mengganggu peziarah Baitullah menunjukkan universalitas Islam dalam menjamin keamanan bagi siapa saja yang berniat baik menuju rumah-Nya. Setelah selesai ihram, larangan berburu dicabut. Bagian terpenting dari ayat ini adalah prinsip keadilan yang agung: kebencian atau permusuhan terhadap suatu kaum, bahkan jika mereka pernah berbuat zalim, tidak boleh menjadi alasan untuk berlaku tidak adil. Ayat ini kemudian meletakkan fondasi etika sosial dalam Islam: "Tolong-menolonglah dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan." Ini adalah prinsip kerja sama universal yang membangun masyarakat yang sehat, produktif, dan bermoral, di atas landasan ketakwaan kepada Allah yang siksa-Nya amat pedih bagi para pelanggar.
Ayat 3
Ḥurrimat 'alaikumul-maitatu wad-damu wa laḥmul-khinzīri wa mā uhilla ligairillāhi bihī wal-munkhaniqatu wal-mauqūżatu wal-mutaraddiyatu wan-naṭīḥatu wa mā akalas-sabu'u illā mā żakkaitum, wa mā żubiḥa 'alan-nuṣubi wa an tastaqsimū bil-azlām, żālikum fisq, al-yauma ya'isallażīna kafarū min dīnikum fa lā takhsyauhum wakhsyaun, al-yauma akmaltu lakum dīnakum wa atmamtu 'alaikum ni'matī wa raḍītu lakumul-islāma dīnā, fa maniḍṭurra fī makhmaṣatin gaira mutajānifil li'iṡmin fa innallāha gafūrur raḥīm.
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah). (Semua) itu adalah suatu kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Ini adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an. Bagian awalnya merinci makanan yang diharamkan. Ini bukan sekadar larangan, tetapi juga bentuk penjagaan Allah terhadap kesehatan fisik dan spiritual manusia. Bangkai, darah, dan daging babi diharamkan karena mengandung mudarat. Hewan yang mati tidak wajar (tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, diterkam) juga haram karena darahnya tidak keluar sempurna dan dagingnya tidak sehat, kecuali jika sempat disembelih sesuai syariat sebelum mati. Diharamkan pula hewan yang disembelih untuk selain Allah dan praktik mengundi nasib, karena keduanya merupakan bentuk kemusyrikan. Di tengah-tengah penjelasan hukum ini, terdapat proklamasi agung yang diyakini turun saat Haji Wada': "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu." Kalimat ini menegaskan bahwa syariat Islam telah paripurna, mencakup semua aspek kehidupan hingga akhir zaman. Nikmat terbesar Allah adalah Islam itu sendiri. Ayat ini ditutup dengan prinsip darurat (rukhsah): dalam kondisi kelaparan yang mengancam jiwa, seseorang boleh memakan yang haram secukupnya untuk bertahan hidup, menunjukkan sifat welas asih Allah (Ghafurur Rahim) yang tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuan.
Ayat 4
Yas'alūnaka māżā uḥilla lahum, qul uḥilla lakumuṭ-ṭayyibātu wa mā 'allamtum minal-jawāriḥi mukallibīna tu'allimūnahunna mimmā 'allamakumullāh, fa kulū mimmā amsakna 'alaikum ważkurusmallāhi 'alaih, wattaqullāh, innallāha sarī'ul-ḥisāb.
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), 'Apakah yang dihalalkan bagi mereka?' Katakanlah, 'Yang dihalalkan bagimu adalah (makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.'"
Setelah merinci yang haram, ayat ini menjawab pertanyaan para sahabat tentang apa saja yang dihalalkan. Jawabannya bersifat umum dan universal: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik (at-thayyibat)." Prinsip ini mencakup semua makanan yang tidak kotor, tidak menjijikkan, dan tidak membahayakan, baik dari segi zat maupun cara memperolehnya. Islam mendorong umatnya untuk mengonsumsi makanan yang berkualitas dan bermanfaat. Ayat ini juga memberikan hukum spesifik tentang berburu menggunakan hewan terlatih, seperti anjing atau burung elang. Hasil buruan dari hewan tersebut halal dimakan dengan dua syarat utama: pertama, hewan pemburu itu telah dilatih untuk menangkap mangsa bagi tuannya, bukan untuk dirinya sendiri. Kedua, saat melepaskan hewan pemburu, nama Allah harus disebut (membaca Basmalah). Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam aktivitas seperti berburu, kesadaran akan Allah harus selalu hadir. Ayat diakhiri dengan pengingat untuk bertakwa, karena Allah Maha Cepat dalam membuat perhitungan atas segala amal perbuatan.
Ayat 5
Al-yauma uḥilla lakumuṭ-ṭayyibāt, wa ṭa'āmullażīna ūtul-kitāba ḥillul lakum wa ṭa'āmukum ḥillul lahum, wal-muḥṣanātu minal-mu'mināti wal-muḥṣanātu minallażīna ūtul-kitāba min qablikum iżā ātaitumūhunna ujūrahunna muḥṣinīna gaira musāfiḥīna wa lā muttakhiżī akhdān, wa may yakfur bil-īmāni fa qad ḥabiṭa 'amaluhū wa huwa fil-ākhirati minal-khāsirīn.
"Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar mahar mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi."
Ayat ini memperluas cakupan hal-hal yang dihalalkan, menunjukkan keterbukaan syariat Islam dalam interaksi sosial. Pertama, ditegaskan kembali kehalalan makanan yang baik-baik (at-thayyibat). Kedua, secara spesifik dinyatakan bahwa makanan (sembelihan) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah halal bagi Muslim, dan sebaliknya. Ini menjadi dasar hukum interaksi kuliner antarumat beragama samawi, selama sembelihan mereka tidak dipersembahkan untuk selain Allah. Ketiga, ayat ini mengatur pernikahan. Selain menikahi wanita Muslimah yang menjaga kehormatan ('muhshanat'), seorang pria Muslim juga diperbolehkan menikahi wanita 'muhshanat' dari kalangan Ahli Kitab. Syaratnya adalah pernikahan itu harus dilakukan secara terhormat dengan memberikan mahar, bukan untuk tujuan zina atau sekadar hubungan tanpa ikatan. Ini adalah sebuah konsesi yang menunjukkan adanya titik temu dalam akar keimanan, namun tetap diiringi peringatan keras di akhir ayat: "Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sia-sia amalnya." Ini menegaskan bahwa landasan utama yang harus dijaga adalah keimanan kepada Allah dan ajaran-Nya secara utuh.
Ayat 6
Yā ayyuhallażīna āmanū iżā qumtum ilaṣ-ṣalāti fagsilū wujūhakum wa aidiyakum ilal-marāfiqi wamsaḥū biru'ūsikum wa arjulakum ilal-ka'bain, wa in kuntum junuban faṭṭahharū, wa in kuntum marḍā au 'alā safarin au jā'a aḥadum minkum minal-gā'iṭi au lāmastumun-nisā'a fa lam tajidū mā'an fa tayammamū ṣa'īdan ṭayyiban famsaḥū biwujūhikum wa aidīkum min-h, mā yurīdullāhu liyaj'ala 'alaikum min ḥarajin wa lākiy yurīdu liyuṭahhirakum wa liyutimma ni'matahū 'alaikum la'allakum tasykurūn.
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); sapulah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur."
Ayat ini adalah landasan utama bagi hukum bersuci (thaharah) dalam Islam, yang merupakan syarat sahnya salat. Secara rinci, ayat ini menjelaskan tata cara wudu: membasuh wajah, kedua tangan hingga siku, mengusap sebagian kepala, dan membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Wudu bukan hanya pembersihan fisik, tetapi juga persiapan spiritual untuk menghadap Allah. Selanjutnya, ayat ini memerintahkan mandi wajib (ghusl) bagi orang yang dalam keadaan junub untuk menghilangkan hadas besar. Kemudian, Allah menunjukkan kemudahan dalam syariat-Nya melalui tayamum. Jika tidak ada air, atau ada halangan untuk menggunakan air (seperti sakit), seorang Muslim dapat bersuci menggunakan debu yang suci. Cukup dengan mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan. Filosofi di balik syariat ini dijelaskan di akhir ayat: "Allah tidak hendak menyulitkan kamu." Tujuan utama dari thaharah adalah untuk membersihkan diri secara lahir dan batin, menyempurnakan nikmat iman dan kesehatan, serta mendorong hamba-Nya untuk senantiasa bersyukur atas segala kemudahan yang diberikan.
Ayat 7
Ważkurū ni'matallāhi 'alaikum wa mīṡāqahullażī wāṡaqakum bihī iż qultum sami'nā wa aṭa'nā, wattaqullāh, innallāha 'alīmum biżātiṣ-ṣudūr.
"Dan ingatlah akan karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikatkan-Nya kepadamu, ketika kamu mengatakan, 'Kami mendengar dan kami menaati.' Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati."
Setelah menjelaskan beberapa nikmat berupa syariat yang mudah, ayat ini mengajak orang beriman untuk merenung dan mengingat. Pertama, mengingat nikmat Allah secara umum, baik nikmat iman, Islam, kesehatan, maupun rezeki. Kedua, secara khusus mengingat perjanjian (mitsaq) yang telah diikrarkan, yaitu baiat atau janji setia kepada Nabi Muhammad SAW yang di dalamnya terkandung pernyataan, "Kami mendengar dan kami menaati (sami'na wa atha'na)." Ikrar ini merupakan esensi dari keislaman seseorang: tunduk dan patuh pada perintah Allah dan Rasul-Nya tanpa keraguan. Mengingat janji ini akan memperbarui komitmen dan memperkuat keteguhan iman. Ayat ini ditutup dengan perintah takwa dan pengingat bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dalam dada. Ini menegaskan bahwa ketaatan dan pemenuhan janji harus lahir dari ketulusan hati, bukan sekadar formalitas, karena Allah menilai niat yang ada di balik setiap perbuatan.
Ayat 8
Yā ayyuhallażīna āmanū kūnū qawwāmīna lillāhi syuhadā'a bil-qisṭi wa lā yajrimannakum syana'ānu qaumin 'alā allā ta'dilū, i'dilū, huwa aqrabu lit-taqwā, wattaqullāh, innallāha khabīrum bimā ta'malūn.
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."
Ini adalah salah satu ayat paling kuat tentang keadilan dalam Al-Qur'an. Seruan ini ditujukan kepada orang beriman untuk menjadi 'qawwamin lillah', yaitu orang-orang yang konsisten dan kokoh dalam menegakkan kebenaran semata-mata karena Allah, bukan karena kepentingan pribadi atau golongan. Keadilan harus ditegakkan melalui kesaksian yang jujur ('syuhada'a bil qisth'). Kemudian, ayat ini mengulangi dan memperkuat prinsip yang ada di ayat 2: kebencian tidak boleh menjadi penghalang untuk berbuat adil. Bahkan terhadap musuh sekalipun, keadilan harus tetap menjadi standar utama. Perintah "I'dilu!" (Berlakulah adil!) ditegaskan secara lugas, karena keadilan adalah manifestasi terdekat dari ketakwaan. Orang yang bertakwa akan mampu mengesampingkan emosi pribadinya demi menjunjung tinggi kebenaran. Allah menutup ayat ini dengan mengingatkan bahwa Dia Maha Teliti ('Khabir') terhadap semua perbuatan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, memotivasi kita untuk selalu berlaku adil dalam setiap situasi.
Ayat 9
Wa'adallāhullażīna āmanū wa 'amiluṣ-ṣāliḥāti lahum magfiratuw wa ajrun 'aẓīm.
"Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, (bahwa) mereka akan mendapat ampunan dan pahala yang besar."
Setelah memberikan serangkaian perintah yang menuntut komitmen, kesabaran, dan keadilan, Allah memberikan kabar gembira sebagai motivasi. Ayat ini berisi janji Allah yang pasti bagi mereka yang memenuhi dua kriteria utama: beriman ('amanu') dan beramal saleh ('amilus shalihat'). Iman adalah keyakinan yang tertanam di dalam hati, sedangkan amal saleh adalah perwujudan dari iman tersebut dalam bentuk perbuatan yang baik dan bermanfaat. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Bagi mereka, Allah menjanjikan dua hal: pertama, 'maghfirah' atau ampunan atas segala dosa dan kesalahan masa lalu. Kedua, 'ajrun 'azhim' atau pahala yang agung, yaitu surga dengan segala kenikmatannya. Janji ini memberikan harapan dan kekuatan bagi orang beriman untuk terus istiqamah di jalan kebenaran, meskipun menghadapi berbagai tantangan.
Ayat 10
Wallażīna kafarū wa każżabū bi'āyātinā ulā'ika aṣ-ḥābul-jaḥīm.
"Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka Jahim."
Sebagai penyeimbang dari janji pada ayat sebelumnya, ayat ini menjelaskan konsekuensi bagi mereka yang memilih jalan sebaliknya. Kelompok ini adalah orang-orang yang kafir (menolak kebenaran) dan mendustakan ayat-ayat Allah. Mendustakan ayat-ayat Allah bisa berarti menolak Al-Qur'an secara terang-terangan atau mengingkari tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta. Balasan bagi mereka adalah menjadi 'ashabul jahim' atau penghuni neraka Jahim. Neraka Jahim digambarkan sebagai api yang menyala-nyala dengan dahsyat. Penyebutan ini berfungsi sebagai peringatan yang keras agar manusia tidak meremehkan kebenaran dan tidak terjerumus dalam kekafiran dan pendustaan terhadap wahyu ilahi.
Ayat 11
Yā ayyuhallażīna āmanūżkurū ni'matallāhi 'alaikum iż hamma qaumun ay yabsuṭū ilaikum aidiyahum fa kaffa aidiyahum 'ankum, wattaqullāh, wa 'alallāhi falyatawakkalil-mu'minūn.
"Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, ketika suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), lalu Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah-lah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal."
Ayat ini kembali mengingatkan orang-orang beriman akan salah satu bentuk nikmat Allah yang spesifik, yaitu perlindungan dari marabahaya. Allah meminta mereka untuk mengingat sebuah peristiwa di mana musuh telah merencanakan dan hampir melancarkan serangan untuk mencelakai mereka, namun Allah dengan kuasa-Nya menggagalkan rencana tersebut dan menahan tangan musuh. Peristiwa ini bisa merujuk pada beberapa kejadian di masa Nabi, seperti upaya pembunuhan atau agresi militer yang gagal. Mengingat pertolongan semacam ini akan memperkuat keyakinan bahwa Allah adalah pelindung sejati. Oleh karena itu, ayat ini diakhiri dengan dua perintah yang saling berkaitan: pertama, "Wattaqullah" (bertakwalah kepada Allah) dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya sebagai wujud syukur. Kedua, "wa 'alallahi falyatawakkalil mu'minun" (dan hanya kepada Allah-lah orang mukmin harus bertawakal), yaitu menyerahkan segala urusan dan hasilnya kepada Allah setelah berusaha maksimal. Ini adalah formula kesuksesan seorang mukmin: takwa dan tawakal.
Ayat 12
Wa laqad akhażallāhu mīṡāqa banī isrā'īl, wa ba'aṡnā minhumuṡnai 'asyara naqībā, wa qālallāhu innī ma'akum, la'in aqamtumuṣ-ṣalāta wa ātaitumuz-zakāta wa āmantum birusulī wa 'azzartumūhum wa aqraḍtumullāha qarḍan ḥasanal la'ukaffiranna 'ankum sayyi'ātikum wa la'udkhilannakum jannātin tajrī min taḥtihal-an-hār, fa man kafara ba'da żālika minkum fa qad ḍalla sawā'as-sabīl.
"Dan sungguh, Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman, 'Aku bersamamu.' Sungguh, jika kamu mendirikan salat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, pasti akan Aku hapus kesalahan-kesalahanmu, dan pasti akan Aku masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Tetapi barangsiapa kafir di antaramu setelah itu, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.'"
Setelah berbicara tentang perjanjian kaum Muslimin, Al-Qur'an kini beralih kepada kisah perjanjian umat terdahulu, Bani Israil, sebagai pelajaran. Allah mengingatkan bahwa Dia pernah mengambil janji yang serupa dari mereka. Untuk membimbing mereka, diangkatlah 12 pemimpin (naqib) dari 12 suku Bani Israil. Allah menjanjikan penyertaan-Nya ("Aku bersamamu") dengan syarat mereka memenuhi lima hal: mendirikan salat, menunaikan zakat, beriman kepada seluruh rasul, menolong para rasul tersebut, dan memberikan "pinjaman yang baik" kepada Allah (berinfak di jalan-Nya). Imbalannya sangat besar: penghapusan dosa dan surga. Namun, ayat ini juga mengandung peringatan keras: siapa pun yang mengingkari perjanjian ini setelah mengetahuinya, maka ia telah memilih jalan kesesatan. Kisah ini menjadi cermin bagi umat Islam agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, yaitu melanggar janji setia kepada Allah.
Ayat 13
Fa bimā naqḍihim mīṡāqahum la'annāhum wa ja'alnā qulūbahum qāsiyah, yuḥarrifūnal-kalima 'am mawāḍi'ihī wa nasū ḥaẓẓam mimmā żukkirū bih, wa lā tazālu taṭṭali'u 'alā khā'inatim minhum illā qalīlam min-hum, fa'fu 'anhum waṣfaḥ, innallāha yuḥibbul-muḥsinīn.
"Maka karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka, kecuali sebagian kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik."
Ayat ini menjelaskan konsekuensi dari pelanggaran janji yang dilakukan oleh Bani Israil. Ada tiga hukuman utama yang menimpa mereka. Pertama, mereka dilaknat oleh Allah, artinya dijauhkan dari rahmat-Nya. Kedua, hati mereka dijadikan keras membatu ('qasiyah'), sehingga sulit menerima kebenaran dan nasihat. Hati yang keras adalah sumber dari segala keburukan. Ketiga, akibat dari hati yang keras, mereka mulai melakukan 'tahrif' atau mengubah dan menyelewengkan makna kitab suci mereka. Mereka juga dengan sengaja melupakan sebagian ajaran penting yang telah disampaikan kepada mereka. Akibatnya, perilaku khianat menjadi karakter mayoritas dari mereka. Meskipun demikian, Al-Qur'an memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk bersikap pemaaf ('fa'fu 'anhum washfah') terhadap mereka, karena Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan (kebaikan), yaitu mereka yang membalas keburukan dengan kebaikan.
Ayat 14
Wa minallażīna qālū innā naṣārā akhażnā mīṡāqahum fa nasū ḥaẓẓam mimmā żukkirū bihī fa agrainā bainahumul-'adāwata wal-bagḍā'a ilā yaumil-qiyāmah, wa saufa yunabbi'uhumullāhu bimā kānū yaṣna'ūn.
"Dan di antara orang-orang yang mengatakan, 'Sesungguhnya kami ini orang Nasrani,' Kami telah mengambil perjanjian mereka, tetapi mereka (juga) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka, maka Kami timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari Kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan."
Setelah Bani Israil, kini giliran kaum Nasrani yang disebutkan. Allah menyatakan bahwa Dia juga telah mengambil perjanjian dari mereka yang mengaku sebagai pengikut Nabi Isa AS. Namun, sama seperti Bani Israil, mereka pun melupakan sebagian besar dari ajaran asli yang dibawa oleh nabi mereka. Mereka meninggalkan esensi tauhid dan ajaran-ajaran penting lainnya. Akibat dari kelalaian dan penyimpangan ini, Allah menimpakan hukuman di dunia berupa perpecahan internal. Timbullah di antara mereka permusuhan ('adawah') dan kebencian ('baghdha') yang mendalam, yang termanifestasi dalam berbagai sekte dan aliran yang saling bertentangan dan bahkan berperang. Perpecahan ini, menurut ayat ini, akan terus berlanjut hingga hari Kiamat. Adapun balasan yang sesungguhnya atas apa yang mereka perbuat, Allah akan memberitahukannya kelak di akhirat, di mana setiap perbuatan akan diadili secara adil.
Ayat 15
Yā ahlal-kitābi qad jā'akum rasūlunā yubayyinu lakum kaṡīram mimmā kuntum tukhfūna minal-kitābi wa ya'fū 'an kaṡīr, qad jā'akum minallāhi nūruw wa kitābum mubīn.
"Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan kepadamu banyak hal dari (isi) kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula) yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menjelaskan."
Ayat ini merupakan seruan langsung kepada Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Allah mengabarkan kedatangan Rasul terakhir, Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa kebenaran. Salah satu fungsi utama beliau adalah 'yubayyinu lakum', yaitu menjelaskan kembali ajaran-ajaran yang telah mereka sembunyikan atau selewengkan dari kitab suci mereka, seperti kabar tentang kedatangan nabi terakhir dan hukum-hukum yang telah mereka ubah. Namun, Rasulullah juga 'ya'fu 'an katsir', yaitu membiarkan atau tidak mempersoalkan banyak hal lain yang tidak lagi relevan atau yang Allah tidak kehendaki untuk diungkap. Kemudian, Allah menggambarkan kedatangan Nabi Muhammad dan Al-Qur'an sebagai 'nur' (cahaya) dan 'kitabun mubin' (kitab yang jelas). Cahaya ini berfungsi untuk menerangi kegelapan kejahilan dan kesesatan, sedangkan Al-Qur'an adalah kitab yang gamblang, mudah dipahami, dan menjadi petunjuk yang terang bagi seluruh umat manusia.
Ayat 116
Wa iż qālallāhu yā 'īsābna maryama a anta qulta lin-nāsittakhiżūnī wa ummiya ilāhainī min dūnillāh, qāla subḥānaka mā yakūnu lī an aqūla mā laisa lī biḥaqq, in kuntu qultuhū fa qad 'alimtah, ta'lamu mā fī nafsī wa lā a'lamu mā fī nafsik, innaka anta 'allāmul-guyūb.
"Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, 'Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, 'Jadikanlah aku dan ibuku dua tuhan selain Allah'?' (Isa) menjawab, 'Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.'"
Ayat ini menggambarkan sebuah dialog dramatis yang akan terjadi pada Hari Kiamat antara Allah dan Nabi Isa AS. Allah bertanya kepada Nabi Isa, bukan karena tidak tahu, tetapi untuk menunjukkan kesesatan kaumnya di hadapan seluruh makhluk. Pertanyaan itu adalah tentang apakah benar ia pernah menyuruh manusia untuk menyembahnya dan ibunya, Maryam, sebagai tuhan. Jawaban Nabi Isa menunjukkan adab yang luar biasa tinggi kepada Allah. Ia memulai dengan tasbih, "Subhanaka" (Mahasuci Engkau), menyucikan Allah dari segala bentuk kesyirikan. Ia kemudian menafikan dengan tegas pernah mengatakan hal tersebut, karena itu bukanlah haknya. Ia menyerahkan sepenuhnya pengetahuan kepada Allah, dengan mengakui, "Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu." Ini adalah bentuk pengakuan total atas kemahatahuan Allah dan keterbatasan dirinya sebagai hamba. Jawaban ini sekaligus merupakan sanggahan telak terhadap ajaran trinitas dan pendewaan Maryam.
Ayat 117
Mā qultu lahum illā mā amartanī bihī ani'budullāha rabbī wa rabbakum, wa kuntu 'alaihim syahīdam mā dumtu fīhim, fa lammā tawaffaitanī kunta antar-raqība 'alaihim, wa anta 'alā kulli syai'in syahīd.
"Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk mengatakan)nya, yaitu, 'Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu,' dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah Engkau mewafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau Maha Menyaksikan atas segala sesuatu."
Nabi Isa melanjutkan pembelaannya. Ia menegaskan bahwa pesan yang ia sampaikan kepada kaumnya hanyalah esensi dari ajaran semua nabi: tauhid murni. "Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu." Tidak ada pesan lain. Ia menyatakan bahwa selama hidup di antara mereka, ia menjadi saksi atas perbuatan mereka dan selalu mengarahkan mereka kepada jalan yang lurus. Namun, ia melepaskan tanggung jawab atas apa yang terjadi setelah ia diwafatkan (diangkat ke langit). Sejak saat itu, hanya Allah-lah 'Ar-Raqib', Sang Maha Pengawas, yang mengetahui segala perubahan dan penyimpangan yang mereka lakukan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa penyimpangan akidah dalam ajaran Nasrani terjadi setelah Nabi Isa tidak lagi bersama mereka. Di akhir, ia kembali menegaskan sifat kemahatahuan Allah sebagai 'Syahid', Saksi atas segala sesuatu, yang tidak ada satu pun yang luput dari pengawasan-Nya.
Ayat 118
In tu'ażżib-hum fa innahum 'ibāduk, wa in tagfir lahum fa innaka antal-'azīzul-ḥakīm.
"Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana."
Ini adalah puncak dari adab dan kepasrahan Nabi Isa kepada Allah. Ia tidak meminta azab bagi kaumnya yang sesat, juga tidak secara langsung memintakan ampunan bagi mereka. Ia menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Allah. "Jika Engkau menyiksa mereka, maka mereka adalah hamba-Mu," artinya Allah berhak penuh atas ciptaan-Nya dan siksaan itu pastilah adil. "Dan jika Engkau mengampuni mereka, maka Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana," artinya ampunan itu datang dari kekuatan dan kekuasaan-Mu, bukan karena kelemahan, dan pengampunan itu didasari oleh kebijaksanaan-Mu yang tak terbatas. Kalimat ini menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang sifat-sifat Allah ('Al-Aziz' dan 'Al-Hakim') dan merupakan bentuk penyerahan diri yang total, melepaskan segala urusan kepada Sang Pemilik Mutlak.
Ayat 119
Qālallāhu hāżā yaumu yanfa'uṣ-ṣādiqīna ṣidquhum, lahum jannātun tajrī min taḥtihal-an-hāru khālidīna fīhā abadā, raḍiyallāhu 'anhum wa raḍū 'an-h, żālikal-fauzul-'aẓīm.
"Allah berfirman, 'Inilah hari ketika kebenaran orang-orang yang benar bermanfaat bagi mereka. Bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.'"
Setelah dialog dengan Nabi Isa, Allah memberikan firman penutup yang menjadi kesimpulan. Hari Kiamat adalah hari di mana 'shidq' (kebenaran, kejujuran, ketulusan) menjadi satu-satunya mata uang yang berlaku. Kejujuran iman dan amal para 'shadiqin' (orang-orang yang benar) akan memberikan manfaat yang nyata bagi mereka. Balasannya adalah surga yang penuh kenikmatan, tempat mereka tinggal kekal abadi. Puncak dari kebahagiaan di surga bukanlah kenikmatan fisiknya, melainkan ridha Allah. "Allah rida kepada mereka," ini adalah penghargaan tertinggi. Dan sebagai balasannya, "mereka pun rida kepada-Nya," merasakan kepuasan dan kebahagiaan sempurna atas segala ketetapan dan karunia-Nya. Inilah yang disebut sebagai 'al-fauzul 'azhim' atau kemenangan yang agung, kesuksesan yang hakiki dan abadi.
Ayat 120
Lillāhi mulkus-samāwāti wal-arḍi wa mā fīhinn, wa huwa 'alā kulli syai'in qadīr.
"Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu."
Surat Al-Ma'idah ditutup dengan ayat yang menggetarkan, sebuah penegasan absolut atas kekuasaan dan kepemilikan Allah SWT. Setelah seluruh pembahasan tentang hukum, janji, kisah, dan pengadilan di hari akhir, ayat ini menjadi konklusi yang merangkum segalanya. "Lillahi mulkus samawati wal ardh," hanya milik Allah-lah kerajaan, kekuasaan, dan kepemilikan mutlak atas langit, bumi, dan segala isinya. Manusia, nabi, atau siapa pun tidak memiliki andil sedikit pun dalam kekuasaan ini. Semua adalah ciptaan dan milik-Nya. Kalimat penutup, "wa huwa 'ala kulli syai'in qadir" (dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu), menegaskan kemampuan Allah yang tak terbatas untuk menciptakan, mengatur, menghakimi, memberi pahala, dan menyiksa. Ayat ini mengembalikan kesadaran manusia pada posisi aslinya sebagai hamba yang tunduk di hadapan keagungan Tuhan Yang Maha Esa, Raja dari segala raja.
Pesan Universal dan Pelajaran Penting dari Surat Al-Ma'idah
Membaca dan merenungi Surat Al-Ma'idah secara keseluruhan memberikan kita beberapa pelajaran dan pesan universal yang sangat relevan sepanjang masa. Surat ini bukan sekadar kumpulan hukum dan cerita, melainkan sebuah panduan hidup yang komprehensif.
Pertama, pentingnya menepati janji dan kontrak ('Uqud). Surat ini dibuka dengan perintah untuk memenuhi segala bentuk perjanjian. Ini adalah fondasi dari sebuah peradaban yang adil dan terpercaya. Baik itu janji kepada Allah maupun janji kepada sesama manusia, Islam menempatkannya pada posisi yang sangat tinggi. Masyarakat yang anggotanya saling menepati janji adalah masyarakat yang kokoh dan stabil.
Kedua, prinsip keadilan absolut. Penegasan bahwa kebencian terhadap suatu kaum tidak boleh membuat kita berlaku tidak adil adalah puncak dari ajaran etika. Keadilan dalam Islam bersifat universal, tidak dibatasi oleh sentimen pribadi, suku, ras, atau bahkan agama. Keadilan harus ditegakkan bahkan kepada musuh sekalipun, karena keadilan itu sendiri adalah jalan terdekat menuju ketakwaan.
Ketiga, kesempurnaan dan kemudahan syariat. Melalui ayat tentang kesempurnaan agama dan ayat tentang thaharah (wudu, mandi, dan tayamum), Al-Ma'idah menunjukkan dua sisi syariat Islam: kesempurnaan cakupannya dan kemudahan dalam pelaksanaannya. Allah tidak pernah menghendaki kesulitan bagi hamba-Nya. Selalu ada jalan keluar dan keringanan (rukhsah) dalam setiap kondisi, yang menunjukkan betapa besar rahmat dan kasih sayang-Nya.
Keempat, pelajaran dari umat terdahulu. Kisah Bani Israil dan Nasrani yang melanggar janji dan menyelewengkan ajaran menjadi cermin bagi umat Islam. Tujuannya bukan untuk mencela, melainkan untuk mengambil ibrah (pelajaran) agar tidak jatuh ke dalam lubang kesalahan yang sama. Umat Islam diperingatkan agar senantiasa menjaga kemurnian ajaran, tidak mengubah-ubah hukum Allah, dan tidak melupakan esensi dari pesan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Surat Al-Ma'idah adalah lautan ilmu yang tak akan kering. Di dalamnya terkandung pedoman ibadah, muamalah, hukum pidana, etika sosial, hingga akidah yang lurus. Memahaminya secara mendalam akan menuntun kita menjadi pribadi yang lebih baik, masyarakat yang lebih adil, dan hamba yang lebih dekat kepada Rabb-nya.