Membedah Makna Tawasul Lengkap dan Mendalam

Ilustrasi Tawasul Ilustrasi tangan menengadah ke atas dengan cahaya sebagai simbol tawasul dan doa kepada Tuhan.

Dalam perjalanan spiritual seorang hamba, terdapat berbagai cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Salah satu konsep yang sering dibahas dan dipraktikkan oleh sebagian besar umat Islam, khususnya di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, adalah tawasul. Tawasul seringkali diartikan sebagai upaya mencari perantara atau wasilah untuk menjadikan doa lebih mustajab. Namun, pemahaman yang mendalam mengenai konsep ini sangatlah penting agar tidak terjerumus ke dalam praktik yang keliru. Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan menyediakan panduan tawasul lengkap, mulai dari definisi, landasan dalil, jenis-jenis, hingga tata cara pengamalannya yang benar.

Memahami tawasul secara komprehensif berarti memahami esensi dari sebuah doa itu sendiri. Doa adalah inti dari ibadah, sebuah jembatan komunikasi langsung antara hamba dengan Tuhannya. Tawasul, dalam konteks ini, bukanlah jembatan baru, melainkan sebuah upaya untuk memperkuat fondasi jembatan tersebut dengan menggunakan sarana-sarana yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT, sehingga doa yang dipanjatkan memiliki bobot spiritual yang lebih besar.

1. Memahami Hakikat Tawasul: Definisi dan Konsep Dasar

Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam dalil dan praktiknya, sangat krusial untuk memahami definisi tawasul baik dari segi bahasa (etimologi) maupun istilah (terminologi) dalam syariat Islam.

Definisi Secara Bahasa (Etimologi)

Kata "tawasul" (التوسل) berasal dari bahasa Arab, dari akar kata wasala-yasilu-wasilah (وسل - يصل - وسيلة). Kata Al-Wasilah (الوسيلة) memiliki beberapa makna, di antaranya adalah: segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu yang lain, kedudukan di sisi raja, derajat, atau pangkat. Secara sederhana, wasilah adalah perantara atau sarana.

Dalam kitab kamus Lisan al-'Arab karya Ibnu Manzhur, dijelaskan bahwa wasilah adalah perantara untuk mendekatkan diri kepada sesuatu. Tawasul berarti mengambil atau menggunakan wasilah tersebut. Jadi, secara bahasa, tawasul adalah sebuah tindakan aktif menggunakan sebuah sarana untuk mencapai tujuan tertentu.

Definisi Secara Istilah (Terminologi Syar'i)

Dalam konteks syariat Islam, tawasul adalah upaya seorang hamba untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT dengan menggunakan suatu sarana (wasilah) yang memiliki kedudukan mulia di sisi-Nya. Penting untuk digarisbawahi, tujuan utama dan satu-satunya dari tawasul adalah Allah SWT. Wasilah hanyalah sarana, bukan tujuan. Permohonan, doa, dan harapan hanya ditujukan kepada Allah semata.

Kesalahan fatal dalam memahami tawasul adalah ketika seseorang meyakini bahwa wasilah yang digunakan memiliki kekuatan independen untuk mengabulkan doa. Keyakinan semacam ini dapat menjerumuskan kepada kesyirikan. Ulama sepakat bahwa hakikat pengabul doa hanyalah Allah. Tawasul yang benar adalah berdoa kepada Allah dengan perantaraan sesuatu yang dicintai-Nya, bukan berdoa kepada perantara tersebut.

Analogi sederhana: Seseorang yang sakit pergi ke dokter untuk berobat. Dokter dan obat yang diberikannya adalah wasilah (sarana) untuk sembuh. Namun, keyakinan seorang mukmin tetap teguh bahwa yang menyembuhkan hakikatnya adalah Allah SWT. Dokter dan obat tidak memiliki daya untuk menyembuhkan tanpa izin dan kehendak dari Allah. Begitulah posisi wasilah dalam tawasul.

2. Landasan Hukum Tawasul dalam Al-Qur'an dan Hadis

Praktik tawasul tidaklah muncul dari ruang hampa. Ia memiliki dasar yang kuat dari sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadis Nabi Muhammad SAW). Berikut adalah beberapa dalil utama yang menjadi landasan dibolehkannya tawasul.

Dalil dari Al-Qur'an

Allah SWT secara eksplisit menyebutkan perintah untuk mencari wasilah dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu beruntung."

(QS. Al-Ma'idah: 35)

Ayat ini menjadi dalil pokok tentang tawasul. Para ulama tafsir seperti Imam Ibnu Katsir, Imam Al-Qurtubi, dan Imam At-Thabari menjelaskan bahwa kata "Al-Wasilah" dalam ayat ini mencakup segala bentuk ketaatan dan amal saleh yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah. Ini adalah makna umum yang menjadi payung bagi berbagai bentuk tawasul yang akan dibahas nanti, seperti tawasul dengan amal saleh.

Dalil lain dapat ditemukan dalam kisah Nabi Yusuf AS. Ketika anak-anak Nabi Ya'qub AS kembali membawa gamis Nabi Yusuf AS, Nabi Ya'qub menggunakannya sebagai wasilah untuk memohon kesembuhan kepada Allah dari kebutaannya.

اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَٰذَا فَأَلْقُوهُ عَلَىٰ وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا
"Pergilah kamu dengan membawa bajuku ini, lalu letakkanlah ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali."

(QS. Yusuf: 93)

Faktanya, atas izin Allah, penglihatan Nabi Ya'qub AS pulih setelah gamis itu diusapkan ke wajahnya. Para ulama mengambil pelajaran bahwa bertawasul dengan peninggalan orang-orang saleh (tabarruk) adalah sesuatu yang pernah terjadi dan diabadikan dalam Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa benda mati pun bisa menjadi wasilah atas kehendak Allah.

Dalil dari Hadis Nabi SAW

Banyak hadis yang menunjukkan praktik tawasul, baik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri maupun oleh para sahabatnya.

1. Hadis Lelaki Buta

Ini adalah salah satu hadis paling populer mengenai tawasul. Diriwayatkan oleh Utsman bin Hunaif RA, bahwa seorang lelaki buta datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar menyembuhkanku." Rasulullah SAW bersabda, "Jika engkau mau, aku akan menundanya dan itu lebih baik bagimu, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu." Lelaki itu berkata, "Doakanlah."

Maka, Nabi SAW memerintahkannya untuk berwudhu dengan sempurna, lalu shalat dua rakaat, dan berdoa dengan doa ini:

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantara) Nabi-Mu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini agar dikabulkan. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku."

Utsman bin Hunaif berkata, "Demi Allah, kami belum berpisah dan perbincangan kami belum lama, hingga lelaki itu datang kembali seolah-olah ia tidak pernah buta sama sekali." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya. Disahihkan oleh banyak ulama hadis).

Hadis ini sangat jelas menunjukkan tawasul dengan diri (dzat) dan kedudukan Nabi Muhammad SAW, bahkan saat Nabi tidak secara langsung mendoakannya, melainkan mengajarkan cara berdoa dengan bertawasul kepada beliau.

2. Hadis Tawasul Umar bin Khattab dengan Al-Abbas RA

Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Anas bin Malik RA, bahwa jika terjadi kemarau panjang, Umar bin Khattab RA akan memohon hujan dengan bertawasul melalui Al-Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi SAW). Umar berkata:

"Ya Allah, dahulu kami bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami, dan Engkau pun menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang, kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami."

Anas berkata, "Maka turunlah hujan kepada mereka." (HR. Bukhari).

Hadis ini menjadi landasan kuat untuk bertawasul dengan orang saleh yang masih hidup. Ia menunjukkan bahwa para sahabat memahami dan mempraktikkan konsep tawasul setelah wafatnya Rasulullah SAW.

3. Jenis-jenis Tawasul dalam Islam

Berdasarkan dalil-dalil di atas dan penjelasan para ulama, tawasul dapat dibagi menjadi beberapa jenis. Sebagian jenis disepakati kebolehannya oleh seluruh ulama (muttafaq 'alaih), sementara sebagian lainnya menjadi ranah perbedaan pendapat (khilafiyah).

A. Tawasul yang Disepakati (Muttafaq 'Alaih)

Ini adalah jenis-jenis tawasul yang diterima oleh seluruh mazhab dan golongan dalam Islam tanpa perdebatan.

1. Tawasul dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah (Asmaul Husna)

Ini adalah bentuk tawasul tertinggi dan paling utama. Seseorang berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama-Nya yang Agung atau sifat-sifat-Nya yang Mulia yang sesuai dengan permohonannya. Allah SWT sendiri memerintahkannya:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
"Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu."

(QS. Al-A'raf: 180)

Contoh praktiknya:

2. Tawasul dengan Amal Saleh Sendiri

Seseorang boleh bertawasul kepada Allah dengan menyebutkan amal saleh yang pernah ia lakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Landasannya adalah hadis masyhur tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Singkatnya, pintu gua tertutup oleh batu besar. Mereka tidak bisa keluar. Lalu, salah seorang dari mereka mengusulkan untuk berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal saleh terbaik mereka masing-masing.

Setiap kali salah satu dari mereka selesai berdoa, batu itu bergeser sedikit demi sedikit, hingga akhirnya mereka bisa keluar. Hadis ini adalah bukti nyata kebolehan bertawasul dengan amal saleh.

3. Tawasul dengan Doa Orang Saleh yang Masih Hidup

Ini juga disepakati kebolehannya. Caranya adalah dengan mendatangi orang yang kita yakini kesalehannya, ketakwaannya, dan kedekatannya dengan Allah, lalu kita memintanya untuk mendoakan kita kepada Allah. Contohnya adalah hadis Umar bin Khattab yang bertawasul dengan Al-Abbas RA untuk memohon hujan. Para sahabat juga sering datang kepada Rasulullah SAW semasa hidup beliau untuk meminta didoakan.

Penting untuk diingat, kita meminta orang saleh tersebut untuk berdoa kepada Allah untuk kita, bukan meminta langsung kepada orang saleh tersebut.

B. Tawasul yang Menjadi Ranah Perbedaan Pendapat (Khilafiyah)

Jenis tawasul ini adalah tawasul dengan pribadi atau kedudukan (jah) para nabi dan orang-orang saleh yang telah wafat. Sebagian besar ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah (seperti dari kalangan mazhab Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan sebagian Hanbali) membolehkannya, sementara sebagian kecil lainnya, seperti pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, melarangnya karena dianggap dapat mengarah pada kesyirikan.

Argumentasi Pihak yang Membolehkan:

Argumentasi Pihak yang Tidak Membolehkan:

Menyikapi perbedaan ini, penting untuk memiliki sikap lapang dada, saling menghormati, dan tidak mudah menuduh sesat atau syirik. Selama permohonan tetap ditujukan murni kepada Allah SWT, dan wasilah hanya dipandang sebagai sarana, maka esensi tauhid tetap terjaga.

4. Panduan Tata Cara dan Bacaan Tawasul Lengkap

Berikut ini adalah panduan praktis mengenai urutan atau tata cara tawasul yang umum diamalkan, khususnya di kalangan nahdliyin (pengikut Nahdlatul Ulama) di Indonesia. Rangkaian ini disusun oleh para ulama sebagai sebuah adab dan metode agar doa lebih terstruktur dan khusyuk. Urutan ini bukanlah sebuah kewajiban yang kaku, namun sebuah amalan yang baik (fadilah amal).

Langkah Persiapan

  1. Niat yang Ikhlas: Niatkan tawasul semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan agar doa lebih didengar oleh-Nya karena memuliakan orang-orang yang Dia muliakan.
  2. Bersuci: Berwudhulah dengan sempurna.
  3. Menghadap Kiblat: Duduk dengan tenang dan sopan menghadap kiblat.
  4. Memulai dengan Istighfar dan Sholawat: Mohon ampun kepada Allah dan bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW untuk membuka pintu rahmat.

Rangkaian Bacaan Tawasul (Hadiah Fatihah)

Inti dari tawasul ini adalah mengirimkan "hadiah" pahala bacaan Surat Al-Fatihah kepada para kekasih Allah, dengan harapan kita mendapatkan keberkahan dari mereka dan doa kita diijabah oleh Allah.

Mulailah dengan pengantar (muqaddimah) berikut:

"Ilaa hadhratin Nabiyyil Mushthofaa, Muhammadin shallallaahu 'alaihi wa sallam, wa 'alaa aalihii wa azwaajihii wa dzurriyyaatihii wa ahli baitihil kiroom, syai-un lillaahi lahumul faatihah..."

(Dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Fatihah 1 kali).


1. Kepada Para Nabi dan Rasul, Malaikat, Sahabat, dan Tabi'in

"Tsumma ilaa hadhrati ikhwaanihii minal anbiyaa-i wal mursaliin, wal auliyaa-i wasy syuhadaa-i wash shoolihiin, wash shohaabati wat taabi'iin, wal 'ulamaa-il 'aamiliin, wal mushonnifiinal mukhlishiin, wa jamii'il malaa-ikatil muqorrobiin, khushuushon Sayyidinaa Syaikh 'Abdul Qoodir Al-Jailani, syai-un lillaahi lahumul faatihah..."

(Dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Fatihah 1 kali).


2. Kepada Para Wali, Ulama, dan Guru-guru

"Tsumma ilaa jamii'i ahlil qubuur, minal muslimiina wal muslimaat, wal mu'miniina wal mu'minaat, min masyaariqil ardhi ilaa maghooribihaa, barrihaa wa bahrihaa, khushuushon aabaa-anaa wa ummahaatinaa wa ajdaadinaa wa jaddaatinaa, wa masyaayikhinaa wa masyaayikhi masyaayikhinaa, wa limanijtama'naa haahunaa bisababih, syai-un lillaahi lahumul faatihah..."

(Dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Fatihah 1 kali).


3. Ditujukan untuk Hajat Pribadi

"Khushuushon ilaa ruuhi... (sebutkan nama orang yang sudah meninggal jika ingin mendoakannya secara khusus)... wa ilaa haajatii... (sebutkan hajat atau keinginan Anda)... liyuqdhoo birohmatika yaa arhamar roohimiin. Al-Faatihah..."

(Dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Fatihah 1 kali).

Bacaan Dzikir Tambahan

Setelah selesai mengirim Al-Fatihah, dianjurkan untuk melanjutkan dengan dzikir dan surat-surat pendek untuk menambah kekhusyukan dan pahala.

Doa Penutup Tawasul

Setelah selesai berdzikir, angkat kedua tangan dan panjatkanlah doa. Berikut contoh doa tawasul yang bisa dibaca:

اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَبِعِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ، وَبِأَسْمَائِكَ الْحُسْنَى وَصِفَاتِكَ الْعُلْيَا، أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، وَأَنْ تَقْضِيَ حَاجَتِيْ... (sebutkan hajatnya) ... إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
"Ya Allah, sesungguhnya aku bertawasul (mendekatkan diri) kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu Muhammad SAW, dengan hamba-hamba-Mu yang saleh, dengan nama-nama-Mu yang terbaik dan sifat-sifat-Mu yang luhur. Aku memohon agar Engkau melimpahkan rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya. Dan aku memohon agar Engkau mengabulkan hajatku... (sebutkan hajatnya). Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Setelah itu, sampaikanlah semua doa dan permohonan pribadi Anda dalam bahasa yang paling Anda mengerti dengan penuh kerendahan hati dan keyakinan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan.

5. Adab dan Etika Penting dalam Bertawasul

Agar tawasul kita benar-benar menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah dan bukan menjadi perbuatan yang sia-sia atau bahkan terlarang, perhatikan adab-adab berikut ini:

  1. Menjaga Tauhid yang Murni: Ini adalah syarat paling fundamental. Yakinilah sepenuh hati bahwa yang memberi manfaat, menolak mudarat, dan mengabulkan doa hanyalah Allah SWT. Wasilah tidak memiliki kekuatan apa pun. Mereka hanyalah perantara yang kita gunakan karena kemuliaan mereka di sisi Allah.
  2. Tidak Meminta kepada Wasilah: Jangan pernah mengucapkan, "Wahai Syaikh Fulan, sembuhkanlah penyakitku," atau "Wahai Nabi, berilah aku rezeki." Ini adalah bentuk permintaan kepada selain Allah dan jatuh ke dalam syirik. Ucapkanlah, "Ya Allah, dengan perantaraan kemuliaan Syaikh Fulan/Nabi-Mu, aku memohon kepada-Engkau agar menyembuhkan penyakitku." Permintaan tetap ditujukan hanya kepada Allah.
  3. Ikhlas: Lakukan tawasul murni karena Allah, bukan karena tujuan duniawi semata atau karena ikut-ikutan. Niatkan untuk taqarrub (mendekat) kepada-Nya.
  4. Husnudzon (Berbaik Sangka): Miliki prasangka baik kepada Allah. Yakinlah bahwa Allah akan memberikan yang terbaik, baik dengan mengabulkan doa tersebut, menundanya, atau menggantinya dengan yang lebih baik di dunia atau akhirat.
  5. Tidak Menjadikannya Satu-satunya Cara: Jangan pernah beranggapan bahwa doa tidak akan terkabul tanpa tawasul. Tawasul adalah salah satu dari sekian banyak "pintu" adab dalam berdoa, bukan satu-satunya pintu. Pintu utama tetaplah hubungan langsung seorang hamba dengan Tuhannya.

Kesimpulan

Tawasul adalah sebuah konsep agung dalam Islam yang mengajarkan adab dan kerendahan hati seorang hamba di hadapan Tuhannya. Dengan memahami panduan tawasul lengkap ini, kita dapat melihat bahwa tawasul yang benar bukanlah tindakan menyimpang, melainkan sebuah upaya untuk meraih ridha Allah dengan cara memuliakan apa-apa dan siapa-siapa yang dimuliakan oleh-Nya.

Tawasul dengan Asmaul Husna, amal saleh, dan doa orang saleh yang masih hidup adalah praktik yang disepakati keutamaannya. Sementara tawasul dengan kedudukan para nabi dan wali yang telah wafat, meskipun terdapat perbedaan pendapat, memiliki landasan dalil yang kuat menurut mayoritas ulama dan telah dipraktikkan selama berabad-abad. Kuncinya terletak pada kemurnian niat dan keyakinan (akidah) bahwa segala kuasa hanya milik Allah SWT.

Pada akhirnya, setiap doa, baik dengan atau tanpa tawasul, adalah bentuk pengakuan akan kelemahan diri dan keagungan Ilahi. Semoga dengan pemahaman yang benar, kita dapat mempraktikkan tawasul sebagai salah satu wasilah untuk memperkuat ikatan spiritual kita dengan Allah SWT dan menjadikan doa-doa kita lebih bermakna dan mustajab. Wallahu a'lam bish-shawab.

🏠 Kembali ke Homepage