Membedah Makna dan Amalan Tawasul Sebelum Membaca Surat Yasin
Di tengah masyarakat Muslim, khususnya di Nusantara, terdapat sebuah tradisi spiritual yang mengakar kuat: melakukan tawasul sebelum memulai pembacaan surat Yasin. Amalan ini bukan sekadar ritual pembuka, melainkan sebuah gerbang adab dan kerendahan hati seorang hamba di hadapan Sang Pencipta. Menggabungkan kemuliaan surat Yasin dengan wasilah (perantara) doa kepada para kekasih Allah menjadi sebuah harmoni spiritual yang diyakini dapat mempercepat terkabulnya hajat dan mendatangkan keberkahan.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan komprehensif mengenai praktik tawasul sebelum membaca Yasin. Mulai dari pemahaman dasar tentang apa itu tawasul dan keistimewaan surat Yasin, hingga tata cara pelaksanaan yang runut, landasan dalil, serta hikmah-hikmah agung yang terkandung di dalamnya. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang utuh, sehingga amalan ini dapat dijalankan dengan penuh keyakinan, ilmu, dan kekhusyukan.
Bagian 1: Memahami Dua Pilar Utama Amalan
Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam praktik, sangat penting untuk memahami dua komponen utamanya: Surat Yasin itu sendiri dan konsep Tawasul dalam Islam. Keduanya memiliki kedudukan dan landasan yang kuat dalam tradisi keilmuan Islam.
Keagungan Surat Yasin: Jantung Al-Quran
Surat Yasin adalah surat ke-36 dalam Al-Quran yang terdiri dari 83 ayat. Surat ini diturunkan di Makkah (Makkiyah) dan memiliki tempat yang sangat istimewa di hati kaum Muslimin. Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadis menyebutnya sebagai "Qalbul Quran" atau jantungnya Al-Quran. Sebagaimana jantung adalah organ vital yang memompa kehidupan ke seluruh tubuh, Surat Yasin mengandung pokok-pokok ajaran Islam yang paling fundamental.
Tema-tema utama yang terkandung di dalamnya meliputi:
- Penegasan Risalah Nabi Muhammad ﷺ: Ayat-ayat awal mengukuhkan kerasulan Nabi Muhammad ﷺ dan wahyu Al-Quran sebagai petunjuk yang lurus.
- Kisah Para Utusan: Terdapat kisah penduduk sebuah negeri yang mendustakan para utusan Allah, menjadi pelajaran tentang akibat dari penolakan terhadap kebenaran.
- Tanda-tanda Kebesaran Allah (Ayat Kauniyah): Surat ini mengajak kita merenungi tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta, seperti pergantian malam dan siang, peredaran matahari dan bulan, serta bumi yang mati lalu dihidupkan kembali.
- Hari Kebangkitan dan Kiamat: Tema sentral Yasin adalah penegasan adanya hari kebangkitan. Allah SWT dengan mudah mampu membangkitkan kembali manusia dari kematian, sebagaimana Dia mampu menciptakan mereka dari ketiadaan.
Karena kandungan dan kedudukannya yang mulia, membaca Surat Yasin diyakini memiliki banyak sekali keutamaan (fadilah). Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa membacanya dapat menjadi sebab diampuninya dosa, dimudahkannya segala urusan, diringankannya sakaratul maut, dan menjadi rahmat bagi orang yang telah meninggal dunia. Inilah yang mendorong umat Islam untuk rutin mengamalkannya, baik secara pribadi maupun berjamaah.
Konsep Tawasul: Mencari Wasilah Menuju Allah
Secara bahasa, tawasul berasal dari kata "wasilah" yang berarti perantara, sarana, atau sesuatu yang dapat mendekatkan kepada tujuan. Dalam terminologi syariat, tawasul adalah berdoa kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara (wasilah) sesuatu yang dicintai dan dimuliakan oleh-Nya, dengan tujuan agar doa tersebut lebih berpotensi untuk dikabulkan.
Penting untuk digarisbawahi, tawasul bukanlah meminta kepada selain Allah. Permintaan dan tujuan akhir doa tetaplah hanya kepada Allah SWT. Wasilah hanyalah sarana untuk menunjukkan adab, kerendahan diri, dan penghormatan kepada apa yang Allah muliakan.
Landasan tawasul dapat ditemukan dalam Al-Quran, di antaranya firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya..." (QS. Al-Ma'idah: 35).
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa "wasilah" dalam ayat ini mencakup segala bentuk ketaatan dan amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Aswaja) berpandangan bahwa tawasul dengan orang-orang saleh, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, termasuk dalam keumuman makna "wasilah" ini.
Jenis-jenis Tawasul yang Disepakati dan Dipraktikkan
Para ulama membagi tawasul ke dalam beberapa jenis, di antaranya:
- Tawasul dengan Asmaul Husna dan Sifat-sifat Allah: Ini adalah bentuk tawasul tertinggi, yaitu berdoa dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah yang mulia. Contohnya, "Ya Allah, wahai Yang Maha Pengasih (Ar-Rahman), kasihanilah aku."
- Tawasul dengan Amal Saleh: Berdoa dengan menyebutkan amal saleh yang pernah dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Dalilnya adalah hadis masyhur tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua.
- Tawasul dengan Doa Orang Saleh yang Masih Hidup: Meminta seorang yang dikenal kesalehannya untuk mendoakan kita kepada Allah. Ini pernah dilakukan oleh para sahabat kepada Nabi Muhammad ﷺ dan kepada paman beliau, Abbas bin Abdul Muthalib.
- Tawasul dengan Kedudukan (Jah) Orang-orang Mulia: Ini adalah jenis tawasul yang menjadi inti dari praktik sebelum membaca Yasin. Yaitu berdoa kepada Allah dengan perantara kemuliaan dan kedudukan Nabi Muhammad ﷺ, para nabi lainnya, keluarga Nabi, para sahabat, ulama, dan para waliyullah. Keyakinannya adalah bahwa karena kecintaan Allah kepada mereka, doa yang dibawa "atas nama" kecintaan kita kepada mereka akan lebih didengar oleh Allah SWT.
Bagian 2: Panduan Praktis Tawasul Sebelum Membaca Yasin
Setelah memahami konsep dasarnya, kita akan masuk ke dalam tata cara praktis pelaksanaan tawasul. Urutan dan lafaz yang disajikan di sini merupakan susunan yang umum diamalkan di majelis-majelis taklim, pondok pesantren, dan kalangan masyarakat Muslim di Indonesia. Susunan ini bisa bervariasi, namun esensinya tetap sama.
Langkah 1: Persiapan dan Niat yang Tulus
Segala amal bergantung pada niatnya. Sebelum memulai, luruskan niat dalam hati bahwa semua rangkaian bacaan ini ditujukan semata-mata untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Niatkan juga hajat spesifik yang ingin dimohonkan, misalnya memohon ampunan, kesehatan, kelancaran rezeki, atau mengirimkan doa untuk almarhum/almarhumah. Duduklah dalam keadaan suci (memiliki wudhu), menghadap kiblat, dan ciptakan suasana yang tenang dan khusyuk.
Langkah 2: Bacaan Pembuka (Istighfar dan Syahadat)
Sebagai pembuka gerbang spiritual, lazimnya dimulai dengan memohon ampunan kepada Allah. Ini adalah bentuk pengakuan atas segala dosa dan kekurangan diri sebelum menghadap-Nya.
Bacalah istighfar, misalnya:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيمَ
Astaghfirullahal 'adzim (3 kali)
Dilanjutkan dengan syahadat untuk meneguhkan kembali pilar keimanan:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah
Langkah 3: Rangkaian Hadiah Al-Fatihah (Tawasul Inti)
Inilah bagian inti dari tawasul. Kita akan "mengirimkan" atau "menghadiahkan" pahala bacaan surat Al-Fatihah kepada ruh-ruh mulia sebagai bentuk wasilah kita. Setiap pengiriman diawali dengan lafaz khusus.
1. Kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad ﷺ
Posisi teratas dan paling utama dalam tawasul adalah kepada pemimpin para nabi dan rasul, kekasih Allah, Nabi Muhammad ﷺ. Beliau adalah pintu rahmat Allah yang paling agung.
إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّاتِهِ أَجْمَعِينَ، شَيْءٌ لِلهِ لَهُمُ الْفَاتِحَة
Ilaa hadrotin nabiyyil mushthofaa Muhammadin shollallohu 'alaihi wa sallam, wa 'alaa aalihii wa ash-haabihii wa azwaajihii wa dzurriyyatihii ajma'iin, syai-un lillaahi lahumul faatihah.
(Dilanjutkan dengan membaca surat Al-Fatihah 1 kali)
2. Kepada Para Nabi, Rasul, Malaikat, Sahabat, dan Tabi'in
Selanjutnya, kita meluaskan pengiriman Fatihah kepada seluruh utusan Allah, para malaikat muqarrabin, para sahabat Nabi yang mulia, serta generasi setelah mereka (tabi'in) yang telah berjuang menegakkan agama Allah.
ثُمَّ إِلَى حَضْرَةِ إِخْوَانِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ وَالْأَوْلِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَالصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَالْعُلَمَاءِ الْعَامِلِينَ وَالْمُصَنِّفِينَ الْمُخْلِصِينَ وَجَمِيعِ الْمَلَائِكَةِ الْمُقَرَّبِينَ، خُصُوصًا سَيِّدِنَا الشَّيْخِ عَبْدِ الْقَادِرِ الْجَيْلَانِيِّ، الْفَاتِحَة
Tsumma ilaa hadroti ikhwaanihii minal anbiyaa-i wal mursaliin, wal auliyaa-i wasy-syuhadaa-i wash-shoolihiin, wash-shohaabati wat-taabi'iin, wal 'ulamaa-il 'aamiliin, wal mushonnifiinal mukhlishiin, wa jamii'il malaa-ikatil muqorrobiin, khushuushon Sayyidina asy-Syaikh 'Abdul Qodir al-Jailani, al-faatihah.
(Dilanjutkan dengan membaca surat Al-Fatihah 1 kali)
Penyebutan nama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani secara khusus sangat umum dilakukan karena beliau dianggap sebagai Sulthanul Auliya (pemimpin para wali) dan memiliki kedudukan istimewa dalam tradisi tasawuf dan tarekat.
3. Kepada Seluruh Kaum Muslimin dan Muslimat
Tawasul dilanjutkan dengan mendoakan seluruh leluhur kita, guru-guru kita, orang tua kita, dan seluruh kaum Muslimin dan Muslimat baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Ini adalah bentuk hubungan spiritual dan kepedulian sosial dalam Islam.
ثُمَّ إِلَى جَمِيعِ أَهْلِ الْقُبُورِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ مِنْ مَشَارِقِ الْأَرْضِ إِلَى مَغَارِبِهَا بَرِّهَا وَبَحْرِهَا، خُصُوصًا آبَاءَنَا وَأُمَّهَاتِنَا وَأَجْدَادَنَا وَجَدَّاتِنَا وَمَشَايِخَنَا وَمَشَايِخَ مَشَايِخِنَا وَلِمَنِ اجْتَمَعْنَا هَهُنَا بِسَبَبِهِ، الْفَاتِحَة
Tsumma ilaa jamii'i ahlil qubuur minal muslimiina wal muslimaat, wal mu'miniina wal mu'minaat, min masyaariqil ardhi ilaa maghooribihaa barrihaa wa bahrihaa, khushuushon aabaa-anaa wa ummahaatinaa wa ajdaadanaa wa jaddaatinaa wa masyaayikhinaa wa masyaayikhi masyaayikhinaa wa limanijtama'naa haahunaa bisababih, al-faatihah.
(Dilanjutkan dengan membaca surat Al-Fatihah 1 kali)
Dalam bagian ini, frasa "wa limanijtama'naa haahunaa bisababih" (dan untuk siapa kita berkumpul di sini karena sebabnya) menjadi sangat penting. Di sinilah kita secara spesifik meniatkan hajat kita, misalnya jika acara yasinan ini diadakan untuk mendoakan almarhum Fulan bin Fulan, maka niatnya terfokus padanya.
4. Kepada Pemilik Hajat (Niat Pribadi)
Terakhir adalah menghadiahkan Al-Fatihah untuk hajat pribadi kita sendiri. Ini adalah momen untuk memfokuskan permohonan kepada Allah agar segala urusan kita dipermudah, penyakit diangkat, atau cita-cita tercapai.
وَعَلَى نِيَّةِ (sebutkan hajat dalam hati) الْفَاتِحَة
Wa 'alaa niyyati... (sebutkan hajat dalam hati)... al-faatihah.
Contohnya, jika hajatnya adalah kelancaran ujian, maka diniatkan dalam hati, "Ya Allah, dengan keberkahan Al-Fatihah ini, lancarkanlah ujian ananda."
(Dilanjutkan dengan membaca surat Al-Fatihah 1 kali)
Langkah 4: Memulai Pembacaan Surat Yasin
Setelah seluruh rangkaian tawasul selesai, barulah pembacaan Surat Yasin dimulai dari ayat pertama hingga akhir. Dengan didahului oleh tawasul, diharapkan hati menjadi lebih siap, lebih khusyuk, dan pembacaan Yasin menjadi lebih bermakna dan berpahala. Pikiran menjadi lebih fokus, dan hubungan batin dengan Allah SWT terasa lebih dekat.
Bagian 3: Hikmah dan Manfaat Spiritual di Balik Amalan
Mengapa para ulama dan orang-orang saleh terdahulu menyusun dan mengajarkan amalan ini? Tentu ada hikmah dan manfaat mendalam yang ingin dicapai, bukan sekadar ritual tanpa makna. Berikut adalah beberapa hikmah agung dari melakukan tawasul sebelum membaca Yasin.
1. Meneladani Adab dan Etika Berdoa
Tawasul adalah cerminan adab seorang hamba. Sebelum meminta sesuatu untuk diri sendiri, ia memulainya dengan memuji Allah, bershalawat kepada Nabi-Nya, dan mendoakan orang-orang yang dicintai Allah. Ini seperti seseorang yang ingin menghadap seorang raja; ia tidak langsung menyampaikan permohonannya, tetapi melalui para pejabat atau orang-orang terdekat raja sebagai bentuk penghormatan. Tentu, perumpamaan ini tidak bisa disamakan dengan Allah, namun ini adalah analogi untuk memahami konsep adab dan tata krama dalam berdoa.
2. Menyambung Tali Silaturahmi Spiritual (Rabithah)
Dengan mengirimkan Al-Fatihah kepada para nabi, wali, ulama, dan leluhur, kita sedang membangun sebuah jembatan spiritual. Kita mengakui jasa-jasa mereka, mencintai mereka karena Allah, dan berharap terhubung dengan barisan orang-orang saleh. Ikatan ini tidak terputus oleh kematian. Doa yang kita kirimkan menjadi penghubung, dan kita berharap mendapatkan pancaran keberkahan (barakah) dari kesalehan mereka.
3. Menumbuhkan Rasa Rendah Hati (Tawadhu)
Ketika bertawasul, kita secara tidak langsung mengakui kelemahan dan kekurangan diri. Kita merasa bahwa amal kita mungkin belum cukup pantas untuk membuat doa kita langsung diterima. Oleh karena itu, kita "berlindung" di balik kemuliaan para kekasih Allah, berharap Allah memandang kita dengan pandangan rahmat-Nya karena kecintaan kita kepada mereka. Sikap ini menjauhkan kita dari sifat sombong dan merasa sudah suci.
4. Memperbesar Peluang Terkabulnya Doa (Ijabah)
Ini adalah tujuan praktis yang paling diharapkan. Doa yang diawali dengan pujian kepada Allah (melalui Al-Fatihah sebagai Ummul Quran) dan shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah doa yang paling berpotensi untuk diijabah. Para ulama meyakini bahwa Allah tidak akan menolak doa yang di dalamnya "menumpang" nama-nama hamba yang paling Dia cintai. Keberkahan Surat Yasin yang dibaca setelahnya semakin menyempurnakan rangkaian permohonan ini.
5. Mengamalkan Ajaran Cinta dan Kepedulian
Rangkaian tawasul tidak hanya untuk para nabi dan wali, tetapi juga untuk orang tua, guru, dan seluruh kaum Muslimin. Ini mengajarkan kita untuk tidak menjadi pribadi yang egois dalam berdoa. Kita dilatih untuk peduli dan mendoakan kebaikan bagi orang lain, baik yang masih hidup maupun yang telah tiada. Ini adalah manifestasi dari hadis Nabi: "Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri."
Bagian 4: Perspektif Ulama Mengenai Tawasul
Praktik tawasul, khususnya dengan kedudukan orang-orang saleh yang telah wafat, adalah topik yang memiliki beragam pandangan di kalangan ulama. Namun, penting untuk memahami posisi mayoritas ulama, terutama dari mazhab-mazhab fikih yang dianut oleh sebagian besar umat Islam di dunia.
Pandangan Mayoritas Ulama (Jumhur Ulama)
Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali (dalam satu riwayat) membolehkan dan bahkan menganjurkan tawasul dengan para nabi dan orang-orang saleh. Mereka berpegang pada dalil-dalil dari Al-Quran dan Hadis yang bersifat umum maupun khusus, serta praktik yang telah berjalan turun-temurun dari generasi ke generasi.
Argumentasi mereka berpusat pada poin-poin berikut:
- Keumuman Ayat Wasilah: Ayat 35 Surat Al-Ma'idah (seperti yang telah disebutkan) dipahami secara luas mencakup segala sarana yang mendekatkan diri kepada Allah, termasuk pribadi-pribadi mulia.
- Hadis tentang Orang Buta: Terdapat sebuah hadis sahih di mana Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan seorang laki-laki buta untuk berdoa dengan lafaz tawasul: "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu, Nabi pembawa rahmat...". Ulama Aswaja memahami bahwa tawasul ini berlaku baik semasa Nabi hidup maupun setelah wafatnya, karena yang dijadikan wasilah adalah kedudukan dan kemuliaan Nabi, bukan jasad fisiknya semata.
- Kehidupan di Alam Barzakh: Keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwa para nabi dan orang-orang saleh hidup di alam barzakh. Ruh mereka tetap memiliki koneksi dan dapat menerima "hadiah" doa dari orang yang masih hidup.
- Analogi (Qiyas): Jika meminta doa dari orang saleh yang masih hidup saja diperbolehkan, maka bertawasul dengan kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ yang kedudukannya jauh lebih tinggi tentu lebih utama untuk diperbolehkan.
Membedakan Tawasul dengan Syirik
Kekhawatiran utama dari pihak yang tidak sependapat dengan tawasul adalah potensi terjatuh ke dalam perbuatan syirik (menyekutukan Allah). Namun, para ulama yang membolehkan tawasul memberikan batasan yang sangat jelas antara keduanya.
Tawasul yang benar adalah menjadikan seseorang atau sesuatu sebagai perantara (wasilah) dalam berdoa kepada Allah. Keyakinan tetap 100% bahwa yang mengabulkan, memberi manfaat, dan menolak mudarat hanyalah Allah SWT semata. Perantara tidak memiliki kekuatan independen apa pun.
Syirik adalah ketika seseorang meyakini bahwa perantara tersebut (misalnya, wali atau nabi) memiliki kekuatan sendiri untuk mengabulkan doa, atau ketika permohonan itu sendiri ditujukan langsung kepada selain Allah. Misalnya, berkata, "Wahai Syaikh Fulan, sembuhkanlah penyakitku." Ini jelas merupakan perbuatan syirik yang dilarang.
Lafaz tawasul yang benar selalu menjaga tauhid, seperti: "Ya Allah, dengan perantara kemuliaan Nabi-Mu, kabulkanlah doaku." Di sini, permintaan tetap ditujukan hanya kepada Allah.
Kesimpulan: Harmoni Ibadah, Adab, dan Cinta
Amalan tawasul sebelum membaca Surat Yasin adalah sebuah praktik spiritual yang kaya akan makna. Ia bukan sekadar ritual tambahan, melainkan sebuah ekspresi mendalam dari adab seorang hamba, cinta kepada para kekasih Allah, dan kesadaran akan keagungan-Nya. Dengan mengawali pembacaan "jantung Al-Quran" melalui gerbang tawasul, seorang Muslim berharap dapat mengetuk pintu langit dengan cara yang paling santun dan paling dicintai oleh Sang Pemilik Langit.
Praktik ini mengajarkan kita bahwa ibadah tidaklah kaku. Ada ruang untuk mengekspresikan cinta dan penghormatan kepada mereka yang telah berjasa dalam menyebarkan cahaya Islam. Ia menyambungkan kita dengan mata rantai emas para pewaris nabi dan mengingatkan kita bahwa kita adalah bagian dari sebuah umat yang besar, yang saling mendoakan dan saling terhubung dalam ikatan iman.
Pada akhirnya, semua kembali kepada niat. Selama hati tetap teguh bahwa Allah adalah satu-satunya tujuan, dan tawasul hanyalah sarana untuk meniti jalan menuju keridhaan-Nya, maka amalan ini Insya Allah akan menjadi pemberat timbangan kebaikan, penyebab terkabulnya doa, dan sumber keberkahan yang tak terhingga dalam kehidupan dunia dan akhirat.