Pendahuluan: Jantung Al-Qur'an
Surat Yasin (يس) adalah surat ke-36 dalam Al-Qur'an. Terdiri dari 83 ayat, surat ini tergolong dalam surat Makkiyah, yaitu surat yang diturunkan di kota Mekkah sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Nama "Yasin" diambil dari ayat pertama surat ini, yang merupakan bagian dari huruf muqatta'at atau huruf-huruf misterius yang makna sejatinya hanya diketahui oleh Allah SWT.
Surat Yasin memegang posisi yang sangat istimewa di hati umat Islam. Ia sering disebut sebagai "Qalbul Qur'an" atau "Jantung Al-Qur'an". Julukan ini bukan tanpa alasan. Sebagaimana jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh dan menjadi pusat kehidupan, Surat Yasin mengandung intisari dari ajaran-ajaran pokok Al-Qur'an. Di dalamnya terkandung pilar-pilar akidah yang paling fundamental: keimanan kepada Allah SWT dan keesaan-Nya, bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta, kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW, peringatan tentang hari kebangkitan dan pembalasan, serta kisah-kisah umat terdahulu sebagai pelajaran.
Membaca, merenungkan, dan mengamalkan isi Surat Yasin diyakini membawa banyak keutamaan dan keberkahan. Surat ini sering dibaca dalam berbagai kesempatan, seperti saat menjenguk orang sakit, mendoakan mereka yang telah meninggal, atau dalam majelis-majelis ilmu dan zikir. Alurnya yang puitis dan pesannya yang kuat mampu menyentuh jiwa, menguatkan iman yang goyah, dan memberikan ketenangan bagi hati yang gelisah.
Bagian 1: Sumpah Allah, Risalah Kenabian, dan Ilmu-Nya yang Meliputi (Ayat 1-12)
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
يسۤ ﴿١﴾
Yā Sīn.
1. Yā Sīn.
وَالْقُرْاٰنِ الْحَكِيْمِ ۙ ﴿٢﴾
Wal-qur'ānil-ḥakīm(i).
2. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah,
اِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِيْنَ ۙ ﴿٣﴾
Innaka laminal-mursalīn(a).
3. sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar salah seorang dari rasul-rasul,
عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ ۗ ﴿٤﴾
‘Alā ṣirāṭim mustaqīm(in).
4. (yang berada) di atas jalan yang lurus,
تَنْزِيْلَ الْعَزِيْزِ الرَّحِيْمِ ۙ ﴿٥﴾
Tanzīlal-‘azīzir-raḥīm(i).
5. (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang,
لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَّآ اُنْذِرَ اٰبَاۤؤُهُمْ فَهُمْ غٰفِلُوْنَ ﴿٦﴾
Litunżira qaumam mā unżira ābā'uhum fahum gāfilūn(a).
6. agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.
لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلٰٓى اَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ ﴿٧﴾
Laqad ḥaqqal-qaulu ‘alā akṡarihim fahum lā yu'minūn(a).
7. Sungguh, pasti berlaku perkataan (hukuman) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman.
اِنَّا جَعَلْنَا فِيْٓ اَعْنَاقِهِمْ اَغْلٰلًا فَهِيَ اِلَى الْاَذْقَانِ فَهُمْ مُّقْمَحُوْنَ ﴿٨﴾
Innā ja‘alnā fī a‘nāqihim aglālan fa hiya ilal-ażqāni fahum muqmaḥūn(a).
8. Sungguh, Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu (tangan mereka yang terbelenggu) diangkat ke dagu, karena itu mereka tertengadah.
وَجَعَلْنَا مِنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ سَدًّا وَّمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَاَغْشَيْنٰهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُوْنَ ﴿٩﴾
Wa ja‘alnā mim baini aidīhim saddaw wa min khalfihim saddan fa agsyaināhum fahum lā yubṣirūn(a).
9. Dan Kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga sekat, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.
وَسَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ ﴿١٠﴾
Wa sawā'un ‘alaihim a'anżartahum am lam tunżirhum lā yu'minūn(a).
10. Dan sama saja bagi mereka, apakah engkau memberi peringatan kepada mereka atau engkau tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman juga.
اِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمٰنَ بِالْغَيْبِۚ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَّاَجْرٍ كَرِيْمٍ ﴿١١﴾
Innamā tunżiru manittaba‘aż-żikra wa khasyiyar-raḥmāna bil-gaib(i), fa basysyirhu bimagfiratiw wa ajrin karīm(in).
11. Sesungguhnya engkau hanya (bisa) memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, walaupun mereka tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.
اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْۗ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ ࣖ ﴿١٢﴾
Innā naḥnu nuḥyil-mautā wa naktubu mā qaddamū wa āṡārahum, wa kulla syai'in aḥṣaināhu fī imāmim mubīn(in).
12. Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang jelas (Lauh Mahfuzh).
Tafsir dan Penjelasan (Ayat 1-12)
Surat Yasin dibuka dengan sumpah agung dari Allah SWT. Setelah menyebut huruf "Yasin", Allah bersumpah "demi Al-Qur'an yang penuh hikmah". Sumpah ini berfungsi untuk menegaskan dan menguatkan pesan yang akan disampaikan setelahnya, yaitu penegasan status kenabian Muhammad SAW. Allah menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah benar-benar seorang utusan yang berjalan di atas "jalan yang lurus", yaitu ajaran tauhid yang murni.
Al-Qur'an digambarkan sebagai "penuh hikmah" (al-hakim), yang berarti ia sempurna dalam susunan katanya, mendalam maknanya, bebas dari kesalahan, dan berisi petunjuk yang membawa kebijaksanaan bagi siapa pun yang mengikutinya. Wahyu ini diturunkan oleh Dzat Yang "Mahaperkasa" (Al-Aziz), menunjukkan bahwa risalah ini memiliki kekuatan dan tidak dapat dilemahkan, serta "Maha Penyayang" (Ar-Rahim), yang menandakan bahwa tujuan utama diutusnya Rasul dan diturunkannya Al-Qur'an adalah sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.
Tugas utama Rasulullah adalah untuk memberi peringatan (inzar) kepada kaum yang leluhurnya hidup dalam masa fatrah (kekosongan dari risalah kenabian), sehingga mereka berada dalam kelalaian. Namun, ayat-ayat selanjutnya menggambarkan kondisi sebagian besar dari mereka yang telah ditetapkan akan binasa karena kesombongan dan penolakan mereka terhadap kebenaran. Allah menggambarkan kondisi mereka secara metaforis: leher mereka dibelenggu hingga kepala mereka terdongak, tidak mampu menunduk untuk melihat kebenaran di hadapan mereka. Di depan dan di belakang mereka ada dinding penghalang, dan mata mereka ditutup. Ini adalah gambaran orang-orang yang hatinya telah terkunci mati dari hidayah. Bagi mereka, peringatan tidak lagi berguna.
Sebaliknya, peringatan hanya akan bermanfaat bagi mereka yang "mau mengikuti peringatan" (Al-Qur'an) dan memiliki "rasa takut kepada Ar-Rahman" meskipun tidak melihat-Nya. Inilah esensi dari iman kepada yang gaib. Orang-orang inilah yang dijanjikan ampunan (maghfirah) dan pahala yang mulia (ajrun karim). Bagian ini ditutup dengan penegasan kekuasaan Allah yang absolut: Dia-lah yang menghidupkan yang mati, sebuah penegasan akan hari kebangkitan. Dan yang lebih detail lagi, Allah tidak hanya mencatat amal perbuatan yang mereka lakukan (maa qaddamuu), tetapi juga "bekas-bekas" yang mereka tinggalkan (wa aatsaarahum). Ini mencakup jejak baik (seperti ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah) maupun jejak buruk yang terus mengalirkan dosa bahkan setelah kematian. Semuanya tercatat dengan sempurna dalam "Imamim Mubin" atau Lauh Mahfuzh.
Bagian 2: Kisah Utusan kepada Suatu Negeri (Ashab al-Qaryah) (Ayat 13-32)
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلًا اَصْحٰبَ الْقَرْيَةِۘ اِذْ جَاۤءَهَا الْمُرْسَلُوْنَ ﴿١٣﴾
Waḍrib lahum maṡalan aṣḥābal-qaryah(ti), iż jā'ahal-mursalūn(a).
13. Dan buatlah suatu perumpamaan bagi mereka, yaitu penduduk suatu negeri, ketika para utusan datang kepada mereka;
اِذْ اَرْسَلْنَآ اِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوْهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوْٓا اِنَّآ اِلَيْكُمْ مُّرْسَلُوْنَ ﴿١٤﴾
Iż arsalnā ilaihimuṡnaini fa każżabūhumā fa ‘azzaznā biṡāliṡin fa qālū innā ilaikum mursalūn(a).
14. (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga (utusan itu) berkata, “Sungguh, kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.”
قَالُوْا مَآ اَنْتُمْ اِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُنَاۙ وَمَآ اَنْزَلَ الرَّحْمٰنُ مِنْ شَيْءٍۙ اِنْ اَنْتُمْ اِلَّا تَكْذِبُوْنَ ﴿١٥﴾
Qālū mā antum illā basyarum miṡlunā, wa mā anzalar-raḥmānu min syai'(in), in antum illā takżibūn(a).
15. Mereka (penduduk negeri) menjawab, “Kamu ini hanyalah manusia seperti kami, dan (Allah) Yang Maha Pengasih tidak menurunkan sesuatu apa pun; kamu hanyalah pendusta belaka.”
قَالُوْا رَبُّنَا يَعْلَمُ اِنَّآ اِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُوْنَ ﴿١٦﴾
Qālū rabbunā ya‘lamu innā ilaikum lamursalūn(a).
16. Mereka (para utusan) berkata, “Tuhan kami mengetahui bahwa kami benar-benar utusan(-Nya) kepadamu.
وَمَا عَلَيْنَآ اِلَّا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ ﴿١٧﴾
Wa mā ‘alainā illal-balāgul-mubīn(u).
17. Dan kewajiban kami hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.”
قَالُوْٓا اِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهُوْا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِّنَّا عَذَابٌ اَلِيْمٌ ﴿١٨﴾
Qālū innā taṭayyarnā bikum, la'il lam tantahū lanarjumannakum wa layamassannakum minnā ‘ażābun alīm(un).
18. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. Sungguh, jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami rajam kamu dan kamu pasti akan merasakan siksaan yang pedih dari kami.”
قَالُوْا طَاۤىِٕرُكُمْ مَّعَكُمْۗ اَىِٕنْ ذُكِّرْتُمْۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ ﴿١٩﴾
Qālū ṭā'irukum ma‘akum, a'in żukkirtum, bal antum qaumum musrifūn(a).
19. Mereka (utusan-utusan) itu berkata, “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.”
وَجَاۤءَ مِنْ اَقْصَا الْمَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَّسْعٰى قَالَ يٰقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِيْنَ ۙ ﴿٢٠﴾
Wa jā'a min aqṣal-madīnati rajuluy yas‘ā qāla yā qaumittabi‘ul-mursalīn(a).
20. Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, “Wahai kaumku! Ikutilah para utusan itu!
اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْـَٔلُكُمْ اَجْرًا وَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ ﴿٢١﴾
Ittabi‘ū mal lā yas'alukum ajraw wa hum muhtadūn(a).
21. Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
وَمَا لِيَ لَآ اَعْبُدُ الَّذِيْ فَطَرَنِيْ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ﴿٢٢﴾
Wa mā liya lā a‘budul-lażī faṭaranī wa ilaihi turja‘ūn(a).
22. Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.
ءَاَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِهٖٓ اٰلِهَةً اِنْ يُّرِدْنِ الرَّحْمٰنُ بِضُرٍّ لَّا تُغْنِ عَنِّيْ شَفَاعَتُهُمْ شَيْـًٔا وَّلَا يُنْقِذُوْنِ ﴿٢٣﴾
A'attakhiżu min dūnihī ālihatam iy yuridnir-raḥmānu biḍurril lā tugni ‘annī syafā‘atuhum syai'aw wa lā yunqiżūn(i).
23. Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya? Jika (Allah) Yang Maha Pengasih menghendaki bencana terhadapku, niscaya pertolongan mereka tidak berguna sama sekali bagi diriku dan mereka (juga) tidak dapat menyelamatkanku.
اِنِّيْٓ اِذًا لَّفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ﴿٢٤﴾
Innī iżal lafī ḍalālim mubīn(in).
24. Sesungguhnya jika aku (berbuat) begitu, pasti aku berada dalam kesesatan yang nyata.
اِنِّيْٓ اٰمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُوْنِ ۗ ﴿٢٥﴾
Innī āmantu birabbikum fasma‘ūn(i).
25. Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)-ku.”
قِيْلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ ۗقَالَ يٰلَيْتَ قَوْمِيْ يَعْلَمُوْنَ ۙ ﴿٢٦﴾
Qīladkhulil-jannah, qāla yā laita qaumī ya‘lamūn(a).
26. Dikatakan (kepadanya), “Masuklah ke surga.” Dia (laki-laki itu) berkata, “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui,
بِمَا غَفَرَ لِيْ رَبِّيْ وَجَعَلَنِيْ مِنَ الْمُكْرَمِيْنَ ﴿٢٧﴾
Bimā gafara lī rabbī wa ja‘alanī minal-mukramīn(a).
27. apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampunan kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang telah dimuliakan.”
وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى قَوْمِهٖ مِنْۢ بَعْدِهٖ مِنْ جُنْدٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَمَا كُنَّا مُنْزِلِيْنَ ﴿٢٨﴾
Wa mā anzalnā ‘alā qaumihī mim ba‘dihī min jundim minas-samā'i wa mā kunnā munzilīn(a).
28. Dan setelah dia (meninggal), Kami tidak menurunkan suatu pasukan pun dari langit kepada kaumnya, dan Kami tidak perlu menurunkannya.
اِنْ كَانَتْ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً فَاِذَا هُمْ خٰمِدُوْنَ ﴿٢٩﴾
In kānat illā ṣaiḥataw wāḥidatan fa'iżā hum khāmidūn(a).
29. (Azab mereka) itu hanyalah satu teriakan saja; maka seketika itu mereka mati.
يٰحَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِۚ مَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ ﴿٣٠﴾
Yā ḥasratan ‘alal-‘ibād(i), mā ya'tīhim mir rasūlin illā kānū bihī yastahzi'ūn(a).
30. Alangkah besar penyesalan terhadap hamba-hamba itu, setiap datang seorang rasul kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokkannya.
اَلَمْ يَرَوْا كَمْ اَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِّنَ الْقُرُوْنِ اَنَّهُمْ اِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُوْنَ ﴿٣١﴾
Alam yarau kam ahlaknā qablahum minal-qurūni annahum ilaihim lā yarji‘ūn(a).
31. Tidakkah mereka mengetahui berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan? (Umat-umat) itu tidak dapat kembali kepada mereka.
وَاِنْ كُلٌّ لَّمَّا جَمِيْعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُوْنَ ࣖ ﴿٣٢﴾
Wa in kullul lammā jamī‘ul ladainā muḥḍarūn(a).
32. Dan setiap (umat), semuanya akan dihadapkan kepada Kami.
Tafsir dan Penjelasan (Ayat 13-32)
Bagian ini menyajikan sebuah perumpamaan (matsal) yang kuat tentang penduduk sebuah negeri—yang oleh para mufassir disebut sebagai Ashab al-Qaryah (penduduk Antiokia). Kisah ini berfungsi sebagai cerminan bagi kaum kafir Quraisy yang menolak dakwah Nabi Muhammad SAW. Allah mengutus dua rasul, namun mereka didustakan. Lalu, dakwah mereka diperkuat dengan utusan ketiga. Ketiganya menegaskan, "Sungguh, kami adalah utusan kepadamu."
Respons penduduk negeri itu sangat tipikal: mereka meragukan status para utusan dengan argumen dangkal, "Kamu ini hanyalah manusia seperti kami." Mereka menolak gagasan bahwa Allah akan mengutus manusia biasa dan menuduh para rasul sebagai pendusta. Para utusan hanya bisa berserah kepada Allah, "Tuhan kami mengetahui bahwa kami benar-benar utusan-Nya," dan menegaskan bahwa tugas mereka hanyalah menyampaikan risalah dengan jelas, bukan memaksa.
Ketika dakwah terus berlanjut, penduduk negeri menjadi semakin agresif. Mereka menuduh para utusan sebagai pembawa sial (tathayyur) dan mengancam akan merajam serta menyiksa mereka. Para utusan membantah dengan tegas, "Kemalanganmu itu ada pada dirimu sendiri," artinya, nasib buruk mereka adalah akibat dari kekafiran dan perbuatan syirik mereka, bukan karena kedatangan para pembawa kebenaran.
Di tengah kebuntuan ini, muncul seorang pahlawan iman. Seorang laki-laki yang datang bergegas "dari ujung kota", yang diidentifikasi oleh para ahli tafsir sebagai Habib An-Najjar. Ia tidak memiliki status sosial tinggi, namun memiliki hati yang tercerahkan. Ia menasihati kaumnya dengan argumen yang logis dan tulus: "Ikutilah para utusan itu! Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan darimu." Logikanya sederhana: motif para utusan ini murni, mereka tidak mencari keuntungan duniawi. Kemudian, ia beralih ke argumen teologis yang fundamental: "Mengapa aku tidak menyembah Dzat yang telah menciptakanku, dan kepada-Nya kalian semua akan kembali?" Ia menelanjangi kelemahan tuhan-tuhan sembahan mereka yang tidak mampu memberi manfaat atau menolak mudarat. Akhirnya, dengan keberanian penuh, ia mendeklarasikan imannya di hadapan kaumnya yang murka: "Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu, maka dengarkanlah!"
Akibat dari keberaniannya, ia dibunuh oleh kaumnya. Namun, kematiannya adalah gerbang menuju kemuliaan abadi. Dikatakan kepadanya, "Masuklah ke surga." Bahkan di dalam surga, kepeduliannya terhadap kaumnya tidak hilang. Ia berandai-andai, "Alangkah baiknya jika kaumku mengetahui ampunan dan kemuliaan yang Tuhanku berikan kepadaku." Ini menunjukkan betapa tulusnya ia menginginkan kebaikan bagi mereka.
Kisah ini ditutup dengan nasib tragis penduduk negeri itu. Allah tidak perlu menurunkan pasukan malaikat untuk menghancurkan mereka. Cukup dengan "satu teriakan yang mengguntur", mereka semua mati seketika, seperti api yang padam. Ayat-ayat selanjutnya menyuarakan penyesalan mendalam atas sikap manusia yang selalu memperolok para rasul. Kisah ini menjadi pelajaran abadi bahwa kebinasaan adalah akibat dari penolakan, dan setiap umat pada akhirnya akan dikumpulkan dan dihadapkan kepada Allah untuk diadili.
Bagian 3: Tanda-tanda Kekuasaan Allah di Alam Semesta (Ayat 33-44)
وَاٰيَةٌ لَّهُمُ الْاَرْضُ الْمَيْتَةُ ۖاَحْيَيْنٰهَا وَاَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُوْنَ ﴿٣٣﴾
Wa āyatul lahumul-arḍul-maitah(tu), aḥyaināhā wa akhrajnā minhā ḥabban fa minhu ya'kulūn(a).
33. Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati (tandus). Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka dari (biji-bijian) itu mereka makan.
وَجَعَلْنَا فِيْهَا جَنّٰتٍ مِّنْ نَّخِيْلٍ وَّاَعْنَابٍ وَّفَجَّرْنَا فِيْهَا مِنَ الْعُيُوْنِ ۙ ﴿٣٤﴾
Wa ja‘alnā fīhā jannātim min nakhīliw wa a‘nābiw wa fajjarnā fīhā minal-‘uyūn(i).
34. Dan Kami jadikan padanya di bumi itu kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air,
لِيَأْكُلُوْا مِنْ ثَمَرِهٖۙ وَمَا عَمِلَتْهُ اَيْدِيْهِمْ ۗ اَفَلَا يَشْكُرُوْنَ ﴿٣٥﴾
Liya'kulū min ṡamarhī wa mā ‘amilathu aidīhim, afalā yasykurūn(a).
35. agar mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?
سُبْحٰنَ الَّذِيْ خَلَقَ الْاَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ وَمِنْ اَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ ﴿٣٦﴾
Subḥānal-lażī khalaqal-azwāja kullahā mimmā tumbitul-arḍu wa min anfusihim wa mimmā lā ya‘lamūn(a).
36. Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
وَاٰيَةٌ لَّهُمُ الَّيْلُ ۖنَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَاِذَا هُمْ مُّظْلِمُوْنَ ۙ ﴿٣٧﴾
Wa āyatul lahumul-lailu naslakhu minhum-nahāra fa'iżā hum muẓlimūn(a).
37. Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika itu mereka (berada dalam) kegelapan,
وَالشَّمْسُ تَجْرِيْ لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ۗذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ ۗ ﴿٣٨﴾
Wasy-syamsu tajrī limustaqarril lahā, żālika taqdīrul-‘azīzil-‘alīm(i).
38. dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui.
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ ﴿٣٩﴾
Wal-qamara qaddarnāhu manāzila ḥattā ‘āda kal-‘urjūnil-qadīm(i).
39. Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua.
لَا الشَّمْسُ يَنْۢبَغِيْ لَهَآ اَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا الَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۗوَكُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ ﴿٤٠﴾
Lasy-syamsu yambagī lahā an tudrikal-qamara wa lal-lailu sābiqun-nahār(i), wa kullun fī falakiy yasbaḥūn(a).
40. Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.
وَاٰيَةٌ لَّهُمْ اَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِى الْفُلْكِ الْمَشْحُوْنِ ۙ ﴿٤١﴾
Wa āyatul lahum annā ḥamalnā żurriyyatahum fil-fulkil-masyḥūn(i).
41. Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam kapal yang penuh muatan,
وَخَلَقْنَا لَهُمْ مِّنْ مِّثْلِهٖ مَا يَرْكَبُوْنَ ﴿٤٢﴾
Wa khalaqnā lahum mim miṡlihī mā yarkabūn(a).
42. dan Kami ciptakan untuk mereka dari jenis itu apa yang mereka kendarai.
وَاِنْ نَّشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلَا صَرِيْخَ لَهُمْ وَلَا هُمْ يُنْقَذُوْنَ ۙ ﴿٤٣﴾
Wa in nasya' nugriqhum falā ṣarīkha lahum wa lā hum yunqażūn(a).
43. Dan jika Kami menghendaki, Kami tenggelamkan mereka; maka tidak ada penolong bagi mereka dan tidak (pula) mereka diselamatkan,
اِلَّا رَحْمَةً مِّنَّا وَمَتَاعًا اِلٰى حِيْنٍ ﴿٤٤﴾
Illā raḥmatam minnā wa matā‘an ilā ḥīn(in).
44. melainkan (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai waktu tertentu.
Tafsir dan Penjelasan (Ayat 33-44)
Setelah menyajikan argumen historis melalui kisah Ashab al-Qaryah, Al-Qur'an kini beralih ke argumen kosmologis. Allah mengajak manusia untuk merenungkan tanda-tanda (ayat) kekuasaan-Nya yang terhampar di alam semesta. Tanda-tanda ini adalah bukti nyata akan eksistensi, keesaan, dan kekuasaan-Nya untuk membangkitkan manusia setelah mati.
Pertama, Allah menunjuk pada "bumi yang mati". Tanah yang kering, tandus, dan tak bernyawa, kemudian dihidupkan kembali dengan turunnya hujan. Dari sana, tumbuh biji-bijian, kebun kurma, dan anggur, serta memancar mata air. Semua ini adalah sumber kehidupan dan rezeki bagi manusia. Fenomena ini adalah analogi sempurna untuk kebangkitan: jika Allah mampu menghidupkan bumi yang mati, maka Dia tentu mampu menghidupkan manusia yang telah mati. Ayat ini diakhiri dengan pertanyaan retoris yang menggugah: "Maka mengapa mereka tidak bersyukur?"
Selanjutnya, Allah menyoroti prinsip universal penciptaan secara "berpasang-pasangan" (azwaj). Tidak hanya pada tumbuhan dan manusia (laki-laki dan perempuan), tetapi juga pada "apa yang tidak mereka ketahui", mengisyaratkan adanya pasangan-pasangan di alam makrokosmos dan mikrokosmos yang mungkin baru akan terungkap oleh ilmu pengetahuan di kemudian hari. Ini menunjukkan keteraturan dan kesempurnaan ciptaan-Nya.
Tanda kekuasaan berikutnya adalah pergantian siang dan malam. Allah menggunakan kata "naslakhu" (Kami tanggalkan/kupas) siang dari malam, sebuah penggambaran yang sangat puitis dan akurat. Kemudian, perhatian dialihkan ke benda-benda langit. Matahari yang "berjalan di tempat peredarannya" dan bulan yang memiliki "tempat-tempat peredaran" (manazil) yang presisi, hingga ia tampak seperti "tandan kurma yang tua" (bulan sabit di akhir bulan). Puncaknya adalah ayat 40, yang menegaskan harmoni kosmik yang luar biasa: matahari dan bulan tidak akan saling bertabrakan, malam dan siang tidak akan saling mendahului, dan "masing-masing beredar pada garis edarnya (falak)". Ini adalah bukti ketetapan (taqdir) dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.
Terakhir, Allah mengingatkan manusia akan nikmat-Nya di lautan. Dia-lah yang memungkinkan nenek moyang manusia (dalam bahtera Nabi Nuh) dan generasi setelahnya untuk berlayar di atas kapal. Allah juga yang menciptakan kendaraan lain, baik di darat, laut, maupun udara. Namun, nikmat ini disertai peringatan: jika Allah berkehendak, Dia bisa menenggelamkan mereka kapan saja, dan tidak akan ada yang bisa menolong. Keselamatan mereka semata-mata karena rahmat Allah dan sebagai "kesenangan hidup sampai waktu tertentu". Semua tanda ini seharusnya cukup untuk membuat manusia sadar akan kelemahan dirinya dan keagungan Penciptanya.
Bagian 4: Kedegilan Kaum Musyrik dan Dahsyatnya Hari Kiamat (Ayat 45-68)
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّقُوْا مَا بَيْنَ اَيْدِيْكُمْ وَمَا خَلْفَكُمْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ﴿٤٥﴾
Wa iżā qīla lahumuttaqū mā baina aidīkum wa mā khalfakum la‘allakum turḥamūn(a).
45. Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Takutlah kamu akan siksa yang di hadapanmu (di dunia) dan azab yang akan datang (di akhirat) agar kamu mendapat rahmat.”
وَمَا تَأْتِيْهِمْ مِّنْ اٰيَةٍ مِّنْ اٰيٰتِ رَبِّهِمْ اِلَّا كَانُوْا عَنْهَا مُعْرِضِيْنَ ﴿٤٦﴾
Wa mā ta'tīhim min āyatim min āyāti rabbihim illā kānū ‘anhā mu‘riḍīn(a).
46. Dan setiap kali suatu tanda dari tanda-tanda (kebesaran) Tuhan datang kepada mereka, mereka selalu berpaling darinya.
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ اَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ ۙقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنُطْعِمُ مَنْ لَّوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ اَطْعَمَهٗٓ ۖاِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ﴿٤٧﴾
Wa iżā qīla lahum anfiqū mimmā razaqakumullāh(u), qālal-lażīna kafarū lil-lażīna āmanū anuṭ‘imu mal lau yasyā'ullāhu aṭ‘amah(ū), in antum illā fī ḍalālim mubīn(in).
47. Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakkanlah sebagian dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu,” orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, “Apakah kami akan memberi makan kepada orang yang jika Allah menghendaki, niscaya Dia akan memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
وَيَقُوْلُوْنَ مَتٰى هٰذَا الْوَعْدُ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ ﴿٤٨﴾
Wa yaqūlūna matā hāżal-wa‘du in kuntum ṣādiqīn(a).
48. Dan mereka berkata, “Kapankah janji (hari berbangkit) itu (akan datang), jika kamu orang yang benar?”
مَا يَنْظُرُوْنَ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً تَأْخُذُهُمْ وَهُمْ يَخِصِّمُوْنَ ﴿٤٩﴾
Mā yanẓurūna illā ṣaiḥataw wāḥidatan ta'khużuhum wa hum yakhiṣṣimūn(a).
49. Mereka hanya menunggu satu teriakan, yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar.
فَلَا يَسْتَطِيْعُوْنَ تَوْصِيَةً وَّلَآ اِلٰٓى اَهْلِهِمْ يَرْجِعُوْنَ ࣖ ﴿٥٠﴾
Falā yastaṭī‘ūna tauṣiyataw wa lā ilā ahlihim yarji‘ūn(a).
50. Sehingga mereka tidak mampu membuat suatu wasiat dan tidak (pula) dapat kembali kepada keluarganya.
وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَاِذَا هُمْ مِّنَ الْاَجْدَاثِ اِلٰى رَبِّهِمْ يَنْسِلُوْنَ ﴿٥١﴾
Wa nufikha fiṣ-ṣūri fa'iżā hum minal-ajdāṡi ilā rabbihim yansilūn(a).
51. Lalu ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kuburnya (dalam keadaan hidup) menuju kepada Tuhannya.
قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۗهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ ﴿٥٢﴾
Qālū yā wailanā mam ba‘aṡanā mim marqadinā, hāżā mā wa‘adar-raḥmānu wa ṣadaqal-mursalūn(a).
52. Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya).
اِنْ كَانَتْ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً فَاِذَا هُمْ جَمِيْعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُوْنَ ﴿٥٣﴾
In kānat illā ṣaiḥataw wāḥidatan fa'iżā hum jamī‘ul ladainā muḥḍarūn(a).
53. Teriakan itu hanya sekali saja, maka seketika itu mereka semua dihadapkan kepada Kami.
فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا وَّلَا تُجْزَوْنَ اِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ﴿٥٤﴾
Fal-yauma lā tuẓlamu nafsun syai'aw wa lā tujzauna illā mā kuntum ta‘malūn(a).
54. Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kamu tidak akan diberi balasan, kecuali sesuai dengan apa yang telah kamu kerjakan.
اِنَّ اَصْحٰبَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِيْ شُغُلٍ فٰكِهُوْنَ ﴿٥٥﴾
Inna aṣḥābal-jannatil-yauma fī syugulin fākihūn(a).
55. Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka).
هُمْ وَاَزْوَاجُهُمْ فِيْ ظِلٰلٍ عَلَى الْاَرَاۤىِٕكِ مُتَّكِـُٔوْنَ ﴿٥٦﴾
Hum wa azwājuhum fī ẓilālin ‘alal-arā'iki muttaki'ūn(a).
56. Mereka dan pasangan-pasangannya berada dalam tempat yang teduh, bersandar di atas dipan-dipan.
لَهُمْ فِيْهَا فَاكِهَةٌ وَّلَهُمْ مَّا يَدَّعُوْنَ ﴿٥٧﴾
Lahum fīhā fākihatuw wa lahum mā yadda‘ūn(a).
57. Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa saja yang mereka inginkan.
سَلٰمٌۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ ﴿٥٨﴾
Salāmun qaulam mir rabbir raḥīm(in).
58. (Kepada mereka dikatakan), “Salam,” sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.
وَامْتَازُوا الْيَوْمَ اَيُّهَا الْمُجْرِمُوْنَ ﴿٥٩﴾
Wamtāzul-yauma ayyuhal-mujrimūn(a).
59. Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir), “Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, wahai orang-orang yang berdosa!
اَلَمْ اَعْهَدْ اِلَيْكُمْ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ اَنْ لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطٰنَ ۚاِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ﴿٦٠﴾
Alam a‘had ilaikum yā banī ādama al lā ta‘budusy-syaiṭān(a), innahū lakum ‘aduwwum mubīn(un).
60. Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu,
وَاَنِ اعْبُدُوْنِيْ ۗهٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيْمٌ ﴿٦١﴾
Wa ani‘budūnī, hāżā ṣirāṭum mustaqīm(un).
61. dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.
وَلَقَدْ اَضَلَّ مِنْكُمْ جِبِلًّا كَثِيْرًا ۗاَفَلَمْ تَكُوْنُوْا تَعْقِلُوْنَ ﴿٦٢﴾
Wa laqad aḍalla minkum jibillan kaṡīrā, afalam takūnū ta‘qilūn(a).
62. Dan sungguh, ia (setan itu) telah menyesatkan sebagian besar di antara kamu. Maka apakah kamu tidak mengerti?
هٰذِهٖ جَهَنَّمُ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ ﴿٦٣﴾
Hāżihī jahannamul-latī kuntum tū‘adūn(a).
63. Inilah (neraka) Jahanam yang dahulu telah diperingatkan kepadamu.
اِصْلَوْهَا الْيَوْمَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُوْنَ ﴿٦٤﴾
Iṣlauhal-yauma bimā kuntum takfurūn(a).
64. Masuklah ke dalamnya pada hari ini karena dahulu kamu mengingkarinya.
اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ ﴿٦٥﴾
Al-yauma nakhtimu ‘alā afwāhihim wa tukallimunā aidīhim wa tasyhadu arjuluhum bimā kānū yaksibūn(a).
65. Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan menjadi saksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.
وَلَوْ نَشَاۤءُ لَطَمَسْنَا عَلٰٓى اَعْيُنِهِمْ فَاسْتَبَقُوا الصِّرَاطَ فَاَنّٰى يُبْصِرُوْنَ ﴿٦٦﴾
Wa lau nasyā'u laṭamasnā ‘alā a‘yunihim fastabaquṣ-ṣirāṭa fa annā yubṣirūn(a).
66. Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka; lalu mereka berlomba-lomba (mencari) jalan. Maka bagaimana mungkin mereka dapat melihat?
وَلَوْ نَشَاۤءُ لَمَسَخْنٰهُمْ عَلٰى مَكَانَتِهِمْ فَمَا اسْتَطَاعُوْا مُضِيًّا وَّلَا يَرْجِعُوْنَ ࣖ ﴿٦٧﴾
Wa lau nasyā'u lamasakhnāhum ‘alā makānatihim famastaṭā‘ū muḍiyyaw wa lā yarji‘ūn(a).
67. Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami ubah bentuk mereka di tempat mereka berada; sehingga mereka tidak sanggup berjalan lagi dan tidak (pula) sanggup kembali.
وَمَنْ نُّعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِى الْخَلْقِۗ اَفَلَا يَعْقِلُوْنَ ﴿٦٨﴾
Wa man nu‘ammirhu nunakkishu fil-khalq(i), afalā ya‘qilūn(a).
68. Dan barangsiapa Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada awal kejadian(nya). Maka mengapa mereka tidak mengerti?
Tafsir dan Penjelasan (Ayat 45-68)
Bagian ini kembali fokus pada sikap kaum musyrikin yang keras kepala. Ketika mereka dinasihati untuk takut kepada azab dunia dan akhirat, mereka justru berpaling. Setiap kali ayat atau tanda kekuasaan Allah datang, mereka mengabaikannya. Sikap sinis mereka juga terlihat dalam masalah sosial. Ketika diminta berinfak, mereka menjawab dengan logika yang sesat: "Apakah kami harus memberi makan orang yang jika Allah mau, Dia sendiri bisa memberinya makan?" Argumen ini adalah bentuk penghinaan dan pengingkaran terhadap konsep ujian dan tanggung jawab sosial dalam Islam.
Kemudian, mereka menantang dengan sombong, "Kapan janji (hari kiamat) itu akan datang?" Allah menjawab bahwa kiamat akan datang secara tiba-tiba, melalui "satu teriakan" yang mematikan, yang akan menyergap mereka saat mereka sedang sibuk dalam perdebatan dan urusan duniawi. Kedatangannya begitu cepat sehingga mereka tidak sempat berwasiat atau kembali ke keluarga.
Setelah tiupan sangkakala pertama yang mematikan, datanglah tiupan kedua yang membangkitkan. Mereka semua keluar dari kubur menuju Tuhan mereka dengan penuh keterkejutan dan penyesalan, "Celakalah kami! Siapa yang membangkitkan kami dari kubur?" Saat itu, mereka baru menyadari bahwa inilah janji Ar-Rahman yang dulu mereka dustakan. Dengan satu teriakan lagi, semua makhluk dikumpulkan di hadapan Allah. Pada hari itu, pengadilan-Nya maha adil, tidak ada satu jiwa pun yang dirugikan, dan balasan setimpal dengan perbuatan.
Selanjutnya, Al-Qur'an menggambarkan kontras nasib antara penghuni surga dan neraka. Para penghuni surga digambarkan sedang "bersenang-senang dalam kesibukan" (syugulin fakihun), menikmati kebahagiaan bersama pasangan mereka di tempat yang teduh, mendapatkan apa pun yang mereka inginkan. Puncak kenikmatan mereka adalah ucapan "Salam" dari Allah, Tuhan Yang Maha Penyayang, sebuah pengakuan dan penghormatan tertinggi.
Sebaliknya, para pendosa diperintahkan untuk "berpisah" dari orang-orang beriman. Allah akan mengingatkan mereka akan perjanjian primordial di mana anak cucu Adam diperintahkan untuk tidak menyembah setan, musuh yang nyata, dan hanya menyembah Allah di jalan yang lurus. Mereka akan diperlihatkan Neraka Jahanam yang dulu mereka ingkari. Pada hari itu, mulut mereka dikunci. Anggota tubuh mereka—tangan dan kaki—yang akan bersaksi atas semua perbuatan mereka. Ini adalah penegasan keadilan absolut Allah, di mana tidak ada ruang untuk kebohongan. Ayat-ayat penutup bagian ini mengingatkan bahwa jika Allah mau, Dia bisa saja membutakan mata atau mengubah wujud mereka di dunia, tetapi Dia menangguhkannya. Dan sebagai pengingat akan kefanaan, Allah menyebutkan proses penuaan, di mana manusia yang dipanjangkan umurnya akan dikembalikan ke kondisi lemah seperti bayi. "Maka mengapa mereka tidak mengerti?"
Bagian 5: Penegasan Al-Qur'an, Kekuasaan Penciptaan, dan Kebangkitan (Ayat 69-83)
وَمَا عَلَّمْنٰهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْۢبَغِيْ لَهٗ ۗاِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ وَّقُرْاٰنٌ مُّبِيْنٌ ۙ ﴿٦٩﴾
Wa mā ‘allamnāhusy-syi‘ra wa mā yambagī lah(ū), in huwa illā żikruw wa qur'ānum mubīn(un).
69. Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya. Al-Qur'an itu tidak lain adalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan,
لِّيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَّيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ ﴿٧٠﴾
Liyunżira man kāna ḥayyaw wa yaḥiqqal-qaulu ‘alal-kāfirīn(a).
70. agar dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan agar pasti ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir.
اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِّمَّا عَمِلَتْ اَيْدِيْنَآ اَنْعَامًا فَهُمْ لَهَا مٰلِكُوْنَ ﴿٧١﴾
Awalam yarau annā khalaqnā lahum mimmā ‘amilat aidīnā an‘āman fahum lahā mālikūn(a).
71. Dan tidakkah mereka melihat bahwa Kami telah menciptakan hewan ternak untuk mereka, yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami, lalu mereka menguasainya?
وَذَلَّلْنٰهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوْبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُوْنَ ﴿٧٢﴾
Wa żalalnāhā lahum fa minhā rakūbuhum wa minhā ya'kulūn(a).
72. Dan Kami menundukkannya (hewan-hewan itu) untuk mereka; lalu sebagiannya untuk menjadi tunggangan mereka dan sebagian untuk mereka makan.
وَلَهُمْ فِيْهَا مَنَافِعُ وَمَشَارِبُۗ اَفَلَا يَشْكُرُوْنَ ﴿٧٣﴾
Wa lahum fīhā manāfi‘u wa masyārib(u), afalā yasykurūn(a).
73. Dan mereka memperoleh berbagai manfaat dan minuman darinya. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?
وَاتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اٰلِهَةً لَّعَلَّهُمْ يُنْصَرُوْنَ ﴿٧٤﴾
Wattakhażū min dūnillāhi ālihatal la‘allahum yunṣarūn(a).
74. Dan mereka mengambil sesembahan selain Allah agar mereka mendapat pertolongan.
لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ نَصْرَهُمْۙ وَهُمْ لَهُمْ جُنْدٌ مُّحْضَرُوْنَ ﴿٧٥﴾
Lā yastaṭī‘ūna naṣrahum, wa hum lahum jundum muḥḍarūn(a).
75. (Sesembahan) itu tidak dapat menolong mereka; padahal mereka itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga (sesembahan) itu.
فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ ۘاِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ وَمَا يُعْلِنُوْنَ ﴿٧٦﴾
Falā yaḥzunka qauluhum, innā na‘lamu mā yusirrūna wa mā yu‘linūn(a).
76. Maka jangan sampai ucapan mereka membuat engkau (Muhammad) bersedih hati. Sungguh, Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.
اَوَلَمْ يَرَ الْاِنْسَانُ اَنَّا خَلَقْنٰهُ مِنْ نُّطْفَةٍ فَاِذَا هُوَ خَصِيْمٌ مُّبِيْنٌ ﴿٧٧﴾
Awalam yaral-insānu annā khalaqnāhu min nuṭfatin fa'iżā huwa khaṣīmum mubīn(un).
77. Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, lalu tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata.
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّنَسِيَ خَلْقَهٗۗ قَالَ مَنْ يُّحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ ﴿٧٨﴾
Wa ḍaraba lanā maṡalaw wa nasiya khalqah(ū), qāla may yuḥyil-‘iẓāma wa hiya ramīm(un).
78. Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan dia lupa akan kejadiannya; ia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?”
قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْٓ اَنْشَاَهَآ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۗوَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ ۙ ﴿٧٩﴾
Qul yuḥyīhal-lażī ansya'ahā awwala marrah(tin), wa huwa bikulli khalqin ‘alīm(un).
79. Katakanlah (Muhammad), “Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.
ۨالَّذِيْ جَعَلَ لَكُمْ مِّنَ الشَّجَرِ الْاَخْضَرِ نَارًا فَاِذَآ اَنْتُمْ مِّنْهُ تُوْقِدُوْنَ ﴿٨٠﴾
Allażī ja‘ala lakum minasy-syajaril-akhḍari nāran fa'iżā antum minhu tūqidūn(a).
80. yaitu (Allah) yang menjadikan api untukmu dari kayu yang hijau, maka seketika itu kamu nyalakan (api) dari kayu itu.”
اَوَلَيْسَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِقٰدِرٍ عَلٰٓى اَنْ يَّخْلُقَ مِثْلَهُمْ ۗبَلٰى وَهُوَ الْخَلّٰقُ الْعَلِيْمُ ﴿٨١﴾
Awa laisal-lażī khalaqas-samāwāti wal-arḍa biqādirin ‘alā ay yakhluqa miṡlahum, balā wa huwal-khallāqul-‘alīm(u).
81. Dan bukankah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi, mampu menciptakan kembali yang serupa itu (jasad mereka yang sudah hancur)? Benar. Dan Dia Maha Pencipta, Maha Mengetahui.
اِنَّمَآ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔا اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ ﴿٨٢﴾
Innamā amruhū iżā arāda syai'an ay yaqūla lahū kun fa yakūn(u).
82. Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.
فَسُبْحٰنَ الَّذِيْ بِيَدِهٖ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ وَّاِلَيْهِ تُرْjَعُوْنَ ࣖ ﴿٨٣﴾
Fa subḥānal-lażī biyadihī malakūtu kulli syai'iw wa ilaihi turja‘ūn(a).
83. Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.
Tafsir dan Penjelasan (Ayat 69-83)
Bagian penutup surat ini kembali menegaskan status Al-Qur'an dan menjawab keraguan terakhir tentang hari kebangkitan. Allah membantah tuduhan kaum kafir bahwa Nabi Muhammad adalah seorang penyair. "Kami tidak mengajarkan syair kepadanya," firman Allah, karena syair dan wahyu adalah dua hal yang sangat berbeda. Al-Qur'an adalah "pelajaran dan kitab yang memberi penerangan" (dzikrun wa qur'anum mubin), yang tujuannya adalah memberi peringatan kepada orang yang "hidup" hatinya dan sebagai penegak hujjah atas orang-orang kafir.
Allah kembali mengajak merenung, kali ini pada nikmat hewan ternak yang ditundukkan untuk manusia, sebagai tunggangan, makanan, dan sumber manfaat lainnya. Lagi-lagi, ayat ini diakhiri dengan pertanyaan, "Maka mengapa mereka tidak bersyukur?" Sebaliknya, mereka malah mengambil tuhan-tuhan selain Allah dengan harapan mendapat pertolongan, padahal sesembahan itu sama sekali tidak berdaya. Ironisnya, para penyembah itulah yang justru menjadi "tentara" yang menjaga berhala-berhala mereka. Allah kemudian menghibur Nabi Muhammad SAW agar tidak bersedih atas ucapan mereka, karena Allah mengetahui segala yang tersembunyi dan yang tampak.
Klimaks dari surat ini adalah bantahan telak terhadap argumen orang yang mengingkari hari kebangkitan. Allah mengingatkan manusia akan asal-usulnya yang hina: dari setetes mani (nutfah). Namun, setelah menjadi manusia yang sempurna, ia justru menjadi "penantang yang nyata". Diceritakan tentang seseorang (Ubay bin Khalaf, menurut riwayat) yang datang membawa tulang-belulang yang hancur dan bertanya dengan sinis, "Siapa yang bisa menghidupkan tulang yang sudah hancur luluh ini?"
Allah memerintahkan Nabi untuk menjawab dengan argumen yang tak terbantahkan: "Yang akan menghidupkannya ialah Dzat yang menciptakannya pertama kali." Logikanya, menciptakan dari ketiadaan jauh lebih sulit daripada membangkitkan dari sisa-sisa yang ada. Allah adalah "Maha Mengetahui tentang segala makhluk". Kemudian, Allah memberikan analogi lain dari alam: Dzat yang mampu mengeluarkan api (energi panas) dari kayu yang hijau (yang mengandung air), tentu mampu melakukan hal yang lebih hebat lagi. Puncaknya, Allah bertanya, "Bukankah Dzat yang menciptakan langit dan bumi yang begitu besar, mampu menciptakan kembali manusia yang kecil?" Jawabannya adalah "Bala!" (Benar!). Dia adalah Al-Khallaq (Maha Pencipta) dan Al-'Alim (Maha Mengetahui).
Surat ini ditutup dengan dua ayat paling agung yang merangkum kekuasaan absolut Allah. Perintah-Nya tidak memerlukan proses, waktu, atau usaha. Jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berfirman, "Jadilah!" (Kun), maka terjadilah (fa yakun). Ayat terakhir adalah tasbih agung, "Maka Mahasuci Dzat yang di tangan-Nya kekuasaan (malakut) atas segala sesuatu, dan hanya kepada-Nya lah kalian semua dikembalikan." Ini adalah penutup yang sempurna, mengembalikan semua urusan kepada Sang Pemilik Kerajaan Absolut, Allah SWT.
Keutamaan Surat Yasin
Surat Yasin memiliki banyak keutamaan yang disebutkan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Meskipun sebagian hadis memiliki perdebatan mengenai tingkat kesahihannya, umat Islam secara tradisi sangat menghormati dan mengamalkan pembacaan surat ini karena kandungan maknanya yang luar biasa.
- Jantung Al-Qur'an: Keutamaan yang paling masyhur adalah julukannya sebagai 'Qalbul Qur'an'. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Anas bin Malik ra, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, dan hatinya Al-Qur'an adalah Yasin." Ini mengisyaratkan bahwa Surat Yasin mengandung esensi dan pokok-pokok ajaran Al-Qur'an.
- Ampunan Dosa: Membaca Surat Yasin dengan niat ikhlas karena Allah diyakini dapat menjadi wasilah untuk mendapatkan ampunan. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa "Barangsiapa membaca (surat) Yasin pada malam hari dengan mengharap keridhaan Allah, maka diampuni dosanya."
- Meringankan Sakaratul Maut: Surat Yasin seringkali dibacakan untuk orang yang sedang menghadapi sakaratul maut. Diyakini bahwa bacaan surat ini dapat memberikan ketenangan dan kemudahan bagi ruh untuk keluar dari jasad, berdasarkan anjuran dalam beberapa riwayat untuk membacakannya di sisi orang yang akan meninggal.
- Memenuhi Hajat: Sebagian ulama berpendapat bahwa membaca Surat Yasin dengan khusyuk dan penuh pengharapan dapat menjadi perantara terkabulnya doa dan hajat seseorang, karena di dalamnya terkandung pengagungan yang luar biasa terhadap kekuasaan Allah SWT.
Terlepas dari berbagai keutamaan tersebut, manfaat terbesar dari membaca Surat Yasin adalah merenungkan makna dan pesan-pesan agung di dalamnya: tentang kebenaran risalah, bukti kekuasaan Allah di alam semesta, dahsyatnya hari kebangkitan, dan kepastian adanya hari pembalasan. Inilah yang akan menguatkan iman dan menuntun seseorang ke jalan yang lurus.