Surat Yasin: Jantung Al-Qur'an
Surat Yasin (يس) adalah surat ke-36 dalam Al-Qur'an. Terdiri dari 83 ayat, surat ini tergolong sebagai surat Makkiyah, yaitu surat yang diturunkan di kota Mekkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ. Nama "Yasin" diambil dari ayat pertamanya, yang merupakan bagian dari huruf muqatta'at (huruf-huruf terpotong) yang makna sejatinya hanya diketahui oleh Allah SWT.
Surat ini memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam tradisi Islam, sering kali disebut sebagai "Qalbul Qur'an" atau jantungnya Al-Qur'an. Sebutan ini mencerminkan betapa pentingnya kandungan pesan yang ada di dalamnya. Pokok-pokok ajaran dalam Surat Yasin meliputi penegasan tentang kebenaran risalah Nabi Muhammad ﷺ, dalil-dalil kuat mengenai keesaan Allah (tauhid), bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta, kisah umat terdahulu sebagai pelajaran, dan yang paling menonjol adalah penjelasan terperinci mengenai hari kebangkitan (kiamat) serta kehidupan setelah mati. Membaca dan merenungi Surat Yasin diyakini dapat memberikan ketenangan batin, memperkuat iman, dan mengingatkan kita akan tujuan akhir kehidupan.
Bacaan Lengkap Surat Yasin: Arab, Latin, dan Terjemahan
Ayat 1
يّۤسۤ ۚ
Yā Sīn.
"Yā Sīn."
Tafsir & Penjelasan: Ayat ini dibuka dengan huruf muqatta'at (huruf-huruf misterius). Para ulama tafsir memiliki beragam pandangan mengenai maknanya. Sebagian berpendapat bahwa hanya Allah yang mengetahui artinya, dan ini adalah salah satu bentuk mukjizat Al-Qur'an yang menantang kemampuan manusia. Pendapat lain menyatakan bahwa "Yā Sīn" adalah salah satu nama atau panggilan untuk Nabi Muhammad ﷺ, yang berarti "Wahai Manusia Sempurna". Ada pula yang menafsirkannya sebagai sumpah Allah dengan huruf-huruf ini untuk menegaskan keagungan Al-Qur'an yang diturunkan setelahnya. Apapun maknanya, pembukaan ini langsung menarik perhatian pembaca untuk fokus pada wahyu agung yang akan disampaikan.
Ayat 2
وَالْقُرْاٰنِ الْحَكِيْمِۙ
Wal-qur'ānil-ḥakīm(i).
"Demi Al-Qur'an yang penuh hikmah,"
Tafsir & Penjelasan: Allah SWT bersumpah dengan Al-Qur'an. Sumpah ini menunjukkan betapa mulia dan agungnya kedudukan Al-Qur'an. Sifat Al-Qur'an yang disebutkan di sini adalah "Al-Hakim", yang berarti penuh hikmah. Hikmah ini tercermin dalam berbagai aspek: hukum-hukumnya yang adil dan bijaksana, kisah-kisahnya yang penuh pelajaran, susunan katanya yang indah dan kokoh, serta petunjuknya yang lurus dan tidak pernah lekang oleh waktu. Al-Qur'an adalah kitab yang ayat-ayatnya tersusun rapi, kandungannya benar, dan tidak ada sedikit pun keraguan atau kebatilan di dalamnya.
Ayat 3
اِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِيْنَۙ
Innaka laminal-mursalīn(a).
"sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar salah seorang dari rasul-rasul,"
Ayat 4
عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۗ
‘Alā ṣirāṭim mustaqīm(in).
"(yang berada) di atas jalan yang lurus,"
Tafsir & Penjelasan (Ayat 3-4): Setelah bersumpah dengan Al-Qur'an, Allah SWT menegaskan status kerasulan Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah jawaban langsung terhadap keraguan dan tuduhan kaum kafir Quraisy yang tidak mempercayai kenabiannya. Penegasan ini menggunakan kata "inna" (sesungguhnya) dan "la" (benar-benar) untuk menghilangkan segala keraguan. Lebih lanjut, Allah menjelaskan bahwa jalan yang ditempuh Nabi Muhammad ﷺ adalah "ṣirāṭim mustaqīm" atau jalan yang lurus. Jalan lurus ini adalah ajaran tauhid, syariat yang adil, dan akhlak yang mulia. Ia adalah jalan yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat, jalan yang sama yang ditempuh oleh para nabi dan rasul sebelumnya.
Ayat 5
تَنْزِيْلَ الْعَزِيْزِ الرَّحِيْمِۙ
Tanzīlal-‘azīzir-raḥīm(i).
"(sebagai wahyu) yang diturunkan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang,"
Tafsir & Penjelasan: Ayat ini menjelaskan sumber dari Al-Qur'an dan risalah yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ. Wahyu tersebut bukanlah karangan manusia, melainkan diturunkan langsung oleh Allah SWT. Allah menyifati diri-Nya dengan dua nama agung: "Al-Aziz" (Yang Mahaperkasa) dan "Ar-Rahim" (Maha Penyayang). "Al-Aziz" menunjukkan bahwa Allah memiliki kekuasaan mutlak untuk menurunkan wahyu-Nya, melindungi rasul-Nya, dan memenangkan kebenaran atas kebatilan. Tidak ada yang bisa menghalangi kehendak-Nya. Sementara "Ar-Rahim" menunjukkan bahwa penurunan Al-Qur'an adalah manifestasi dari kasih sayang Allah yang tak terhingga kepada hamba-hamba-Nya, sebagai petunjuk untuk menyelamatkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.
Ayat 6
لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَّآ اُنْذِرَ اٰبَاۤؤُهُمْ فَهُمْ غٰفِلُوْنَ
Litunżira qaumam mā unżira ābā'uhum fahum gāfilūn(a).
"agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai."
Tafsir & Penjelasan: Di sini dijelaskan tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad ﷺ, yaitu untuk memberi peringatan (inżār). Peringatan ini ditujukan secara khusus kepada bangsa Arab pada waktu itu, yang telah lama hidup dalam periode kekosongan nabi (fatrah) sejak zaman Nabi Ismail AS. Akibatnya, mereka tenggelam dalam kelalaian (ghaflah), menyembah berhala, dan melupakan ajaran tauhid yang murni. Kelalaian inilah sumber dari segala kesesatan. Maka, kedatangan Nabi Muhammad ﷺ dengan Al-Qur'an berfungsi sebagai "pembangun" dari tidur panjang kelalaian tersebut, mengingatkan mereka kembali kepada Allah, Sang Pencipta.
Ayat 7
لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلٰٓى اَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Laqad ḥaqqal-qaulu ‘alā akṡarihim fahum lā yu'minūn(a).
"Sungguh, pasti berlaku perkataan (hukuman) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman."
Tafsir & Penjelasan: Ayat ini menggambarkan konsekuensi dari penolakan yang keras kepala. "Perkataan (hukuman)" yang dimaksud adalah ketetapan azab dari Allah bagi mereka yang setelah diberi peringatan dan bukti yang jelas, tetap memilih untuk ingkar. Ini bukanlah paksaan dari Allah, melainkan akibat dari pilihan mereka sendiri. Ketika seseorang terus-menerus menolak kebenaran, hatinya akan tertutup dan terkunci, sehingga ia tidak lagi mampu menerima hidayah. Allah mengetahui sejak awal siapa yang akan memilih jalan kekafiran, dan ketetapan-Nya pun berlaku atas mereka.
Ayat 8
اِنَّا جَعَلْنَا فِيْٓ اَعْنَاقِهِمْ اَغْلٰلًا فَهِيَ اِلَى الْاَذْقَانِ فَهُمْ مُّقْمَحُوْنَ
Innā ja‘alnā fī a‘nāqihim aglālan fa hiya ilal-ażqāni fahum muqmaḥūn(a).
"Sungguh, Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu (tangan mereka yang terbelenggu) diangkat ke dagu, karena itu mereka tertengadah."
Ayat 9
وَجَعَلْنَا مِنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ سَدًّا وَّمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَاَغْشَيْنٰهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُوْنَ
Wa ja‘alnā mim baini aidīhim saddaw wa min khalfihim saddan fa agsyaināhum fahum lā yubṣirūn(a).
"Dan Kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga sekat, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat."
Tafsir & Penjelasan (Ayat 8-9): Kedua ayat ini menggunakan gaya bahasa metaforis yang sangat kuat untuk menggambarkan kondisi spiritual orang-orang kafir yang hatinya telah terkunci. "Belenggu di leher" (aglāl) melambangkan kesombongan dan keangkuhan mereka yang menghalangi mereka untuk menundukkan kepala menerima kebenaran. Posisi "tertengadah" (muqmaḥūn) menggambarkan mereka yang tidak bisa melihat jalan yang benar di hadapan mereka karena kesombongan. "Sekat di depan dan di belakang" (saddan) melambangkan ketertutupan total mereka dari petunjuk. Mereka tidak bisa belajar dari masa lalu (di belakang mereka) dan tidak bisa melihat kebenaran di masa depan (di depan mereka). "Kami tutup mata mereka" adalah puncaknya, yang berarti mereka buta secara spiritual, tidak mampu melihat tanda-tanda kebesaran Allah meskipun tersebar di mana-mana. Ini adalah gambaran mengerikan dari hati yang mati akibat penolakan terus-menerus.
Ayat 10
وَسَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wa sawā'un ‘alaihim a'anżartahum am lam tunżirhum lā yu'minūn(a).
"Dan sama saja bagi mereka, apakah engkau memberi peringatan kepada mereka atau engkau tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman juga."
Ayat 11
اِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمٰنَ بِالْغَيْبِۚ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَّاَجْرٍ كَرِيْمٍ
Innamā tunżiru manittaba‘aż-żikra wa khasyiyar-raḥmāna bil-gaib(i), fa basysyirhu bimagfiratiw wa ajrin karīm(in).
"Sesungguhnya engkau hanya (bisa) memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, walaupun mereka tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia."
Tafsir & Penjelasan (Ayat 10-11): Ayat 10 menegaskan kembali bahwa bagi orang-orang yang hatinya telah terkunci, peringatan tidak lagi berguna. Ini bukan berarti Nabi harus berhenti berdakwah, tetapi sebagai penghiburan bagi beliau agar tidak bersedih atas penolakan mereka. Sebaliknya, ayat 11 menjelaskan siapa yang sesungguhnya bisa mengambil manfaat dari peringatan tersebut. Mereka adalah orang yang memiliki dua sifat utama: pertama, "mengikuti peringatan" (ittaba‘aż-żikr), artinya mereka membuka hati dan pikiran untuk mendengarkan dan merenungkan Al-Qur'an. Kedua, "takut kepada Ar-Rahman secara ghaib" (khasyiyar-raḥmāna bil-gaib), yaitu memiliki rasa takut dan takwa kepada Allah meskipun tidak dapat melihat-Nya. Inilah iman yang sejati. Bagi orang-orang seperti inilah, Allah menjanjikan kabar gembira berupa ampunan (maghfirah) atas dosa-dosa mereka dan pahala yang mulia (ajrun karīm), yaitu surga.
Ayat 12
اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْۗ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ ࣖ
Innā naḥnu nuḥyil-mautā wa naktubu mā qaddamū wa āṡārahum, wa kulla syai'in aḥṣaināhu fī imāmim mubīn(in).
"Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang jelas (Lauh Mahfuzh)."
Tafsir & Penjelasan: Ayat ini menjadi penutup bagian pertama dan merupakan salah satu ayat sentral dalam surat ini. Allah menegaskan tiga hal penting:
1. Kekuasaan untuk Menghidupkan yang Mati (nuḥyil-mautā): Ini adalah penegasan utama tentang hari kebangkitan, menjawab keraguan kaum kafir. Sebagaimana Allah berkuasa menciptakan dari ketiadaan, Dia juga berkuasa membangkitkan kembali setelah kematian.
2. Pencatatan Amal (naktubu mā qaddamū wa āṡārahum): Allah mencatat semua amal perbuatan manusia, baik yang mereka lakukan langsung ("mā qaddamū") maupun "bekas-bekas" atau jejak yang mereka tinggalkan ("āṡārahum"). Jejak ini bisa berupa ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, anak saleh yang mendoakan, atau sebaliknya, jejak keburukan seperti tradisi maksiat yang terus diikuti orang lain setelah ia mati. Ini mengajarkan bahwa tanggung jawab manusia tidak berhenti saat ia meninggal.
3. Kitab Induk (Imāmim Mubīn): Semua catatan tersebut terkumpul dengan sangat rinci dan akurat dalam "Kitab Induk yang Jelas", yaitu Lauh Mahfuzh. Tidak ada satu pun perbuatan, sekecil apapun, yang akan luput dari perhitungan Allah. Ayat ini menjadi pengingat kuat akan adanya pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Kisah Penduduk Negeri: Pelajaran dari Umat Terdahulu (Ayat 13-32)
Bagian ini menyajikan sebuah perumpamaan (matsal) tentang penduduk sebuah negeri yang didatangi oleh para utusan Allah. Para ulama tafsir menyebut negeri ini kemungkinan adalah Antakya (Antiokia). Kisah ini berfungsi sebagai cermin bagi kaum Quraisy dan seluruh umat manusia tentang akibat dari mendustakan para rasul.
Ayat 13
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلًا اَصْحٰبَ الْقَرْيَةِۘ اِذْ جَاۤءَهَا الْمُرْسَلُوْنَۚ
Waḍrib lahum maṡalan aṣḥābal-qaryah(ti), iż jā'ahal-mursalūn(a).
"Dan buatlah suatu perumpamaan bagi mereka, yaitu penduduk suatu negeri, ketika para utusan datang kepada mereka;"
Ayat 14
اِذْ اَرْسَلْنَآ اِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوْهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوْٓا اِنَّآ اِلَيْكُمْ مُّرْسَلُوْنَ
Iż arsalnā ilaihimuṡnaini fa każżabūhumā fa ‘azzaznā biṡāliṡin faqālū innā ilaikum mursalūn(a).
"(yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga (utusan itu) berkata, “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.”"
Tafsir & Penjelasan (Ayat 13-14): Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk menyampaikan perumpamaan ini. Awalnya diutus dua orang rasul, namun penduduk negeri itu langsung mendustakan mereka. Sebagai bentuk kasih sayang dan untuk memperkuat hujjah, Allah mengutus rasul ketiga. Ini menunjukkan betapa sabarnya Allah dalam memberi petunjuk, tidak langsung menurunkan azab. Para utusan dengan tegas menyatakan misi mereka: "Sesungguhnya kami diutus kepadamu".
Ayat 15
قَالُوْا مَآ اَنْتُمْ اِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُنَاۙ وَمَآ اَنْزَلَ الرَّحْمٰنُ مِنْ شَيْءٍۙ اِنْ اَنْتُمْ اِلَّا تَكْذِبُوْنَ
Qālū mā antum illā basyarum miṡlunā, wa mā anzalar-raḥmānu min syai'(in), in antum illā takżibūn(a).
"Mereka (penduduk negeri) menjawab, “Kamu ini tidak lain hanyalah manusia seperti kami, dan (Allah) Yang Maha Pengasih tidak menurunkan sesuatu apa pun; kamu ini tidak lain hanyalah pendusta.”"
Tafsir & Penjelasan: Argumen penduduk negeri ini adalah argumen klasik yang selalu digunakan oleh kaum penentang rasul sepanjang sejarah. Pertama, mereka merendahkan para utusan dengan alasan bahwa mereka hanyalah "manusia biasa" seperti mereka. Mereka mengharapkan utusan Tuhan adalah malaikat atau makhluk luar biasa. Kedua, mereka mengingkari konsep wahyu itu sendiri, dengan mengatakan bahwa "Allah tidak menurunkan sesuatu apa pun". Puncaknya, mereka menuduh para utusan sebagai pendusta. Ini adalah cerminan dari kesombongan yang menutup mata hati dari kebenaran.
Ayat 16
قَالُوْا رَبُّنَا يَعْلَمُ اِنَّآ اِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُوْنَ
Qālū rabbunā ya‘lamu innā ilaikum lamursalūn(a).
"Mereka (para utusan) berkata, “Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami benar-benar orang-orang yang diutus kepadamu."
Ayat 17
وَمَا عَلَيْنَآ اِلَّا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ
Wa mā ‘alainā illal-balāgul-mubīn(u).
"Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.”"
Tafsir & Penjelasan (Ayat 16-17): Menghadapi tuduhan dusta, para utusan tidak membalas dengan amarah. Mereka menyerahkan kebenaran status mereka kepada Allah ("Tuhan kami mengetahui"). Ini adalah sikap tawakal yang luar biasa. Mereka kemudian menegaskan kembali tugas utama mereka, yaitu "al-balāghul-mubīn" atau menyampaikan risalah dengan jelas. Tugas seorang rasul atau dai bukanlah untuk memaksa orang beriman, melainkan untuk memastikan pesannya tersampaikan dengan sempurna. Hidayah adalah mutlak urusan Allah.
Ayat 18
قَالُوْٓا اِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهُوْا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِّنَّا عَذَابٌ اَلِيْمٌ
Qālū innā taṭayyarnā bikum, la'il lam tantahū lanarjumannakum wa layamassannakum minnā ‘ażābun alīm(un).
"Mereka (penduduk negeri) berkata, “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. Sungguh, jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan merasakan siksaan yang pedih dari kami.”"
Tafsir & Penjelasan: Ketika argumen logis mereka terpatahkan, penduduk negeri beralih ke takhayul dan ancaman fisik. Mereka menganggap kehadiran para utusan sebagai penyebab kesialan (tathayyur). Ini adalah praktik jahiliyah di mana suatu kejadian buruk dikaitkan dengan kehadiran orang atau sesuatu yang dianggap membawa sial. Kemudian, mereka mengancam dengan rajam (lemparan batu sampai mati) dan siksaan pedih. Ini menunjukkan kebrutalan dan kebangkrutan intelektual dari para penentang kebenaran.
Ayat 19
قَالُوْا طَاۤىِٕرُكُمْ مَّعَكُمْۗ اَىِٕنْ ذُكِّرْتُمْۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ
Qālū ṭā'irukum ma‘akum, a'in żukkirtum, bal antum qaumum musrifūn(a).
"Mereka (para utusan) berkata, “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.”"
Tafsir & Penjelasan: Para utusan dengan cerdas membalikkan tuduhan mereka. Mereka menjelaskan bahwa sumber kesialan dan kemalangan sejati bukanlah dari luar, melainkan dari dalam diri mereka sendiri, yaitu dari perbuatan syirik dan maksiat mereka ("ṭā'irukum ma‘akum"). Apakah pantas seseorang dianggap membawa sial hanya karena ia mengingatkan kepada kebaikan? Para utusan menyimpulkan bahwa masalah utamanya adalah mereka merupakan kaum yang "musrifūn", yaitu kaum yang melampaui batas dalam segala hal: dalam kekafiran, kesombongan, dan kezaliman.
Ayat 20
وَجَاۤءَ مِنْ اَقْصَا الْمَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَّسْعٰى قَالَ يٰقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِيْنَۙ
Wa jā'a min aqṣal-madīnati rajuluy yas‘ā qāla yā qaumittabi‘ul-mursalīn(a).
"Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, “Wahai kaumku! Ikutilah para utusan itu."
Ayat 21
اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْـَٔلُكُمْ اَجْرًا وَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
Ittabi‘ū mal lā yas'alukum ajraw wa hum muhtadūn(a).
"Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk."
Tafsir & Penjelasan (Ayat 20-21): Di tengah ketegangan, muncul seorang pahlawan iman yang tidak disebutkan namanya, namun perannya diabadikan. Ia datang "dari ujung kota" (menandakan ia mungkin bukan dari kalangan elit) dan "bergegas" (menunjukkan semangatnya membela kebenaran). Ia menasihati kaumnya dengan argumen yang sangat logis dan tulus. Ia menyuruh mereka mengikuti para utusan dengan dua alasan kuat: (1) Mereka tidak meminta imbalan materi (ajran), yang membuktikan ketulusan misi mereka. (2) Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (muhtadūn), ajaran mereka lurus dan masuk akal. Ini adalah kriteria penting dalam mengenali pembawa kebenaran sejati.
Ayat 22
وَمَا لِيَ لَآ اَعْبُدُ الَّذِيْ فَطَرَنِيْ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
Wa mā liya lā a‘budul-lażī faṭaranī wa ilaihi turja‘ūn(a).
"Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan."
Ayat 23
ءَاَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِهٖٓ اٰلِهَةً اِنْ يُّرِدْنِ الرَّحْمٰنُ بِضُرٍّ لَّا تُغْنِ عَنِّيْ شَفَاعَتُهُمْ شَيْـًٔا وَّلَا يُنْقِذُوْنِۚ
A'attakhiżu min dūnihī ālihatam iy yuridnir-raḥmānu biḍurril lā tugni ‘annī syafā‘atuhum syai'aw wa lā yunqiżūn(i).
"Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya? Jika (Allah) Yang Maha Pengasih menghendaki bencana terhadapku, pasti pertolongan mereka tidak berguna sama sekali bagi diriku dan mereka (juga) tidak dapat menyelamatkanku."
Ayat 24
اِنِّيْٓ اِذًا لَّفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Innī iżal lafī ḍalālim mubīn(in).
"Sesungguhnya jika aku (berbuat) begitu, pasti aku berada dalam kesesatan yang nyata."
Ayat 25
اِنِّيْٓ اٰمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُوْنِۗ
Innī āmantum birabbikum fasma‘ūn(i).
"Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah aku.”"
Tafsir & Penjelasan (Ayat 22-25): Setelah menasihati kaumnya, lelaki beriman ini menjelaskan alasan pribadinya memeluk tauhid. Ia menggunakan logika fitrah: "Mengapa aku tidak menyembah Dzat yang menciptakanku (faṭaranī)?" Ini adalah pertanyaan retoris yang kuat. Ia lalu membantah kesia-siaan menyembah berhala, yang tidak memiliki kuasa sedikitpun untuk menolong atau menyelamatkan dari bencana. Ia menyadari bahwa menyembah selain Allah adalah sebuah "kesesatan yang nyata". Puncaknya, di hadapan kaumnya yang marah, ia dengan berani mendeklarasikan imannya: "Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu (Tuhan yang juga menciptakan kalian), maka dengarkanlah aku!" Ini adalah deklarasi iman yang mempertaruhkan nyawa.
Ayat 26
قِيْلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ ۗقَالَ يٰلَيْتَ قَوْمِيْ يَعْلَمُوْنَۙ
Qīladkhulil-jannah(ta), qāla yā laita qaumī ya‘lamūn(a).
"Dikatakan (kepadanya), “Masuklah ke surga.” Dia (laki-laki itu) berkata, “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui,"
Ayat 27
بِمَا غَفَرَ لِيْ رَبِّيْ وَجَعَلَنِيْ مِنَ الْمُكْرَمِيْنَ
Bimā gafaralī rabbī wa ja‘alanī minal-mukramīn(a).
"apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampunan kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.”"
Tafsir & Penjelasan (Ayat 26-27): Riwayat menuturkan bahwa setelah deklarasi imannya, kaumnya mengeroyok dan membunuhnya. Ayat ini menggambarkan apa yang terjadi seketika setelah kematiannya. Allah langsung berfirman, "Masuklah ke surga". Kematiannya menjadi gerbang menuju kenikmatan abadi. Namun, yang luar biasa adalah reaksinya. Bahkan setelah berada di surga dan melihat kemuliaan yang ia terima, hal pertama yang ia pikirkan adalah kaumnya yang sesat. Ia berandai-andai, "Sekiranya kaumku mengetahui..." apa yang ia dapatkan berkat imannya: ampunan (maghfirah) dari Allah dan kedudukan sebagai orang yang dimuliakan (mukramīn). Ini menunjukkan ketulusan dan kasih sayangnya yang luar biasa, bahkan kepada orang-orang yang telah membunuhnya.
Ayat 28
وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى قَوْمِهٖ مِنْۢ بَعْدِهٖ مِنْ جُنْدٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَمَا كُنَّا مُنْزِلِيْنَ
Wa mā anzalnā ‘alā qaumihī mim ba‘dihī min jundim minas-samā'i wa mā kunnā munzilīn(a).
"Dan setelah dia (meninggal), Kami tidak menurunkan suatu pasukan pun dari langit kepada kaumnya, dan Kami tidak perlu menurunkannya."
Ayat 29
اِنْ كَانَتْ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً فَاِذَا هُمْ خَامِدُوْنَ
In kānat illā ṣaiḥataw wāḥidatan fa'iżā hum khāmidūn(a).
"Tidak ada siksaan terhadap mereka melainkan dengan satu teriakan saja; maka seketika itu mereka mati."
Tafsir & Penjelasan (Ayat 28-29): Allah menjelaskan betapa hinanya kaum tersebut di hadapan kekuasaan-Nya. Untuk membinasakan mereka, Allah tidak perlu menurunkan pasukan malaikat dari langit. Urusan mereka terlalu sepele bagi-Nya. Azab yang diturunkan hanyalah berupa "satu teriakan" (ṣaiḥatan wāḥidah), kemungkinan suara menggelegar dari Malaikat Jibril. Seketika itu juga, mereka semua "khāmidūn", padam seperti api yang padam, tak bernyawa dan tak bersuara. Ini menunjukkan betapa mudahnya bagi Allah untuk membinasakan suatu kaum yang zalim.
Ayat 30
يٰحَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِۚ مَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ
Yā ḥasratan ‘alal-‘ibād(i), mā ya'tīhim mir rasūlin illā kānū bihī yastahzi'ūn(a).
"Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, setiap datang seorang rasul kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokkannya."
Ayat 31
اَلَمْ يَرَوْا كَمْ اَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِّنَ الْقُرُوْنِ اَنَّهُمْ اِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُوْنَۙ
Alam yarau kam ahlaknā qablahum minal-qurūni annahum ilaihim lā yarji‘ūn(a).
"Tidakkah mereka mengetahui berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, (umat-umat itu) tidak dapat kembali kepada mereka."
Ayat 32
وَاِنْ كُلٌّ لَّمَّا جَمِيْعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُوْنَ ࣖ
Wa in kullul lammā jamī‘ul ladainā muḥḍarūn(a).
"Dan setiap (umat), semuanya akan dihadapkan kepada Kami."
Tafsir & Penjelasan (Ayat 30-32): Allah mengungkapkan penyesalan besar (ḥasrah) atas nasib para hamba yang terus-menerus menolak petunjuk. Pola yang sama selalu berulang: setiap kali seorang rasul datang, mereka justru memperoloknya. Ayat ini kemudian mengajak mereka untuk merenungkan sejarah: Tidakkah mereka melihat betapa banyak generasi (qurūn) sebelumnya yang telah dibinasakan karena dosa yang sama? Mereka yang telah binasa itu tidak akan pernah kembali ke dunia. Namun, urusan tidak berhenti di situ. Semua umat, tanpa terkecuali, pada akhirnya akan dikumpulkan dan dihadapkan di hadapan Allah untuk diadili. Ini adalah penegasan kembali akan keniscayaan hari kebangkitan dan pengadilan.
Tanda-Tanda Kekuasaan Allah di Alam Semesta (Ayat 33-44)
Setelah menyajikan pelajaran dari sejarah, Al-Qur'an beralih mengajak manusia untuk merenungkan tanda-tanda (ayat) kekuasaan Allah yang terhampar di alam semesta. Tanda-tanda ini adalah bukti nyata akan eksistensi, keesaan, dan kuasa Allah untuk membangkitkan kembali manusia setelah mati.
Ayat 33
وَاٰيَةٌ لَّهُمُ الْاَرْضُ الْمَيْتَةُ ۖاَحْيَيْنٰهَا وَاَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُوْنَ
Wa āyatul lahumul-arḍul-maitah(tu), aḥyaināhā wa akhrajnā minhā ḥabban fa minhu ya'kulūn(a).
"Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati (tandus). Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka dari (biji-bijian) itu mereka makan."
Tafsir & Penjelasan: Tanda pertama adalah bumi yang mati. Tanah yang kering, gersang, dan tidak ada kehidupan di atasnya. Lalu, dengan rahmat-Nya, Allah menurunkan hujan, dan tanah yang mati itu pun hidup kembali, menumbuhkan berbagai tanaman yang menghasilkan biji-bijian (seperti gandum, padi, jagung) yang menjadi sumber makanan pokok manusia. Proses ini adalah analogi yang sangat jelas untuk hari kebangkitan. Sebagaimana Allah mampu menghidupkan bumi yang mati, maka Dia juga Maha Mampu untuk menghidupkan kembali manusia yang telah mati.
Ayat 34
وَجَعَلْنَا فِيْهَا جَنّٰتٍ مِّنْ نَّخِيْلٍ وَّاَعْنَابٍ وَّفَجَّرْنَا فِيْهَا مِنَ الْعُيُوْنِۙ
Wa ja‘alnā fīhā jannātim min nakhīliw wa a‘nābiw wa fajjarnā fīhā minal-‘uyūn(i).
"Dan Kami jadikan padanya di bumi itu kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air,"
Ayat 35
لِيَأْكُلُوْا مِنْ ثَمَرِهٖۙ وَمَا عَمِلَتْهُ اَيْدِيْهِمْۗ اَفَلَا يَشْكُرُوْنَ
Liya'kulū min ṡamarahī wa mā ‘amilathu aidīhim, afalā yasykurūn(a).
"agar mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?"
Tafsir & Penjelasan (Ayat 34-35): Selain tanaman biji-bijian, Allah juga menciptakan kebun-kebun (jannāt) yang indah berisi kurma dan anggur, serta memancarkan mata air untuk mengairinya. Semua ini adalah nikmat yang luar biasa agar manusia bisa makan dari buah-buahannya. Frasa "dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka" dapat diartikan bahwa manusia mengolah hasil bumi tersebut menjadi berbagai produk makanan, atau bisa juga diartikan bahwa semua buah itu tumbuh bukan semata-mata karena usaha tangan manusia, melainkan atas kuasa Allah. Setelah memaparkan nikmat-nikmat ini, Allah bertanya: "Maka mengapa mereka tidak bersyukur?" Ini adalah teguran halus agar manusia mengakui Sang Pemberi Nikmat.
Ayat 36
سُبْحٰنَ الَّذِيْ خَلَقَ الْاَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ وَمِنْ اَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ
Subḥānal-lażī khalaqal-azwāja kullahā mimmā tumbitul-arḍu wa min anfusihim wa mimmā lā ya‘lamūn(a).
"Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui."
Tafsir & Penjelasan: Ayat ini mengajak kita untuk memahasucikan Allah (tasbih) atas salah satu prinsip fundamental ciptaan-Nya: konsep berpasang-pasangan (azwāj). Prinsip ini berlaku untuk semua ciptaan.
1. Tumbuhan: Ada jantan dan betina dalam dunia flora.
2. Manusia: Ada laki-laki dan perempuan.
3. Apa yang tidak mereka ketahui: Ini adalah isyarat ilmiah yang luar biasa dari Al-Qur'an. Kini sains modern telah menemukan pasangan dalam berbagai hal, seperti proton dan elektron (muatan positif dan negatif), materi dan antimateri, dan lain sebagainya. Konsep penciptaan berpasangan ini menafikan segala bentuk kemusyrikan dan menegaskan keesaan Allah, karena hanya Dia-lah satu-satunya yang tidak memiliki pasangan (Al-Ahad).
Ayat 37
وَاٰيَةٌ لَّهُمُ الَّيْلُ ۖنَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَاِذَا هُمْ مُّظْلِمُوْنَۙ
Wa āyatul lahumul-lailu naslakhu min-hun-nahāra fa'iżā hum muẓlimūn(a).
"Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika itu mereka berada dalam kegelapan,"
Ayat 38
وَالشَّمْسُ تَجْرِيْ لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ۗذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِۗ
Wasy-syamsu tajrī limustaqarril lahā, żālika taqdīrul-‘azīzil-‘alīm(i).
"dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui."
Ayat 39
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ
Wal-qamara qaddarnāhu manāzila ḥattā ‘āda kal-‘urjūnil-qadīm(i).
"Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua."
Ayat 40
لَا الشَّمْسُ يَنْۢبَغِيْ لَهَآ اَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا الَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِۗ وَكُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ
Lasy-syamsu yambagī lahā an tudrikal-qamara wa lal-lailu sābiqun-nahār(i), wa kullun fī falakiy yasbaḥūn(a).
"Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya."
Tafsir & Penjelasan (Ayat 37-40): Tanda berikutnya adalah fenomena alam semesta.
- Malam dan Siang (Ayat 37): Allah menggunakan kata "naslakhu" (Kami tanggalkan/kupas), sebuah gambaran puitis seolah siang adalah kulit yang menyelimuti kegelapan malam. Ini menunjukkan pergantian yang presisi dan teratur.
- Matahari (Ayat 38): Matahari "berjalan" (tajrī) menuju tempat peredarannya (mustaqarr). Ini adalah ketetapan dari Allah "Al-Aziz" (Yang Mahaperkasa dalam mengatur) dan "Al-Alim" (Yang Maha Mengetahui setiap detailnya).
- Bulan (Ayat 39): Allah telah menetapkan fase-fase (manāzil) bagi bulan, dari sabit, purnama, hingga kembali mengecil seperti "tandan kurma yang tua" (al-'urjūnil-qadīm), sebuah perumpamaan yang sangat akrab bagi masyarakat Arab saat itu.
- Keteraturan Kosmik (Ayat 40): Puncaknya adalah penegasan tentang keteraturan yang sempurna. Matahari tidak akan menabrak bulan, malam tidak akan mendahului siang. Semuanya "berenang" (yasbaḥūn) di garis edarnya masing-masing (falak). Ini adalah bukti keagungan rekayasa ilahi yang mustahil terjadi secara kebetulan.
Ayat 41
وَاٰيَةٌ لَّهُمْ اَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِى الْفُلْكِ الْمَشْحُوْنِۙ
Wa āyatul lahum annā ḥamalnā żurriyyatahum fil-fulkil-masyḥūn(i).
"Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam kapal yang penuh muatan,"
Ayat 42
وَخَلَقْنَا لَهُمْ مِّنْ مِّثْلِهٖ مَا يَرْكَبُوْنَ
Wa khalaqnā lahum mim miṡlihī mā yarkabūn(a).
"dan Kami ciptakan untuk mereka (angkutan lain) seperti itu yang mereka kendarai."
Ayat 43
وَاِنْ نَّشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلَا صَرِيْخَ لَهُمْ وَلَا هُمْ يُنْقَذُوْنَۙ
Wa in nasya' nugriqhum falā ṣarīkha lahum wa lā hum yunqażūn(a).
"Dan jika Kami menghendaki, Kami tenggelamkan mereka, maka tidak ada penolong bagi mereka dan tidak (pula) mereka diselamatkan,"
Ayat 44
اِلَّا رَحْمَةً مِّنَّا وَمَتَاعًا اِلٰى حِيْنٍ
Illā raḥmatam minnā wa matā‘an ilā ḥīn(in).
"kecuali (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai waktu tertentu."
Tafsir & Penjelasan (Ayat 41-44): Tanda terakhir dalam bagian ini adalah tentang lautan dan transportasi.
- Kapal Nuh (Ayat 41): Ayat ini bisa merujuk pada bahtera Nabi Nuh AS yang menyelamatkan nenek moyang manusia. Allah-lah yang menyelamatkan mereka dalam "kapal yang penuh muatan".
- Kendaraan Lain (Ayat 42): Allah juga mengilhamkan kepada manusia untuk menciptakan kendaraan lain yang serupa fungsinya dengan kapal, seperti unta (disebut 'kapal padang pasir'), dan secara lebih luas, semua moda transportasi modern.
- Kekuasaan Mutlak di Laut (Ayat 43-44): Allah mengingatkan bahwa keselamatan di laut bukanlah hal yang pasti. Jika Dia berkehendak, Dia bisa menenggelamkan mereka semua, dan tidak akan ada yang bisa menolong. Keselamatan mereka semata-mata karena rahmat Allah dan sebagai bentuk pemberian "kesenangan sementara" (matā'an ilā ḥīn) di dunia ini. Ini adalah pengingat agar manusia tidak sombong dengan teknologinya dan selalu ingat kepada Sang Penjaga Sejati.
Ayat 45
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّقُوْا مَا بَيْنَ اَيْدِيْكُمْ وَمَا خَلْفَكُمْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Wa iżā qīla lahumuttaqū mā baina aidīkum wa mā khalfakum la‘allakum turḥamūn(a).
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Takutlah kamu akan siksa yang di hadapanmu (di dunia) dan azab yang akan datang (di akhirat) agar kamu mendapat rahmat.”"
Ayat 46
وَمَا تَأْتِيْهِمْ مِّنْ اٰيَةٍ مِّنْ اٰيٰتِ رَبِّهِمْ اِلَّا كَانُوْا عَنْهَا مُعْرِضِيْنَ
Wa mā ta'tīhim min āyatim min āyāti rabbihim illā kānū ‘anhā mu‘riḍīn(a).
"Dan setiap kali suatu tanda dari tanda-tanda (kebesaran) Tuhan datang kepada mereka, mereka selalu berpaling darinya."
Ayat 47
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ اَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ ۙقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنُطْعِمُ مَنْ لَّوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ اَطْعَمَهٗٓ ۖاِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Wa iżā qīla lahum anfiqū mimmā razaqakumullāh(u), qālal-lażīna kafarū lil-lażīna āmanū anuṭ‘imu mal lau yasyā'ullāhu aṭ‘amah(ū), in antum illā fī ḍalālim mubīn(in).
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakkanlah sebagian dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu,” orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, “Apakah kami akan memberi makan kepada orang yang jika Allah menghendaki, niscaya Dia akan memberinya makan? Kamu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”"
Ayat 48
وَيَقُوْلُوْنَ مَتٰى هٰذَا الْوَعْدُ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
Wa yaqūlūna matā hāżal-wa‘du in kuntum ṣādiqīn(a).
"Dan mereka berkata, “Kapankah janji (hari berbangkit) itu (terjadi) jika kamu orang yang benar?”"
Ayat 49
مَا يَنْظُرُوْنَ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً تَأْخُذُهُمْ وَهُمْ يَخِصِّمُوْنَ
Mā yanẓurūna illā ṣaiḥataw wāḥidatan ta'khużuhum wa hum yakhiṣṣimūn(a).
"Mereka hanya menunggu satu teriakan, yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar."
Ayat 50
فَلَا يَسْتَطِيْعُوْنَ تَوْصِيَةً وَّلَآ اِلٰٓى اَهْلِهِمْ يَرْجِعُوْنَ ࣖ
Falā yastaṭī‘ūna tauṣiyataw wa lā ilā ahlihim yarji‘ūn(a).
"Sehingga mereka tidak mampu membuat suatu wasiat dan mereka (juga) tidak dapat kembali kepada keluarganya."
Ayat 51
وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَاِذَا هُمْ مِّنَ الْاَجْدَاثِ اِلٰى رَبِّهِمْ يَنْسِلُوْنَ
Wa nufikha fiṣ-ṣūri fa'iżā hum minal-ajdāṡi ilā rabbihim yansilūn(a).
"Lalu ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kuburnya (dalam keadaan hidup) menuju kepada Tuhannya."
Ayat 52
قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ەۗ هٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ
Qālū yā wailanā mam ba‘aṡanā mim marqadinā, hāżā mā wa‘adar-raḥmānu wa ṣadaqal-mursalūn(a).
"Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya)."
Ayat 53
اِنْ كَانَتْ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً فَاِذَا هُمْ جَمِيْعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُوْنَ
In kānat illā ṣaiḥataw wāḥidatan fa'iżā hum jamī‘ul ladainā muḥḍarūn(a).
"Teriakan itu hanya sekali saja, maka seketika itu mereka semua dihadapkan kepada Kami."
Ayat 54
فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا وَّلَا تُجْزَوْنَ اِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
Fal-yauma lā tuẓlamu nafsun syai'aw wa lā tujzauna illā mā kuntum ta‘malūn(a).
"Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kamu tidak akan diberi balasan, kecuali sesuai dengan apa yang telah kamu kerjakan."
Ayat 55
اِنَّ اَصْحٰبَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِيْ شُغُلٍ فٰكِهُوْنَ ۚ
Inna aṣḥābal-jannatil-yauma fī syugulin fākihūn(a).
"Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka)."
Ayat 56
هُمْ وَاَزْوَاجُهُمْ فِيْ ظِلٰلٍ عَلَى الْاَرَاۤىِٕكِ مُتَّكِـُٔوْنَ ۚ
Hum wa azwājuhum fī ẓilālin ‘alal-arā'iki muttaki'ūn(a).
"Mereka dan pasangan-pasangannya berada dalam tempat yang teduh, bersandar di atas dipan-dipan."
Ayat 57
لَهُمْ فِيْهَا فَاكِهَةٌ وَّلَهُمْ مَّا يَدَّعُوْنَ ۚ
Lahum fīhā fākihatuw wa lahum mā yadda‘ūn(a).
"Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa saja yang mereka inginkan."
Ayat 58
سَلٰمٌۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ
Salāmun qaulam mir rabbir raḥīm(in).
"(Kepada mereka dikatakan), “Salam,” sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang."
Ayat 59
وَامْتَازُوا الْيَوْمَ اَيُّهَا الْمُجْرِمُوْنَ
Wamtāzul-yauma ayyuhal-mujrimūn(a).
"Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir), “Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, wahai orang-orang yang berdosa!"
Ayat 60
اَلَمْ اَعْهَدْ اِلَيْكُمْ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ اَنْ لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطٰنَۚ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
Alam a‘had ilaikum yā banī ādama al lā ta‘budusy-syaiṭān(a), innahū lakum ‘aduwwum mubīn(un).
"Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu,"
Ayat 61
وَاَنِ اعْبُدُوْنِيْ ۗهٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيْمٌ
Wa ani‘budūnī, hāżā ṣirāṭum mustaqīm(un).
"dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.”"
Ayat 62
وَلَقَدْ اَضَلَّ مِنْكُمْ جِبِلًّا كَثِيْرًا ۗاَفَلَمْ تَكُوْنُوْا تَعْقِلُوْنَ
Wa laqad aḍalla minkum jibillan kaṡīrā(n), afalam takūnū ta‘qilūn(a).
"Dan sungguh, ia (setan itu) telah menyesatkan sebagian besar di antara kamu. Maka apakah kamu tidak mengerti?"
Ayat 63
هٰذِهٖ جَهَنَّمُ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ
Hāżihī jahannamul-latī kuntum tū‘adūn(a).
"Inilah (neraka) Jahanam yang dahulu telah diperingatkan kepadamu."
Ayat 64
اِصْلَوْهَا الْيَوْمَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُوْنَ
Iṣlauhal-yauma bimā kuntum takfurūn(a).
"Masuklah ke dalamnya pada hari ini karena dahulu kamu mengingkarinya."
Ayat 65
اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Al-yauma nakhtimu ‘alā afwāhihim wa tukallimunā aidīhim wa tasyhadu arjuluhum bimā kānū yaksibūn(a).
"Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan menjadi saksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan."
Ayat 66
وَلَوْ نَشَاۤءُ لَطَمَسْنَا عَلٰٓى اَعْيُنِهِمْ فَاسْتَبَقُوا الصِّرَاطَ فَاَنّٰى يُبْصِرُوْنَ
Wa lau nasyā'u laṭamasnā ‘alā a‘yunihim fastabaquṣ-ṣirāṭa fa annā yubṣirūn(a).
"Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka; lalu mereka berlomba-lomba (mencari) jalan. Maka bagaimana mungkin mereka dapat melihat?"
Ayat 67
وَلَوْ نَشَاۤءُ لَمَسَخْنٰهُمْ عَلٰى مَكَانَتِهِمْ فَمَا اسْتَطَاعُوْا مُضِيًّا وَّلَا يَرْجِعُوْنَ ࣖ
Wa lau nasyā'u lamasakhnāhum ‘alā makānatihim famastaṭā‘ū muḍiyyaw wa lā yarji‘ūn(a).
"Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami ubah bentuk mereka di tempat mereka berada, sehingga mereka tidak sanggup berjalan lagi dan tidak (pula) sanggup kembali."
Ayat 68
وَمَنْ نُّعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِى الْخَلْقِۗ اَفَلَا يَعْقِلُوْنَ
Wa man nu‘ammirhu nunakkishu fil-khalq(i), afalā ya‘qilūn(a).
"Dan barangsiapa Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada awal kejadian(nya). Maka mengapa mereka tidak mengerti?"
Ayat 69
وَمَا عَلَّمْنٰهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْۢبَغِيْ لَهٗ ۗاِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ وَّقُرْاٰنٌ مُّبِيْنٌ ۙ
Wa mā ‘allamnāhusy-syi‘ra wa mā yambagī lah(ū), in huwa illā żikruw wa qur'ānum mubīn(un).
"Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya. Al-Qur'an itu tidak lain adalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan,"
Ayat 70
لِّيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَّيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ
Liyunżira man kāna ḥayyaw wa yaḥiqqal-qaulu ‘alal-kāfirīn(a).
"agar dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan agar pasti ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir."
Ayat 71
اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِّمَّا عَمِلَتْ اَيْدِيْنَآ اَنْعَامًا فَهُمْ لَهَا مَالِكُوْنَ
Awalam yarau annā khalaqnā lahum mimmā ‘amilat aidīnā an‘āman fahum lahā mālikūn(a).
"Dan tidakkah mereka melihat bahwa Kami telah menciptakan hewan ternak untuk mereka, yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami, lalu mereka menguasainya?"
Ayat 72
وَذَلَّلْنٰهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوْبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُوْنَ
Wa żalalnāhā lahum fa minhā rakūbuhum wa minhā ya'kulūn(a).
"Dan Kami menundukkannya untuk mereka; lalu sebagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebagian (lagi) mereka makan."
Ayat 73
وَلَهُمْ فِيْهَا مَنَافِعُ وَمَشَارِبُۗ اَفَلَا يَشْكُرُوْنَ
Wa lahum fīhā manāfi‘u wa masyārib(u), afalā yasykurūn(a).
"Dan mereka memperoleh berbagai manfaat dan minuman darinya. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?"
Ayat 74
وَاتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اٰلِهَةً لَّعَلَّهُمْ يُنْصَرُوْنَ ۗ
Wattakhażū min dūnillāhi ālihatal la‘allahum yunṣarūn(a).
"Dan mereka mengambil sesembahan selain Allah agar mereka mendapat pertolongan."
Ayat 75
لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ نَصْرَهُمْۙ وَهُمْ لَهُمْ جُنْدٌ مُّحْضَرُوْنَ
Lā yastaṭī‘ūna naṣrahum, wa hum lahum jundum muḥḍarūn(a).
"(Sesembahan) itu tidak dapat menolong mereka; padahal mereka itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga (sesembahan) itu."
Ayat 76
فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ ۘاِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ وَمَا يُعْلِنُوْنَ
Falā yaḥzunka qauluhum, innā na‘lamu mā yusirrūna wa mā yu‘linūn(a).
"Maka janganlah ucapan mereka membuat engkau (Muhammad) bersedih hati. Sungguh, Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan."
Ayat 77
اَوَلَمْ يَرَ الْاِنْسَانُ اَنَّا خَلَقْنٰهُ مِنْ نُّطْفَةٍ فَاِذَا هُوَ خَصِيْمٌ مُّبِيْنٌ
Awalam yaral-insānu annā khalaqnāhu min nuṭfatin fa'iżā huwa khaṣīmum mubīn(un).
"Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, lalu tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata."
Ayat 78
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّنَسِيَ خَلْقَهٗۗ قَالَ مَنْ يُّحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ
Wa ḍaraba lanā maṡalaw wa nasiya khalqah(ū), qāla may yuḥyil-‘iẓāma wa hiya ramīm(un).
"Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?”"
Ayat 79
قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْٓ اَنْشَاَهَآ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۗوَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ ۙ
Qul yuḥyīhal-lażī ansya'ahā awwala marrah(tin), wa huwa bikulli khalqin ‘alīm(un).
"Katakanlah (Muhammad), “Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk."
Ayat 80
ۨالَّذِيْ جَعَلَ لَكُمْ مِّنَ الشَّجَرِ الْاَخْضَرِ نَارًاۙ فَاِذَآ اَنْتُمْ مِّنْهُ تُوْقِدُوْنَ
Allażī ja‘ala lakum minasy-syajaril-akhḍari nārā(n), fa'iżā antum minhu tūqidūn(a).
"yaitu (Allah) yang menjadikan api untukmu dari kayu yang hijau, maka seketika itu kamu nyalakan (api) dari kayu itu.”"
Ayat 81
اَوَلَيْسَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِقٰدِرٍ عَلٰٓى اَنْ يَّخْلُقَ مِثْلَهُمْ ۗبَلٰى وَهُوَ الْخَلّٰقُ الْعَلِيْمُ
Awa laisal-lażī khalaqas-samāwāti wal-arḍa biqādirin ‘alā ay yakhluqa miṡlahum, balā wa huwal-khallāqul-‘alīm(u).
"Dan bukankah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi, mampu menciptakan kembali yang serupa itu (jasad mereka yang sudah hancur)? Benar. Dan Dia Maha Pencipta, Maha Mengetahui."
Ayat 82
اِنَّمَآ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔا اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
Innamā amruhū iżā arāda syai'an ay yaqūla lahū kun fa yakūn(u).
"Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu."
Ayat 83
فَسُبْحٰنَ الَّذِيْ بِيَدِهٖ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ وَّاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ࣖ
Fa subḥānal-lażī biyadihī malakūtu kulli syai'iw wa ilaihi turja‘ūn(a).
"Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu dikembalikan."
Penutup: Refleksi dari Surat Yasin
Surat Yasin membawa kita dalam sebuah perjalanan spiritual yang komprehensif. Dimulai dengan penegasan wahyu dan kerasulan, dilanjutkan dengan pelajaran dari kisah umat terdahulu, lalu mengajak kita bertafakur pada tanda-tanda kebesaran Allah di alam raya, hingga puncaknya menggambarkan dengan detail peristiwa hari kebangkitan dan pengadilan. Surat ini secara kuat menegaskan pilar-pilar utama akidah: iman kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan hari akhir.
Pesan sentralnya adalah bahwa kehidupan ini bukanlah akhir dari segalanya. Setiap perbuatan akan dicatat, setiap jiwa akan dimintai pertanggungjawaban, dan semua akan kembali kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu, surat ini disebut sebagai "Jantung Al-Qur'an", karena ia memompa kesadaran dan keimanan ke seluruh sendi kehidupan seorang mukmin, mengingatkannya akan tujuan sejati dan akhir perjalanan yang pasti. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah yang mendalam dari setiap ayatnya.