Mengenal Surat Yasin: Permata di Hati Al-Qur'an
Surat Yasin (يس) adalah surat ke-36 dalam Al-Qur'an yang terdiri dari 83 ayat. Surat ini tergolong dalam surat Makkiyah, yaitu surat yang diturunkan di kota Mekkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Nama "Yasin" diambil dari ayat pertama surat ini, yang merupakan salah satu dari huruf-huruf muqatha'ah (huruf-huruf terpotong) yang makna sejatinya hanya diketahui oleh Allah SWT. Meskipun begitu, para ulama memberikan berbagai penafsiran, salah satunya adalah sebagai seruan atau panggilan, "Wahai manusia," yang merujuk kepada Nabi Muhammad SAW.
Surat Yasin memegang kedudukan yang istimewa di hati umat Islam dan sering disebut sebagai "Qalbul Qur'an" atau jantungnya Al-Qur'an. Sebagaimana jantung adalah organ vital yang memompa kehidupan ke seluruh tubuh, Surat Yasin mengandung esensi dan pokok-pokok ajaran Islam yang paling fundamental. Di dalamnya terangkum pilar-pilar keimanan yang kokoh, yaitu penegasan tentang keesaan Allah (Tauhid), kebenaran risalah kenabian (Nubuwwah), dan kepastian akan adanya hari kebangkitan dan pembalasan (Ma'ad).
Kandungan surat ini secara garis besar berpusat pada tiga tema utama. Pertama, ia meneguhkan kebenaran Al-Qur'an sebagai wahyu dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, dan memvalidasi kerasulan Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk memberi peringatan kepada kaum yang lalai. Kedua, surat ini menyajikan kisah-kisah umat terdahulu, seperti penduduk suatu kota (Ashabul Qaryah), sebagai ibrah atau pelajaran berharga tentang akibat dari mendustakan para rasul. Ketiga, dan ini menjadi bagian yang sangat dominan, Surat Yasin memaparkan berbagai bukti kekuasaan Allah yang maha dahsyat di alam semesta. Mulai dari menghidupkan bumi yang mati, peredaran matahari dan bulan pada orbitnya, hingga fenomena siang dan malam, semuanya dijadikan argumen logis untuk membantah keraguan kaum musyrikin terhadap adanya hari kebangkitan. Puncaknya, surat ini menggambarkan dengan detail peristiwa hari kiamat, peniupan sangkakala, kebangkitan manusia dari kubur, serta pemisahan antara penghuni surga yang penuh kenikmatan dan penghuni neraka yang diliputi penyesalan. Surat ini ditutup dengan penegasan mutlak akan kekuasaan Allah untuk menciptakan segala sesuatu hanya dengan firman-Nya, "Kun Fayakun" (Jadilah, maka terjadilah).
Bacaan Lengkap Surat Yasin: Ayat 1-83
Berikut adalah bacaan lengkap Surat Yasin dari ayat 1 hingga 83, disajikan dalam tulisan Arab, transliterasi Latin untuk membantu pelafalan, serta terjemahan dalam bahasa Indonesia untuk memahami maknanya.
(١) يٰسۤ ۚ
yā sīn.
Yasin.
(٢) وَالْقُرْاٰنِ الْحَكِيْمِۙ
wal-qur'ānil-ḥakīm.
Demi Al-Qur'an yang penuh hikmah,
(٣) اِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِيْنَۙ
innaka laminal-mursalīn.
sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah salah seorang dari rasul-rasul,
(٤) عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۗ
'alā ṣirāṭim mustaqīm.
(yang berada) di atas jalan yang lurus,
(٥) تَنْزِيْلَ الْعَزِيْزِ الرَّحِيْمِۙ
tanzīlal-'azīzir-raḥīm.
(sebagai wahyu) yang diturunkan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang,
(٦) لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَّآ اُنْذِرَ اٰبَاۤؤُهُمْ فَهُمْ غٰفِلُوْنَ
litunżira qaumam mā unżira ābā'uhum fahum gāfilūn.
agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.
(٧) لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلٰٓى اَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ
laqad ḥaqqal-qaulu 'alā akṡarihim fahum lā yu'minūn.
Sungguh, pasti berlaku perkataan (hukuman) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman.
(٨) اِنَّا جَعَلْنَا فِيْٓ اَعْنَاقِهِمْ اَغْلٰلًا فَهِيَ اِلَى الْاَذْقَانِ فَهُمْ مُّقْمَحُوْنَ
innā ja'alnā fī a'nāqihim aglālan fa hiya ilal-ażqāni fahum muqmaḥūn.
Sungguh, Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, karena itu mereka tertengadah.
(٩) وَجَعَلْنَا مِنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ سَدًّا وَّمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَاَغْشَيْنٰهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُوْنَ
wa ja'alnā mim baini aidīhim saddaw wa min khalfihim saddan fa agsyaināhum fahum lā yubṣirūn.
Dan Kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga sekat, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.
(١٠) وَسَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ
wa sawā'un 'alaihim a'anżartahum am lam tunżirhum lā yu'minūn.
Dan sama saja bagi mereka, apakah engkau memberi peringatan kepada mereka atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman.
(١١) اِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمٰنَ بِالْغَيْبِۚ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَّاَجْرٍ كَرِيْمٍ
innamā tunżiru manittaba'aż-żikra wa khasyiyar-raḥmāna bil-gaīb, fa basysyirhu bimagfiratiw wa ajrin karīm.
Sesungguhnya engkau hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, walaupun mereka tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.
(١٢) اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْۗ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ
innā naḥnu nuḥyil-mautā wa naktubu mā qaddamụ wa āṡārahum, wa kulla syai'in aḥṣaināhu fī imāmim mubīn.
Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).
(١٣) وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلًا اَصْحٰبَ الْقَرْيَةِۘ اِذْ جَاۤءَهَا الْمُرْسَلُوْنَۚ
waḍrib lahum maṡalan aṣ-ḥābal-qaryah, iż jā'ahal-mursalūn.
Dan buatlah suatu perumpamaan bagi mereka, yaitu penduduk suatu negeri, ketika utusan-utusan datang kepada mereka;
(١٤) اِذْ اَرْسَلْنَآ اِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوْهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوْٓا اِنَّآ اِلَيْكُمْ مُّرْسَلُوْنَ
iż arsalnā ilaihimuṡnaini fa każżabụhumā fa 'azzaznā biṡāliṡin fa qālū innā ilaikum mursalūn.
(yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga (utusan itu) berkata, “Sungguh, kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.”
(١٥) قَالُوْا مَآ اَنْتُمْ اِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُنَاۙ وَمَآ اَنْزَلَ الرَّحْمٰنُ مِنْ شَيْءٍۙ اِنْ اَنْتُمْ اِلَّا تَكْذِبُوْنَ
qālụ mā antum illā basyarum miṡlunā wa mā anzalar-raḥmānu min syai'in in antum illā takżibụn.
Mereka menjawab, “Kamu ini tidak lain hanyalah manusia seperti kami, dan (Allah) Yang Maha Pengasih tidak menurunkan sesuatu apa pun; kamu ini tidak lain hanyalah pendusta.”
(١٦) قَالُوْا رَبُّنَا يَعْلَمُ اِنَّآ اِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُوْنَ
qālụ rabbunā ya'lamu innā ilaikum lamursalūn.
Mereka (para utusan) berkata, “Tuhan kami mengetahui bahwa kami benar-benar diutus kepadamu.
(١٧) وَمَا عَلَيْنَآ اِلَّا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ
wa mā 'alainā illal-balāgul-mubīn.
Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.”
(١٨) قَالُوْٓا اِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهُوْا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِّنَّا عَذَابٌ اَلِيْمٌ
qālū innā taṭayyarnā bikum, la'il lam tantahụ lanarjumannakum wa layamassannakum minnā 'ażābun alīm.
Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. Sungguh, jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan merasakan siksaan yang pedih dari kami.”
(١٩) قَالُوْا طَاۤىِٕرُكُمْ مَّعَكُمْۗ اَىِٕنْ ذُكِّرْتُمْۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ
qālụ ṭā'irukum ma'akum, a'in żukkirtum, bal antum qaumum musrifụn.
Mereka (utusan-utusan) itu berkata, “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.”
(٢٠) وَجَاۤءَ مِنْ اَقْصَا الْمَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَّسْعٰى قَالَ يٰقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِيْنَۙ
wa jā'a min aqṣal-madīnati rajuluy yas'ā qāla yā qaumittabi'ul-mursalīn.
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, “Wahai kaumku! Ikutilah utusan-utusan itu.
(٢١) اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْـَٔلُكُمْ اَجْرًا وَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
ittabi'ụ mal lā yas'alukum ajraw wa hum muhtadụn.
Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
(٢٢) وَمَا لِيَ لَآ اَعْبُدُ الَّذِيْ فَطَرَنِيْ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
wa mā liya lā a'budul-lażī faṭaranī wa ilaihi turja'ụn.
Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.
(٢٣) ءَاَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِهٖٓ اٰلِهَةً اِنْ يُّرِدْنِ الرَّحْمٰنُ بِضُرٍّ لَّا تُغْنِ عَنِّيْ شَفَاعَتُهُمْ شَيْـًٔا وَّلَا يُنْقِذُوْنِۚ
a attakhiżu min dụnihī ālihatan iy yuridnir-raḥmānu biḍurril lā tugni 'annī syafā'atuhum syai'aw wa lā yunqiżụn.
Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya? Jika (Allah) Yang Maha Pengasih menghendaki bencana terhadapku, niscaya pertolongan mereka tidak akan berguna sama sekali bagi diriku dan mereka (juga) tidak dapat menyelamatkanku.
(٢٤) اِنِّيْٓ اِذًا لَّفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
innī iżal lafī ḍalālim mubīn.
Sesungguhnya jika aku (berbuat) begitu, pasti aku berada dalam kesesatan yang nyata.
(٢٥) اِنِّيْٓ اٰمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُوْنِۗ
innī āmanntu birabbikum fasma'ụn.
Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)-ku.”
(٢٦) قِيْلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ ۗقَالَ يٰلَيْتَ قَوْمِيْ يَعْلَمُوْنَۙ
qīladkhulil-jannah, qāla yā laita qaumī ya'lamụn.
Dikatakan (kepadanya), “Masuklah ke surga.” Dia (laki-laki itu) berkata, “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui,
(٢٧) بِمَا غَفَرَ لِيْ رَبِّيْ وَجَعَلَنِيْ مِنَ الْمُكْرَمِيْنَ
bimā gafara lī rabbī wa ja'alanī minal-mukramīn.
apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang telah dimuliakan.”
(٢٨) وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى قَوْمِهٖ مِنْۢ بَعْدِهٖ مِنْ جُنْدٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَمَا كُنَّا مُنْزِلِيْنَ
wa mā anzalnā 'alā qaumihī mim ba'dihī min jundim minas-samā'i wa mā kunnā munzilīn.
Dan setelah dia (meninggal), Kami tidak menurunkan suatu pasukan pun dari langit kepada kaumnya, dan Kami tidak perlu menurunkannya.
(٢٩) اِنْ كَانَتْ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً فَاِذَا هُمْ خَامِدُوْنَ
in kānat illā ṣaiḥataw wāḥidatan fa'iżā hum khāmidụn.
Tidak ada siksaan terhadap mereka melainkan dengan satu teriakan saja; maka seketika itu mereka mati.
(٣٠) يٰحَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِۚ مَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ
yā ḥasratan 'alal-'ibād, mā ya'tīhim mir rasụlin illā kānụ bihī yastahzi'ụn.
Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, setiap datang seorang rasul kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokkannya.
(٣١) اَلَمْ يَرَوْا كَمْ اَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِّنَ الْقُرُوْنِ اَنَّهُمْ اِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُوْنَ
a lam yarau kam ahlaknā qablahum minal-qurụni annahum ilaihim lā yarji'ụn.
Tidakkah mereka mengetahui berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan. Mereka (yang telah dibinasakan itu) tidak kembali kepada mereka.
(٣٢) وَاِنْ كُلٌّ لَّمَّا جَمِيْعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُوْنَ
wa in kullul lammā jamī'ul ladainā muḥḍarụn.
Dan setiap (umat), semuanya akan dihadapkan kepada Kami.
(٣٣) وَاٰيَةٌ لَّهُمُ الْاَرْضُ الْمَيْتَةُ оживила ее وَاَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُوْنَ
wa āyatul lahumul-arḍul-maitatu aḥyaināhā wa akhrajnā min-hā ḥabban fa min-hu ya'kulūn.
Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati (tandus). Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka dari (biji-bijian) itu mereka makan.
(٣٤) وَجَعَلْنَا فِيْهَا جَنّٰتٍ مِّنْ نَّخِيْلٍ وَّاَعْنَابٍ وَّفَجَّرْنَا فِيْهَا مِنَ الْعُيُوْنِۙ
wa ja'alnā fīhā jannātim min nakhīliw wa a'nābiw wa fajjarnā fīhā minal-'uyụn.
Dan Kami jadikan padanya di bumi itu kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air,
(٣٥) لِيَأْكُلُوْا مِنْ ثَمَرِهٖۙ وَمَا عَمِلَتْهُ اَيْدِيْهِمْ ۗ اَفَلَا يَشْكُرُوْنَ
liya'kulụ min ṡamarihī wa mā 'amilat-hu aidīhim, a fa lā yasykurụn.
agar mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?
(٣٦) سُبْحٰنَ الَّذِيْ خَلَقَ الْاَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ وَمِنْ اَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ
sub-ḥānal-lażī khalaqal-azwāja kullahā mimmā tumbitul-arḍu wa min anfusihim wa mimmā lā ya'lamụn.
Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
(٣٧) وَاٰيَةٌ لَّهُمُ الَّيْلُ ۖنَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ فَاِذَا هُمْ مُّظْلِمُوْنَۙ
wa āyatul lahumul-lailu naslakhu min-hun-nahāra fa iżā hum muẓlimụn.
Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari (malam) itu, maka seketika itu mereka berada dalam kegelapan,
(٣٨) وَالشَّمْسُ تَجْرِيْ لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ۗذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِۗ
wasy-syamsu tajrī limustaqarril lahā, żālika taqdīrul-'azīzil-'alīm.
dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui.
(٣٩) وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ
wal-qamara qaddarnāhu manāzila ḥattā 'āda kal-'urjụnil-qadīm.
Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua.
(٤٠) لَا الشَّمْسُ يَنْۢبَغِيْ لَهَآ اَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا الَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۗوَكُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ
lasy-syamsu yambagī lahā an tudrikal-qamara wa lal-lailu sābiqun-nahār, wa kullun fī falakiy yasbaḥụn.
Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya.
(٤١) وَاٰيَةٌ لَّهُمْ اَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِى الْفُلْكِ الْمَشْحُوْنِۙ
wa āyatul lahum annā ḥamalnā żurriyyatahum fil-fulkil-masy-ḥụn.
Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam kapal yang penuh muatan,
(٤٢) وَخَلَقْنَا لَهُمْ مِّنْ مِّثْلِهٖ مَا يَرْكَبُوْنَ
wa khalaqnā lahum mim miṡlihī mā yarkabụn.
dan Kami ciptakan untuk mereka dari jenis itu apa yang mereka kendarai.
(٤٣) وَاِنْ نَّشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلَا صَرِيْخَ لَهُمْ وَلَا هُمْ يُنْقَذُوْنَۙ
wa in nasya' nugriq-hum fa lā ṣarīkha lahum wa lā hum yunqażụn.
Dan jika Kami menghendaki, Kami tenggelamkan mereka, maka tidak ada penolong bagi mereka dan tidak (pula) mereka diselamatkan,
(٤٤) اِلَّا رَحْمَةً مِّنَّا وَمَتَاعًا اِلٰى حِيْنٍ
illā raḥmatam minnā wa matā'an ilā ḥīn.
melainkan (Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan kesenangan hidup sampai waktu tertentu.
(٤٥) وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّقُوْا مَا بَيْنَ اَيْدِيْكُمْ وَمَا خَلْفَكُمْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
wa iżā qīla lahumuttaqụ mā baina aidīkum wa mā khalfakum la'allakum tur-ḥamụn.
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Takutlah kamu akan siksa yang di hadapanmu (di dunia) dan azab yang akan datang (di akhirat) agar kamu mendapat rahmat.”
(٤٦) وَمَا تَأْتِيْهِمْ مِّنْ اٰيَةٍ مِّنْ اٰيٰتِ رَبِّهِمْ اِلَّا كَانُوْا عَنْهَا مُعْرِضِيْنَ
wa mā ta'tīhim min āyatim min āyāti rabbihim illā kānụ 'an-hā mu'riḍīn.
Dan setiap kali suatu tanda dari tanda-tanda (kebesaran) Tuhan datang kepada mereka, mereka selalu berpaling darinya.
(٤٧) وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ اَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ ۙقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنُطْعِمُ مَنْ لَّوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ اَطْعَمَهٗٓ ۖاِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
wa iżā qīla lahum anfiqụ mimmā razaqakumullāhu qālal-lażīna kafarụ lil-lażīna āmanū anuṭ'imu mal lau yasyā'ullāhu aṭ'amahū in antum illā fī ḍalālim mubīn.
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakkanlah sebagian dari rezeki yang diberikan Allah kepadamu,” orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, “Apakah kami akan memberi makan kepada orang yang jika Allah menghendaki, niscaya Dia akan memberinya makan? Kamu tidak lain hanyalah dalam kesesatan yang nyata.”
(٤٨) وَيَقُوْلُوْنَ مَتٰى هٰذَا الْوَعْدُ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
wa yaqụlụna matā hāżal-wa'du in kuntum ṣādiqīn.
Dan mereka berkata, “Kapankah janji (hari berbangkit) itu (akan terpenuhi) jika kamu orang yang benar?”
(٤٩) مَا يَنْظُرُوْنَ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً تَأْخُذُهُمْ وَهُمْ يَخِصِّمُوْنَ
mā yanẓurụna illā ṣaiḥataw wāḥidatan ta'khużuhum wa hum yakhiṣṣimụn.
Mereka hanya menunggu satu teriakan, yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar.
(٥٠) فَلَا يَسْتَطِيْعُوْنَ تَوْصِيَةً وَّلَآ اِلٰٓى اَهْلِهِمْ يَرْجِعُوْنَ
fa lā yastaṭī'ụna tauṣiyataw wa lā ilā ahlihim yarji'ụn.
Sehingga mereka tidak mampu membuat suatu wasiat dan mereka (juga) tidak dapat kembali kepada keluarganya.
(٥١) وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَاِذَا هُمْ مِّنَ الْاَجْدَاثِ اِلٰى رَبِّهِمْ يَنْسِلُوْنَ
wa nufikha fiṣ-ṣụri fa iżā hum minal-ajdāṡi ilā rabbihim yansilụn.
Lalu ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kuburnya (dalam keadaan hidup) menuju kepada Tuhannya.
(٥٢) قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۜهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ
qālụ yā wailanā mam ba'aṡanā mim marqadinā, hāżā mā wa'adar-raḥmānu wa ṣadaqal-mursalụn.
Mereka berkata, “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya).
(٥٣) اِنْ كَانَتْ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً فَاِذَا هُمْ جَمِيْعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُوْنَ
in kānat illā ṣaiḥataw wāḥidatan fa'iżā hum jamī'ul ladainā muḥḍarụn.
Teriakan itu hanya sekali saja, maka seketika itu mereka semua dihadapkan kepada Kami.
(٥٤) فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔا وَّلَا تُجْزَوْنَ اِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
fal-yauma lā tuẓlamu nafsun syai'aw wa lā tujzauna illā mā kuntum ta'malụn.
Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kamu tidak akan diberi balasan, kecuali sesuai dengan apa yang telah kamu kerjakan.
(٥٥) اِنَّ اَصْحٰبَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِيْ شُغُلٍ فٰكِهُوْنَ ۚ
inna aṣ-ḥābal-jannatil-yauma fī syugulin fākihụn.
Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka).
(٥٦) هُمْ وَاَزْوَاجُهُمْ فِيْ ظِلٰلٍ عَلَى الْاَرَاۤىِٕكِ مُتَّكِـُٔوْنَ ۚ
hum wa azwājuhum fī ẓilālin 'alal-arā'iki muttaki'ụn.
Mereka dan pasangan-pasangannya berada dalam tempat yang teduh, bersandar di atas dipan-dipan.
(٥٧) لَهُمْ فِيْهَا فَاكِهَةٌ وَّلَهُمْ مَّا يَدَّعُوْنَ ۚ
lahum fīhā fākihatuw wa lahum mā yadda'ụn.
Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa saja yang mereka inginkan.
(٥٨) سَلٰمٌۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ
salāmun qaulam mir rabbir raḥīm.
(Kepada mereka dikatakan), “Salam,” sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.
(٥٩) وَامْتَازُوا الْيَوْمَ اَيُّهَا الْمُجْرِمُوْنَ
wamtāzul-yauma ayyuhal-mujrimụn.
Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir), “Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, wahai orang-orang yang berdosa!
(٦٠) اَلَمْ اَعْهَدْ اِلَيْكُمْ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ اَنْ لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطٰنَۚ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
a lam a'had ilaikum yā banī ādama al lā ta'budusy-syaiṭān, innahụ lakum 'aduwwum mubīn.
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu,
(٦١) وَاَنِ اعْبُدُوْنِيْ ۗهٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيْمٌ
wa ani'budụnī, hāżā ṣirāṭum mustaqīm.
dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.”
(٦٢) وَلَقَدْ اَضَلَّ مِنْكُمْ جِبِلًّا كَثِيْرًا ۗاَفَلَمْ تَكُوْنُوْا تَعْقِلُوْنَ
wa laqad aḍalla minkum jibillan kaṡīrā, a fa lam takụnụ ta'qilụn.
Dan sungguh, ia (setan itu) telah menyesatkan sebagian besar di antara kamu. Maka apakah kamu tidak mengerti?
(٦٣) هٰذِهٖ جَهَنَّمُ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ
hāżihī jahannamul-latī kuntum tụ'adụn.
Inilah (neraka) Jahanam yang dahulu telah diperingatkan kepadamu.
(٦٤) اِصْلَوْهَا الْيَوْمَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُوْنَ
iṣlauhal-yauma bimā kuntum takfurụn.
Masuklah ke dalamnya pada hari ini karena dahulu kamu mengingkarinya.
(٦٥) اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
al-yauma nakhtimu 'alā afwāhihim wa tukallimunā aidīhim wa tasyhadu arjuluhum bimā kānụ yaksibụn.
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan menjadi saksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.
(٦٦) وَلَوْ نَشَاۤءُ لَطَمَسْنَا عَلٰٓى اَعْيُنِهِمْ فَاسْتَبَقُوا الصِّرَاطَ فَاَنّٰى يُبْصِرُوْنَ
wa lau nasyā'u laṭamasnā 'alā a'yunihim fastabaquṣ-ṣirāṭa fa annā yubṣirụn.
Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka; lalu mereka berlomba-lomba (mencari) jalan. Maka bagaimana mungkin mereka dapat melihat?
(٦٧) وَلَوْ نَشَاۤءُ لَمَسَخْنٰهُمْ عَلٰى مَكَانَتِهِمْ فَمَا اسْتَطَاعُوْا مُضِيًّا وَّلَا يَرْجِعُوْنَ
wa lau nasyā'u lamasakhnāhum 'alā makānatihim famastaṭā'ụ muḍiyyaw wa lā yarji'ụn.
Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami ubah bentuk mereka di tempat mereka berada; sehingga mereka tidak sanggup berjalan lagi dan juga tidak dapat kembali.
(٦٨) وَمَنْ نُّعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِى الْخَلْقِۗ اَفَلَا يَعْقِلُوْنَ
wa man nu'ammir-hu nunakkis-hu fil-khalq, a fa lā ya'qilụn.
Dan barangsiapa Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada awal kejadian(nya). Maka mengapa mereka tidak mengerti?
(٦٩) وَمَا عَلَّمْنٰهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْۢبَغِيْ لَهٗ ۗاِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ وَّقُرْاٰنٌ مُّبِيْنٌ ۙ
wa mā 'allamnāhusy-syi'ra wa mā yambagī lah, in huwa illā żikruw wa qur'ānum mubīn.
Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya. Al-Qur'an itu tidak lain adalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan,
(٧٠) لِّيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَّيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ
liyunżira man kāna ḥayyaw wa yaḥiqqal-qaulu 'alal-kāfirīn.
agar dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan agar pasti ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir.
(٧١) اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِّمَّا عَمِلَتْ اَيْدِيْنَآ اَنْعَامًا فَهُمْ لَهَا مَالِكُوْنَ
a wa lam yarau annā khalaqnā lahum mimmā 'amilat aidīnā an'āman fa hum lahā mālikụn.
Dan tidakkah mereka melihat bahwa Kami telah menciptakan hewan ternak untuk mereka, yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami, lalu mereka menguasainya?
(٧٢) وَذَلَّلْنٰهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوْبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُوْنَ
wa żallalnāhā lahum fa min-hā rakụbuhum wa min-hā ya'kulụn.
Dan Kami menundukkannya (hewan-hewan itu) untuk mereka; lalu sebagiannya untuk menjadi tunggangan mereka dan sebagian untuk mereka makan.
(٧٣) وَلَهُمْ فِيْهَا مَنَافِعُ وَمَشَارِبُۗ اَفَلَا يَشْكُرُوْنَ
wa lahum fīhā manāfi'u wa masyārib, a fa lā yasykurụn.
Dan mereka memperoleh berbagai manfaat dan minuman darinya. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?
(٧٤) وَاتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اٰلِهَةً لَّعَلَّهُمْ يُنْصَرُوْنَ
wattakhażụ min dụnillāhi ālihatal la'allahum yunṣarụn.
Dan mereka mengambil sesembahan selain Allah agar mereka mendapat pertolongan.
(٧٥) لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ نَصْرَهُمْۙ وَهُمْ لَهُمْ جُنْدٌ مُّحْضَرُوْنَ
lā yastaṭī'ụna naṣrahum wa hum lahum jundum muḥḍarụn.
Mereka (sesembahan itu) tidak dapat menolong mereka; padahal mereka itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga (sesembahan) itu.
(٧٦) فَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ ۘاِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ وَمَا يُعْلِنُوْنَ
fa lā yaḥzunka qauluhum, innā na'lamu mā yusirrụna wa mā yu'linụn.
Maka jangan sampai ucapan mereka membuat engkau (Muhammad) bersedih hati. Sungguh, Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.
(٧٧) اَوَلَمْ يَرَ الْاِنْسَانُ اَنَّا خَلَقْنٰهُ مِنْ نُّطْفَةٍ فَاِذَا هُوَ خَصِيْمٌ مُّبِيْنٌ
a wa lam yaral-insānu annā khalaqnāhu min nuṭfatin fa iżā huwa khaṣīmum mubīn.
Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, lalu tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata.
(٧٨) وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّنَسِيَ خَلْقَهٗۗ قَالَ مَنْ يُّحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ
wa ḍaraba lanā maṡalaw wa nasiya khalqah, qāla may yuḥyil-'iẓāma wa hiya ramīm.
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan dia lupa akan kejadiannya; dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?”
(٧٩) قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْٓ اَنْشَاَهَآ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۗوَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ ۙ
qul yuḥyīhal-lażī ansya'ahā awwala marrah, wa huwa bikulli khalqin 'alīm.
Katakanlah (Muhammad), “Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.
(٨٠) ۨالَّذِيْ جَعَلَ لَكُمْ مِّنَ الشَّجَرِ الْاَخْضَرِ نَارًا فَاِذَآ اَنْتُمْ مِّنْهُ تُوْقِدُوْنَ
allażī ja'ala lakum minasy-syajaril-akhḍari nāran fa iżā antum min-hu tụqidụn.
Yaitu (Allah) yang menjadikan api untukmu dari kayu yang hijau, maka seketika itu kamu nyalakan (api) dari kayu itu.”
(٨١) اَوَلَيْسَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِقٰدِرٍ عَلٰٓى اَنْ يَّخْلُقَ مِثْلَهُمْ ۗبَلٰى وَهُوَ الْخَلّٰقُ الْعَلِيْمُ
a wa laisal-lażī khalaqas-samāwāti wal-arḍa biqādirin 'alā ay yakhluqa miṡlahum, balā wa huwal-khallāqul-'alīm.
Dan bukankah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi, mampu menciptakan kembali yang serupa itu (jasad mereka yang sudah hancur)? Benar. Dan Dia Maha Pencipta, Maha Mengetahui.
(٨٢) اِنَّمَآ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔا اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
innamā amruhū iżā arāda syai'an ay yaqụla lahụ kun fa yakụn.
Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.
(٨٣) فَسُبْحٰنَ الَّذِيْ بِيَدِهٖ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ وَّاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
fa sub-ḥānal-lażī biyadihī malakụtu kulli syai'iw wa ilaihi turja'ụn.
Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Tafsir dan Kandungan Mendalam Surat Yasin
Memahami Surat Yasin tidak cukup hanya dengan membacanya, tetapi juga dengan merenungkan makna-makna agung yang terkandung di dalamnya. Surat ini bagaikan lautan ilmu yang menyajikan argumentasi kuat, kisah-kisah penuh hikmah, dan gambaran nyata tentang kehidupan setelah mati.
Bagian Pertama (Ayat 1-12): Penegasan Risalah dan Catatan Amal
Surat ini dibuka dengan sumpah Allah demi Al-Qur'an yang penuh hikmah (ayat 2). Sumpah ini berfungsi untuk menghilangkan keraguan dan menegaskan kebenaran mutlak dari apa yang akan disampaikan setelahnya. Poin utamanya adalah penegasan status Nabi Muhammad SAW sebagai seorang utusan (ayat 3) yang berjalan di atas jalan yang lurus (ayat 4), yaitu ajaran tauhid yang murni. Al-Qur'an diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa (Al-'Aziz) dan Maha Penyayang (Ar-Rahim), menunjukkan bahwa ajaran-Nya membawa kekuatan sekaligus kasih sayang. Tujuannya adalah untuk memberi peringatan kepada kaum yang nenek moyangnya belum pernah menerima risalah, sehingga mereka hidup dalam kelalaian (ayat 6).
Namun, Allah menegaskan bahwa bagi kebanyakan dari mereka, ketetapan azab telah berlaku karena penolakan dan kesombongan mereka (ayat 7). Ayat 8 dan 9 memberikan gambaran metaforis yang kuat tentang kondisi hati mereka yang tertutup. Allah seolah-olah memasang belenggu di leher mereka yang membuat kepala mereka tertengadah kaku, dan memasang dinding di depan dan di belakang mereka, sehingga pandangan mereka terhalang dari kebenaran. Ini adalah gambaran bagi orang yang hatinya telah terkunci oleh keangkuhan, sehingga peringatan apapun tidak akan berguna bagi mereka (ayat 10). Sebaliknya, peringatan hanya akan bermanfaat bagi mereka yang mau mengikuti Al-Qur'an dan memiliki rasa takut (khasyah) kepada Allah meskipun tidak melihat-Nya. Bagi mereka, Allah menjanjikan ampunan dan pahala yang mulia (ayat 11). Bagian ini ditutup dengan penegasan yang menggugah: Allah-lah yang menghidupkan yang mati dan mencatat semua perbuatan manusia, besar maupun kecil, beserta "bekas-bekas" (atsar) yang mereka tinggalkan—baik itu jejak kebaikan maupun keburukan—dalam sebuah kitab induk yang jelas, Lauh Mahfuzh (ayat 12). Ini adalah pengingat bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi abadi.
Bagian Kedua (Ayat 13-32): Kisah Penduduk Negeri (Ashabul Qaryah)
Untuk memberikan pelajaran nyata, Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan perumpamaan tentang penduduk sebuah negeri ketika para utusan datang kepada mereka. Kisah ini, yang diyakini para mufassir merujuk pada kota Anthakiyah (Antiokhia), dimulai dengan diutusnya dua rasul yang kemudian didustakan oleh penduduknya. Allah pun menguatkan mereka dengan rasul ketiga (ayat 14).
Dialog antara para rasul dan penduduk negeri menyingkap pola penolakan yang klasik. Penduduk negeri berargumen, "Kamu hanyalah manusia biasa seperti kami," dan menuduh para rasul sebagai pendusta yang mengatasnamakan Tuhan (ayat 15). Para rasul menjawab dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan mengetahui kebenaran risalah mereka, dan tugas mereka hanyalah menyampaikan dengan jelas (ayat 16-17). Ketika argumen mereka terpatahkan, penduduk negeri beralih ke takhayul dan ancaman. Mereka menganggap kehadiran para rasul membawa sial (tathayyur) dan mengancam akan merajam serta menyiksa mereka jika tidak berhenti berdakwah (ayat 18). Para rasul membalas bahwa kesialan itu bersumber dari perbuatan mereka sendiri, dan menyebut mereka sebagai kaum yang melampaui batas (ayat 19).
Di tengah kebuntuan itu, muncullah seorang pahlawan iman. Seorang laki-laki datang bergegas dari ujung kota (ayat 20), menunjukkan bahwa kebenaran bisa datang dari mana saja, bukan hanya dari kalangan elit. Ia menyeru kaumnya dengan tulus, "Wahai kaumku, ikutilah para utusan itu!" (ayat 20). Argumennya sangat logis dan menyentuh: ikutilah mereka yang tidak meminta imbalan dan merupakan orang-orang yang mendapat petunjuk (ayat 21). Ia kemudian mengajak mereka merenung secara personal, "Mengapa aku tidak menyembah Tuhan yang menciptakanku dan kepada-Nya kalian akan kembali?" (ayat 22). Ia menolak tuhan-tuhan selain Allah yang tidak berdaya (ayat 23) dan dengan tegas menyatakan keimanannya di hadapan kaumnya yang zalim (ayat 25). Akhir dari kisah hidupnya sangat tragis di dunia—ia dibunuh oleh kaumnya—namun mulia di sisi Allah. Begitu wafat, ia disambut dengan perintah "Masuklah ke surga" (ayat 26). Dari dalam surga, ia masih memikirkan kaumnya, berharap mereka mengetahui kemuliaan yang ia terima dari ampunan Allah, sebagai bukti tulusnya dakwahnya (ayat 27). Allah kemudian membinasakan kaumnya yang durhaka itu bukan dengan pasukan dari langit, melainkan hanya dengan satu teriakan dahsyat yang mematikan mereka seketika (ayat 29). Kisah ini ditutup dengan sebuah ungkapan penyesalan mendalam atas para hamba yang selalu memperolok utusan yang datang kepada mereka (ayat 30).
Bagian Ketiga (Ayat 33-47): Tanda-tanda Kekuasaan Allah di Alam Semesta
Setelah menyajikan bukti historis, surat ini beralih ke bukti-bukti kauniyah (alam semesta) yang dapat disaksikan oleh siapa saja. Bagian ini adalah argumen logis yang ditujukan kepada mereka yang meragukan hari kebangkitan. Tanda pertama adalah bumi yang mati dan tandus, lalu Allah menghidupkannya dengan air hujan, menumbuhkan biji-bijian, kebun kurma, dan anggur, serta memancarkan mata air (ayat 33-34). Semua ini agar manusia dapat menikmati hasilnya dan menyadari bahwa itu bukanlah murni hasil usaha tangan mereka, melainkan anugerah Allah yang patut disyukuri (ayat 35). Allah kemudian mengajak kita untuk menyucikan-Nya, Dzat yang menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, baik yang diketahui manusia maupun yang tidak (ayat 36).
Tanda berikutnya adalah fenomena malam dan siang. Allah "menanggalkan" siang dari malam, sehingga dunia menjadi gelap (ayat 37). Ini adalah sebuah proses yang terjadi setiap hari namun penuh keajaiban. Matahari yang terus-menerus berjalan pada garis edarnya (mustaqarr) yang telah ditetapkan dengan presisi (ayat 38), dan bulan yang memiliki fase-fase (manazil) yang teratur, dari sabit hingga purnama, lalu kembali mengecil seperti tandan kurma yang tua (ayat 39). Keteraturan ini begitu sempurna sehingga matahari tidak akan pernah menyusul bulan, dan malam tidak akan mendahului siang; semuanya beredar (yasbahun) dalam orbitnya masing-masing (ayat 40). Ini adalah bukti keagungan Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mengetahui.
Bukti kekuasaan lainnya adalah kemampuan manusia melaut. Allah mengingatkan bahwa Dialah yang membawa nenek moyang manusia dalam bahtera (kapal) yang penuh muatan, merujuk pada kapal Nabi Nuh (ayat 41). Allah juga menciptakan alat transportasi serupa bagi generasi-generasi berikutnya (ayat 42). Manusia diingatkan bahwa mereka sepenuhnya berada dalam genggaman kuasa-Nya. Jika Allah berkehendak, Dia bisa menenggelamkan mereka, dan takkan ada yang bisa menolong kecuali karena rahmat-Nya (ayat 43-44). Namun, ketika mereka diingatkan akan tanda-tanda ini, mereka tetap berpaling (ayat 46) dan bahkan mengejek dengan logika yang bengkok ketika diajak berinfak (ayat 47).
Bagian Keempat (Ayat 48-68): Dahsyatnya Hari Kiamat dan Pengadilan
Bagian ini secara dramatis menggambarkan peristiwa-peristiwa akhir zaman yang selalu mereka dustakan. Kaum kafir selalu bertanya dengan nada mengejek, "Kapan janji (kiamat) itu akan datang?" (ayat 48). Allah menjawab bahwa kiamat akan datang secara tiba-tiba, melalui satu teriakan (shayhah) yang mematikan saat mereka sedang sibuk dalam perselisihan duniawi (ayat 49). Kejadiannya begitu cepat sehingga mereka tidak sempat berwasiat atau kembali kepada keluarga (ayat 50).
Kemudian, ditiuplah sangkakala yang kedua untuk kebangkitan. Seketika, semua manusia keluar dari kuburnya dan bergegas menuju Tuhan mereka (ayat 51). Dalam keadaan panik dan terkejut, mereka berteriak, "Celakalah kami! Siapa yang membangkitkan kami dari kubur?" (ayat 52). Saat itulah kebenaran yang dulu mereka ingkari terungkap: "Inilah yang dijanjikan oleh Yang Maha Rahman, dan benarlah para rasul." Dengan satu teriakan lagi, semua makhluk dikumpulkan di hadapan Allah untuk diadili (ayat 53). Pada hari itu, pengadilan Allah sangat adil, tidak ada satu jiwa pun yang dizalimi, dan setiap orang mendapat balasan sesuai amalnya (ayat 54).
Surat ini kemudian membandingkan nasib dua kelompok. Para penghuni surga digambarkan dalam keadaan bahagia, sibuk dengan kenikmatan (ayat 55). Mereka bersama pasangan mereka bersantai di tempat teduh di atas dipan-dipan (ayat 56), menikmati segala jenis buah-buahan dan apa pun yang mereka minta (ayat 57). Puncak kenikmatan mereka adalah ucapan "Salam" langsung dari Allah, Tuhan Yang Maha Penyayang (ayat 58). Sebaliknya, kepada para pendosa diperintahkan untuk memisahkan diri (ayat 59). Mereka diingatkan akan perjanjian primordial untuk tidak menyembah setan, musuh yang nyata, dan agar hanya menyembah Allah di jalan yang lurus (ayat 60-61). Mereka dicela karena telah disesatkan oleh setan namun tidak menggunakan akal mereka (ayat 62). Lalu, ditampakkanlah neraka Jahanam yang dulu mereka dustakan (ayat 63) dan diperintahkan untuk memasukinya (ayat 64).
Di hari pengadilan, mulut mereka dikunci. Anggota tubuh mereka—tangan dan kaki—yang akan berbicara dan bersaksi atas perbuatan mereka di dunia (ayat 65). Ini menunjukkan betapa totalnya pengadilan Allah, di mana tidak ada lagi ruang untuk berdusta. Ayat 66-68 kembali menegaskan kekuasaan absolut Allah: jika Dia mau, Dia bisa saja membutakan mata mereka atau mengubah wujud mereka di dunia, namun Dia menundanya. Manusia juga diingatkan tentang proses penuaan, di mana kekuatan fisik dikembalikan kepada kelemahan, sebuah pelajaran yang seharusnya membuat mereka berpikir.
Bagian Kelima (Ayat 69-83): Penutup, Bantahan Final, dan Kekuasaan Mutlak
Bagian akhir surat ini kembali menegaskan hakikat Al-Qur'an dan membantah tuduhan kaum kafir bahwa Nabi Muhammad adalah seorang penyair. Allah menyatakan bahwa Dia tidak mengajarkan syair kepada Nabi, karena Al-Qur'an bukanlah syair, melainkan peringatan dan kitab yang jelas (ayat 69). Tujuannya adalah untuk memberi peringatan kepada orang yang "hidup" hatinya dan sebagai penegak hujjah atas orang-orang kafir (ayat 70).
Allah sekali lagi mengajak manusia merenungkan nikmat-Nya yang sering terlupakan: penciptaan hewan ternak yang mereka kuasai, tunggangi, dan makan dagingnya (ayat 71-72). Hewan-hewan ini memberikan banyak manfaat lain, namun manusia tetap sedikit yang bersyukur (ayat 73). Alih-alih bersyukur, mereka malah mengambil sesembahan selain Allah dengan harapan mendapat pertolongan (ayat 74), padahal sesembahan itu sama sekali tidak berdaya (ayat 75). Allah menghibur Nabi Muhammad agar tidak bersedih atas ucapan mereka, karena Allah mengetahui segala yang tersembunyi dan yang tampak (ayat 76).
Argumentasi pamungkas untuk hari kebangkitan disajikan di ayat 77-81. Manusia diajak mengingat asal-usulnya: diciptakan dari setetes mani yang hina, namun setelah menjadi manusia sempurna, ia malah menjadi penantang yang nyata (ayat 77). Ia lupa pada asal kejadiannya dan membuat perumpamaan yang mustahil menurut logikanya, "Siapakah yang bisa menghidupkan tulang yang sudah hancur luluh?" (ayat 78). Allah memerintahkan Nabi untuk menjawab dengan tegas: "Yang akan menghidupkannya adalah Dzat yang menciptakannya pertama kali." (ayat 79). Bagi Allah, menciptakan kembali jauh lebih mudah daripada menciptakan dari ketiadaan. Allah lalu memberikan contoh lain dari kuasa-Nya: menjadikan api dari kayu yang hijau, sebuah proses transformasi yang luar biasa (ayat 80). Logika puncaknya adalah: "Bukankah Dzat yang mampu menciptakan langit dan bumi yang begitu besar, pasti mampu menciptakan kembali manusia yang kecil?" Tentu saja, Dialah Sang Maha Pencipta (Al-Khallaq) dan Maha Mengetahui (Al-'Alim) (ayat 81).
Surat ini ditutup dengan dua ayat yang menjadi klimaks penegasan kekuasaan Allah. Ayat 82 adalah ayat "Kun Fayakun" yang terkenal: "Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka jadilah ia." Ini adalah gambaran kemudahan mutlak bagi Allah dalam mewujudkan kehendak-Nya, termasuk membangkitkan seluruh umat manusia. Ayat terakhir (83) adalah tasbih dan pujian agung kepada Allah: "Maka Mahasuci Allah yang di tangan-Nya kekuasaan (malakut) atas segala sesuatu, dan hanya kepada-Nyalah kamu semua akan dikembalikan." Ini adalah kesimpulan akhir yang mengembalikan segala urusan kepada Sang Pemilik Kerajaan Absolut, Allah SWT.