Surat Quraisy: Kajian Lengkap Bacaan Latin, Tafsir, dan Hikmahnya
Ilustrasi Ka'bah dan kafilah dagang suku Quraisy yang melambangkan perjalanan musim dingin dan musim panas.
Surat Quraisy adalah surat ke-106 dalam Al-Qur'an. Tergolong sebagai surat Makkiyah, surat ini diturunkan di Mekkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Meskipun sangat singkat, hanya terdiri dari empat ayat, Surat Quraisy menyimpan makna yang luar biasa dalam, mengisahkan tentang nikmat besar yang Allah anugerahkan kepada suku Quraisy, suku paling terpandang di Jazirah Arab pada masa itu. Surat ini merupakan pengingat abadi tentang hubungan erat antara nikmat duniawi (keamanan dan kemakmuran) dengan kewajiban spiritual (menyembah Allah Yang Maha Esa).
Artikel ini akan mengupas tuntas segala hal yang berkaitan dengan Surat Quraisy, mulai dari bacaan lengkap dalam tulisan Arab, surat quraisy latin untuk memudahkan pelafalan, terjemahan dalam bahasa Indonesia, hingga tafsir mendalam yang akan membuka cakrawala pemahaman kita. Kita akan menyelami latar belakang sejarahnya, keterkaitannya dengan surat sebelumnya (Surat Al-Fil), dan hikmah-hikmah agung yang dapat kita petik untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Bacaan Surat Quraisy Arab, Latin, dan Terjemahannya
Bagi Anda yang sedang belajar membaca Al-Qur'an atau ingin memastikan pelafalan yang benar, berikut kami sajikan bacaan Surat Quraisy dalam tiga format: teks Arab asli, transliterasi Latin, dan terjemahan resmi dalam Bahasa Indonesia.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ (١)
Li'īlāfi quraīsy.
1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ (٢)
Īlāfihim riḥlatasy-syitā'i waṣ-ṣaīf.
2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.
فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ (٣)
Falya‘budū rabba hāżal-baīt.
3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) Rumah ini (Ka'bah),
الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ ࣖ (٤)
Allażī aṭ‘amahum min jū‘iw wa āmanahum min khaūf.
4. yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan.
Asbabun Nuzul: Latar Belakang Turunnya Surat Quraisy
Untuk memahami kedalaman makna sebuah surat, mengetahui Asbabun Nuzul atau sebab-sebab turunnya ayat adalah kunci. Surat Quraisy turun dalam konteks sejarah yang sangat spesifik dan berkaitan erat dengan peran suku Quraisy sebagai penjaga Ka'bah dan penguasa Mekkah.
Suku Quraisy adalah keturunan dari Fihr bin Malik, salah satu cucu dari Nabi Ismail a.s. Mereka adalah suku yang dimuliakan di seluruh Jazirah Arab karena status mereka sebagai "Ahlul Haram" atau penduduk Tanah Suci Mekkah dan penjaga Baitullah (Ka'bah). Namun, Mekkah pada dasarnya adalah lembah yang tandus dan tidak memiliki sumber daya alam seperti pertanian atau perkebunan. Kehidupan mereka sangat bergantung pada perdagangan.
Adalah Hasyim bin Abdu Manaf, kakek buyut Nabi Muhammad SAW, yang menjadi pelopor tradisi perjalanan dagang besar-besaran ini. Beliau adalah seorang tokoh yang sangat cerdas dan visioner. Hasyim berhasil membuat perjanjian-perjanjian dagang dan keamanan yang dikenal dengan istilah "Ilaf" dengan para penguasa di wilayah sekitar. Ia mengadakan perjanjian dengan Kaisar Romawi di Syam (Suriah dan sekitarnya) untuk perjalanan musim panas, dan dengan Raja Najasyi di Habasyah (Ethiopia) melalui Yaman untuk perjalanan musim dingin. Perjanjian ini menjamin keamanan kafilah dagang Quraisy saat melintasi wilayah kekuasaan mereka. Sebagai imbalannya, kafilah Quraisy membawa barang-barang dari satu wilayah ke wilayah lain, menciptakan jalur perdagangan yang vital.
Tradisi inilah yang disebut dalam ayat pertama, "Li'īlāfi quraīsy" (Karena kebiasaan orang-orang Quraisy). Kata "Ilaf" tidak sekadar berarti kebiasaan, tetapi juga mengandung makna "perjanjian," "harmoni," dan "keakraban." Berkat "Ilaf" ini, suku Quraisy dapat melakukan dua perjalanan dagang besar setiap tahun tanpa gangguan: "riḥlatasy-syitā'i waṣ-ṣaīf" (perjalanan musim dingin ke Yaman dan musim panas ke Syam). Perjalanan ini mengubah Mekkah dari lembah tandus menjadi pusat perdagangan internasional yang makmur. Barang-barang dari Yaman (seperti wewangian dan rempah-rempah) dibawa ke Syam, dan sebaliknya, produk dari Romawi (seperti kain dan gandum) dibawa ke Yaman, dengan Mekkah sebagai titik transit utamanya.
Surat ini turun untuk mengingatkan suku Quraisy akan sumber asli dari semua kemudahan, kemakmuran, dan keamanan yang mereka nikmati. Bukan karena kehebatan negosiasi Hasyim semata, bukan pula karena kekuatan militer mereka, melainkan murni karena anugerah dari Allah, Tuhan Pemilik Ka'bah, yang telah melindungi mereka dan memuliakan mereka di mata suku-suku lain.
Tafsir Mendalam Surat Quraisy Ayat per Ayat
Mari kita bedah makna yang terkandung dalam setiap ayat Surat Quraisy untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.
Ayat 1: لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ (Li'īlāfi quraīsy)
"Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,"
Ayat pertama ini langsung menunjuk pada sebuah nikmat besar yang menjadi fondasi kehidupan suku Quraisy. Kata "Li" di awal ayat ini, menurut para ahli tafsir, memiliki makna ta'ajjub (mengungkapkan keheranan) atau ta'lil (menyatakan sebab). Jika bermakna keheranan, maka seolah-olah Allah berfirman, "Heran sekali (perbuatan orang Quraisy)! Mereka telah Aku berikan nikmat Ilaf, tetapi mereka justru menyembah berhala." Jika bermakna sebab, maka ia menjadi pengantar bagi perintah di ayat ketiga.
Kata kunci di sini adalah "Ilaf". Secara bahasa, ia berasal dari kata alifa-ya'lafu yang berarti terbiasa, jinak, akrab, atau harmonis. Dalam konteks ini, "Ilaf" mencakup beberapa dimensi makna:
- Kebiasaan yang Teratur: Ini merujuk pada rutinitas perjalanan dagang musim dingin dan musim panas yang sudah menjadi tradisi dan tulang punggung ekonomi mereka. Perjalanan ini begitu teratur dan mapan sehingga menjadi sebuah "kebiasaan" yang menyatu dengan identitas mereka.
- Perjanjian Keamanan: "Ilaf" juga merujuk pada pakta atau perjanjian non-agresi yang dirintis oleh Hasyim bin Abdu Manaf. Perjanjian ini memberikan jaminan keamanan bagi kafilah Quraisy dari serangan perampok atau suku-suku lain di sepanjang rute perjalanan yang berbahaya. Orang-orang menghormati mereka dengan berkata, "Mereka adalah tetangga Allah dan penduduk Tanah Suci-Nya."
- Rasa Aman dan Kenyamanan: Hasil dari kebiasaan dan perjanjian itu adalah timbulnya rasa aman dan nyaman dalam melakukan perjalanan. Mereka tidak lagi merasa cemas atau takut saat meninggalkan Mekkah untuk berdagang.
Ayat ini secara implisit mengajak suku Quraisy untuk merenung: "Wahai kaum Quraisy, sadarilah nikmat luar biasa yang telah menyatukan dan menenteramkan kalian ini."
Ayat 2: اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ (Īlāfihim riḥlatasy-syitā'i waṣ-ṣaīf)
"(yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas."
Ayat kedua ini memberikan penjelasan lebih rinci tentang "Ilaf" yang dimaksud pada ayat pertama. Ia mendeskripsikan dua pilar utama ekonomi Quraisy: perjalanan musim dingin dan perjalanan musim panas.
- Rihlatasy-syitā' (Perjalanan Musim Dingin): Perjalanan ini dilakukan menuju ke selatan, yaitu ke negeri Yaman. Yaman pada masa itu adalah wilayah yang subur dan menjadi pusat perdagangan barang-barang mewah dari India dan Afrika, seperti rempah-rempah, kemenyan, dan wewangian. Cuaca di Yaman lebih hangat pada musim dingin, membuatnya menjadi tujuan yang ideal.
- Waṣ-ṣaīf (dan Musim Panas): Perjalanan musim panas dilakukan menuju ke utara, yaitu ke negeri Syam (meliputi Suriah, Palestina, Lebanon, dan Yordania saat ini). Syam berada di bawah pengaruh Kekaisaran Bizantium (Romawi Timur) dan merupakan gerbang perdagangan ke Eropa. Dari sana, mereka mendapatkan gandum, minyak zaitun, kain, dan barang-barang manufaktur lainnya. Cuaca di utara lebih sejuk pada musim panas, sehingga cocok untuk perjalanan jauh melintasi gurun.
Dua perjalanan ini bukan sekadar aktivitas ekonomi. Ia adalah mesin penggerak kehidupan di Mekkah. Tanpa perjalanan ini, Mekkah akan tetap menjadi lembah yang miskin dan terisolasi. Allah SWT menyebutkan dua perjalanan ini secara spesifik untuk menegaskan betapa detail dan sempurnanya nikmat yang Dia berikan. Dia tidak hanya memberi keamanan, tetapi juga mengatur waktu dan tujuan perjalanan yang paling optimal sesuai dengan kondisi iklim dan geografi.
Ayat 3: فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ (Falya‘budū rabba hāżal-baīt)
"Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) Rumah ini (Ka'bah),"
Setelah menyebutkan dua nikmat besar pada dua ayat sebelumnya, ayat ketiga ini datang sebagai konsekuensi logisnya. Huruf "Fa" di awal ayat (Falya'budū) berfungsi sebagai Fa Sababiyah, yang menunjukkan hubungan sebab-akibat. Artinya, "Karena nikmat-nikmat tersebut (Ilaf dan dua perjalanan dagang), maka sebagai wujud syukur, seharusnya mereka menyembah..."
Perintahnya sangat jelas dan tegas: "Falya'budū" (Hendaklah mereka menyembah). Ini adalah inti dari risalah semua nabi, yaitu tauhid, mengesakan Allah dalam peribadatan. Perintah ini secara langsung mengkritik praktik syirik kaum Quraisy yang saat itu memenuhi sekitar Ka'bah dengan berhala-berhala yang mereka anggap sebagai perantara kepada Tuhan.
Objek yang harus disembah juga disebutkan dengan sangat spesifik: "Rabba hāżal-baīt" (Tuhan Pemilik Rumah ini). Penyebutan "Tuhan Pemilik Ka'bah" memiliki beberapa makna strategis:
- Pengingat Sumber Kehormatan: Seluruh kehormatan, status sosial, dan keamanan yang dinikmati kaum Quraisy bersumber dari keberadaan Ka'bah di tengah-tengah mereka. Allah mengingatkan bahwa Dialah Pemilik sejati Rumah tersebut, bukan berhala-berhala di sekitarnya. Maka, yang pantas disembah adalah Sang Pemilik, bukan sekadar penjaganya.
- Koneksi Langsung: Ka'bah adalah sesuatu yang sangat mereka kenal, agungkan, dan banggakan. Dengan menyebut "Tuhan Pemilik Rumah ini", Allah menghubungkan konsep ketuhanan dengan sesuatu yang paling konkret dan mulia dalam hidup mereka. Ini adalah ajakan yang sangat personal dan relevan bagi mereka.
- Kontinuitas Ajaran Ibrahim: Ka'bah dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. dan putranya, Ismail a.s., sebagai pusat ibadah kepada Allah Yang Maha Esa. Perintah ini adalah ajakan untuk kembali ke ajaran tauhid murni dari nenek moyang mereka, Ibrahim, dan meninggalkan praktik syirik yang baru mereka ada-adakan.
Ayat 4: الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ ࣖ (Allażī aṭ‘amahum min jū‘iw wa āmanahum min khaūf)
"yang telah memberi mereka makan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan."
Ayat terakhir ini merangkum esensi dari seluruh nikmat yang disebutkan sebelumnya ke dalam dua kebutuhan paling fundamental bagi eksistensi manusia: makanan (kemakmuran) dan keamanan. Kata "Allażī" (Yang) merujuk kembali kepada "Rabba hāżal-baīt" (Tuhan Pemilik Rumah ini), menegaskan sifat-sifat-Nya.
"Aṭ‘amahum min jū‘" (Memberi mereka makan dari kelaparan): Nikmat ini adalah hasil langsung dari perjalanan dagang yang sukses. Mekkah adalah lembah yang tidak dapat ditanami (wādin ghairi żī zar‘in). Tanpa perdagangan, penduduknya akan mati kelaparan. Melalui rahmat Allah yang memfasilitasi "Ilaf", mereka bisa mendatangkan bahan makanan dari Syam dan Yaman, mengubah kelaparan menjadi kecukupan dan kemakmuran. Allah-lah yang sejatinya memberikan rezeki, sementara perjalanan dagang hanyalah wasilah atau sarana.
"Wa āmanahum min khaūf" (dan mengamankan mereka dari ketakutan): Nikmat keamanan ini bahkan disebut oleh sebagian ulama lebih besar daripada nikmat makanan, karena tanpa keamanan, orang tidak bisa menikmati makanan dengan tenang. Rasa aman yang dinikmati kaum Quraisy memiliki dua dimensi:
- Keamanan Internal dan Sosial: Status mereka sebagai penjaga Ka'bah membuat mereka dihormati dan disegani, mengurangi potensi konflik internal antar klan Quraisy dan memberikan stabilitas sosial.
- Keamanan Eksternal: Ini adalah keamanan dari ancaman luar. Perampok dan suku-suku nomaden yang ganas di padang pasir tidak berani mengganggu kafilah dagang Quraisy atau menyerang kota Mekkah karena status sucinya. Peristiwa dihancurkannya pasukan gajah Abrahah (yang diceritakan dalam Surat Al-Fil) semakin memperkuat aura kesucian dan keamanan Mekkah di mata dunia saat itu. Mereka aman dari ancaman militer besar dari luar.
Dua nikmat ini—bebas dari lapar dan aman dari takut—adalah fondasi dari sebuah peradaban yang stabil dan sejahtera. Allah menegaskan bahwa Dialah satu-satunya sumber dari kedua nikmat fundamental ini. Maka, sangat tidak pantas jika mereka bersyukur kepada selain-Nya.
Keterkaitan Erat dengan Surat Al-Fil
Para ulama tafsir sepakat bahwa Surat Quraisy memiliki hubungan yang sangat erat dengan surat sebelumnya, yaitu Surat Al-Fil. Keduanya seolah-olah merupakan satu kesatuan cerita yang tidak terpisahkan. Jika Surat Al-Fil menceritakan sebuah peristiwa luar biasa, maka Surat Quraisy menjelaskan dampak dan konsekuensi dari peristiwa tersebut.
Surat Al-Fil mengisahkan bagaimana Allah SWT melindungi Ka'bah secara ajaib dari serangan Abrahah dan pasukan gajahnya. Allah mengirimkan burung-burung Ababil yang membawa batu dari neraka untuk menghancurkan mereka. Peristiwa ini menjadi berita besar yang tersebar ke seluruh penjuru Arab dan dunia. Kehancuran pasukan terkuat di wilayah itu oleh "kekuatan gaib" yang melindungi Ka'bah mengangkat status Mekkah dan suku Quraisy ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Surat Quraisy kemudian melanjutkan narasi tersebut. Akibat dari peristiwa dalam Surat Al-Fil, nikmat "Ilaf" menjadi semakin kokoh. Keamanan (āmanahum min khaūf) yang mereka rasakan adalah buah langsung dari perlindungan Allah terhadap Ka'bah. Suku-suku lain menjadi semakin segan dan hormat kepada Quraisy. Mereka berpikir, "Jika pasukan gajah yang perkasa saja bisa dihancurkan karena ingin mengganggu Rumah Allah, apalagi kita?"
Hubungannya dapat diringkas sebagai berikut:
- Sebab Agung (Al-Fil): Allah menunjukkan kekuasaan-Nya dengan melindungi Ka'bah.
- Akibat Langsung (Quraisy): Karena perlindungan tersebut, suku Quraisy mendapatkan nikmat keamanan dan kemudahan dalam perdagangan, yang berujung pada kemakmuran.
- Tuntutan Syukur (Quraisy): Sebagai konsekuensi dari semua nikmat itu, mereka diperintahkan untuk menyembah Allah semata.
Ubay bin Ka'ab, salah seorang sahabat penulis wahyu, bahkan diriwayatkan menganggap kedua surat ini sebagai satu surat dalam mushaf pribadinya. Ini menunjukkan betapa kuat dan tak terpisahkannya hubungan makna antara keduanya.
Pelajaran dan Hikmah Agung dari Surat Quraisy
Meskipun ditujukan kepada suku Quraisy pada masa itu, pesan Surat Quraisy bersifat universal dan abadi. Ada banyak hikmah dan pelajaran berharga yang bisa kita ambil:
1. Pentingnya Mensyukuri Nikmat Allah
Pesan utama surat ini adalah tentang syukur. Allah tidak menuntut ibadah dari kekosongan. Dia terlebih dahulu memaparkan nikmat-nikmat-Nya yang nyata dan dapat dirasakan—keamanan, kemakmuran, kemudahan hidup—baru kemudian menuntut hak-Nya untuk disembah. Ini mengajarkan kita untuk selalu sadar dan merenungkan nikmat yang kita terima setiap hari. Kesehatan, keamanan negara, kecukupan rezeki, keharmonisan keluarga; semua itu adalah bentuk "Ilaf" modern yang Allah berikan kepada kita. Wujud syukur tertinggi atas semua itu adalah dengan mentauhidkan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya.
2. Hubungan Erat antara Akidah, Ekonomi, dan Keamanan
Surat ini secara brilian mengaitkan tiga pilar kehidupan: akidah (falya'budū), ekonomi (aṭ‘amahum), dan keamanan (āmanahum). Kestabilan ekonomi dan jaminan keamanan adalah dua nikmat duniawi terbesar. Surat ini mengajarkan bahwa sumber sejati dari keduanya adalah Allah SWT. Sebaliknya, ibadah dan akidah yang lurus akan menjadi sebab turunnya berkah dalam bentuk kemakmuran dan keamanan. Sebuah masyarakat yang melupakan Tuhannya, cepat atau lambat akan kehilangan rasa aman dan keberkahan dalam rezekinya.
3. Keamanan adalah Nikmat Fundamental
Allah menyebutkan nikmat keamanan (āmanahum min khaūf) setelah nikmat makanan, dan beberapa mufasir menempatkannya sebagai nikmat yang lebih utama. Tanpa rasa aman, seseorang tidak dapat bekerja, beribadah, atau bahkan makan dengan tenang. Surat ini mengingatkan kita untuk tidak pernah meremehkan nikmat perdamaian dan stabilitas. Kita harus bersyukur hidup di negara yang aman dan turut serta menjaganya, karena itu adalah salah satu anugerah terbesar dari Allah.
4. Allah adalah Pengatur Rezeki yang Sebenarnya
Kisah suku Quraisy adalah bukti nyata kekuasaan Allah dalam mengatur rezeki. Dia mampu mengubah sebuah lembah yang kering dan tidak produktif menjadi pusat ekonomi global pada masanya. Ini mengajarkan kita untuk tidak pernah putus asa dari rahmat Allah. Sekalipun kondisi tampak sulit, jika kita bertakwa dan berusaha, Allah mampu membuka pintu rezeki dari arah yang tidak terduga. Usaha manusia (seperti perjalanan dagang) adalah penting, tetapi keberhasilan dan keberkahannya mutlak datang dari Allah.
5. Kembali kepada Ajaran yang Murni
Perintah untuk menyembah "Tuhan Pemilik Rumah ini" adalah seruan untuk kembali kepada ajaran tauhid murni Nabi Ibrahim. Ini relevan bagi kita saat ini untuk senantiasa mengevaluasi ibadah dan keyakinan kita. Apakah sudah sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah yang murni, atau sudah tercampur dengan tradisi, kebiasaan, atau pemahaman yang menyimpang? Surat Quraisy mengajak kita untuk memurnikan kembali ibadah kita hanya untuk Allah semata.
Kesimpulan
Surat Quraisy, dengan empat ayatnya yang padat makna, adalah sebuah permata dalam Al-Qur'an. Ia bukan sekadar catatan sejarah tentang suku Arab kuno, melainkan sebuah cermin bagi seluruh umat manusia di setiap zaman. Surat ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap kemudahan, kemakmuran, dan keamanan yang kita nikmati, ada tangan Allah Yang Maha Pengasih yang mengaturnya.
Membaca surat quraisy latin dan memahami artinya mengajak kita untuk melakukan introspeksi mendalam. Sudahkah kita mensyukuri nikmat Allah dengan benar? Sudahkah rasa aman dan cukup yang kita miliki mendekatkan kita kepada-Nya, atau justru melalaikan? Surat ini adalah undangan abadi untuk mengubah rasa syukur kita menjadi sebuah komitmen ibadah yang tulus, menyembah Tuhan Yang telah memberi makan saat kita lapar dan memberi rasa aman saat kita takut. Dialah Tuhan Pemilik Ka'bah, dan Tuhan seru sekalian alam.