Memahami Surat Ad-Dhuha: Teks Latin, Arab, Terjemahan, dan Tafsir Lengkap

Ilustrasi Matahari Terbit Ilustrasi matahari terbit sebagai simbol waktu Dhuha.

Surat Ad-Dhuha (الضحى) adalah surat ke-93 dalam Al-Qur'an dan tergolong sebagai surat Makkiyah, yaitu surat yang diturunkan sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Nama "Ad-Dhuha" sendiri berarti "Waktu Dhuha" atau "Waktu Matahari Sepenggalahan Naik". Surat ini dikenal sebagai surat yang membawa pesan penghiburan, optimisme, dan penguatan dari Allah SWT kepada Rasulullah ﷺ. Pesannya yang mendalam tidak hanya relevan bagi Nabi, tetapi juga menjadi sumber ketenangan dan motivasi bagi setiap Muslim yang menghadapi masa-masa sulit dalam kehidupannya.

Konteks turunnya surat ini, atau yang dikenal sebagai Asbabun Nuzul, sangat menyentuh. Diriwayatkan bahwa wahyu sempat terhenti turun kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk beberapa waktu. Jeda ini membuat kaum kafir Quraisy di Mekkah mengejek dan mencemooh beliau. Mereka mengatakan bahwa Tuhan Muhammad telah meninggalkannya dan membencinya. Ejekan ini tentu saja menimbulkan kesedihan yang mendalam di hati Rasulullah ﷺ. Beliau merasa gelisah dan rindu akan firman-firman Allah. Di tengah kegundahan inilah, Allah SWT menurunkan Surat Ad-Dhuha sebagai penegasan bahwa Dia tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang paling dicintai. Surat ini adalah jawaban langsung, sebuah pelukan ilahi yang menenangkan jiwa yang sedang resah.

Teks Lengkap Surat Ad-Dhuha: Arab, Latin, dan Terjemahan

وَالضُّحٰىۙ (١) وَالَّيْلِ اِذَا سَجٰىۙ (٢) مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىۗ (٣) وَلَلْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْاُوْلٰىۗ (٤) وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰىۗ (٥) اَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَاٰوٰىۖ (٦) وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ (٧) وَوَجَدَكَ عَاۤىِٕلًا فَاَغْنٰىۗ (٨) فَاَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْۗ (٩) وَاَمَّا السَّاۤىِٕلَ فَلَا تَنْهَرْۗ (١٠) وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ࣖ (١١)

1. Waḍ-ḍuḥā.
2. Wal-laili iżā sajā.
3. Mā wadda‘aka rabbuka wa mā qalā.
4. Wa lal-ākhiratu khairul laka minal-ūlā.
5. Wa lasaufa yu‘ṭīka rabbuka fa tarḍā.
6. Alam yajidka yatīman fa āwā.
7. Wa wajadaka ḍāllan fa hadā.
8. Wa wajadaka ‘ā'ilan fa agnā.
9. Fa ammal-yatīma falā taqhar.
10. Wa ammas-sā'ila falā tanhar.
11. Wa ammā bini‘mati rabbika fa ḥaddiṡ.

1. Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah),
2. dan demi malam apabila telah sunyi,
3. Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu,
4. dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan.
5. Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.
6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
7. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
8. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
9. Maka terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.
10. Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardiknya.
11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).

Tafsir Mendalam Surat Ad-Dhuha per Ayat

Ayat 1: وَالضُّحٰىۙ

وَالضُّحٰىۙ

Waḍ-ḍuḥā.

Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah),

Surat ini dibuka dengan sumpah Allah SWT. Dalam Al-Qur'an, ketika Allah bersumpah dengan ciptaan-Nya, itu menunjukkan betapa penting dan agungnya ciptaan tersebut serta pesan yang akan disampaikan setelahnya. Di sini, Allah bersumpah dengan "waktu dhuha". Waktu dhuha adalah periode pagi hari setelah matahari terbit sepenuhnya, saat sinarnya mulai terasa hangat dan cahayanya terang benderang. Waktu ini melambangkan harapan, awal yang baru, kejelasan, optimisme, dan energi. Sebagaimana cahaya dhuha mengusir kegelapan malam, pesan surat ini pun datang untuk mengusir kegelapan keraguan dan kesedihan dari hati Nabi Muhammad ﷺ. Sumpah ini seolah-olah mengatakan, "Sebagaimana Aku ciptakan pagi yang cerah setelah malam yang gelap, begitu pula Aku akan datangkan kebahagiaan dan kejelasan setelah masa-masa sulit yang engkau alami." Ini adalah pembukaan yang penuh dengan simbolisme positif, menyiapkan pendengar untuk menerima kabar gembira.

Ayat 2: وَالَّيْلِ اِذَا سَجٰىۙ

وَالَّيْلِ اِذَا سَجٰىۙ

Wal-laili iżā sajā.

dan demi malam apabila telah sunyi,

Setelah bersumpah dengan waktu dhuha yang terang, Allah bersumpah dengan kebalikannya: "malam apabila telah sunyi (sajā)". Kata "sajā" memiliki makna yang dalam, yaitu tenang, sunyi, senyap, dan pekat. Malam yang tenang adalah waktu untuk beristirahat, merenung, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Jika dhuha melambangkan aktivitas dan harapan, maka malam melambangkan ketenangan dan kedamaian. Kontras antara dua waktu ini mencerminkan siklus kehidupan itu sendiri. Ada masa-masa penuh cahaya dan semangat (dhuha), dan ada pula masa-masa tenang, hening, bahkan mungkin terasa sepi (malam). Jeda wahyu yang dialami Nabi ﷺ bisa diibaratkan seperti "malam yang sunyi" ini. Allah seakan-akan menegaskan bahwa keheningan itu bukanlah tanda kebencian atau pengabaian, melainkan sebuah fase yang penuh hikmah, sama seperti malam yang diciptakan untuk ketenangan. Kedua sumpah ini, dhuha dan malam, membingkai pesan utama surat ini: Allah menguasai terang dan gelap, suka dan duka, dan keduanya adalah bagian dari rencana-Nya yang penuh kasih sayang.

Ayat 3: مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىۗ

مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىۗ

Mā wadda‘aka rabbuka wa mā qalā.

Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu,

Inilah inti dari surat Ad-Dhuha, jawaban langsung atas kegundahan Nabi Muhammad ﷺ dan tuduhan kaum kafir. Ayat ini mengandung dua penegasan yang sangat kuat. Pertama, "Mā wadda‘aka rabbuka" (Tuhanmu tidak meninggalkan engkau). Kata "wadda'a" berasal dari kata yang sama dengan "wada'" yang berarti perpisahan. Ini bukan sekadar "meninggalkan", tetapi "mengucapkan selamat tinggal" seolah-olah tidak akan kembali. Allah menegaskan bahwa Dia tidak pernah melakukan itu. Ikatan antara Allah dan Rasul-Nya tidak terputus. Kedua, "wa mā qalā" (dan tidak pula membencimu). Kata "qalā" berarti kebencian yang mendalam yang timbul setelah sebelumnya ada rasa cinta. Ini adalah bantahan telak terhadap fitnah bahwa Allah telah murka kepada Nabi-Nya. Dengan dua penegasan negatif ini ("tidak meninggalkan" dan "tidak membenci"), Allah menghapus semua keraguan dan kesedihan. Pesan ini ditujukan langsung kepada pribadi Nabi ﷺ dengan menggunakan kata ganti "ka" (engkau), menjadikannya sangat personal dan intim. Ini adalah penegasan cinta dan perlindungan abadi dari Allah kepada hamba-Nya.

Ayat 4: وَلَلْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْاُوْلٰىۗ

وَلَلْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْاُوْلٰىۗ

Wa lal-ākhiratu khairul laka minal-ūlā.

dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan.

Setelah menenangkan hati Nabi ﷺ dengan penegasan cinta-Nya, Allah memberikan janji dan visi masa depan yang cerah. Ayat ini dapat ditafsirkan dalam beberapa lapisan makna. Makna pertama dan yang paling umum adalah bahwa kehidupan akhirat (al-akhirah) jauh lebih baik daripada kehidupan dunia (al-ula). Ini adalah pengingat akan tujuan akhir seorang mukmin. Segala kesulitan di dunia ini bersifat sementara, dan balasan yang kekal di akhirat jauh melampaui apa pun yang bisa dibayangkan. Makna kedua, dalam konteks kehidupan Nabi ﷺ, adalah bahwa setiap fase kehidupannya yang akan datang akan lebih baik dari fase sebelumnya. Masa kenabiannya di Madinah akan lebih baik dari di Mekkah, kemenangan Islam akan lebih gemilang dari masa-masa awal yang penuh penindasan, dan posisinya akan semakin mulia. Makna ketiga, secara umum bagi setiap mukmin, adalah bahwa Allah menjanjikan masa depan yang lebih baik. Setiap kesulitan yang kita hadapi saat ini ("al-ula") akan digantikan dengan kemudahan dan kebaikan di masa mendatang ("al-akhirah"), baik di dunia maupun di akhirat. Ayat ini menanamkan optimisme yang luar biasa, mendorong kita untuk selalu berprasangka baik kepada Allah dan meyakini bahwa hari esok akan lebih cerah.

Ayat 5: وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰىۗ

وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰىۗ

Wa lasaufa yu‘ṭīka rabbuka fa tarḍā.

Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.

Janji Allah berlanjut dengan penegasan yang lebih spesifik dan memuaskan. Penggunaan kata "lasaufa" (sungguh, kelak) menunjukkan sebuah janji pasti yang akan terjadi di masa depan. Allah tidak hanya akan memberi, tetapi Dia akan memberi begitu banyak "sehingga engkau menjadi puas (fa tarḍā)". Kepuasan yang dimaksud di sini bukanlah kepuasan materi semata. Bagi Nabi Muhammad ﷺ, kepuasan terbesar adalah melihat risalah Islam diterima, umatnya diselamatkan, dan agamanya menang. Para ulama tafsir menyebutkan bahwa karunia ini mencakup kemenangan di dunia (seperti Fathu Makkah), kedudukan yang mulia di akhirat (maqam mahmud), telaga Al-Kautsar, dan hak untuk memberikan syafaat kepada umatnya. Ayat ini menunjukkan betapa besar cinta Allah kepada Nabi-Nya. Dia tidak hanya ingin memberinya pahala, tetapi ingin melihatnya benar-benar bahagia dan ridha. Bagi kita, ayat ini adalah pengingat bahwa jika kita sabar dan taat, Allah akan memberikan karunia-Nya sampai hati kita merasa lapang, tenang, dan puas dengan ketetapan-Nya. Ini adalah janji kelegaan dan kebahagiaan hakiki dari Sang Maha Pemberi.

Ayat 6: اَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَاٰوٰىۖ

اَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَاٰوٰىۖ

Alam yajidka yatīman fa āwā.

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?

Setelah memberikan janji masa depan, Allah kini mengajak Nabi Muhammad ﷺ untuk merenungkan masa lalunya. Ini adalah teknik retorika yang sangat kuat: untuk meyakinkan seseorang tentang pertolongan di masa depan, ingatkan ia tentang pertolongan yang telah diberikan di masa lalu. Ayat ini dimulai dengan pertanyaan retoris, "Bukankah...?", yang jawabannya sudah pasti "Benar, ya Allah". Allah mengingatkan Nabi ﷺ akan masa kecilnya. Beliau lahir sebagai seorang yatim, ayahnya Abdullah wafat sebelum kelahirannya. Ibunya, Aminah, wafat saat beliau berusia enam tahun. Kemudian, kakeknya, Abdul Muthalib, yang merawatnya pun wafat saat beliau berusia delapan tahun. Dalam kondisi yang sangat rentan itu, Allah tidak membiarkannya. "Fa āwā" (lalu Dia melindungimu). Allah menggerakkan hati pamannya, Abu Thalib, untuk merawat, melindungi, dan mencintainya seperti anak sendiri. Perlindungan ini tidak hanya fisik, tetapi juga emosional. Ini adalah bukti nyata pertama bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya, bahkan sejak ia masih kecil dan tak berdaya. Pengingat ini menguatkan keyakinan bahwa Dzat yang telah melindunginya di masa lalu, pasti akan terus melindunginya di masa kini dan masa depan.

Ayat 7: وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ

وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ

Wa wajadaka ḍāllan fa hadā.

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.

Nikmat kedua yang diingatkan Allah adalah nikmat petunjuk (hidayah). Kata "ḍāllan" di sini sering disalahartikan. Ini sama sekali tidak berarti Nabi ﷺ sesat dalam arti menyembah berhala atau melakukan kemaksiatan. Beliau terjaga dari hal-hal tersebut (ma'shum). Makna "ḍāllan" dalam konteks ini adalah bingung, mencari kebenaran, tidak mengetahui secara detail tentang syariat, kitab suci, dan hakikat kenabian. Sebelum diangkat menjadi rasul, hati Nabi Muhammad ﷺ resah melihat kondisi masyarakat jahiliyah yang penuh dengan kemusyrikan dan kezaliman. Beliau sering menyendiri (bertahannuts) di Gua Hira, merenung dan mencari jawaban. Dalam kebingungan dan pencarian inilah, Allah kemudian "fa hadā" (lalu Dia memberikan petunjuk) dengan menurunkan wahyu pertama melalui Malaikat Jibril. Hidayah ini adalah nikmat terbesar, yaitu pengetahuan tentang Allah, tujuan hidup, dan jalan yang lurus. Allah mengingatkan, "Sebagaimana Aku telah memberimu petunjuk saat engkau mencari-cari kebenaran, maka Aku tidak akan membiarkanmu bingung atau tersesat sekarang." Ini adalah jaminan bahwa sumber petunjuk itu, yaitu wahyu, tidak akan pernah terputus darinya.

Ayat 8: وَوَجَدَكَ عَاۤىِٕلًا فَاَغْنٰىۗ

وَوَجَدَكَ عَاۤىِٕلًا فَاَغْنٰىۗ

Wa wajadaka ‘ā'ilan fa agnā.

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.

Nikmat ketiga yang disebutkan adalah nikmat kecukupan materi. Kata "‘ā'ilan" berarti kekurangan, miskin, atau memiliki tanggungan yang banyak. Nabi Muhammad ﷺ tumbuh dalam keadaan ekonomi yang sederhana. Beliau bekerja sebagai penggembala kambing dan kemudian berdagang. Allah kemudian "fa agnā" (lalu Dia memberikan kecukupan). Kecukupan ini datang melalui berbagai jalan. Salah satunya adalah pernikahannya dengan Khadijah binti Khuwailid, seorang saudagar wanita yang kaya raya dan mulia, yang kemudian menyerahkan hartanya untuk mendukung dakwah Nabi ﷺ. Namun, "agnā" (memberi kecukupan/kekayaan) di sini juga memiliki makna yang lebih dalam. Kekayaan sejati adalah kekayaan hati (ghina an-nafs), yaitu perasaan cukup, qana'ah, dan tidak bergantung pada makhluk. Allah memberikan Nabi ﷺ hati yang kaya, yang tidak pernah silau oleh dunia. Pengingat ini menegaskan bahwa Dzat yang telah mencukupi kebutuhan materinya di masa lalu, tidak akan pernah membiarkannya terlantar. Rezeki dan pertolongan Allah akan selalu datang.

Ayat 9: فَاَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْۗ

فَاَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْۗ

Fa ammal-yatīma falā taqhar.

Maka terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.

Setelah mengingatkan tiga nikmat besar di masa lalu, kini Allah memberikan tiga perintah sebagai konsekuensi logis dari nikmat-nikmat tersebut. Ini adalah inti dari ajaran tentang syukur. Syukur bukan hanya ucapan, tetapi perbuatan. Perintah pertama berhubungan dengan nikmat pertama. "Karena engkau pernah menjadi yatim dan Aku telah melindungimu, maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim." Kata "taqhar" berarti menindas, menghina, merendahkan, atau mengambil haknya secara zalim. Perintah ini merupakan sebuah revolusi sosial di tengah masyarakat Arab yang seringkali menelantarkan anak yatim. Allah mengajarkan empati tingkat tertinggi: rasakan apa yang mereka rasakan karena engkau pernah berada di posisi mereka. Perintah ini mendorong kita untuk memuliakan anak yatim, menyayangi mereka, melindungi mereka, dan memenuhi hak-hak mereka. Ini adalah manifestasi syukur atas nikmat perlindungan yang pernah kita terima.

Ayat 10: وَاَمَّا السَّاۤىِٕلَ فَلَا تَنْهَرْۗ

وَاَمَّا السَّاۤىِٕلَ فَلَا تَنْهَرْۗ

Wa ammas-sā'ila falā tanhar.

Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardiknya.

Perintah kedua ini terhubung dengan nikmat kedua dan ketiga. Kata "as-sā'il" memiliki dua makna. Pertama, orang yang meminta bantuan materi (peminta-minta). Kedua, orang yang meminta ilmu atau petunjuk (penanya). Perintahnya adalah "falā tanhar" (janganlah engkau menghardiknya). Menghardik berarti membentak, berbicara kasar, atau menunjukkan sikap merendahkan. Dalam konteks meminta bantuan, ayat ini mengajarkan: jika engkau bisa memberi, berilah dengan baik. Jika tidak bisa, tolaklah dengan cara yang baik pula, tanpa menyakiti perasaannya. Karena engkau pernah berada dalam keadaan kekurangan (‘ā'ilan) dan Allah memberimu kecukupan, maka berbagilah. Dalam konteks meminta ilmu, ayat ini mengajarkan: jangan pernah menolak atau menghardik orang yang bertanya mencari petunjuk. Karena engkau dulu juga "bingung" (ḍāllan) dan Allah memberimu petunjuk, maka sebarkanlah petunjuk itu dengan sabar dan lemah lembut kepada mereka yang mencarinya. Ayat ini membangun etika sosial yang luhur dalam berinteraksi dengan sesama.

Ayat 11: وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ࣖ

وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ࣖ

Wa ammā bini‘mati rabbika fa ḥaddiṡ.

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau nyatakan.

Ini adalah puncak dan kesimpulan dari surat ini. Perintah ketiga ini mencakup semua nikmat yang telah disebutkan dan yang tidak disebutkan. "Bini‘mati rabbika" (terhadap nikmat Tuhanmu) mencakup nikmat perlindungan, petunjuk, kecukupan, dan terutama nikmat terbesar yaitu kenabian dan Al-Qur'an itu sendiri. Perintahnya adalah "fa ḥaddiṡ" (maka hendaklah engkau nyatakan/ceritakan). "Tahadduts bin ni'mah" ini memiliki beberapa bentuk. Pertama, mengakuinya dalam hati bahwa semua berasal dari Allah. Kedua, mengucapkannya dengan lisan (Alhamdulillah). Ketiga, menunjukkannya melalui perbuatan, yaitu menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah. Menceritakan nikmat Allah bukan bertujuan untuk pamer atau sombong (riya'), melainkan untuk menunjukkan rasa syukur dan menginspirasi orang lain. Bagi Nabi Muhammad ﷺ, perintah ini secara spesifik berarti menyampaikan risalah, mengajarkan Al-Qur'an, dan menyebarkan petunjuk yang telah diterimanya. Bagi kita, ini adalah perintah untuk selalu mengingat, mensyukuri, dan menggunakan segala karunia Allah—baik besar maupun kecil—untuk kebaikan, serta membagikannya kepada sesama.

Pelajaran dan Hikmah dari Surat Ad-Dhuha

Surat Ad-Dhuha adalah lautan hikmah yang tak pernah kering. Di dalamnya terkandung pelajaran universal yang dapat menjadi penawar bagi jiwa di setiap zaman. Beberapa hikmah utama yang dapat kita petik antara lain:

1. Optimisme dan Keyakinan pada Pertolongan Allah. Pesan utama surat ini adalah larangan berputus asa. Allah menegaskan bahwa Dia tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Kesulitan, jeda, atau masa-masa hening dalam hidup bukanlah tanda kemurkaan Tuhan, melainkan bagian dari siklus kehidupan, seperti malam yang pasti akan disusul oleh pagi yang cerah. Surat ini mengajarkan kita untuk selalu berprasangka baik kepada Allah dan yakin bahwa di balik setiap kesulitan, ada kemudahan yang menanti.

2. Kekuatan Mengingat Nikmat Masa Lalu. Salah satu cara paling efektif untuk membangun ketahanan mental dan spiritual saat menghadapi tantangan adalah dengan merenungkan kembali pertolongan Allah di masa lalu. Surat ini mengajarkan kita untuk melakukan "inventarisasi nikmat". Ingatlah saat-saat di mana kita merasa lemah lalu Allah kuatkan, saat kita bingung lalu Allah beri jalan keluar, saat kita kekurangan lalu Allah cukupkan. Mengingat jejak-jejak kasih sayang Allah ini akan mempertebal keyakinan kita bahwa Dia akan menolong kita sekali lagi.

3. Syukur yang Terwujud dalam Aksi Sosial. Surat Ad-Dhuha mendefinisikan ulang makna syukur. Syukur sejati bukanlah sekadar ucapan, melainkan sebuah tindakan nyata yang berdimensi sosial. Bentuk syukur terbaik atas nikmat yang kita terima adalah dengan membagikannya kepada mereka yang lebih membutuhkan. Jika kita pernah dilindungi, maka lindungilah yang lemah (anak yatim). Jika kita pernah diberi petunjuk dan kecukupan, maka bantulah mereka yang meminta (ilmu atau harta). Nikmat yang kita miliki menjadi jembatan untuk berbuat baik kepada orang lain.

4. Empati sebagai Fondasi Akhlak Mulia. Perintah untuk tidak menindas anak yatim dan tidak menghardik peminta-minta didasarkan pada pengalaman pribadi Nabi ﷺ. Ini mengajarkan prinsip empati yang mendalam: untuk memahami penderitaan orang lain, cobalah untuk mengingat saat kita berada dalam posisi yang serupa. Empati inilah yang menjadi dasar dari kepedulian sosial, kelembutan hati, dan akhlak yang mulia dalam Islam.

Surat Ad-Dhuha adalah surat cinta dari Allah untuk hamba-Nya yang sedang berduka. Ia adalah bisikan lembut yang meyakinkan bahwa kita tidak pernah sendiri. Ia adalah janji masa depan yang cerah dan pengingat akan kasih sayang-Nya yang tak terbatas di masa lalu. Membaca, merenungkan, dan mengamalkan pesan-pesan surat ini akan senantiasa membawa ketenangan, kekuatan, dan cahaya dalam perjalanan hidup kita.

🏠 Kembali ke Homepage