Membedah Makna Surat At-Tin: Kemuliaan dan Keadilan Ilahi
Surat At-Tin adalah surat ke-95 dalam Al-Qur'an, yang terdiri dari 8 ayat. Tergolong sebagai surat Makkiyah, ia diturunkan di Mekkah sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW. Nama "At-Tin" diambil dari ayat pertamanya yang berarti "Buah Tin". Surat ini, meskipun singkat, mengandung pesan yang sangat fundamental dan mendalam tentang esensi penciptaan manusia, potensi kemuliaan tertingginya, serta risiko kejatuhan terendahnya. Melalui serangkaian sumpah yang agung, Allah SWT mengajak kita untuk merenungkan hakikat diri dan tujuan hidup, yang berpuncak pada penegasan keadilan-Nya yang mutlak.
Kajian terhadap surat ini membuka jendela pemahaman tentang bagaimana Islam memandang martabat manusia. Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna, sebuah mahakarya ilahi yang dibekali akal, perasaan, dan kehendak bebas. Namun, kesempurnaan ini adalah sebuah potensi, bukan jaminan. Tanpa iman yang kokoh dan amal saleh yang konsisten, potensi tersebut bisa runtuh, membawa manusia ke derajat yang paling hina. Surat At-Tin, dengan demikian, berfungsi sebagai pengingat sekaligus peringatan: sebuah peta jalan spiritual untuk menjaga kemuliaan yang telah dianugerahkan dan menghindari jurang kehinaan.
Bacaan Surat At-Tin Ayat 1-8: Arab, Latin, dan Terjemahan
وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِۙ
1. Wat-tīni waz-zaitūn(i).
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,
وَطُوْرِ سِيْنِيْنَۙ
2. Wa ṭūri sīnīn(a).
demi Gunung Sinai,
وَهٰذَا الْبَلَدِ الْاَمِيْنِۙ
3. Wa hāżal-baladil-amīn(i).
dan demi negeri (Mekkah) yang aman ini,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ
4. Laqad khalaqnal-insāna fī aḥsani taqwīm(in).
sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,
ثُمَّ رَدَدْنٰهُ اَسْفَلَ سٰفِلِيْنَۙ
5. Ṡumma radadnāhu asfala sāfilīn(a).
kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَهُمْ اَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍۗ
6. Illal-lażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti falahum ajrun gairu mamnūn(in).
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya.
فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّيْنِۗ
7. Famā yukażżibuka ba‘du bid-dīn(i).
Maka apa yang menyebabkan (mereka) mendustakanmu (tentang) hari pembalasan setelah (adanya keterangan-keterangan) itu?
اَلَيْسَ اللّٰهُ بِاَحْكَمِ الْحٰكِمِيْنَ ࣖ
8. Alaisallāhu bi'aḥkamil-ḥākimīn(a).
Bukankah Allah hakim yang paling adil?
Tafsir dan Kandungan Surat At-Tin per Ayat
Untuk memahami kedalaman pesan surat ini, kita perlu menyelami makna di balik setiap ayatnya. Allah SWT menggunakan sumpah-sumpah yang penuh simbolisme untuk mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan teologis yang agung.
Ayat 1: وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِ (Wat-tīni waz-zaitūn)
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,
Surat ini dibuka dengan sumpah atas nama dua ciptaan-Nya yang istimewa: buah Tin dan Zaitun. Dalam tradisi tafsir, sumpah Allah dalam Al-Qur'an tidak pernah tanpa tujuan. Ia berfungsi untuk menarik perhatian pembaca kepada objek sumpah tersebut dan pesan penting yang akan disampaikan setelahnya. Pemilihan Tin dan Zaitun memiliki makna yang berlapis, baik secara harfiah maupun simbolis.
Secara harfiah, buah tin dan zaitun adalah buah-buahan yang dikenal memiliki banyak manfaat bagi kesehatan manusia. Buah tin kaya akan serat dan nutrisi, sementara zaitun, terutama minyaknya, telah diakui sebagai sumber lemak sehat dan antioksidan. Ini adalah simbol dari rezeki dan anugerah fisik yang Allah berikan kepada manusia. Allah seakan-akan mengingatkan kita pada nikmat-nikmat duniawi yang paling mendasar, yaitu makanan yang menopang kehidupan.
Namun, para ulama tafsir melihat makna yang jauh lebih dalam. Sumpah ini tidak hanya merujuk pada buahnya, tetapi juga pada tempat-tempat di mana buah ini tumbuh subur, yang merupakan tempat-tempat suci di mana para nabi menerima wahyu. Sebagian mufasir, seperti Ibnu Abbas, menafsirkan bahwa "At-Tin" adalah isyarat kepada tempat Nabi Nuh a.s. membangun bahteranya di sekitar Gunung Judi atau isyarat kepada Damaskus, Suriah. Sementara "Az-Zaitun" merujuk pada Baitul Maqdis (Yerusalem) di Palestina, tempat Nabi Isa a.s. diutus dan menerima wahyu. Kedua wilayah ini adalah tanah yang diberkahi, pusat peradaban dan spiritualitas di mana ajaran tauhid pernah ditegakkan. Dengan bersumpah atas nama keduanya, Allah seolah-olah merangkum sejarah kenabian yang panjang di wilayah Syam yang diberkahi.
Hikmah dari ayat ini adalah sebuah ajakan untuk merenungkan anugerah Allah yang bersifat ganda: anugerah fisik (rezeki berupa makanan bergizi) dan anugerah spiritual (petunjuk ilahi yang diturunkan di tanah yang diberkahi). Keduanya adalah fondasi bagi kehidupan manusia yang paripurna. Kehidupan fisik yang sehat menopang ibadah, dan petunjuk spiritual memberi arah pada kehidupan fisik.
Ayat 2: وَطُوْرِ سِيْنِيْنَ (Wa ṭūri sīnīn)
demi Gunung Sinai,
Sumpah kedua melanjutkan tema lokasi-lokasi suci yang menjadi panggung wahyu ilahi. "Tur Sinin" secara eksplisit merujuk pada Gunung Sinai, sebuah tempat yang memiliki kedudukan sangat istimewa dalam sejarah tiga agama samawi. Di sinilah Nabi Musa a.s. menerima wahyu secara langsung dari Allah SWT, termasuk Sepuluh Perintah (Al-A'raf: 143). Gunung ini menjadi saksi bisu dialog antara seorang hamba dengan Tuhannya, sebuah momen transendental yang mengubah sejarah umat manusia.
Kata "Tur" berarti gunung, dan "Sinin" atau "Sina" adalah nama spesifiknya. Pemilihan Gunung Sinai sebagai objek sumpah memiliki signifikansi yang kuat. Jika ayat pertama menunjuk pada wilayah kenabian Nuh dan Isa, ayat kedua ini secara khusus menyoroti kenabian Musa dan diturunkannya Taurat. Taurat adalah kitab suci yang berisi hukum dan syariat yang fundamental, yang menjadi landasan bagi ajaran-ajaran berikutnya. Dengan demikian, sumpah ini menekankan pentingnya hukum dan pedoman ilahi dalam membimbing kehidupan manusia.
Gunung Sinai melambangkan keteguhan, keagungan, dan manifestasi kekuasaan Allah. Di tempat inilah Allah menampakkan sebagian kecil dari keagungan-Nya yang membuat gunung itu hancur lebur. Ini adalah pengingat bahwa di balik aturan dan hukum yang diberikan, ada kekuatan dan keagungan yang tak terbatas. Manusia, dengan segala potensi yang dimilikinya, tetap membutuhkan panduan yang kokoh, laksana gunung, untuk menavigasi kehidupannya agar tidak tersesat. Tanpa pedoman wahyu, manusia akan rapuh dan mudah terombang-ambing.
Dengan demikian, ayat kedua ini menggarisbawahi pilar kedua setelah anugerah fisik dan spiritual, yaitu pilar syariat dan hukum. Manusia tidak hanya butuh makan dan petunjuk umum, tetapi juga butuh aturan yang jelas untuk mengatur interaksi sosial, moral, dan spiritualnya.
Ayat 3: وَهٰذَا الْبَلَدِ الْاَمِيْنِ (Wa hāżal-baladil-amīn)
dan demi negeri (Mekkah) yang aman ini,
Sumpah ketiga dan terakhir adalah "demi negeri yang aman ini". Para ulama sepakat bahwa "Al-Balad Al-Amin" adalah Mekkah Al-Mukarramah. Penggunaan kata tunjuk "hāżā" (ini) menunjukkan kedekatan dan kekhususan, karena Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang saat itu berada di Mekkah. Mekkah adalah kota yang dimuliakan, tempat berdirinya Ka'bah, kiblat umat Islam di seluruh dunia, dan tempat kelahiran nabi terakhir, Muhammad SAW.
Gelar "Al-Amin" (yang aman) memiliki makna historis dan spiritual. Sejak zaman Nabi Ibrahim a.s., Mekkah telah didoakan menjadi negeri yang aman dan damai (Al-Baqarah: 126). Keamanan ini bersifat fisik dan spiritual. Secara fisik, ia menjadi tanah haram di mana pertumpahan darah dan kezaliman dilarang. Secara spiritual, ia adalah pusat tauhid, tempat di mana hati manusia menemukan ketenangan dan keamanan dalam beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.
Jika dua sumpah sebelumnya merujuk pada masa lalu kenabian (Nuh, Isa, dan Musa), sumpah ketiga ini merujuk pada puncak dan penutup risalah kenabian yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam, sebagai risalah terakhir, menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya. Mekkah, sebagai pusatnya, menjadi simbol kesempurnaan dan penutup risalah ilahi. Ini adalah tempat di mana ajaran tauhid yang murni dipulihkan dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia.
Rangkaian tiga sumpah ini—Tin dan Zaitun (simbol wahyu untuk Nuh dan Isa), Gunung Sinai (simbol wahyu untuk Musa), dan Kota Mekkah (simbol wahyu untuk Muhammad)—secara kronologis dan geografis merangkum sejarah turunnya petunjuk Allah kepada umat manusia melalui para nabi utamanya. Allah seolah-olah berkata, "Aku bersumpah demi seluruh sejarah petunjuk-Ku yang telah Aku turunkan di tempat-tempat mulia ini."
Ayat 4: لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ (Laqad khalaqnal-insāna fī aḥsani taqwīm)
sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,
Setelah tiga sumpah yang agung, datanglah isi sumpah (jawab al-qasam), yang merupakan pesan inti dari surat ini. Ayat ini adalah sebuah deklarasi ilahi tentang status penciptaan manusia. Kata "laqad" (sungguh, Kami telah) menunjukkan penekanan dan kepastian yang tidak menyisakan keraguan.
"Ahsani taqwīm" seringkali diterjemahkan sebagai "bentuk yang sebaik-baiknya". Namun, maknanya jauh lebih luas dari sekadar kesempurnaan fisik. "Taqwīm" berasal dari kata "qawwama" yang berarti meluruskan, menyeimbangkan, atau membuat sesuatu proporsional dan sempurna. Maka, "ahsani taqwīm" mencakup beberapa aspek:
- Kesempurnaan Fisik: Manusia diciptakan dengan postur tegak, wajah yang indah, dan struktur tubuh yang proporsional. Kemampuan tangan untuk menggenggam dan menciptakan, kemampuan otak yang kompleks, serta sistem indrawi yang canggih adalah bukti nyata dari kesempurnaan desain fisik ini, yang membedakannya dari makhluk lain.
- Kesempurnaan Psikis dan Intelektual: Manusia dibekali dengan akal (rasio) untuk berpikir, menganalisis, belajar dari pengalaman, dan merencanakan masa depan. Ia memiliki perasaan (emosi) seperti cinta, kasih sayang, empati, dan juga kesedihan, yang memperkaya pengalaman hidupnya.
- Kesempurnaan Spiritual: Inilah aspek tertinggi dari "ahsani taqwīm". Manusia memiliki fitrah, yaitu kecenderungan bawaan untuk mengakui keberadaan Tuhan dan mencari kebenaran. Ia diberi ruh ilahi yang memungkinkannya untuk terhubung dengan Sang Pencipta, beribadah, dan merasakan ketenangan spiritual.
- Kesempurnaan Moral: Manusia dianugerahi kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk (ilham). Ia diberi kehendak bebas (free will) untuk memilih jalannya, menjadikannya makhluk moral yang bertanggung jawab atas tindakannya.
Ayat ini menegaskan bahwa manusia, pada dasarnya, adalah mahakarya ciptaan Allah. Ia ditempatkan pada puncak hierarki makhluk. Kemuliaan ini bukanlah sesuatu yang ia usahakan, melainkan anugerah murni dari Allah. Ini seharusnya menumbuhkan rasa syukur yang mendalam dan kesadaran akan potensi luhur yang ada dalam diri setiap individu.
Ayat 5: ثُمَّ رَدَدْنٰهُ اَسْفَلَ سٰفِلِيْنَ (Ṡumma radadnāhu asfala sāfilīn)
kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,
Ayat ini menyajikan sebuah antitesis yang dramatis dan mengejutkan. Setelah deklarasi kemuliaan di puncak tertinggi, datanglah peringatan tentang kejatuhan ke jurang terendah. Kata "tsumma" (kemudian) menunjukkan adanya jeda waktu dan proses. Kejatuhan ini bukanlah takdir yang dipaksakan, melainkan hasil dari pilihan dan tindakan manusia itu sendiri.
"Asfala sāfilīn" secara harfiah berarti "tempat yang paling rendah dari yang rendah". Para mufasir memberikan beberapa interpretasi mengenai makna ini:
- Kehinaan di Dunia: Ketika manusia mengingkari fitrahnya, menolak petunjuk Allah, dan mengikuti hawa nafsunya, ia akan terjerumus ke dalam perilaku yang lebih rendah dari binatang. Binatang bertindak berdasarkan insting, tetapi manusia yang berakal namun memilih kejahatan, keserakahan, dan kezaliman, telah merendahkan martabatnya sendiri. Ia menjadi budak nafsunya, kehilangan kehormatan dan tujuan hidupnya yang luhur.
- Kehinaan di Akhirat: Makna yang paling kuat dan disepakati adalah bahwa "asfala sāfilīn" merujuk pada neraka Jahannam. Ini adalah tempat pembalasan bagi mereka yang menyia-nyiakan potensi "ahsani taqwīm" mereka dengan kekafiran dan kemaksiatan. Neraka adalah manifestasi fisik dan spiritual dari kehinaan tertinggi, tempat di mana segala bentuk kemuliaan dicabut.
- Kepikunan di Usia Tua (Pendapat Minoritas): Sebagian kecil mufasir menafsirkannya sebagai kondisi fisik dan mental di usia senja, di mana kekuatan dan kecerdasan manusia menurun. Namun, pendapat ini dilemahkan oleh ayat berikutnya yang memberikan pengecualian bagi orang beriman, karena orang beriman pun mengalami masa tua. Konteks surat lebih kuat mengarah pada kejatuhan moral dan spiritual.
Ayat ini adalah peringatan keras. Potensi kemuliaan tidak datang dengan garansi. Ia adalah amanah yang harus dijaga. Ketika amanah itu dikhianati—dengan mengingkari Sang Pemberi amanah dan petunjuk-Nya—maka konsekuensinya adalah kejatuhan yang setimpal dengan ketinggian potensi awalnya. Semakin tinggi posisi awal, semakin dahsyat kejatuhannya.
Ayat 6: اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَهُمْ اَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍ (Illal-lażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti falahum ajrun gairu mamnūn)
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya.
Setelah memberikan peringatan tentang kejatuhan, Allah dengan rahmat-Nya segera memberikan jalan keluar, sebuah pengecualian ("illā"). Ayat ini adalah kunci keselamatan, formula untuk mempertahankan status "ahsani taqwīm" dan menghindari "asfala sāfilīn". Formula ini terdiri dari dua komponen yang tidak terpisahkan:
- "Allażīna āmanū" (Orang-orang yang beriman): Ini adalah fondasi internal. Iman adalah keyakinan yang tertanam kokoh di dalam hati kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta qada dan qadar. Iman adalah kompas spiritual yang mengarahkan seluruh aspek kehidupan. Ia adalah sumber motivasi, harapan, dan kekuatan. Tanpa iman, perbuatan baik sekalipun bisa kehilangan arah dan makna terdalamnya.
- "Wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāt" (dan mengerjakan kebajikan): Ini adalah manifestasi eksternal dari iman. Iman yang sejati harus berbuah dalam bentuk amal saleh atau perbuatan bajik. Amal saleh mencakup segala sesuatu yang diridai Allah, mulai dari ibadah ritual (shalat, puasa, zakat) hingga perbuatan baik dalam interaksi sosial (jujur, adil, menolong sesama, menjaga lingkungan). Kata "ṣāliḥāt" (jamak) menunjukkan bahwa kebaikan itu harus dilakukan secara konsisten dan dalam berbagai bentuk. Iman tanpa amal adalah seperti pohon tanpa buah, sedangkan amal tanpa iman adalah seperti bangunan tanpa fondasi.
Bagi mereka yang berhasil memadukan dua pilar ini, Allah menjanjikan balasan yang luar biasa: "ajrun gairu mamnūn". Frasa ini dapat diartikan sebagai:
- Pahala yang tidak terputus: Pahala yang terus mengalir, tidak pernah berhenti, baik di dunia maupun di akhirat. Surga adalah balasan abadi yang kenikmatannya tidak akan pernah berkurang.
- Pahala yang tidak disebut-sebut: Pahala yang diberikan dengan ikhlas oleh Allah, tanpa mengungkit-ungkit pemberian-Nya, sehingga penerimanya merasakan kemuliaan yang sempurna tanpa merasa berutang budi.
Ayat ini memberikan harapan dan optimisme. Sebesar apapun potensi kejatuhan, pintu keselamatan selalu terbuka bagi siapa saja yang mau menempuh jalannya, yaitu jalan iman dan amal saleh.
Ayat 7: فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّيْنِ (Famā yukażżibuka ba‘du bid-dīn)
Maka apa yang menyebabkan (mereka) mendustakanmu (tentang) hari pembalasan setelah (adanya keterangan-keterangan) itu?
Ayat ini beralih ke sebuah pertanyaan retoris yang menggugat akal dan nurani manusia. Setelah Allah memaparkan bukti-bukti yang begitu jelas—sumpah atas tempat-tempat turunnya wahyu, penciptaan manusia dalam bentuk sempurna, potensi kemuliaan dan kehinaannya, serta jalan keselamatan yang gamblang—apa lagi alasan yang bisa membuat seseorang mendustakan "Ad-Dīn"?
Kata "Ad-Dīn" di sini memiliki makna utama sebagai Hari Pembalasan (Yaum Ad-Din) atau Hari Kiamat. Ini adalah hari di mana setiap perbuatan akan ditimbang dan dibalas. Pertanyaannya adalah, setelah menyaksikan keajaiban penciptaan diri sendiri dan memahami konsep keadilan, bagaimana mungkin seseorang masih meragukan bahwa akan ada hari pertanggungjawaban?
Pertanyaan ini bisa ditujukan kepada:
- Nabi Muhammad SAW: "Wahai Muhammad, setelah bukti-bukti ini, apa lagi yang membuat kaummu mendustakanmu terkait ajaran tentang hari pembalasan?" Ini adalah bentuk peneguhan bagi Nabi.
- Manusia secara umum: "Wahai manusia, setelah semua ini, apa lagi alasanmu untuk mendustakan hari pembalasan?" Ini adalah gugatan langsung kepada setiap individu yang ragu.
Logikanya sederhana: Pencipta yang mampu menciptakan manusia dari ketiadaan dalam bentuk yang begitu sempurna ("ahsani taqwīm") tentu lebih mudah bagi-Nya untuk membangkitkannya kembali. Dan Pencipta yang menetapkan potensi naik-turunnya martabat manusia tentu akan menegakkan sebuah sistem keadilan akhir untuk memberi balasan yang setimpal. Mendustakan Hari Pembalasan setelah semua bukti ini adalah sebuah tindakan yang tidak rasional dan menentang nurani.
Ayat 8: اَلَيْسَ اللّٰهُ بِاَحْكَمِ الْحٰكِمِيْنَ (Alaisallāhu bi'aḥkamil-ḥākimīn)
Bukankah Allah hakim yang paling adil?
Surat ini ditutup dengan sebuah pertanyaan retoris lagi, yang berfungsi sebagai penegasan akhir yang tak terbantahkan. "Ahkam al-Hākimīn" berarti Hakim yang paling bijaksana dan paling adil di antara semua hakim. Pertanyaan ini menuntut jawaban afirmatif yang datang dari lubuk hati yang paling dalam.
Ayat ini adalah puncak dari seluruh argumen yang dibangun dalam surat ini. Mengapa harus ada Hari Pembalasan? Karena Allah adalah Hakim Yang Maha Adil. Keadilan-Nya menuntut agar kebaikan ("ahsani taqwīm" yang dijaga dengan iman dan amal) tidak disamakan dengan kejahatan ("asfala sāfilīn"). Di dunia ini, keadilan seringkali tidak sempurna. Orang baik bisa menderita, dan orang jahat bisa berjaya. Jika hidup berakhir dengan kematian tanpa ada pertanggungjawaban, maka konsep keadilan ilahi menjadi tidak lengkap.
Oleh karena itu, keberadaan Hari Pembalasan adalah konsekuensi logis dari sifat Allah sebagai "Ahkam al-Hākimīn". Pada hari itu, keadilan-Nya akan terwujud secara sempurna. Setiap individu akan menerima balasan yang setimpal. Orang-orang yang menjaga kemuliaannya akan menerima "ajrun gairu mamnūn", dan mereka yang menjatuhkan dirinya akan menerima konsekuensinya. Tidak akan ada satu pun kezaliman atau ketidakadilan.
Disunnahkan bagi orang yang membaca ayat ini untuk menjawab, "Bala, wa ana 'ala dzalika minasy syahidin" (Benar, dan aku termasuk orang-orang yang menyaksikan atas hal itu). Jawaban ini adalah bentuk pengakuan tulus dari seorang hamba atas keagungan dan keadilan Tuhannya. Ini adalah penutup yang menenangkan hati orang-orang beriman, karena mereka yakin bahwa segala jerih payah dan kesabaran mereka di dunia tidak akan sia-sia di hadapan Hakim Yang Maha Adil.
Kesimpulan: Refleksi Atas Kemuliaan Manusia
Surat At-Tin adalah sebuah cermin bagi umat manusia. Ia mengajak kita untuk berkaca dan melihat betapa luhurnya cetak biru penciptaan kita. Kita bukanlah makhluk yang tercipta secara kebetulan, melainkan sebuah mahakarya yang dirancang dalam "bentuk yang sebaik-baiknya". Kemuliaan ini adalah modal awal yang Allah anugerahkan kepada kita semua.
Namun, surat ini juga merupakan sebuah peringatan yang tegas. Modal kemuliaan itu bisa hangus jika kita salah dalam menginvestasikannya. Jalan menuju "tempat yang serendah-rendahnya" selalu terbuka bagi mereka yang memilih untuk mengingkari petunjuk-Nya dan mengikuti hawa nafsu. Pilihan ada di tangan kita.
Pada akhirnya, Surat At-Tin mengukuhkan sebuah prinsip fundamental: kehidupan ini adalah sebuah perjalanan yang akan berakhir di pengadilan Hakim Yang Maha Adil. Jalan untuk mempertahankan kemuliaan dan meraih kebahagiaan abadi telah dibentangkan dengan jelas, yaitu melalui iman yang mengakar di hati dan amal saleh yang terwujud dalam perbuatan. Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa menjaga amanah kemuliaan ini hingga bertemu dengan-Nya kelak.