Surat Al-Insyiqaq: Perjalanan Menuju Tuhan
Memahami makna mendalam tentang kepastian hari kiamat, pertanggungjawaban amal, dan perjalanan hakiki setiap insan.
Surat Al-Insyiqaq (الانشقاق), yang berarti "Terbelah", adalah surat ke-84 dalam Al-Qur'an. Tergolong surat Makkiyah, ia diturunkan di Mekkah pada periode awal dakwah Nabi Muhammad SAW. Surat ini, dengan gaya bahasa yang kuat dan imajinatif, melukiskan peristiwa-peristiwa dahsyat yang akan terjadi pada Hari Kiamat. Namun, fokus utamanya bukan sekadar menakut-nakuti, melainkan untuk menegaskan sebuah kebenaran fundamental: setiap manusia sedang dalam sebuah perjalanan kerja keras menuju Tuhannya, dan pertemuan itu adalah sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. Surat ini mengajak kita merenungi tujuan hidup, konsekuensi dari setiap perbuatan, dan akhir dari perjalanan di dunia yang fana ini.
Tema besar Al-Insyiqaq terbagi menjadi beberapa bagian. Dimulai dengan gambaran kosmik tentang hancurnya alam semesta, di mana langit terbelah dan bumi merata, menunjukkan kepatuhan total seluruh ciptaan pada perintah Sang Pencipta. Kemudian, surat ini beralih ke inti pesannya, yaitu pertanggungjawaban individu di hadapan Allah. Manusia akan dibagi menjadi dua golongan berdasarkan bagaimana mereka menerima catatan amal mereka: golongan kanan yang berbahagia dengan hisab yang mudah, dan golongan kiri yang celaka dan penuh penyesalan. Surat ini kemudian ditutup dengan sumpah Allah atas fenomena alam untuk menegaskan bahwa kehidupan manusia adalah sebuah proses yang bertahap, yang puncaknya adalah pertemuan dengan-Nya. Ini adalah pengingat tegas bagi mereka yang ingkar dan kabar gembira bagi mereka yang beriman dan beramal saleh.
Bacaan Surat Al-Insyiqaq Arab, Latin, dan Terjemahannya
اِذَا السَّمَاۤءُ انْشَقَّتْۙ ١
1. Iżas-samā`unshaqqat. 1. Apabila langit terbelah,وَاَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْۙ ٢
2. Wa ażinat lirabbihā wa ḥuqqat. 2. dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh,وَاِذَا الْاَرْضُ مُدَّتْۙ ٣
3. Wa iżal-arḍu muddat. 3. dan apabila bumi diratakan,وَاَلْقَتْ مَا فِيْهَا وَتَخَلَّتْۙ ٤
4. Wa alqat mā fīhā wa takhallat. 4. dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong,وَاَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْۗ ٥
5. Wa ażinat lirabbihā wa ḥuqqat. 5. dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh.يٰٓاَيُّهَا الْاِنْسَانُ اِنَّكَ كَادِحٌ اِلٰى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلٰقِيْهِۗ ٦
6. Yā ayyuhal-insānu innaka kādiḥun ilā rabbika kad-ḥan fa mulāqīh(i). 6. Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu pasti akan menemuinya.فَاَمَّا مَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ بِيَمِيْنِهٖۙ ٧
7. Fa ammā man ūtiya kitābahụ biyamīnih(ī). 7. Maka adapun orang yang catatannya diberikan dari sebelah kanannya,فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَّسِيْرًاۙ ٨
8. Fa saufa yuḥāsabu ḥisābay yasīrā(n). 8. maka dia akan dihisab dengan hisab yang mudah,وَّيَنْقَلِبُ اِلٰٓى اَهْلِهٖ مَسْرُوْرًاۗ ٩
9. Wa yanqalibu ilā ahlihī masrūrā(n). 9. dan dia akan kembali kepada keluarganya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.وَاَمَّا مَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ وَرَاۤءَ ظَهْرِهٖۙ ١٠
10. Wa ammā man ūtiya kitābahụ warā`a ẓahrih(ī). 10. Dan adapun orang yang catatannya diberikan dari belakang punggungnya,فَسَوْفَ يَدْعُوْ ثُبُوْرًاۙ ١١
11. Fa saufa yad'ụ ṡubūrā(n). 11. maka dia akan berteriak, “Celakalah aku!”وَّيَصْلٰى سَعِيْرًاۗ ١٢
12. Wa yaṣlā sa'īrā(n). 12. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).اِنَّهٗ كَانَ فِيْٓ اَهْلِهٖ مَسْرُوْرًاۗ ١٣
13. Innahụ kāna fī ahlihī masrūrā(n). 13. Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan keluarganya (yang sama-sama kafir).اِنَّهٗ ظَنَّ اَنْ لَّنْ يَّحُوْرَۙ ١٤
14. Innahụ ẓanna al lay yaḥūr(a). 14. Sesungguhnya dia mengira bahwa dia tidak akan kembali (kepada Tuhannya).بَلٰىٓ ۛ اِنَّ رَبَّهٗ كَانَ بِهٖ بَصِيْرًاۗ ١٥
15. Balā inna rabbahụ kāna bihī baṣīrā(n). 15. Bukan begitu! Sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya.فَلَآ اُقْسِمُ بِالشَّفَقِۙ ١٦
16. Fa lā uqsimu bisy-syafaq(i). 16. Maka Aku bersumpah demi cahaya merah pada waktu senja,وَالَّيْلِ وَمَا وَسَقَۙ ١٧
17. Wal-laili wa mā wasaq(a). 17. demi malam dan apa yang diselubunginya,وَالْقَمَرِ اِذَا اتَّسَقَۙ ١٨
18. Wal-qamari iżattasaq(a). 18. dan demi bulan apabila jadi purnama,لَتَرْكَبُنَّ طَبَقًا عَنْ طَبَقٍۗ ١٩
19. Latarkabunna ṭabaqan 'an ṭabaq(in). 19. sungguh, akan kamu jalani tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).فَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَۙ ٢٠
20. Fa mā lahum lā yu`minūn(a). 20. Maka mengapa mereka tidak mau beriman?وَاِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْاٰنُ لَا يَسْجُدُوْنَۗ ۩ ٢١
21. Wa iżā quri`a 'alaihimul-qur`ānu lā yasjudūn(a). 21. Dan apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud?بَلِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُكَذِّبُوْنَۖ ٢٢
22. Balillażīna kafarụ yukażżibūn(a). 22. Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan(nya).وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا يُوْعُوْنَۖ ٢٣
23. Wallāhu a'lamu bimā yụ'ụn(a). 23. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan (dalam hati mereka).فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ ٢٤
24. Fa basysyir-hum bi'ażābin alīm(in). 24. Maka sampaikanlah kepada mereka “kabar gembira” tentang azab yang pedih,اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَهُمْ اَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍ ࣖ ٢٥
25. Illal-lażīna āmanụ wa 'amiluṣ-ṣāliḥāti lahum ajrun gairu mamnūn(in). 25. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan mendapat pahala yang tidak putus-putusnya.Tafsir dan Kandungan Mendalam Surat Al-Insyiqaq
Untuk memahami pesan agung yang terkandung di dalamnya, mari kita selami makna setiap ayat Surat Al-Insyiqaq secara lebih terperinci. Surat ini terbagi ke dalam beberapa segmen tematik yang saling berkaitan, membangun sebuah narasi yang koheren tentang akhir zaman dan pertanggungjawaban manusia.
Bagian 1: Kehancuran Kosmik dan Kepatuhan Mutlak (Ayat 1-5)
Surat ini dibuka dengan gambaran yang menggetarkan jiwa mengenai awal dari Hari Kiamat. Allah SWT melukiskan bagaimana tatanan alam semesta yang selama ini kita kenal akan hancur lebur.
"Apabila langit terbelah (1), dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh (2)."
Ayat pertama, "Iżas-samā`unshaqqat", menggambarkan langit, yang menjadi simbol kekuatan, ketinggian, dan keteraturan, tiba-tiba pecah dan terbelah. Ini bukan sekadar fenomena alam biasa, melainkan runtuhnya sebuah sistem. Langit yang kokoh, yang menjadi atap pelindung bagi bumi, tak lagi mampu menahan perintah Tuhannya. Ayat kedua menegaskan bahwa peristiwa dahsyat ini adalah bentuk ketaatan. Frasa "wa ażinat lirabbihā wa ḥuqqat" (dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh) mengandung makna yang sangat dalam. Kata 'ażinat' berarti mendengar dan mematuhi dengan sepenuh hati. Seluruh alam semesta, termasuk langit, memiliki kesadaran untuk tunduk pada kehendak Penciptanya. Pengulangan 'wa ḥuqqat' menekankan bahwa kepatuhan ini adalah sebuah keniscayaan, suatu hal yang sudah seharusnya dan sepantasnya terjadi. Jika benda-benda langit yang begitu besar saja patuh, bagaimana mungkin manusia yang kecil berani membangkang?
"dan apabila bumi diratakan (3), dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong (4), dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh (5)."
Setelah langit, fokus beralih ke bumi. "Wa iżal-arḍu muddat" (dan apabila bumi diratakan). Gunung-gunung akan hancur menjadi debu, lembah-lembah akan terisi, dan seluruh permukaan bumi akan menjadi satu dataran yang rata dan luas. Tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi atau berlindung. Semua akan terpampang jelas di hadapan Tuhan. Kemudian, bumi akan "alqat mā fīhā wa takhallat" (memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong). Bumi akan mengeluarkan seluruh isinya: jasad orang-orang yang telah mati dari generasi pertama hingga terakhir, serta segala harta dan rahasia yang terpendam di perutnya. Bumi menjadi saksi yang jujur, tak lagi menyembunyikan apa pun. Sama seperti langit, tindakan bumi ini juga merupakan bentuk kepatuhan total kepada Allah, yang kembali ditegaskan dengan ayat kelima yang identik dengan ayat kedua.
Bagian 2: Perjalanan Tak Terhindarkan dan Hari Perhitungan (Ayat 6-15)
Setelah menggambarkan panggung kiamat, Allah SWT mengalihkan firman-Nya langsung kepada objek utama dari semua ini: manusia. Ayat 6 adalah poros dari surat ini.
"Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu pasti akan menemuinya (6)."
Ini adalah sebuah panggilan universal, "Yā ayyuhal-insān". Allah menegaskan bahwa hidup ini adalah sebuah "kad-ḥan", sebuah perjuangan, kerja keras, dan jerih payah yang tiada henti. Baik disadari maupun tidak, setiap napas, setiap langkah, setiap perbuatan adalah bagian dari perjalanan menuju satu tujuan akhir: bertemu dengan Allah ("fa mulāqīh"). Pertemuan ini adalah kepastian mutlak, entah dalam keadaan diridhai atau dimurkai. Ayat ini mengingatkan kita bahwa hidup bukanlah tujuan, melainkan sebuah proses untuk mencapai tujuan akhir tersebut. Semua kelelahan, suka, dan duka di dunia ini akan bermuara pada satu titik pertemuan dengan Sang Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segalanya.
Selanjutnya, surat ini menjelaskan dua hasil yang kontras dari pertemuan tersebut, yang ditentukan oleh catatan amal (kitab).
Golongan Kanan: Kebahagiaan dan Kemudahan
"Fa ammā man ūtiya kitābahụ biyamīnih" (Maka adapun orang yang catatannya diberikan dari sebelah kanannya). Menerima catatan dengan tangan kanan adalah simbol kehormatan, keberhasilan, dan keselamatan. Mereka adalah orang-orang yang iman dan amalnya diterima. Bagi mereka, proses hisab akan menjadi sangat ringan: "fa saufa yuḥāsabu ḥisābay yasīrā" (maka dia akan dihisab dengan hisab yang mudah). Hisab yang mudah bukanlah audit yang mendetail, melainkan sekadar penampakan amal yang kemudian diampuni oleh Allah dengan rahmat-Nya. Puncak kebahagiaan mereka adalah ketika "wa yanqalibu ilā ahlihī masrūrā" (dan dia akan kembali kepada keluarganya dengan gembira). Ia akan kembali berkumpul dengan sesama orang beriman di surga dalam keadaan suka cita yang tiada tara.
Golongan Kiri: Penyesalan dan Kehinaan
Sebaliknya, nasib tragis menimpa golongan kedua. "Wa ammā man ūtiya kitābahụ warā`a ẓahrih" (Dan adapun orang yang catatannya diberikan dari belakang punggungnya). Ini adalah puncak kehinaan. Tangan kanan mereka dibelenggu ke leher, dan tangan kiri mereka diputar ke belakang untuk menerima catatan amal yang penuh dengan keburukan. Mereka bahkan tidak sanggup menatap catatan itu karena rasa malu dan takut yang luar biasa. Dalam keputusasaan yang total, mereka akan berteriak memanggil kebinasaan: "fa saufa yad'ụ ṡubūrā" (maka dia akan berteriak, “Celakalah aku!”). Mereka berharap untuk musnah saja daripada harus menghadapi siksaan yang menanti. Namun, harapan itu sia-sia, karena mereka "wa yaṣlā sa'īrā" (akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala).
Allah kemudian menjelaskan akar penyebab kebinasaan mereka. Pertama, karena di dunia mereka hidup dalam kesenangan yang melalaikan: "innahụ kāna fī ahlihī masrūrā" (Sesungguhnya dia dahulu di dunia bergembira di kalangan keluarganya). Kegembiraan mereka adalah kegembiraan semu yang dibangun di atas kekafiran dan kemaksiatan, tanpa pernah memikirkan akhirat. Kedua, dan ini adalah akar utamanya, adalah kesombongan dan penolakan terhadap hari kebangkitan: "innahụ ẓanna al lay yaḥūr" (Sesungguhnya dia mengira bahwa dia tidak akan kembali). Mereka merasa hidup hanya di dunia saja dan tidak akan ada pertanggungjawaban. Allah membantah keras anggapan ini dengan firman-Nya: "Balā inna rabbahụ kāna bihī baṣīrā" (Bukan begitu! Sesungguhnya Tuhannya selalu melihatnya). Allah Maha Melihat; tidak ada satu pun perbuatan, niat, atau rahasia mereka yang luput dari pengawasan-Nya.
Bagian 3: Sumpah Allah dan Tahapan Kehidupan (Ayat 16-19)
Untuk lebih meyakinkan manusia tentang kebenaran hari kebangkitan dan proses kehidupan, Allah bersumpah dengan beberapa ciptaan-Nya yang menakjubkan.
"Maka Aku bersumpah demi cahaya merah pada waktu senja (16), demi malam dan apa yang diselubunginya (17), dan demi bulan apabila jadi purnama (18)."
Allah bersumpah dengan syafaq (cahaya merah di ufuk barat setelah matahari terbenam), sebuah fenomena transisi dari siang ke malam. Kemudian dengan malam dan apa yang diselubunginya (wasaq), yang mengumpulkan segala sesuatu ke tempat peristirahatannya. Dan dengan bulan saat purnama (ittasaq), ketika ia berada pada puncak keindahan dan kesempurnaannya. Sumpah dengan fenomena-fenomena yang silih berganti ini menjadi pengantar untuk menegaskan isi sumpah-Nya.
"sungguh, akan kamu jalani tingkat demi tingkat (dalam kehidupan) (19)."
Inilah jawaban dari sumpah tersebut: "latarkabunna ṭabaqan 'an ṭabaq". Ayat ini menegaskan bahwa kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan yang melalui berbagai fase atau tingkatan. Mulai dari setetes mani, menjadi segumpal darah, segumpal daging, lalu menjadi janin yang sempurna, lahir sebagai bayi, tumbuh menjadi anak-anak, remaja, dewasa, tua, lalu menghadapi kematian. Setelah kematian, ada lagi tahapan di alam kubur, kebangkitan, hisab, hingga akhirnya berakhir di surga atau neraka. Ayat ini adalah penegasan kembali dari ayat 6, bahwa perjalanan ini nyata dan setiap tahapnya pasti akan dilalui.
Bagian 4: Celaan dan Penegasan Akhir (Ayat 20-25)
Setelah semua bukti dan penjelasan yang gamblang, Allah melontarkan pertanyaan retoris yang penuh keheranan dan celaan kepada orang-orang kafir.
"Maka mengapa mereka tidak mau beriman? (20) Dan apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud? (21)"
Setelah melihat tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta (ayat 16-18), dan setelah diperingatkan tentang perjalanan hidup yang pasti (ayat 19), apa lagi yang menghalangi mereka untuk beriman? Kesombongan mereka begitu besar sehingga ketika ayat-ayat Allah yang agung dibacakan, hati mereka tidak tersentuh untuk tunduk dan bersujud. Ayat 21 ini termasuk dalam ayat sajdah, di mana disunnahkan bagi yang membaca dan mendengarnya untuk melakukan sujud tilawah sebagai bentuk pengakuan atas keagungan Al-Qur'an dan ketundukan kepada Allah.
Allah kemudian menyimpulkan penyebab penolakan mereka: "Balillażīna kafarụ yukażżibūn" (Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan). Masalah mereka bukanlah kurangnya bukti, melainkan hati yang telah tertutup oleh pendustaan. Mereka secara aktif menolak kebenaran. Namun, penolakan mereka tidak berarti apa-apa bagi Allah, karena "Wallāhu a'lamu bimā yụ'ụn" (Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan). Allah Maha Tahu segala kedengkian, keraguan, dan kebohongan yang mereka simpan rapat-rapat di dalam dada mereka.
Sebagai konsekuensinya, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyampaikan sebuah "kabar" kepada mereka dengan gaya bahasa ironis yang tajam: "Fa basysyir-hum bi'ażābin alīm" (Maka sampaikanlah kepada mereka “kabar gembira” tentang azab yang pedih). Kata 'basysyir' yang biasanya berarti 'kabar gembira' digunakan di sini untuk memberikan efek sarkasme yang mendalam, sebagai bentuk penghinaan atas kesombongan mereka.
Namun, surat ini tidak ditutup dengan ancaman semata. Allah, dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya, selalu membuka pintu harapan. Ayat terakhir menjadi penutup yang memberikan kontras yang indah.
"kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan mendapat pahala yang tidak putus-putusnya (25)."
Inilah pengecualiannya. Ancaman pedih itu tidak berlaku bagi mereka yang menggabungkan dua pilar utama: iman yang benar di dalam hati (āmanụ) dan amal saleh dalam perbuatan ('amiluṣ-ṣāliḥāti). Bagi mereka, Allah telah menyiapkan balasan yang agung, yaitu "ajrun gairu mamnūn", pahala yang tidak pernah terputus, tidak pernah berkurang, dan tidak pernah diungkit-ungkit. Pahala abadi di surga sebagai balasan atas kerja keras dan kesabaran mereka selama perjalanan hidup di dunia.
Secara keseluruhan, Surat Al-Insyiqaq adalah sebuah pengingat yang kuat tentang realitas kehidupan dan kematian. Ia mengajak setiap jiwa untuk merefleksikan perjalanannya, menyadari bahwa setiap detik adalah langkah menuju pertemuan dengan Allah. Surat ini memberikan harapan besar bagi orang-orang beriman dan peringatan keras bagi mereka yang lalai, menegaskan bahwa keadilan ilahi pasti akan tegak dan setiap perbuatan akan mendapatkan balasan yang setimpal.