I. Pengantar dan Konteks Historis
Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, diturunkan di Madinah dan memuat fondasi hukum, sosial, dan etika bagi masyarakat Islam yang baru terbentuk. Ayat 191 adalah bagian integral dari serangkaian ayat (190-193) yang secara khusus menetapkan parameter dan batasan bagi umat Islam dalam menghadapi konflik bersenjata (Qital).
Ayat ini diturunkan pada periode kritis di mana kaum Muslimin, setelah mengalami pengusiran dan penganiayaan di Mekah, kini berada dalam posisi untuk membela diri. Pemahaman kontekstual sangat krusial; ayat-ayat ini berfungsi sebagai panduan yang tegas dalam situasi perang, memastikan bahwa pertahanan diri tidak berubah menjadi agresi tanpa batas.
Ayat ini memuat tiga prinsip utama: prinsip resiprositas (balasan yang setimpal), prinsip penekanan terhadap Fitnah (persekusi keagamaan), dan prinsip larangan melanggar kesucian wilayah (Masjidil Haram).
II. Analisis Linguistik dan Tafsir Lafdzi (Kata per Kata)
Untuk memahami kedalaman hukum ayat ini, perlu dilakukan pembedahan terhadap setiap frasa dan implikasi tata bahasanya.
A. Frasa Pertama: "وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ" (Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka)
Kata kunci di sini adalah *Qatl* (pembunuhan/perang) dan *Tsaqiftumūhum* (kamu jumpai mereka/kamu temukan mereka). Para mufasir, termasuk Imam At-Tabari dan Ibnu Katsir, menekankan bahwa perintah ini tidak bersifat umum terhadap semua non-muslim, tetapi merujuk spesifik kepada mereka yang telah memulai agresi, yaitu orang-orang Quraisy yang mengusir dan memerangi kaum Muslimin. Ini adalah respons terhadap kezaliman yang nyata.
Menurut perspektif Imam Syafi'i dan Mazhab Zhahiri, penggunaan kata kerja lampau pada *tsaqiftumūhum* menunjukkan kondisi di mana pertemuan tersebut terjadi dalam konteks permusuhan yang sedang berlangsung, bukan serangan mendadak tanpa sebab.
B. Frasa Kedua: "وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ" (Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu)
Frasa ini merupakan manifestasi eksplisit dari prinsip resiprositas (muqābalah bi al-mitsl). Jika kaum Muslimin diusir dari Mekah, maka diperbolehkan bagi mereka untuk bertindak serupa sebagai pembalasan yang adil (Qisas). Ini memberikan legitimasi bagi penaklukan kembali wilayah yang hilang. Tafsir kontemporer, seperti yang diutarakan oleh Sayyid Qutb dalam *Fi Zilalil Quran*, menafsirkan ini sebagai hak mutlak bagi umat yang tertindas untuk merebut kembali kedaulatan atas tanah air mereka.
Penafsiran Hukum Frasa Resiprositas
Mazhab Hanafi melihat ayat ini sebagai dasar utama bagi hukum perang defensif yang ketat. Resiprositas di sini berfungsi sebagai batasan etis: balasan harus setara dengan kezaliman yang diterima. Jika mereka mengusir, maka pembalasan yang diizinkan adalah pengusiran, atau tindakan yang setara dalam konteks militer. Resiprositas mencegah eskalasi yang tidak perlu dan mempertahankan moralitas dalam medan perang.
C. Frasa Ketiga: "وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ" (Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan)
Ini adalah inti filosofis ayat 191 dan telah menjadi subjek perdebatan teologis dan yuridis yang mendalam. Kata *Fitnah* di sini merujuk pada persekusi agama, paksaan untuk meninggalkan keyakinan, atau kekacauan sosial yang parah.
Menurut Mayoritas Mufasir (Jumhur Ulama), fitnah yang dimaksud di sini adalah:
- Syirik dan Kekafiran: Memaksa seseorang menjadi musyrik.
- Penindasan Keagamaan: Kekejaman yang dialami Muslim di Mekah (seperti yang dialami Bilal atau keluarga Yasir).
- Penghalang Jalan Allah: Mencegah tersebarnya dakwah dan keadilan.
Penekanan bahwa fitnah *lebih berat* daripada pembunuhan menunjukkan bahwa mempertahankan iman dan kebebasan beragama adalah nilai tertinggi yang membenarkan dilakukannya Qital (perang) sebagai jalan terakhir. Perang, meskipun menghasilkan kematian, dianggap lebih ringan dampaknya daripada membiarkan keimanan dan prinsip dasar kemanusiaan dihancurkan oleh persekusi yang sistematis.
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam *Mafatih al-Ghaib* memperluas tafsir ini, menyatakan bahwa kehancuran spiritual akibat fitnah jauh melampaui kehancuran fisik, yang merupakan alasan utama mengapa Allah SWT memberikan izin untuk melawan penindasan tersebut.
D. Frasa Keempat: Larangan Melanggar Kesucian (Masjidil Haram)
Ayat ini menutup dengan larangan tegas untuk memulai peperangan di area suci (Masjidil Haram), kecuali jika musuh memulai agresi di sana. Ini menunjukkan prinsip etika perang Islam yang menghargai tempat ibadah dan kesucian wilayah, bahkan dalam situasi konflik akut.
Ini adalah salah satu dari sekian banyak aturan dalam syariat yang membatasi totalitas perang. Hukum ini berlaku secara ketat: kaum Muslimin harus menahan diri, tetapi jika musuh melanggar kesucian tempat itu terlebih dahulu, maka hak membela diri di tempat yang sama menjadi valid. Ini menunjukkan bahwa ketaatan terhadap perintah Ilahi lebih diutamakan daripada keuntungan militer jangka pendek.
III. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Para ulama sepakat bahwa serangkaian ayat tentang Qital (190-193) ini diturunkan berkaitan dengan persiapan kaum Muslimin untuk memasuki Mekah, khususnya dalam konteks peristiwa setelah Perjanjian Hudaibiyah. Namun, interpretasi yang lebih spesifik mengaitkannya dengan kesiapan para Sahabat untuk melakukan Umrah Qadha atau haji.
Konflik di Bulan Haram
Pada awalnya, kaum Muslimin ragu-ragu untuk berperang atau membela diri di bulan-bulan haram, di mana tradisi Arab melarang pertumpahan darah. Ayat ini memberikan kejelasan hukum: jika pihak musuh tidak menghormati batasan-batasan tersebut (seperti melanggar bulan haram atau kesucian Masjidil Haram), maka kaum Muslimin diizinkan untuk membalas secara proporsional.
Ibnu Ishaq dan lainnya mencatat bahwa ayat-ayat ini memberikan otoritas moral dan hukum kepada kaum Muslimin untuk menghadapi agresi Quraisy, yang seringkali tidak mematuhi norma-norma perang yang ada. Ayat 191 memastikan bahwa izin berperang bukanlah sebuah lisensi untuk membantai, melainkan sebuah pertahanan yang dilegitimasi oleh penindasan yang mendahului.
Konteks Pengusiran
Pengusiran kaum Muslimin dari Mekah (hijrah) adalah pelanggaran hak asasi dan keagamaan yang parah. Ayat 191 memberikan hak untuk kembali dan merebut kembali rumah mereka. Ini bukan semata-mata ekspansi teritorial, melainkan pemulihan hak properti dan kebebasan beribadah yang dirampas secara paksa.
IV. Implikasi Fiqhiyah (Jurisprudensi Islam) Ayat 191
Ayat 191 adalah salah satu sumber hukum terpenting dalam Fiqh Siyar (Hukum Internasional Islam) yang menetapkan landasan etis bagi konflik bersenjata.
A. Hukum Jihad Defensif (Jihad al-Difa')
Ayat ini, bersama dengan Ayat 190, memposisikan perang sebagai tindakan defensif dan responsif. Perintah untuk "bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka" tidak boleh dipisahkan dari kondisi yang disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya—yaitu, mereka yang memerangi kita dan mengusir kita. Ini menetapkan Jihad Al-Difa' (jihad defensif) sebagai kewajiban yang sah ketika komunitas Muslim menghadapi ancaman eksistensial atau persekusi agama.
Ulama fiqh empat mazhab sepakat bahwa konteks utama ayat ini adalah respons terhadap serangan. Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal sangat menekankan bahwa agresi harus datang dari pihak musuh sebelum kaum Muslimin diperbolehkan mengangkat senjata, sesuai dengan prinsip *Lā Ta’tadū* (janganlah kamu melampaui batas) yang dijelaskan di ayat sebelumnya (190) yang menjadi komplementer bagi ayat ini.
B. Prinsip Pembalasan yang Proporsional (Qisas)
Frasa "Usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu" menetapkan prinsip *Qisas* (pembalasan setimpal) dalam konteks perang. Ini meluas ke aturan yang lebih detail dalam hukum perang, seperti larangan mutilasi, larangan membakar lawan, dan larangan merusak sumber daya yang tidak terkait langsung dengan pertempuran.
Para Fuqaha (ahli hukum Islam) menggunakan ayat ini untuk berargumen bahwa kerusakan yang ditimbulkan dalam perang harus proporsional dengan ancaman yang dihadapi. Jika musuh melanggar perjanjian, pelanggaran balasan harus setara. Jika musuh menggunakan senjata tertentu, balasan harus berada dalam koridor keadilan dan etika.
C. Pengecualian Non-Kombatan (Tafriq bain al-Muqatil wa Ghayr al-Muqatil)
Meskipun ayat ini menggunakan bahasa yang kuat ("bunuhlah mereka"), hukum Islam secara luas mengecualikan non-kombatan. Para mufasir dan fuqaha, khususnya berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW dan ayat 190 (yang melarang agresi), menyimpulkan bahwa perintah Qatl (membunuh) dalam Ayat 191 hanya berlaku bagi:
- Laki-laki dewasa yang berpartisipasi dalam pertempuran (muqātilūn).
- Mereka yang secara aktif memberikan dukungan militer (ahli al-harb).
Ini secara definitif mengecualikan perempuan, anak-anak, orang tua, pendeta di tempat ibadah (yang tidak berpartisipasi), dan petani yang tidak terlibat dalam perang. Ayat 191, ketika dibaca holistik dengan keseluruhan syariat perang, memperkuat etika bahwa perang adalah melawan agresi, bukan melawan kemanusiaan secara umum. Hal ini membedakan syariat Islam dari doktrin total war modern.
D. Hukum *Al-Haramayn* (Dua Tanah Suci)
Larangan untuk memulai perang di Masjidil Haram menggarisbawahi keunikan hukum Islam dalam menghormati wilayah suci. Ini bukan sekadar larangan taktis, tetapi pengakuan spiritual akan kesucian Mekah dan Masjidil Haram. Hukum ini merupakan contoh nyata bagaimana spiritualitas mendikte tindakan militer. Para ulama Mazhab Maliki dan Hanbali menekankan bahwa kesucian ini mutlak, dan pelanggarannya oleh musuh adalah tindakan kezaliman ganda (terhadap kaum Muslimin dan terhadap hukum Ilahi), yang membenarkan pembalasan di tempat yang sama.
V. Analisis Mendalam tentang 'Fitnah' dan Nilai Etika Tertinggi
Sebagaimana disebutkan, "Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan" (*Wa al-fitnatu ashaddu min al-qatl*) adalah pusat etis ayat ini. Pemahaman ini sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan konsep Qital.
A. Konsep Fitnah sebagai Kejahatan Spiritual
Fitnah (Persekusi) dalam konteks ini berarti menciptakan kondisi di mana seseorang tidak dapat hidup sesuai dengan keimanannya, atau dipaksa untuk murtad. Ini adalah penyerangan terhadap jiwa dan keyakinan, yang dianggap lebih merusak daripada penyerangan fisik yang berujung pada kematian. Kematian adalah akhir dari kehidupan duniawi, sementara fitnah (paksaan meninggalkan iman) adalah ancaman terhadap keselamatan abadi di akhirat.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa fitnah di sini mencakup pemaksaan, penyiksaan, dan penghalangan total terhadap dakwah tauhid. Ini memvalidasi bahwa tujuan utama perang yang diizinkan dalam Islam adalah untuk melindungi *Hifzhud Din* (pemeliharaan agama), yang merupakan salah satu dari lima tujuan utama (Maqasid Syariah).
B. Implikasi Etis pada Masa Damai
Meskipun ayat ini berbicara dalam konteks perang, pelajaran etis mengenai fitnah berlaku universal. Dalam situasi damai, umat Islam didorong untuk melawan bentuk-bentuk fitnah yang lebih halus: korupsi moral, kezaliman sosial, dan kekacauan internal. Perjuangan melawan fitnah internal ini sering disebut sebagai *Jihad al-Akbar* (Jihad yang lebih besar), yaitu perjuangan melawan hawa nafsu dan kejahatan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, ayat 191 tidak hanya memberikan izin berperang; ia juga memberikan peta moral tentang prioritas nilai. Ketika keadilan dan kebebasan beragama terancam, masyarakat diizinkan untuk mengambil langkah ekstrem, karena konsekuensi dari pasifnya tindakan terhadap fitnah adalah kehancuran moral dan spiritual komunal.
C. Menghindari Ekstremisme dan Melampaui Batas
Penting untuk menghubungkan Ayat 191 kembali ke Ayat 190: "Janganlah kamu melampaui batas." Larangan melampaui batas (*La ta’tadū*) adalah prinsip yang mengikat bagi semua tindakan perang, bahkan ketika berhadapan dengan fitnah. Ini berarti bahwa bahkan ketika membalas fitnah, tindakan balasan harus terukur dan tidak boleh melanggar etika Islam (misalnya, membunuh non-kombatan atau menghancurkan lingkungan). Kezaliman tidak boleh dibalas dengan kezaliman yang lebih besar.
Prinsip ini menegaskan bahwa Islam mengajarkan konflik yang beretika. Perang bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapai perdamaian dan keadilan, sebuah upaya untuk menghentikan kezaliman yang lebih besar (fitnah) tanpa menciptakan kezaliman baru.
VI. Relevansi Kontemporer dan Menghadapi Misinterpretasi
Di era modern, Surah Al-Baqarah Ayat 191 seringkali disalahgunakan, terutama oleh kelompok-kelompok ekstremis yang mengutip frasa "bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka" tanpa memahami konteks historis, linguistik, dan hukum yang mengikatnya.
A. Konteks Agresi Defensif
Penafsiran yang sahih dari Ayat 191 (seperti yang diajarkan oleh ulama klasik dan modern) sangat tegas: ayat ini adalah respons terhadap agresi yang sedang berlangsung oleh pihak yang memulai serangan (Quraisy). Tidak ada satu pun mufasir klasik yang menafsirkan ayat ini sebagai perintah untuk membunuh orang-orang non-muslim yang hidup damai atau mereka yang tidak terlibat dalam peperangan melawan umat Islam.
Penghilangan konteks ini (disebut sebagai *naskh al-tafsir*, penghapusan tafsir) adalah akar dari misinterpretasi ekstremis. Ayat 191 tidak membatalkan Ayat 190. Kedua ayat tersebut berfungsi sebagai satu kesatuan hukum yang menetapkan bahwa permulaan perang adalah haram, tetapi membela diri adalah wajib.
B. Perdebatan Naskh (Penghapusan Hukum)
Beberapa ulama terdahulu, terutama dari kalangan yang memegang pandangan yang lebih agresif terhadap Siyar, pernah berpendapat bahwa Ayat 191 dan ayat-ayat Qital lainnya mungkin telah di-naskh (dibatalkan) oleh ayat-ayat yang lebih umum tentang perang (misalnya, Ayat 5 Surah At-Taubah, Ayat Pedang). Namun, pandangan mayoritas ulama mutakhir (kontemporer) menolak klaim naskh ini, menegaskan bahwa Ayat 191 tetap berlaku sebagai hukum yang mengikat dalam konteks spesifik perang defensif dan proporsionalitas.
Imam Syahid Abdullah Azzam, misalnya, meskipun dikenal sebagai ulama yang mendukung jihad, tetap menekankan bahwa tindakan militer harus berlandaskan pada prinsip keadilan dan larangan melampaui batas yang ditetapkan dalam Al-Baqarah 190-191. Ini menegaskan bahwa hukum dasar etika perang tetap tidak berubah.
C. Memelihara Citra Islam sebagai Agama Keadilan
Dalam memahami Ayat 191, umat Islam kontemporer wajib menonjolkan prinsip keadilan dan resiprositas. Hukum ini memastikan bahwa kekuatan digunakan hanya untuk memulihkan keadilan, bukan untuk menindas. Pesan utamanya adalah bahwa meskipun konflik mungkin tak terhindarkan ketika menghadapi tirani dan persekusi (fitnah), batasan moral harus selalu dipertahankan. Islam menghendaki umatnya menjadi penegak keadilan (*Qawwamuna bil qist*) bahkan terhadap musuh mereka.
Keseluruhan narasi Surah Al-Baqarah tentang perang mengajarkan bahwa setiap tindakan militer harus dibingkai oleh etika, dimulai dari pertahanan diri, diikat oleh proporsionalitas, dan dibatasi oleh penghormatan terhadap tempat suci dan non-kombatan. Ini adalah model perang yang beradab dan terikat hukum, bahkan pada abad ketujuh.
VII. Integrasi Ayat 191 dengan Ayat-Ayat Komplementer
Pemahaman menyeluruh atas Ayat 191 harus dilakukan dengan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan seri hukum perang di Surah Al-Baqarah (190-194).
A. Hubungan dengan Al-Baqarah 190 (Larangan Agresi)
Ayat 190 adalah fondasi, menetapkan batasan umum: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Ayat 191 kemudian menyediakan rincian spesifik tentang apa yang diizinkan dalam konteks balasan. Tanpa Ayat 190, Ayat 191 akan kehilangan kontrol etisnya. Keduanya adalah pasangan yang tidak terpisahkan, menetapkan hukum *izin* dan *kontrol* perang.
B. Hubungan dengan Al-Baqarah 192 (Pemberian Ampunan)
Ayat 192 mengatakan, “Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ayat ini memberikan jalan keluar dan prioritas perdamaian. Setelah izin untuk membalas kezaliman (Ayat 191) diberikan, perintah berikutnya adalah mengakhiri konflik segera setelah musuh menghentikan agresi mereka. Ini menunjukkan bahwa meskipun kekerasan defensif diperbolehkan, tujuan utama syariat adalah perdamaian dan pengampunan.
C. Hukum Fitnah dan Perang sampai Tuntas (Ayat 193)
Ayat 193 menegaskan kembali tujuan utama: "Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada lagi fitnah, dan agama (seluruhnya) hanya bagi Allah." Ini mengikat kembali frasa "Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan" (Ayat 191). Perang harus terus dilakukan HANYA sampai persekusi keagamaan berakhir, bukan untuk tujuan penaklukan duniawi semata. Ketika kebebasan beragama terjamin, alasan untuk berperang telah gugur.
Melalui integrasi ini, jelas bahwa Ayat 191 bukanlah perintah isolatif untuk kekerasan, melainkan bagian dari kerangka hukum yang kompleks, terstruktur, dan sangat beretika yang bertujuan untuk:
- Mempertahankan diri dan hak.
- Menghilangkan persekusi agama.
- Menetapkan perdamaian abadi berdasarkan keadilan.
VIII. Kontemplasi dan Kedalaman Makna Teologis
Di luar kerangka hukumnya, Ayat 191 menyimpan makna teologis yang mendalam mengenai hubungan antara hak manusia (kebebasan beragama) dan kedaulatan Ilahi.
A. Kedaulatan Allah dalam Menentukan Keadilan
Ayat 191, dengan menetapkan batasan yang ketat, menegaskan bahwa keputusan untuk berperang—bahkan untuk membela diri—adalah milik Allah SWT, bukan otoritas manusia semata. Umat Islam diperintahkan untuk bertindak berdasarkan izin dan batas yang ditetapkan-Nya. Ini adalah pengakuan akan superioritas hukum Tuhan atas semua pertimbangan politik atau militer manusia.
B. Ujian Kesabaran dan Ketaatan
Larangan memulai pertempuran di Masjidil Haram, bahkan ketika Muslim berada dalam posisi yang menguntungkan, adalah ujian ketaatan tertinggi. Hal ini mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukan hanya diraih di medan perang, tetapi juga dalam kemampuan untuk menahan diri dan menghormati batasan Ilahi, bahkan di bawah provokasi. Ayat ini menggarisbawahi pentingnya disiplin spiritual dan moral dalam menghadapi musuh.
C. Prinsip Universal Perlindungan Minoritas
Meskipun ayat ini secara khusus berbicara tentang perlawanan terhadap Quraisy yang musyrik, prinsip-prinsip etisnya menjadi dasar bagi perlindungan minoritas di wilayah Islam. Karena fitnah (persekusi) adalah kejahatan terbesar yang harus dilawan, maka perlindungan kebebasan beragama bagi semua yang berada di bawah naungan kekuasaan Islam (termasuk Ahlul Kitab dan lainnya) menjadi wajib. Ayat 191 secara implisit mendukung Piagam Madinah, yang menjamin koeksistensi damai bagi semua komunitas, selama tidak ada pihak yang melakukan fitnah atau agresi.
D. Dampak Psikologis Frasa 'Fitnah Lebih Kejam'
Frasa ini memberikan kekuatan psikologis bagi kaum Muslimin yang tertindas. Menghadapi kematian di medan perang terasa lebih bermartabat daripada hidup dalam perbudakan spiritual. Hal ini memotivasi mereka untuk berkorban demi kebebasan beriman, mengubah perspektif ketakutan akan kematian menjadi kehormatan dalam mempertahankan nilai-nilai luhur agama. Ayat ini memberikan makna mulia pada perjuangan melawan tirani.
Kesimpulannya, Surah Al-Baqarah Ayat 191 adalah salah satu pilar etika militer Islam. Ia mengizinkan penggunaan kekuatan sebagai respons terhadap kezaliman terberat (fitnah dan pengusiran), namun mengikat izin tersebut dengan tali keadilan, proporsionalitas, dan kehati-hatian moral. Ayat ini memastikan bahwa perang dalam Islam, ketika terjadi, adalah upaya yang terukur, beretika, dan bertujuan utama untuk menegakkan kebebasan beragama dan keadilan, sesuai dengan perintah Ilahi.