Surat Al-Ghasyiyah merupakan surat ke-88 dalam mushaf Al-Qur'an, terdiri dari 26 ayat dan tergolong sebagai surat Makkiyah. Nama "Al-Ghasyiyah" diambil dari ayat pertama yang berarti "Hari Pembalasan" atau "Peristiwa yang Menutupi". Surat ini secara dramatis melukiskan dua pemandangan yang sangat kontras di akhirat: keadaan para penghuni neraka yang penuh penderitaan dan keadaan para penghuni surga yang diliputi kenikmatan abadi. Melalui pembahasan surat al ghasyiyah latin dan terjemahannya, kita akan menyelami pesan-pesan penting yang terkandung di dalamnya. Surat ini tidak hanya berfungsi sebagai peringatan, tetapi juga sebagai motivasi, mengajak manusia untuk merenungkan ciptaan Allah di alam semesta sebagai bukti kekuasaan-Nya yang tak terbatas.
Kandungan utama surat ini dapat dibagi menjadi tiga bagian besar. Bagian pertama (ayat 1-7) memberikan gambaran mengerikan tentang Hari Kiamat dan azab yang menimpa orang-orang kafir. Bagian kedua (ayat 8-16) menyajikan potret yang indah dan menenangkan tentang balasan bagi orang-orang beriman di surga. Bagian ketiga (ayat 17-26) mengalihkan fokus pembaca dari akhirat ke dunia, mengajak untuk memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah pada unta, langit, gunung, dan bumi, seraya menegaskan peran Nabi Muhammad SAW sebagai pemberi peringatan, bukan pemaksa.
Bacaan Lengkap Surat Al Ghasyiyah: Arab, Latin, dan Terjemahan
Berikut adalah bacaan lengkap dari ayat 1 hingga 26, mencakup teks Arab, transliterasi surat al ghasyiyah latin untuk kemudahan pelafalan, serta terjemahan dalam bahasa Indonesia.
هَلْ اَتٰىكَ حَدِيْثُ الْغَاشِيَةِۗ
Hal ataaka hadiitsul ghaasyiyah.
"Sudahkah sampai kepadamu berita tentang (hari Kiamat) yang menutupi?"
وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ خَاشِعَةٌ ۙ
Wujuuhuy yauma-idzin khaasyi'ah.
"Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina,"
عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ ۙ
'Aamilatun naashibah.
"bekerja keras lagi kepayahan,"
تَصْلٰى نَارًا حَامِيَةً ۙ
Tashlaa naaran haamiyah.
"mereka memasuki api yang sangat panas (neraka),"
تُسْقٰى مِنْ عَيْنٍ اٰنِيَةٍ ۗ
Tusqaa min 'ainin aaniyah.
"diberi minum dari sumber mata air yang sangat panas."
لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ اِلَّا مِنْ ضَرِيْعٍ ۙ
Laisa lahum tha'aamun illaa min dharii'.
"Tidak ada makanan bagi mereka selain dari pohon yang berduri,"
لَّا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِيْ مِنْ جُوْعٍ ۗ
Laa yusminu wa laa yughnii min juu'.
"yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar."
وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاعِمَةٌ ۙ
Wujuuhuy yauma-idzin naa'imah.
"Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri,"
لِّسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ ۙ
Lisa'yihaa raadhiyah.
"merasa puas karena usahanya (dahulu di dunia),"
فِيْ جَنَّةٍ عَالِيَةٍ ۙ
Fii jannatin 'aaliyah.
"berada dalam surga yang tinggi,"
لَّا تَسْمَعُ فِيْهَا لَاغِيَةً ۗ
Laa tasma'u fiihaa laaghiyah.
"di sana engkau tidak mendengar perkataan yang tidak berguna."
فِيْهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ ۘ
Fiihaa 'ainun jaariyah.
"Di sana ada mata air yang mengalir."
فِيْهَا سُرُرٌ مَّرْفُوْعَةٌ ۙ
Fiihaa sururum marfuu'ah.
"Di sana ada dipan-dipan yang ditinggikan,"
وَّاَكْوَابٌ مَّوْضُوْعَةٌ ۙ
Wa akwaabum maudhuu'ah.
"dan gelas-gelas yang tersedia (di dekatnya),"
وَّنَمَارِقُ مَصْفُوْفَةٌ ۙ
Wa namaariqu mashfuufah.
"dan bantal-bantal sandaran yang tersusun,"
وَّزَرَابِيُّ مَبْثُوْثَةٌ ۗ
Wa zaraabiyyu mabtsuutsah.
"dan permadani-permadani yang terhampar."
اَفَلَا يَنْظُرُوْنَ اِلَى الْاِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْۗ
Afalaa yanzhuruuna ilal ibili kaifa khuliqat.
"Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan?"
وَاِلَى السَّمَاۤءِ كَيْفَ رُفِعَتْۗ
Wa ilas samaa-i kaifa rufi'at.
"Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?"
وَاِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْۗ
Wa ilal jibaali kaifa nushibat.
"Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan?"
وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْۗ
Wa ilal ardhi kaifa suthihat.
"Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?"
فَذَكِّرْ اِنَّمَآ اَنْتَ مُذَكِّرٌۗ
Fadzakkir innamaa anta mudzakkir.
"Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan."
لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍۙ
Lasta 'alaihim bimusaithir.
"Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,"
اِلَّا مَنْ تَوَلّٰى وَكَفَرَۙ
Illaa man tawallaa wa kafar.
"kecuali (jika ada) orang yang berpaling dan kafir,"
فَيُعَذِّبُهُ اللّٰهُ الْعَذَابَ الْاَكْبَرَۗ
Fa yu'adzdzibuhullaahul 'adzaabal akbar.
"maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang paling besar."
اِنَّ اِلَيْنَآ اِيَابَهُمْ
Inna ilainaa iyaabahum.
"Sungguh, kepada Kamilah mereka kembali,"
ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ
Tsumma inna 'alainaa hisaabahum.
"kemudian sesungguhnya (kewajiban) Kamilah membuat perhitungan atas mereka."
Tafsir dan Kandungan Mendalam Surat Al-Ghasyiyah
Untuk memahami pesan-pesan agung di balik setiap ayat, mari kita selami tafsir dan makna yang terkandung di dalamnya. Surat ini membawa kita dalam sebuah perjalanan spiritual, dari kengerian Hari Kiamat hingga ketenangan surga, dan diakhiri dengan perenungan atas kebesaran Allah di alam semesta.
Kelompok Ayat 1-7: Peringatan Dahsyat dan Potret Ahli Neraka
هَلْ اَتٰىكَ حَدِيْثُ الْغَاشِيَةِۗ
Hal ataaka hadiitsul ghaasyiyah.
"Sudahkah sampai kepadamu berita tentang (hari Kiamat) yang menutupi?"
Ayat pertama ini dibuka dengan sebuah pertanyaan retoris yang kuat, ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh umat manusia. Gaya bahasa ini bertujuan untuk menarik perhatian secara penuh, seolah-olah sebuah berita yang sangat penting akan segera disampaikan. Kata "Al-Ghasyiyah" secara harfiah berarti "yang menutupi". Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ia merujuk pada Hari Kiamat karena kedahsyatannya akan menutupi segala sesuatu. Kengeriannya meliputi seluruh makhluk, menutupi akal pikiran mereka dengan ketakutan yang luar biasa. Pertanyaan "Sudahkah sampai kepadamu?" menyiratkan bahwa berita ini adalah sesuatu yang baru, luar biasa, dan belum pernah terbayangkan sebelumnya oleh manusia. Ini adalah sebuah pengantar yang efektif untuk membangun suasana tegang dan serius, mempersiapkan pendengar atau pembaca untuk menerima deskripsi-deskripsi berikutnya yang akan mengguncang jiwa.
وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ خَاشِعَةٌ ۙ عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ ۙ
Wujuuhuy yauma-idzin khaasyi'ah. 'Aamilatun naashibah.
"Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina, bekerja keras lagi kepayahan,"
Ayat 2 dan 3 mulai melukiskan keadaan golongan pertama: para penghuni neraka. "Wajah yang tertunduk hina" (khaasyi'ah) menggambarkan kondisi psikologis yang hancur. Wajah adalah cerminan kemuliaan seseorang, dan ketika wajah tertunduk, itu menandakan kekalahan total, penyesalan yang mendalam, dan kehinaan yang tak terhingga. Mereka tidak mampu mengangkat kepala karena rasa malu dan takut atas perbuatan mereka di dunia.
Frasa "'Aamilatun naashibah" (bekerja keras lagi kepayahan) memiliki beberapa penafsiran. Pertama, ini merujuk pada amal perbuatan mereka di dunia. Mereka mungkin telah bekerja keras, bersusah payah membangun kekayaan, mengejar kekuasaan, atau bahkan beribadah menurut cara mereka sendiri, namun semua itu sia-sia karena tidak didasari oleh iman yang benar kepada Allah. Usaha mereka tidak diterima dan justru menjadi bumerang di akhirat. Kedua, ini bisa merujuk pada kondisi mereka di dalam neraka itu sendiri. Mereka dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sangat berat dan menyiksa, seperti menyeret rantai-rantai yang membara atau mendaki gunung api, sebuah siksaan fisik yang tiada henti di atas penderitaan batin mereka.
تَصْلٰى نَارًا حَامِيَةً ۙ تُسْقٰى مِنْ عَيْنٍ اٰنِيَةٍ ۗ
Tashlaa naaran haamiyah. Tusqaa min 'ainin aaniyah.
"mereka memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum dari sumber mata air yang sangat panas."
Setelah menggambarkan keadaan fisik dan psikologis mereka, ayat 4 dan 5 menjelaskan tempat kembali dan "hidangan" yang mereka terima. "Naaran haamiyah" berarti api yang panasnya telah mencapai puncaknya, jauh melampaui panas api duniawi. Kata "tashlaa" menyiratkan bahwa mereka tidak hanya tersentuh api, tetapi benar-benar diliputi dan dipanggang di dalamnya. Ini adalah gambaran siksaan yang total dan menyeluruh.
Ketika mereka merasakan haus yang tak tertahankan akibat panasnya api, mereka diberi minum. Namun, minuman itu bukanlah pelepas dahaga, melainkan "'ainin aaniyah", yaitu sumber mata air yang airnya mendidih pada titik tertinggi. Minuman ini, ketika diminum, akan menghancurkan organ-organ dalam mereka, menambah penderitaan di atas penderitaan. Ini adalah ironi yang menyakitkan: apa yang seharusnya memberikan kelegaan justru menjadi sumber siksaan baru.
لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ اِلَّا مِنْ ضَرِيْعٍ ۙ لَّا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِيْ مِنْ جُوْعٍ ۗ
Laisa lahum tha'aamun illaa min dharii'. Laa yusminu wa laa yughnii min juu'.
"Tidak ada makanan bagi mereka selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar."
Ayat 6 dan 7 melengkapi gambaran penderitaan dengan deskripsi makanan mereka. Makanan satu-satunya adalah "Dhari'". Para ahli tafsir menggambarkan Dhari' sebagai sejenis pohon berduri yang sangat pahit, berbau busuk, dan tidak bisa dimakan oleh binatang sekalipun saat masih di dunia. Di neraka, kondisinya tentu jauh lebih buruk. Makanan ini memiliki dua sifat yang paradoks dan menyiksa: "laa yusminu" (tidak menggemukkan) dan "wa laa yughnii min juu'" (tidak menghilangkan lapar).
Ini adalah puncak dari kesengsaraan. Mereka makan karena dorongan rasa lapar yang luar biasa, namun setiap suapan hanya menyiksa kerongkongan dan perut mereka dengan duri-duri yang tajam. Lebih dari itu, makanan tersebut sama sekali tidak memberikan nutrisi atau energi, dan tidak sedikit pun mengurangi rasa lapar mereka. Mereka terjebak dalam siklus abadi: lapar, makan makanan yang menyakitkan, dan tetap merasa lapar. Ini adalah gambaran keputusasaan total di mana kebutuhan paling mendasar manusia (makan dan minum) berubah menjadi instrumen siksaan yang tak berkesudahan.
Kelompok Ayat 8-16: Pesona Kenikmatan Abadi Ahli Surga
وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاعِمَةٌ ۙ لِّسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ ۙ
Wujuuhuy yauma-idzin naa'imah. Lisa'yihaa raadhiyah.
"Pada hari itu banyak (pula) wajah yang berseri-seri, merasa puas karena usahanya (dahulu di dunia),"
Setelah deskripsi yang mengerikan, surat ini beralih 180 derajat untuk menampilkan potret yang penuh kebahagiaan. Ayat 8 dan 9 menggambarkan golongan kedua: para penghuni surga. Jika wajah ahli neraka tertunduk hina, maka wajah ahli surga "naa'imah"—berseri-seri, bercahaya, dan memancarkan kebahagiaan serta kenikmatan. Wajah mereka adalah cerminan dari ketenangan jiwa dan kebahagiaan hakiki yang mereka rasakan.
Sumber kebahagiaan ini adalah "lisa'yihaa raadhiyah", yaitu mereka merasa ridha dan puas atas usaha (sa'yi) mereka selama di dunia. Setiap lelah dalam beribadah, setiap pengorbanan dalam menahan hawa nafsu, setiap kesulitan dalam berbuat baik, kini terbayar lunas dengan balasan yang jauh lebih indah. Tidak ada sedikit pun penyesalan. Mereka melihat hasil dari amal saleh mereka dan merasakan kepuasan yang tiada tara. Ini mengajarkan bahwa setiap usaha di jalan Allah, sekecil apa pun, tidak akan pernah sia-sia.
فِيْ جَنَّةٍ عَالِيَةٍ ۙ لَّا تَسْمَعُ فِيْهَا لَاغِيَةً ۗ
Fii jannatin 'aaliyah. Laa tasma'u fiihaa laaghiyah.
"berada dalam surga yang tinggi, di sana engkau tidak mendengar perkataan yang tidak berguna."
Ayat 10 dan 11 menjelaskan lokasi dan suasana tempat tinggal mereka. "Fii jannatin 'aaliyah" berarti di dalam surga yang tinggi. Ketinggian ini memiliki dua makna: makna fisik, yaitu surga berada di tempat yang mulia dan terhormat; dan makna status, yaitu para penghuninya memiliki derajat dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Ini adalah tempat kemuliaan yang sempurna.
Suasana di dalamnya digambarkan dengan frasa "laa tasma'u fiihaa laaghiyah". Di surga, tidak ada lagi perkataan yang sia-sia, omong kosong, kebohongan, caci maki, ghibah, atau kata-kata menyakitkan lainnya yang sering kita temui di dunia. Seluruh percakapan di surga adalah percakapan yang baik, penuh kedamaian, salam, dan pujian kepada Allah. Ini adalah kenikmatan psikologis yang luar biasa, di mana jiwa benar-benar merasakan ketenangan total tanpa adanya polusi suara atau kata-kata negatif.
فِيْهَا عَيْنٌ جَارِيَةٌ ۘ فِيْهَا سُرُرٌ مَّرْفُوْعَةٌ ۙ وَّاَكْوَابٌ مَّوْضُوْعَةٌ ۙ وَّنَمَارِقُ مَصْفُوْفَةٌ ۙ وَّزَرَابِيُّ مَبْثُوْثَةٌ ۗ
Fiihaa 'ainun jaariyah. Fiihaa sururum marfuu'ah. Wa akwaabum maudhuu'ah. Wa namaariqu mashfuufah. Wa zaraabiyyu mabtsuutsah.
"Di sana ada mata air yang mengalir. Di sana ada dipan-dipan yang ditinggikan, dan gelas-gelas yang tersedia (di dekatnya), dan bantal-bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar."
Ayat 12 hingga 16 merinci kenikmatan-kenikmatan fisik yang ada di surga, menciptakan gambaran sebuah istana yang penuh kemewahan dan kenyamanan.
- 'Ainun jaariyah (mata air yang mengalir): Berbeda dengan mata air neraka yang mendidih, mata air surga mengalirkan minuman yang lezat dan menyegarkan, seperti susu, madu, dan khamr yang tidak memabukkan. Keberadaannya yang terus mengalir melambangkan kenikmatan yang tak pernah putus.
- Sururum marfuu'ah (dipan-dipan yang ditinggikan): Ini adalah tempat-tempat duduk dan berbaring yang empuk, nyaman, dan diletakkan di posisi yang tinggi, melambangkan kemuliaan dan kehormatan para penghuninya.
- Akwaabum maudhuu'ah (gelas-gelas yang tersedia): Gelas-gelas indah selalu tersedia di dekat mereka, siap diisi dengan minuman surga kapan pun mereka mau, tanpa perlu meminta atau bersusah payah. Ini adalah simbol pelayanan dan kemudahan yang sempurna.
- Namaariqu mashfuufah (bantal-bantal yang tersusun): Menambah gambaran kenyamanan, bantal-bantal empuk tersusun rapi, siap untuk mereka bersandar dan bersantai dalam keadaan paling rileks.
- Zaraabiyyu mabtsuutsah (permadani yang terhampar): Lantai surga dilapisi dengan permadani-permadani mewah yang terhampar luas, menciptakan suasana yang agung, indah, dan nyaman untuk dipandang maupun dipijak.
Kelompok Ayat 17-20: Ajakan Merenungi Tanda Kebesaran Allah
اَفَلَا يَنْظُرُوْنَ اِلَى الْاِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْۗ وَاِلَى السَّمَاۤءِ كَيْفَ رُفِعَتْۗ وَاِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْۗ وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْۗ
Afalaa yanzhuruuna ilal ibili kaifa khuliqat. Wa ilas samaa-i kaifa rufi'at. Wa ilal jibaali kaifa nushibat. Wa ilal ardhi kaifa suthihat.
"Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?"
Setelah memaparkan balasan di akhirat, Allah SWT mengalihkan perhatian kita kembali ke dunia. Ayat 17 hingga 20 adalah sebuah teguran lembut sekaligus ajakan untuk menggunakan akal dan pengamatan. Pertanyaan "Afalaa yanzhuruun" (Maka tidakkah mereka memperhatikan?) mendorong kita untuk berpikir kritis tentang alam di sekitar kita sebagai bukti keberadaan dan kekuasaan Sang Pencipta. Empat contoh yang diberikan sangat relevan, terutama bagi masyarakat Arab pada masa itu, namun universal dalam pesannya.
1. Unta (Al-Ibil): Mengapa unta? Karena unta adalah "kapal padang pasir", makhluk yang desainnya sangat menakjubkan dan vital bagi kehidupan di gurun. Perhatikan bagaimana ia diciptakan: kakinya yang lebar agar tidak terperosok di pasir, punuknya untuk menyimpan cadangan makanan, bulu matanya yang panjang untuk melindungi dari debu, serta kemampuannya bertahan hidup berhari-hari tanpa air. Penciptaan unta yang begitu sempurna untuk lingkungannya adalah bukti nyata adanya Pencipta yang Maha Cerdas dan Maha Mengetahui.
2. Langit (As-Samaa'): Kemudian kita diajak memandang ke atas. Langit yang terbentang luas, ditinggikan tanpa tiang yang terlihat, dihiasi matahari, bulan, dan bintang dalam orbit yang teratur. Bagaimana semua ini bisa ada dan berfungsi dengan presisi yang luar biasa tanpa ada kekuatan yang mengaturnya? Ini adalah tanda kekuasaan Allah yang Mahabesar.
3. Gunung (Al-Jibal): Pandangan lalu dialihkan ke gunung-gunung yang kokoh. Bagaimana ia ditegakkan (nushibat)? Ilmu pengetahuan modern menjelaskan fungsi gunung sebagai pasak bumi, yang menstabilkan lempeng tektonik. Keberadaannya yang megah dan fungsinya yang vital adalah bukti kekuatan dan kebijaksanaan Allah dalam merancang bumi.
4. Bumi (Al-Ardh): Terakhir, kita diminta memperhatikan bumi tempat kita berpijak. Bagaimana ia dihamparkan (suthihat)? Allah menjadikannya terhampar luas dan layak untuk dihuni, dengan segala sumber daya yang kita butuhkan untuk hidup. Dari tanah yang subur hingga lautan yang luas, semuanya ditata dengan sempurna. Merenungkan empat hal ini seharusnya cukup untuk membawa seseorang pada kesimpulan bahwa alam semesta ini tidak mungkin ada secara kebetulan, dan pasti ada Pencipta di baliknya.
Kelompok Ayat 21-26: Penegasan Misi Kerasulan dan Kepastian Hari Perhitungan
فَذَكِّرْ اِنَّمَآ اَنْتَ مُذَكِّرٌۗ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍۙ
Fadzakkir innamaa anta mudzakkir. Lasta 'alaihim bimusaithir.
"Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,"
Setelah menyajikan bukti-bukti logis dari alam semesta, Allah menegaskan tugas utama Nabi Muhammad SAW. "Fadzakkir" (maka berilah peringatan). Tugas seorang rasul adalah menyampaikan risalah, mengingatkan manusia tentang tujuan hidup mereka, tentang akhirat, dan tentang tanggung jawab mereka kepada Allah. Peran ini ditegaskan dengan frasa "innamaa anta mudzakkir" (sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan).
Ayat berikutnya, "Lasta 'alaihim bimusaithir", memperjelas batasan tugas tersebut. Nabi bukanlah seorang "musaithir", yaitu penguasa, diktator, atau pemaksa yang bisa mengontrol hati manusia dan memaksa mereka untuk beriman. Hidayah adalah murni hak prerogatif Allah. Ini adalah prinsip dasar dalam dakwah Islam: tidak ada paksaan dalam beragama. Tugas kita adalah menyampaikan kebenaran dengan cara terbaik, sedangkan hasilnya kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. Ini juga menjadi penghiburan bagi Nabi dan para pendakwah agar tidak berkecil hati jika dakwah mereka ditolak.
اِلَّا مَنْ تَوَلّٰى وَكَفَرَۙ فَيُعَذِّبُهُ اللّٰهُ الْعَذَابَ الْاَكْبَرَۗ
Illaa man tawallaa wa kafar. Fa yu'adzdzibuhullaahul 'adzaabal akbar.
"kecuali (jika ada) orang yang berpaling dan kafir, maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang paling besar."
Ayat 23 dan 24 memberikan pengecualian atau konsekuensi bagi mereka yang menolak peringatan. "Tawallaa" berarti berpaling dengan sengaja, sementara "kafar" berarti mengingkari atau menutupi kebenaran. Bagi mereka yang setelah diberi peringatan justru secara sadar memilih untuk berpaling dan tetap dalam kekafiran, maka urusan mereka tidak lagi dengan sang pemberi peringatan, melainkan langsung dengan Allah SWT.
Konsekuensinya sangat berat: "maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang paling besar ('adzaabal akbar)". Azab yang paling besar ini adalah siksa neraka yang abadi, yang telah digambarkan di awal surat. Ini adalah penegasan bahwa kebebasan memilih yang diberikan kepada manusia datang bersama dengan tanggung jawab yang besar. Pilihan untuk ingkar akan berujung pada konsekuensi yang setimpal.
اِنَّ اِلَيْنَآ اِيَابَهُمْ ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ
Inna ilainaa iyaabahum. Tsumma inna 'alainaa hisaabahum.
"Sungguh, kepada Kamilah mereka kembali, kemudian sesungguhnya (kewajiban) Kamilah membuat perhitungan atas mereka."
Surat ini ditutup dengan dua ayat yang sangat kuat dan menjadi penegasan final. "Inna ilainaa iyaabahum" (Sungguh, kepada Kamilah mereka kembali). Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada jalan lari. Ke mana pun manusia pergi, apa pun yang mereka capai di dunia, pada akhirnya mereka semua pasti akan kembali kepada Allah. Kematian adalah gerbang kepulangan yang tak bisa dihindari oleh siapa pun.
Setelah kembali, apa yang terjadi? "Tsumma inna 'alainaa hisaabahum" (kemudian sesungguhnya Kamilah yang akan membuat perhitungan atas mereka). Ini adalah puncak dari segalanya. Allah sendiri yang akan menjadi hakim. Perhitungan (hisab) akan dilakukan dengan keadilan yang mutlak. Setiap perbuatan, baik besar maupun kecil, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, akan ditimbang. Tidak ada satu pun yang akan terlewat. Dua ayat penutup ini merangkum seluruh pesan surat: adanya kepastian akan hari kembali dan hari perhitungan, yang seharusnya menjadi motivasi terbesar bagi manusia untuk mempersiapkan diri dengan iman dan amal saleh.
Secara keseluruhan, pemahaman terhadap surat al ghasyiyah latin, Arab, dan tafsirnya memberikan kita sebuah peta perjalanan hidup yang lengkap: peringatan akan akibat dari kelalaian, gambaran indah akan hasil dari ketaatan, ajakan untuk berpikir dan merenung, serta penegasan akan akhir dari semua perjalanan, yaitu kembali dan dihisab oleh Allah SWT.