Tadabbur Surat Al-Humazah: Ancaman Bagi Pengumpat dan Pencela
Sebuah perenungan mendalam terhadap Surat Al-Humazah, surat ke-104 dalam Al-Qur'an. Surat ini membawa pesan universal tentang bahaya lisan, kesombongan akibat harta, dan balasan yang setimpal bagi mereka yang melampaui batas.
Surat Al-Humazah (Pengumpat) adalah salah satu surat pendek dalam juz 'Amma yang diturunkan di Mekkah (Makkiyah). Meskipun hanya terdiri dari sembilan ayat, surat ini mengandung teguran yang sangat keras dan ancaman yang mengerikan bagi tipe manusia tertentu. Surat ini membongkar dua penyakit hati yang saling berkaitan: kebiasaan mencela orang lain dan kesombongan yang lahir dari kecintaan berlebihan terhadap harta. Keduanya merupakan manifestasi dari jiwa yang lupa akan hakikat kehidupan dan kepastian hari pembalasan. Melalui surat ini, Allah SWT memberikan peringatan yang tegas agar manusia menjauhi sifat-sifat tercela ini sebelum terlambat.
Surat ini menjadi cermin bagi kita untuk merefleksikan interaksi sosial dan cara kita memandang kekayaan materi. Ia mengajak kita untuk melakukan introspeksi mendalam: apakah lisan dan perbuatan kita menyakiti orang lain? Apakah hati kita telah terjangkiti oleh kebanggaan semu atas apa yang kita miliki? Memahami setiap ayatnya adalah langkah awal untuk membersihkan diri dari karakter buruk yang dapat menjerumuskan ke dalam azab yang pedih, yaitu Neraka Hutamah.
Bacaan Surat Al Humazah Latin, Arab, dan Terjemahan
Berikut ini adalah bacaan lengkap Surat Al-Humazah, disajikan ayat per ayat dalam tulisan Arab, transliterasi Latin untuk kemudahan pelafalan, serta terjemahan dalam Bahasa Indonesia.
وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ
Wailul likulli humazatil lumazah.
1. Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela,
الَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَهٗۙ
Allażī jama'a mālaw wa 'addadah.
2. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,
يَحْسَبُ اَنَّ مَالَهٗٓ اَخْلَدَهٗۚ
Yaḥsabu anna mālahū akhladah.
3. dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.
كَلَّاۗ لَيُنْۢبَذَنَّ فِى الْحُطَمَةِۖ
Kallā, layumbażanna fil-ḥuṭamah.
4. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Hutamah.
وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْحُطَمَةُۗ
Wa mā adrāka mal-ḥuṭamah.
5. Dan tahukah kamu apakah (neraka) Hutamah itu?
نَارُ اللّٰهِ الْمُوْقَدَةُۙ
Nārullāhil-mūqadah.
6. (Yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan,
الَّتِيْ تَطَّلِعُ عَلَى الْاَفْـِٕدَةِۗ
Allatī taṭṭali'u 'alal-af'idah.
7. yang (membakar) sampai ke hati.
اِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُّؤْصَدَةٌۙ
Innahā 'alaihim mu'ṣadah.
8. Sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka,
فِيْ عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ
Fī 'amadim mumaddadah.
9. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.
Tafsir dan Kandungan Mendalam Surat Al-Humazah
Untuk memahami pesan yang terkandung, kita perlu menyelami makna setiap ayatnya. Surat ini, meskipun singkat, memiliki struktur yang kuat, dimulai dari identifikasi penyakit, analisis akar masalahnya, hingga deskripsi hukuman yang setimpal.
Tafsir Ayat 1: Wailul likulli humazatil lumazah
"Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela,"
Ayat pertama langsung dibuka dengan kata "Wail" (وَيْلٌ), sebuah kata dalam bahasa Arab yang mengandung makna ancaman kecelakaan besar, kebinasaan, atau sebuah lembah di neraka Jahannam. Ini adalah permulaan yang sangat keras, menunjukkan betapa besarnya dosa yang akan dijelaskan. Allah tidak memulai dengan nasihat lembut, melainkan dengan kutukan langsung untuk menyentak kesadaran manusia.
Siapakah yang dituju oleh ancaman ini? Yaitu "likulli humazatil lumazah" (bagi setiap pengumpat dan pencela). Para ulama tafsir menjelaskan perbedaan antara dua kata ini:
- Humazah (هُمَزَةٍ): Merujuk pada tindakan mengumpat atau ghibah (membicarakan keburukan orang lain di belakangnya). Ini bisa dilakukan melalui lisan, tulisan, atau bahkan isyarat mata dan gerakan tubuh yang merendahkan. Sifat ini merusak kehormatan seseorang saat ia tidak ada untuk membela diri.
- Lumazah (لُّمَزَةٍ): Merujuk pada tindakan mencela secara langsung di hadapan orangnya. Ini adalah penghinaan terang-terangan, mencari-cari kesalahan, dan mengejek untuk menjatuhkan mental seseorang. Sifat ini menghancurkan rasa percaya diri dan menyakiti perasaan secara langsung.
Penggunaan kedua kata ini secara bersamaan menunjukkan bahwa ancaman "Wail" berlaku bagi segala bentuk perbuatan yang merendahkan martabat manusia, baik dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Ini adalah dosa sosial yang merusak tatanan masyarakat, menyebar kebencian, dan memutus tali silaturahmi. Orang yang memiliki sifat ini merasa dirinya lebih unggul sehingga berhak menghakimi dan merendahkan orang lain.
Tafsir Ayat 2: Allażī jama'a mālaw wa 'addadah
"yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,"
Ayat kedua ini mengungkap akar dari perilaku tercela pada ayat pertama. Mengapa seseorang menjadi pengumpat dan pencela? Salah satu pendorong utamanya adalah kesombongan yang lahir dari harta. Ayat ini menggambarkan sosok yang fokus hidupnya adalah "jama'a mālan" (mengumpulkan harta) dan "wa 'addadah" (dan menghitung-hitungnya).
Frasa ini bukan sekadar tentang menjadi kaya. Islam tidak melarang kekayaan. Namun, yang dikecam di sini adalah mentalitas di baliknya. Kata "jama'a" menyiratkan tindakan menumpuk dan menimbun tanpa henti, didorong oleh ketamakan. Sementara kata "'addadah" menggambarkan obsesi. Ia tidak hanya mengumpulkan, tetapi juga terus-menerus menghitungnya, berbangga dengan jumlahnya, dan merasa aman karena hartanya. Hartanya bukan lagi menjadi sarana untuk kebaikan, tetapi telah menjadi tujuan hidup itu sendiri. Obsesi inilah yang membuatnya merasa lebih superior dari orang lain, terutama mereka yang secara materi berada di bawahnya. Dari rasa superioritas inilah lahir perilaku meremehkan, mengumpat, dan mencela orang lain. Ia merasa status sosialnya yang tinggi memberinya lisensi untuk menghakimi sesama.
Tafsir Ayat 3: Yaḥsabu anna mālahū akhladah
"dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya."
Inilah puncak delusi dari si penumpuk harta. Ayat ini membongkar keyakinan keliru yang tertanam dalam benaknya: "yaḥsabu anna mālahū akhladah" (dia mengira hartanya akan mengekalkannya). Kata "yaḥsabu" berarti mengira, menyangka, sebuah keyakinan yang tidak berdasar pada realitas.
Dia tertipu oleh gemerlap dunia. Dia berpikir bahwa dengan hartanya, ia bisa membeli segalanya: kekuasaan, pengaruh, kesehatan, dan bahkan mungkin kehidupan abadi. Dia lupa pada keniscayaan kematian. Baginya, harta adalah benteng yang akan melindunginya dari segala marabahaya, termasuk dari ketuaan dan kefanaan. Ini adalah bentuk kesyirikan modern, di mana seseorang menggantungkan rasa aman dan harapannya pada materi, bukan pada Allah SWT. Keyakinan sesat inilah yang membuatnya semakin sombong dan jauh dari mengingat akhirat. Jika ia yakin hartanya bisa mengekalkannya, untuk apa ia berbuat baik? Untuk apa ia mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati? Logika inilah yang membuatnya enteng melakukan dosa seperti mengumpat dan mencela, karena ia merasa "aman" di balik tumpukan hartanya.
Tafsir Ayat 4: Kallā, layumbażanna fil-ḥuṭamah
"Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Hutamah."
Ayat ini datang sebagai bantahan telak dan tegas terhadap delusi pada ayat sebelumnya. Dimulai dengan kata "Kallā" (كَلَّا), sebuah partikel penolakan yang sangat kuat. Artinya, "sekali-kali tidak!", "hentikan pikiran itu!". Ini adalah guncangan keras untuk menyadarkan si pelaku dari angan-angan kosongnya.
Kemudian, datanglah kepastian hukuman: "layumbażanna fil-ḥuṭamah" (pasti dia akan dilemparkan ke dalam Hutamah). Kata "layumbażanna" menggunakan bentuk gramatikal yang sangat ditekankan (dengan huruf lam dan nun taukid), yang berarti "benar-benar, sungguh-sungguh akan dilemparkan". Tindakan "dilemparkan" menyiratkan kehinaan. Sesuatu yang berharga tidak akan dilempar, melainkan diletakkan dengan baik. Ini menunjukkan bahwa di akhirat, dia dan hartanya yang ia banggakan tidak memiliki nilai sama sekali. Ia akan dicampakkan begitu saja ke dalam Neraka Hutamah. Nama "Hutamah" berasal dari akar kata "hatama" yang berarti menghancurkan, meremukkan hingga berkeping-keping. Nama ini sendiri sudah memberi gambaran betapa dahsyatnya siksaan di dalamnya.
Tafsir Ayat 5 & 6: Wa mā adrāka mal-ḥuṭamah? Nārullāhil-mūqadah
"Dan tahukah kamu apakah (neraka) Hutamah itu? (Yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan,"
Untuk menekankan kedahsyatan Hutamah, Allah menggunakan gaya bahasa pertanyaan retoris: "Wa mā adrāka mal-ḥuṭamah?" (Dan apa yang membuatmu tahu apa itu Hutamah?). Gaya bahasa ini digunakan dalam Al-Qur'an untuk menjelaskan sesuatu yang berada di luar jangkauan imajinasi dan pengetahuan manusia. Ini mengisyaratkan bahwa sekeras apa pun manusia mencoba membayangkan kengerian Hutamah, kenyataannya akan jauh lebih mengerikan.
Ayat keenam langsung memberikan jawabannya: "Nārullāhil-mūqadah" (Api Allah yang dinyalakan). Ada dua hal penting di sini. Pertama, api ini disandarkan langsung kepada Allah (Nārullāh). Ini bukan api biasa seperti api dunia. Ini adalah api yang diciptakan secara khusus oleh Allah untuk menyiksa, dengan sifat dan kekuatan yang hanya Dia yang tahu. Kedua, kata "al-mūqadah" berarti api yang terus-menerus menyala dan tidak akan pernah padam. Ia berkobar dengan dahsyatnya, siap melahap siapa saja yang dilemparkan ke dalamnya.
Tafsir Ayat 7: Allatī taṭṭali'u 'alal-af'idah
"yang (membakar) sampai ke hati."
Inilah sifat paling mengerikan dari api Hutamah yang membedakannya dari api dunia. "Allatī taṭṭali'u 'alal-af'idah" (yang naik membakar sampai ke hati). Api dunia membakar dari luar ke dalam; membakar kulit, lalu daging, lalu tulang. Namun, api Hutamah memiliki kemampuan menembus tubuh fisik dan langsung membakar "al-af'idah", bentuk jamak dari "fu'ad", yang berarti hati nurani atau pusat kesadaran, emosi, dan niat.
Ini adalah hukuman yang sangat setimpal. Mengapa hati? Karena hati adalah sumber dari segala penyakit yang disebutkan di awal surat. Di dalam hatilah bersemayam kesombongan, ketamakan, dan niat buruk untuk merendahkan orang lain. Maka, Allah membalasnya dengan azab yang langsung menyasar sumber penyakit tersebut. Siksaan ini bukan hanya siksaan fisik, tetapi juga siksaan batin yang luar biasa pedihnya. Rasa sakitnya menembus hingga ke pusat eksistensi seorang manusia, tempat di mana ia merasakan, berpikir, dan berniat.
Tafsir Ayat 8 & 9: Innahā 'alaihim mu'ṣadah, Fī 'amadim mumaddadah
"Sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka, (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang."
Dua ayat terakhir ini menggambarkan kondisi para penghuni Hutamah yang terkunci tanpa harapan untuk bisa keluar. "Innahā 'alaihim mu'ṣadah" (Sungguh, api itu ditutup rapat atas diri mereka). Kata "mu'ṣadah" berarti tertutup rapat, terkunci, dan disegel dari segala arah. Tidak ada celah sedikit pun untuk melarikan diri atau sekadar mendapatkan hembusan udara dari luar. Ini adalah gambaran keputusasaan total.
Selanjutnya, "Fī 'amadim mumaddadah" (dalam tiang-tiang yang dipanjangkan/menjulang tinggi). Para ahli tafsir memberikan beberapa penafsiran mengenai ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa mereka diikat pada tiang-tiang yang sangat panjang di dalam neraka. Ada pula yang menafsirkan bahwa "tiang-tiang" ini adalah pasak-pasak atau palang-palang raksasa yang digunakan untuk mengunci gerbang neraka sehingga tidak mungkin bisa dibuka. Apapun penafsirannya, gambaran yang muncul adalah siksaan yang diperkuat dengan pengurungan abadi. Mereka terperangkap, terhina, dan tidak memiliki harapan sama sekali, sebuah balasan yang setimpal bagi mereka yang di dunia merasa begitu bebas dan berkuasa untuk menghina dan merendahkan ciptaan Allah lainnya.
Pelajaran dan Relevansi Surat Al-Humazah di Era Modern
Meskipun diturunkan berabad-abad yang lalu, pesan Surat Al-Humazah sangat relevan dengan kondisi masyarakat modern. Beberapa pelajaran penting yang bisa kita petik antara lain:
- Bahaya Lisan dan Tulisan di Era Digital: Perilaku humazah dan lumazah saat ini telah berevolusi ke dalam bentuk baru: cyberbullying, komentar kebencian di media sosial, menyebar hoaks untuk menjatuhkan reputasi seseorang, dan budaya "cancel culture" yang menghakimi tanpa adab. Surat ini menjadi pengingat keras bahwa setiap kata yang kita ketik memiliki pertanggungjawaban yang sama beratnya dengan ucapan lisan.
- Kritik Keras Terhadap Materialisme: Masyarakat modern seringkali mengukur kesuksesan dan nilai seseorang dari kekayaan materi yang dimilikinya. Surat ini mengkritik pandangan hidup materialistis yang membuat manusia lupa pada tujuan penciptaannya. Ia mengingatkan bahwa harta bukanlah segalanya dan tidak akan pernah bisa membeli keabadian. Ketenangan sejati datang dari keimanan, bukan dari tumpukan harta.
- Pentingnya Menjaga Kehormatan Orang Lain: Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan seorang muslim. Mengumpat dan mencela adalah serangan langsung terhadap kehormatan tersebut. Surat ini mengajarkan kita untuk menjaga lisan, menghargai sesama, dan menutupi aib saudara kita, bukan malah mencari-cari dan menyebarkannya.
- Mengingat Kematian sebagai Pemutus Angan-angan: Delusi bahwa harta dapat mengekalkan adalah penyakit yang hanya bisa diobati dengan mengingat kematian. Dengan menyadari bahwa kita semua akan kembali kepada Allah dan meninggalkan semua yang kita miliki, kita akan lebih rendah hati dan lebih fokus pada pengumpulan bekal amal saleh, bukan bekal materi semata.
Kesimpulan
Surat Al-Humazah adalah sebuah peringatan yang agung dari Allah SWT. Ia melukiskan dengan jelas potret manusia yang celaka: mereka yang lisannya tajam menyakiti sesama, hatinya dibutakan oleh cinta dunia, dan akalnya tertipu oleh angan-angan keabadian fana. Surat ini juga memberikan gambaran yang sangat detail dan mengerikan tentang balasan yang akan mereka terima, yaitu Neraka Hutamah, api Allah yang membakar hingga ke lubuk hati, dalam keadaan terkunci rapat tanpa harapan.
Semoga dengan merenungkan surat Al Humazah latin dan maknanya, kita dapat membersihkan diri dari sifat-sifat tercela tersebut. Semoga kita dijadikan hamba-hamba yang senantiasa menjaga lisan, rendah hati dalam kekayaan, serta selalu mengingat bahwa kehidupan sejati dan abadi hanyalah di akhirat kelak.