Keagungan Sabar dan Puncak Tawakkal: Tafsir Mendalam Surah Yusuf Ayat 86

Ilustrasi Kesedihan dan Harapan Siluet seorang hamba yang bersandar pada tongkat, menggambarkan Nabi Yaqub AS dalam kesedihan yang mendalam namun tetap menengadah ke langit, simbol tawakkal.

Surah Yusuf, yang seluruhnya didedikasikan untuk menceritakan kisah Nabi Yusuf alaihissalam, sering disebut sebagai ‘Ahsan al-Qasas’ atau ‘Kisah yang Paling Indah’. Keindahan ini bukan hanya terletak pada alur cerita yang menakjubkan, penuh intrik, pengkhianatan, dan pemulihan, tetapi juga pada pelajaran spiritual dan emosional yang mendalam yang disajikan. Di antara mutiara-mutiara kebijaksanaan dalam surah ini, Ayat 86 berdiri tegak sebagai mercusuar keimanan, kesabaran, dan kepercayaan mutlak (tawakkal) seorang hamba terhadap Penciptanya, yang diucapkan oleh Nabi Yaqub alaihissalam.

Ayat ini muncul pada titik terendah dalam kehidupan Nabi Yaqub. Setelah kehilangan Yusuf bertahun-tahun sebelumnya, kini putra kesayangannya yang lain, Binyamin, ditahan di Mesir. Tekanan emosional dan penderitaan Yaqub mencapai puncaknya. Anak-anaknya kembali dengan berita buruk, mendorong Yaqub pada batas keputusasaan manusia. Namun, respons yang keluar dari lisan seorang nabi, seorang kekasih Allah, bukanlah keluhan terhadap takdir, melainkan deklarasi kepasrahan yang luar biasa.

I. Analisis Teks Surah Yusuf Ayat 86

قَالَ إِنَّمَآ أَشْكُوا۟ بَثِّى وَحُزْنِىٓ إِلَى ٱللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Dia (Yaqub) menjawab, "Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak ketahui."

Ayat yang ringkas namun padat makna ini adalah respons langsung Nabi Yaqub kepada putra-putranya yang khawatir melihat kondisi ayah mereka yang terus-menerus meratap atas Yusuf dan Binyamin, sampai mata Yaqub memutih karena duka yang mendalam.

A. Pembahasan Lafal Kunci

1. إِنَّمَآ (Innama): Pembatasan dan Penegasan

Kata Innama dalam bahasa Arab berfungsi sebagai pembatasan (hasr). Penggunaannya di awal kalimat memberikan penekanan mutlak. Nabi Yaqub seolah-olah berkata: "Tidak ada yang lain, hanya kepada Allah (Aku mengadukan)." Ini menyingkirkan semua pihak lain—manusia, kekuatan alam, atau objek—sebagai sumber aduan atau penyelesaian masalah. Ini adalah deklarasi tauhid yang murni di tengah penderitaan yang hebat.

2. أَشْكُوا۟ (Ashku): Aku Mengadukan/Mengeluh

Kata ini berasal dari syakwa (keluhan). Penting untuk membedakan antara mengadukan penderitaan kepada Allah dan mengadukan Allah (menentang takdir-Nya). Yaqub tidak mengeluh tentang takdir Allah; dia mengeluhkan beban yang dia tanggung kepada Zat yang menakdirkannya. Ini menunjukkan bahwa kesedihan dan penderitaan yang diungkapkan kepada Allah bukanlah pelanggaran terhadap kesabaran, melainkan bagian dari kesabaran itu sendiri.

3. بَثِّى (Baththi): Kesusahan/Keresahan yang Mendalam

Bathth merujuk pada kesusahan yang begitu berat dan mendalam, yang membuat seseorang sulit menyembunyikannya dan harus diungkapkan (tabaththu). Ini adalah tingkat penderitaan yang lebih intens daripada sekadar sedih. Ini adalah kesedihan yang menghancurkan dan melumpuhkan. Dengan menyebut baththi, Yaqub mengakui kedalaman rasa sakit yang ia rasakan secara fisik dan mental.

4. وَحُزْنِىٓ (Wa Huzni): Kesedihan

Huzn adalah kesedihan atau duka cita. Sementara bathth mungkin merujuk pada akibat atau ekspresi luar dari kesusahan yang tak tertahankan, huzn adalah rasa sakit emosional yang berkelanjutan dan menahun. Gabungan kedua kata ini melukiskan gambaran kepedihan total; Yaqub sedang menderita secara jasmani dan rohani, namun ia menyalurkan seluruhnya hanya kepada sumber kasih sayang tertinggi.

5. وَأَعْلَمُ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (Wa a'lamu minallahi ma la ta'lamun): Pengetahuan Eksklusif

Bagian kedua ayat ini adalah puncak dari keyakinan Yaqub. Ini adalah deklarasi kenabian yang murni. Setelah mengakui kepedihan manusiawinya, ia menegaskan kembali kepercayaan surgawinya. "Aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak ketahui." Pengetahuan ini bukan pengetahuan biasa, melainkan intuisi ilahiah, keyakinan bahwa Allah memiliki rencana yang jauh lebih baik, bahwa janji-Nya pasti, dan bahwa di balik ujian yang tampak gelap, ada cahaya dan hikmah yang menanti.

II. Keseimbangan Antara Syakwa (Keluhan) dan Sabar (Kesabaran)

Ayat 86 memberikan pemahaman revolusioner tentang konsep kesabaran dalam Islam. Banyak orang awam percaya bahwa kesabaran berarti menyembunyikan semua penderitaan dan tidak boleh menunjukkan duka sama sekali. Namun, Yaqub, yang dikenal sebagai simbol kesabaran (disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an), menunjukkan bahwa mengungkapkan duka kepada Allah tidak merusak kesabaran; justru menegaskannya.

A. Syakwa Ilallah, Bukan Syakwa Lillahi

Para ulama tafsir menekankan perbedaan fundamental:

Nabi Yaqub tidak pernah meragukan kebijaksanaan Allah. Dia hanya meminta bantuan dari-Nya untuk menanggung beban yang terlalu berat. Ini mengajarkan umat bahwa manusia diizinkan, bahkan dianjurkan, untuk jujur tentang rasa sakit mereka di hadapan Allah. Keimanan yang matang mengakui kelemahan manusia tanpa kehilangan keyakinan pada Kekuatan Ilahi.

B. Sabar Jamaal (Kesabaran yang Indah)

Sebelum Ayat 86, ketika Yusuf hilang, Yaqub pernah menyatakan: "Fasabrun Jameel" (Maka kesabaran yang indah). Kesabaran yang indah adalah kesabaran yang tidak disertai dengan keluhan kepada manusia, tidak disertai dengan teriakan keputusasaan, dan tidak merusak keimanan. Ketika Yaqub mengadu kepada Allah, dia tetap mempertahankan "Kesabaran yang Indah" ini karena aduannya tidak ditujukan kepada makhluk, melainkan kepada Khaliq (Pencipta).

Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa tangisan dan keluhan yang ditujukan kepada Allah tidak bertentangan dengan kesabaran. Seorang yang sabar adalah orang yang mengeluh hanya kepada Allah dan menerima takdir-Nya, tidak kepada manusia yang tidak dapat menolong.

III. Kedalaman Tawakkal: Pondasi "Ma La Ta'lamun"

Bagian kedua dari ayat ini—"dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak ketahui"—adalah inti dari pengajaran tawakkal. Ini adalah jembatan yang menghubungkan rasa sakit yang tulus dengan harapan yang tak tergoyahkan. Pernyataan ini menunjukkan tingkat keimanan dan pengetahuan seorang nabi yang telah mencapai makam (kedudukan) tinggi di sisi Allah.

A. Pengetahuan Kenabian (Ilmu Ladunni)

Apa yang diketahui Yaqub yang tidak diketahui oleh anak-anaknya?

  1. Husn Adh-Dhan Billah (Prasangka Baik kepada Allah): Yaqub tahu bahwa Allah, yang menguji, adalah yang paling penyayang. Ujian yang berkepanjangan ini pasti memiliki tujuan yang agung. Anak-anaknya hanya melihat fakta hilangnya dua saudara; Yaqub melihat janji Allah yang akan dipenuhi.
  2. Visi Jangka Panjang: Sebagai seorang Nabi, Yaqub mungkin telah menerima wahyu atau ilham yang memberinya kepastian tentang akhir kisah Yusuf, meskipun rinciannya belum terungkap. Dia tahu bahwa ujian ini adalah persiapan untuk kemuliaan yang lebih besar.
  3. Memahami Sunnatullah: Yaqub mengerti bahwa setelah kesulitan (al-'usr) pasti ada kemudahan (yusr). Dia memahami siklus takdir ilahi. Kesedihan yang dia rasakan adalah fasa transisi, bukan titik akhir.

Simbol Tawakkal dan Kepercayaan Garis-garis abstrak yang membentuk jalur naik ke arah cahaya, melambangkan perjalanan hidup yang sulit (garis zigzag) namun diakhiri dengan keyakinan (lingkaran bercahaya), representasi dari tawakkal. Harapan

B. Kekuatan Tawakkal di Tengah Kelemahan

Tawakkal adalah puncak dari keimanan. Ayat 86 adalah manual tentang cara mempraktikkan tawakkal:

  1. Pengakuan Emosi (Syakwa): Jujur tentang betapa sakitnya penderitaan. Tawakkal tidak menuntut Anda menjadi robot tanpa perasaan.
  2. Penyaluran yang Benar (Ilallah): Mengarahkan semua energi emosional kepada satu sumber kekuatan.
  3. Keyakinan Total (A'lamu): Menjaga kepastian bahwa meskipun sekarang tampak mustahil, Allah Mahakuasa untuk mengubah segalanya.
Tawakkal sejati muncul bukan ketika segalanya baik-baik saja, melainkan ketika segala sebab duniawi telah tertutup, dan satu-satunya jalan keluar adalah melalui pertolongan Ilahi yang "tidak kita ketahui".

IV. Pelajaran Spiritual dan Psikologis Kontemporer

Meskipun kisah ini terjadi ribuan tahun lalu, pelajaran yang terkandung dalam respons Yaqub relevan secara universal, terutama dalam menghadapi kesulitan mental, kehilangan, dan krisis eksistensial modern.

A. Legitimasi Mengakui Kesedihan

Ayat 86 secara tegas melegitimasi kesedihan yang mendalam. Islam tidak mengharuskan umatnya berpura-pura bahagia atau menekan emosi. Yaqub mengakui baththi wa huzni (kesusahan dan kesedihanku). Ini adalah izin ilahi untuk berduka. Yang dilarang adalah protes, bukan rasa sakit.

Dalam konteks kesehatan mental, Yaqub memberikan model penanganan trauma:

Seorang mukmin yang diuji, ketika mengadukan penderitaannya dalam shalat atau munajat, tidak sedang gagal dalam kesabaran; dia sedang menjalankan ibadah tawakkal yang paling murni.

B. Husnudzon Billah (Berprasangka Baik kepada Allah)

Prinsip wa a'lamu minallahi ma la ta'lamun adalah esensi dari Husnudzon Billah. Bagi Yaqub, meskipun ia telah hidup dalam kesedihan yang panjang, ia tidak pernah membiarkan setan membisikkan prasangka buruk terhadap Allah. Pengetahuan bahwa Allah itu Maha Adil dan Maha Bijaksana mengalahkan keraguan emosional.

Ini adalah pengingat bahwa:

  1. Rencana Allah selalu lebih baik daripada rencana manusia.
  2. Ujian adalah pembersihan, bukan hukuman (terutama bagi para nabi dan orang saleh).
  3. Ketidakmampuan kita melihat masa depan (ma la ta'lamun) seharusnya mendorong kita untuk lebih berserah, bukan lebih cemas.

V. Konteks dan Dampak Ayat 86 dalam Narasi Yusuf

Pernyataan ini bukan hanya ekspresi emosi, melainkan titik balik penting dalam cerita. Ketika putra-putra Yaqub mendengar pernyataan ini, mereka mendapatkan dua pelajaran penting yang membentuk tindakan mereka selanjutnya.

A. Mempertanyakan Kepercayaan Mereka

Anak-anak Yaqub tampaknya mulai meragukan kewarasan ayah mereka karena kesedihannya yang tak kunjung padam (seperti yang ditunjukkan oleh Ayat 85). Respons Yaqub, "Aku tahu apa yang kalian tidak tahu," adalah koreksi kenabian. Dia menegur mereka secara halus, mengingatkan mereka bahwa ada dimensi spiritual yang lebih dalam yang mereka lewatkan. Ini memaksa mereka untuk mengakui bahwa iman ayah mereka tidak melemah, melainkan menguat di bawah tekanan.

B. Motivasi untuk Tindakan (Ayat 87)

Segera setelah pernyataan keyakinan ini, Yaqub mengeluarkan perintah yang sangat berbeda dari sikap pasif yang selama ini dia tunjukkan: "Hai anak-anakku! Pergilah dan carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya..." (Yusuf: 87). Ini menunjukkan bahwa tawakkal sejati bukanlah fatalisme (berdiam diri menunggu takdir), melainkan keyakinan aktif yang mendorong usaha maksimal (ikhtiar).

Karena Yaqub yakin pada janji Allah, dia tahu bahwa pencarian harus dilanjutkan. Dia telah melakukan tugasnya dalam hal kesabaran (menahan keluhan kepada manusia) dan sekarang dia melakukan tugasnya dalam hal ikhtiar (mendorong pencarian). Ini adalah model sempurna dalam Islam: pasrah di hati, namun bertindak dengan anggota badan.

VI. Perluasan Makna Filosofis dan Ketuhanan

Ayat 86 menyentuh tiga poros utama dalam hubungan antara hamba dan Rabb: Keterbatasan Manusia, Kekuatan Doa, dan Kepastian Janji Ilahi.

A. Kekuatan Kelemahan

Dalam pandangan tasawuf, mengakui kelemahan (al-bathth dan al-huzn) di hadapan Allah adalah kekuatan terbesar. Ketika seorang hamba mencapai batas kemampuannya dan mengakui, "Aku tidak bisa menanggungnya lagi," dan ia mengadu hanya kepada Allah, saat itulah pintu rahmat terbuka lebar. Kekosongan batin yang diciptakan oleh penderitaan diisi dengan kehadiran dan pertolongan Allah, sebagaimana ditegaskan oleh bagian "wa a'lamu minallahi."

"Kadang-kadang, Dia memberimu di tengah kemiskinan apa yang tidak Dia berikan di tengah kekayaan, dan di tengah kehinaan apa yang tidak Dia berikan di tengah kemuliaan." Penderitaan Yaqub adalah sarana untuk meningkatkan derajat dan kedekatannya dengan Allah, mencapai pengetahuan yang tak terjangkau oleh putra-putranya yang belum diuji secara spiritual.

B. Memahami Takdir (Qada dan Qadar)

Nabi Yaqub mengajarkan cara berinteraksi dengan takdir yang menyakitkan. Takdir terbagi dua:

  1. Takdir yang telah terjadi (Qada): Kehilangan Yusuf dan Binyamin adalah Qada yang harus diterima dengan sabar.
  2. Takdir yang akan datang (Qadar): Di sinilah keyakinan (a'lamu) bekerja. Keyakinan Yaqub adalah bahwa Allah mampu mengubah takdir mendatang melalui doa dan intervensi ilahi.
Kesedihan Yaqub adalah tanggapan manusiawi terhadap Qada yang menyakitkan, sementara pengaduan hanya kepada Allah adalah tindakan spiritual yang bertujuan mempengaruhi Qadar (takdir) yang akan datang.

C. Peran Nama-nama Allah (Asmaul Husna)

Ketika Yaqub mengadu, ia secara implisit memanggil sifat-sifat Allah:

Seluruh ayat 86 adalah manifestasi praktis dari keyakinan pada Asmaul Husna di bawah tekanan emosional tertinggi.

VII. Kontemplasi Mendalam tentang ‘Aku Tahu Apa yang Kalian Tidak Tahu’

Frasa ‘wa a’lamu minallahi ma la ta’lamun’ berfungsi sebagai kunci untuk membuka harta karun spiritual dalam kisah ini. Jika kita menganalisis lebih jauh, "pengetahuan" ini mencakup dimensi keimanan yang harus dicapai setiap mukmin sejati.

A. Pengetahuan tentang Waktu Ilahi

Manusia sering kali ingin jawaban dan penyelesaian instan. Anak-anak Yaqub melihat penderitaan yang telah berlangsung puluhan tahun dan merasa putus asa. Yaqub, melalui pengetahuannya, memahami bahwa waktu Allah berbeda dari waktu manusia. Proses pematangan, ujian, dan pencapaian janji ilahi memerlukan durasi yang hanya Allah yang tahu hikmahnya.

Yaqub sabar dalam menunggu karena ia tahu bahwa hasil akhir (pertemuan dengan Yusuf sebagai penguasa Mesir) akan sepadan dengan semua penderitaan yang telah ia tanggung. Ini adalah pengetahuan tentang nilai kesabaran yang berbuah manis.

B. Pengetahuan tentang Kemungkinan Mukjizat

Secara logika manusia, menemukan Yusuf setelah puluhan tahun dan setelah dia dijual sebagai budak, serta mengembalikan Binyamin dari tangan penguasa Mesir, adalah hal yang mustahil. Namun, Yaqub, sebagai nabi, tahu bahwa Allah tidak terikat oleh hukum-hukum alam yang diciptakan-Nya sendiri. Pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang kekuatan mukjizat Allah yang dapat terjadi kapan saja. Keyakinan pada mukjizat inilah yang membedakannya dari pandangan duniawi anak-anaknya.

C. Puncak Kedekatan (Maqam)

Ayat ini menunjukkan maqam (kedudukan spiritual) Yaqub. Dia adalah individu yang memiliki kedekatan unik dengan Allah. Kesedihannya, yang tampak menghancurkan, justru merupakan bukti cintanya kepada Allah. Karena dia mencintai Allah, dia mengadu kepada Allah, bukan kepada yang lain. Cinta ini menghasilkan pengetahuan intuitif (ma’rifah) tentang rahmat dan janji-janji Allah yang tersembunyi. Pengetahuan ini menjadi sumber ketenangan batinnya yang tidak bisa digoyahkan oleh kehilangan fisik.

VIII. Menerapkan Pelajaran Ayat 86 dalam Kehidupan Sehari-hari

Bagaimana seorang mukmin modern, yang menghadapi kesulitan finansial, kehilangan orang tercinta, penyakit, atau kegagalan, dapat meniru keagungan respons Yaqub?

A. Prinsip Pengaduan Terapeutik

Ketika kita merasa tertekan, kita sering mencari manusia untuk berbagi beban (keluhan kepada manusia), yang sering kali berujung pada kekecewaan atau bahkan dosa (misalnya, membicarakan kekurangan orang lain). Yaqub mengajarkan:

B. Memperkuat Pilar Keyakinan

Untuk mencapai tingkat keyakinan 'wa a'lamu minallahi ma la ta'lamun', diperlukan penanaman akar-akar tauhid yang kuat:

  1. Mempelajari Kisah Para Nabi: Menyadari bahwa ujian adalah pola universal (sunnatullah) bagi orang-orang pilihan.
  2. Merenungkan Nama-nama Allah: Fokus pada nama-nama yang berhubungan dengan kemurahan dan kekuasaan (Al-Wadud, Al-Qadir, Al-Ghafur, Ar-Rahman).
  3. Menguatkan Harapan: Selalu mengingat hadits qudsi, "Aku sebagaimana persangkaan hamba-Ku kepada-Ku." Ini secara langsung berhubungan dengan prinsip Husnudzon Billah yang menjadi fondasi pengetahuan Yaqub.

Pernyataan Nabi Yaqub dalam Surah Yusuf Ayat 86 adalah salah satu momen paling agung dalam Al-Qur'an yang menjelaskan kedudukan hamba yang paling sabar dan paling percaya. Ini adalah sebuah pengakuan jujur atas penderitaan manusia, yang diimbangi dengan deklarasi keyakinan ilahiah yang tak tergoyahkan. Ayat ini mengajarkan bahwa kesedihan diizinkan, aduan kepada Allah adalah ibadah, dan di balik tirai takdir yang menyakitkan, tersembunyi rencana Allah yang jauh melampaui pemahaman kita. Dengan memahami dan mengamalkan ayat ini, seorang mukmin akan menemukan ketenangan sejati di tengah badai kehidupan.

C. Menjadikan Sabar sebagai Aktivitas, Bukan Reaksi

Kesabaran yang ditunjukkan Yaqub bukan pasif. Itu adalah aktivitas batin yang konstan. Dia harus setiap hari melawan keputusasaan, setiap hari mengingatkan dirinya pada pengetahuan yang dia miliki dari Allah. Ini adalah perjuangan yang berkelanjutan (jihad) melawan hawa nafsu dan bisikan setan yang ingin dia menyerah. Kesabaran ini adalah kunci yang akhirnya membuka jalan bagi mukjizat kembalinya Yusuf dan penyembuhan mata Yaqub.

Kesimpulan Umum

Ayat 86 Surah Yusuf adalah kapsul spiritual yang mengajarkan bahwa iman tidak berarti tidak merasa sakit. Sebaliknya, iman adalah tempat untuk menyalurkan rasa sakit itu. Nabi Yaqub menjadi teladan abadi: ia adalah manusia yang merasakan kepedihan yang paling dalam (baththi wa huzni), namun ia adalah hamba yang memiliki keyakinan paling kuat (a'lamu minallahi ma la ta'lamun). Ketika Anda telah mencapai batas kemampuan Anda, hanya dengan mengadukan kelemahan Anda kepada Allah, Anda akan menemukan kekuatan-Nya yang tak terbatas.

Pengaduan kita kepada Allah adalah bukti bahwa kita mengakui Dia sebagai satu-satunya Sandaran, satu-satunya tempat berkeluh kesah yang mampu mengubah kondisi kita. Inilah puncak tauhid dalam menghadapi cobaan, sebuah warisan spiritual yang abadi dari Nabi Yaqub alaihissalam untuk setiap jiwa yang sedang berjuang di dunia ini.

Semua penderitaan dunia ini hanyalah sementara. Pengetahuan akan janji akhirat, pengetahuan akan rahmat-Nya yang tak terhingga, dan keyakinan bahwa Allah memiliki rencana yang tersembunyi di balik setiap air mata—inilah yang dimaksud dengan "Aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak ketahui." Dan pengetahuan inilah yang menuntun pada kemenangan hakiki, sebagaimana kisah Yusuf ditutup dengan reuni yang penuh kebahagiaan.

Ulangi dan internalisasi prinsip ini setiap kali cobaan datang: aku mengadu hanya kepada Allah, karena hanya Dia yang mengetahui akhir dari ceritaku, yang jauh lebih indah daripada penderitaanku saat ini.

🏠 Kembali ke Homepage