Rasa syukur, atau yang dalam terminologi Islam dikenal sebagai *syukr*, adalah fondasi utama dari hubungan antara hamba dan Penciptanya. Syukur bukan sekadar ucapan terima kasih lisan, melainkan sebuah manifestasi komprehensif yang melibatkan hati, lidah, dan anggota tubuh. Ia adalah respons alami terhadap limpahan nikmat yang tak terhitung jumlahnya yang diberikan oleh Allah SWT kepada seluruh makhluk di alam semesta.
Al-Qur'an, sebagai petunjuk abadi, tidak henti-hentinya mengingatkan manusia akan kewajiban ini. Hampir di setiap jilidnya, terdapat ayat-ayat yang secara eksplisit atau implisit memerintahkan, memuji, atau menjelaskan konsekuensi dari bersyukur dan sebaliknya, mengingkari nikmat (kufur nikmat).
Artikel ini akan mengupas tuntas surah-surah utama dalam Al-Qur'an yang secara mendalam membahas tema syukur, menganalisis pesan-pesan esensialnya, dan memahami bagaimana konsep *syukr* ini membentuk kerangka moral dan spiritual seorang mukmin sejati. Pemahaman mendalam terhadap ajaran ini akan membimbing kita menuju kehidupan yang penuh kesadaran dan penghayatan akan setiap karunia Ilahi, sekecil apa pun itu.
Ilustrasi Syukur: Syukur adalah respons holistik yang dimulai dari kesadaran hati terhadap nikmat.
Surah Ibrahim menempati posisi sentral dalam pemahaman teologis tentang syukur. Meskipun surah ini banyak membahas kisah para nabi, khususnya Nabi Ibrahim, intinya adalah menyampaikan pesan universal tentang iman, tauhid, dan respons manusia terhadap karunia Allah. Ayat kunci dalam surah ini memberikan janji yang mutlak mengenai hasil dari syukur dan peringatan keras terhadap akibat dari keingkaran.
Terjemah: "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'." (QS. Ibrahim [14]: 7)
Ayat ini dikenal sebagai pilar janji Ilahi terkait syukur. Kata لَأَزِيدَنَّكُمْ (*la’aziidannakum*—pasti Kami akan menambah) menggunakan partikel penegasan (*laam* dan *nuun taukid*) yang menunjukkan janji yang tidak mungkin dicabut atau dibatalkan. Peningkatan ini tidak terbatas pada materi semata, melainkan mencakup:
Sebaliknya, kata وَلَئِن كَفَرْتُمْ (dan jika kamu mengingkari) merujuk pada *kufrun ni’mah* (kufur nikmat), yaitu penggunaan nikmat di jalan yang dilarang, atau kegagalan mengakui sumber nikmat tersebut. Ancaman azab yang pedih (*syadiid*) menunjukkan bahwa ingkar nikmat bukanlah dosa kecil, melainkan pelanggaran serius terhadap perjanjian antara hamba dan Penciptanya.
Para ulama tafsir sepakat bahwa syukur dalam konteks Surah Ibrahim harus diwujudkan dalam tiga tingkatan agar dianggap sempurna:
Ketika ketiga dimensi ini bersatu, barulah janji penambahan nikmat dalam Surah Ibrahim terwujud secara optimal.
Meskipun sering digunakan bergantian, ulama membedakan secara halus antara *Hamd* (pujian) dan *Syukr* (syukur). *Hamd* bersifat lebih umum dan mendasar; ia adalah pujian yang diberikan kepada Allah karena sifat-sifat-Nya yang sempurna, bahkan jika kita tidak menerima nikmat secara langsung. Sementara itu, *Syukr* adalah pujian yang timbul sebagai respons spesifik terhadap nikmat atau kebaikan yang diterima. Seseorang mengucapkan *Alhamdulillah* (*Hamd*) karena Allah itu sempurna, dan ia bersyukur (*Syukr*) ketika ia menerima kesehatan atau rezeki. Namun, kedua konsep ini saling terkait erat, sebagaimana dibuktikan dalam Surah Al-Fatihah, yang dimulai dengan *Hamd* sebagai dasar menuju *Syukr*.
Surah An-Nahl, yang secara harfiah berarti 'Lebah', sering dijuluki sebagai 'Surah An-Ni'am' (Surah Kenikmatan). Hampir seluruh bagian awal dan pertengahan surah ini menyajikan daftar detail dan menakjubkan tentang berbagai karunia yang Allah limpahkan kepada manusia, mulai dari yang tampak jelas hingga yang tersembunyi, yang bersifat materi hingga spiritual. Setelah menyajikan setiap daftar nikmat, Surah An-Nahl berulang kali menuntut respons tunggal dari manusia: Syukur.
Terjemah: "Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?" (QS. An-Nahl [16]: 72)
Surah An-Nahl mengajak kita melakukan inventarisasi spiritual (muhasabah nikmat) melalui penekanan pada kategori-kategori berikut:
Setiap deskripsi nikmat diakhiri dengan frase penutup seperti "sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagi kaum yang bersyukur," atau "supaya kamu bersyukur." Pengulangan ini menciptakan irama kesadaran, memaksa pembaca untuk berhenti sejenak dan mengakui bahwa tidak ada satu pun detail kehidupan yang muncul secara kebetulan.
Dalam konteks Surah An-Nahl, *kufur nikmat* bukan hanya sekadar tidak berterima kasih, tetapi juga salah dalam menggunakan nikmat tersebut. Jika Allah memberikan rezeki, tetapi rezeki itu digunakan untuk mendanai maksiat, itulah kufur nikmat. Jika Allah memberikan akal, tetapi akal itu digunakan untuk menyangkal eksistensi-Nya atau menolak syariat-Nya, itulah kufur nikmat. Syukur, oleh karena itu, adalah tindakan menempatkan nikmat pada tempat yang semestinya, yaitu di jalan ketaatan kepada Sang Pemberi Nikmat.
Syukur juga dijelaskan sebagai syarat mutlak agar hati tetap hidup. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa hati yang tidak bersyukur ibarat tanah tandus yang tidak dapat menumbuhkan benih kebaikan. Syukur menjaga hati dari penyakit spiritual seperti ketamakan yang tak berujung, iri hati, dan perasaan tidak puas, yang semuanya merupakan akar dari kegelisahan modern.
Surah Luqman, yang dinamai berdasarkan seorang hamba saleh yang dianugerahi hikmah, memberikan perspektif unik tentang syukur: Syukur adalah puncak dari hikmah (kebijaksanaan) dan fondasi utama bagi akhlak yang luhur. Kisah Luqman al-Hakim berisi nasihat-nasihat yang luar biasa kepada anaknya, yang dimulai dengan perintah untuk bersyukur.
Terjemah: "Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: 'Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji'." (QS. Luqman [31]: 12)
Ayat di atas secara eksplisit menghubungkan hikmah (*al-hikmah*—kebijaksanaan) yang diberikan kepada Luqman dengan perintah untuk bersyukur. Ini berarti bahwa orang yang paling bijaksana adalah orang yang paling bersyukur. Kebijaksanaan sejati bukanlah akumulasi ilmu pengetahuan semata, melainkan kemampuan untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, termasuk menempatkan nikmat pada posisi pengakuan dan penggunaan yang benar.
Orang yang bersyukur adalah orang yang realistis. Ia menyadari keterbatasannya dan kemahaluasan karunia Tuhannya. Kualitas ini melindungi hati dari kesombongan intelektual, sebuah penyakit yang sering menyerang orang-orang yang berilmu namun lupa akan sumber ilmu tersebut. Syukur adalah penyeimbang spiritual yang mencegah ilmu menjadi bumerang bagi pemiliknya.
Surah Luqman melanjutkan nasihat syukur ini dengan mengintegrasikannya dalam konteks hubungan sosial, khususnya antara anak dan orang tua:
Terjemah: "Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu." (QS. Luqman [31]: 14)
Penyebutan syukur kepada Allah dan syukur kepada orang tua dalam satu rangkaian kalimat menunjukkan bahwa kedua bentuk syukur ini tidak terpisahkan. Syukur kepada orang tua dianggap sebagai ekstensi dari syukur kepada Allah karena mereka adalah perantara terbesar nikmat kehidupan dan pengasuhan. Mengabaikan hak orang tua sama saja dengan mengabaikan rantai nikmat yang dimulai dari Allah.
Namun, Surah Luqman segera memberikan batasan (Ayat 15): jika orang tua memaksa pada kesyirikan, seorang anak wajib menolaknya, tetapi tetap harus memperlakukan mereka dengan baik di dunia. Ini mengajarkan bahwa syukur vertikal (kepada Allah) harus selalu didahulukan, sementara syukur horizontal (kepada makhluk) harus tetap dijaga selama tidak bertentangan dengan tauhid.
Surah Luqman juga mengajarkan bahwa syukur adalah urusan pribadi yang mendatangkan manfaat pribadi. "Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri." Artinya, Allah tidak membutuhkan syukur kita; Dia Maha Kaya (*Ghaniyyun*) dan Maha Terpuji (*Hamid*) tanpa adanya pujian dari makhluk. Syukur adalah mekanisme pembersihan jiwa yang Allah tetapkan demi kebaikan kita sendiri. Ia membersihkan karat-karat keluh kesah dan membuka pintu-pintu rezeki dan ketenangan batin.
Surah Ar-Rahman adalah salah satu surah yang paling unik dan puitis dalam Al-Qur'an. Dengan irama yang indah dan pengulangan refreinnya yang terkenal, surah ini menuntut refleksi mendalam mengenai kasih sayang Allah yang tak terbatas. Tema syukur di sini disajikan bukan melalui perintah langsung, melainkan melalui pertanyaan yang menggetarkan hati.
Terjemah: "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS. Ar-Rahman [55]: diulang 31 kali)
Pengulangan refrein ini sebanyak 31 kali dalam 78 ayat bukanlah sekadar gaya bahasa, melainkan teknik retorika yang kuat untuk menampar kesadaran. Pengulangan ini ditujukan kepada dua jenis makhluk yang bertanggung jawab (*ats-tsaqalani*): jin dan manusia.
Tujuan utama dari pengulangan ini adalah:
Surah Ar-Rahman menampilkan nikmat dalam bingkai yang sangat indah dan teratur (misalnya, bintang-bintang diatur, lautan dibatasi, buah-buahan berpasangan). Syukur dalam konteks ini adalah respons yang muncul dari kekaguman estetika terhadap ciptaan Allah. Ketika seseorang benar-benar mengapresiasi keindahan dan keteraturan alam, hatinya secara otomatis dipenuhi rasa terima kasih. Mendustakan nikmat ini adalah mendustakan keindahan yang terhampar di hadapan mata.
Membaca Surah Ar-Rahman seharusnya menjadi latihan syukur yang intensif. Setiap kali refrein itu muncul, seseorang didorong untuk menjawabnya dalam hati atau lisan dengan: "Tidak ada satu pun nikmat-Mu, wahai Tuhan kami, yang kami dustakan. Segala puji bagi-Mu." Respons ini melatih lisan dan hati untuk selalu berada dalam keadaan sadar dan berterima kasih, mengubah ibadah membaca Al-Qur'an menjadi dialog penuh kesadaran dengan Allah.
Alam semesta dipenuhi dengan tanda-tanda kebesaran dan nikmat yang menuntut syukur.
Meskipun tidak secara dominan membahas syukur, beberapa surah panjang seperti Al-Baqarah (Sapi Betina) dan Al-A'raf (Tempat Tertinggi) menggunakan kisah-kisah umat terdahulu, terutama Bani Israil, sebagai studi kasus historis tentang kegagalan bersyukur dan konsekuensinya.
Kisah pemberian makanan surgawi, *manna* (mirip embun madu) dan *salwa* (burung puyuh), kepada Bani Israil di padang pasir, adalah contoh klasik nikmat yang dianugerahkan secara langsung, tetapi dibalas dengan keluh kesah dan permintaan yang tidak-tidak.
Terjemah: "Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu manna dan salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri."
Kemudian, ayat selanjutnya mencatat protes mereka, meminta makanan yang lebih variatif seperti bawang, mentimun, dan sayuran. Mereka telah diberi rezeki terbaik tanpa usaha, namun hati mereka tidak menerima anugerah tersebut dengan rasa syukur. Kisah ini mengajarkan bahwa ingkar nikmat selalu berakar pada ketidakpuasan abadi dan pengabaian terhadap kemurahan hati Allah.
Pernyataan "merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri" menekankan bahwa dampak negatif dari ingkar nikmat tidaklah menimpa Allah, melainkan kembali kepada pelaku. Ketika Bani Israil menolak *manna* dan *salwa* karena kurangnya syukur, mereka kehilangan kesempatan untuk terus menerima nikmat tersebut dan malah mendapatkan hukuman serta penyakit hati (QS. Al-Baqarah [2]: 61).
Syukur, dengan demikian, adalah mekanisme perlindungan diri. Ia melindungi hati dari racun ketidakpuasan dan memastikan bahwa rezeki dan keberkahan yang telah diberikan tidak dicabut.
Ayat-ayat dalam Al-A'raf dan juga Surah Shad (QS. Shad [38]: 82-83) menyingkap taktik iblis dalam upaya menjerumuskan manusia. Iblis berjanji akan datang kepada manusia dari segala arah, dan tujuan utamanya adalah membuat manusia tidak bersyukur:
Terjemah: "Iblis menjawab, 'Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur'." (QS. Al-A'raf [7]: 16-17)
Ayat ini menunjukkan bahwa target utama iblis adalah memadamkan cahaya syukur dalam hati manusia. Jika iblis berhasil membuat manusia melupakan nikmat Allah, atau menyalahkan Allah atas penderitaan, maka manusia akan keluar dari jalan yang lurus. Syukur, oleh karena itu, adalah pertahanan terkuat (*Hisn*) melawan bisikan setan.
Syukur memiliki relevansi yang luar biasa dalam konteks kehidupan akhirat dan hari perhitungan (*Yaumul Hisab*). Beberapa surah fokus pada balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang bersyukur, menunjukkan bahwa syukur adalah kriteria pembeda utama di akhirat.
Meskipun ayat terkenal ini menyatakan bahwa jin dan manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya, hubungan antara ibadah dan syukur sangat erat. Ibadah yang sejati adalah perwujudan syukur tertinggi.
Dalam Surah Adz-Dzariyat, setelah menjelaskan penciptaan alam semesta sebagai tanda-tanda, Allah menegaskan:
Terjemah: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku."
Imam Mujahid menafsirkan *liya’budūn* (mengabdi/beribadah) di sini juga diartikan sebagai *liya’rifūnī* (agar mereka mengenal Aku). Pengenalan yang mendalam terhadap Allah pasti akan menghasilkan pengakuan terhadap nikmat-nikmat-Nya, yang puncaknya adalah syukur. Oleh karena itu, syukur adalah esensi dari ibadah yang diminta.
Syukur seringkali paling jelas terlihat saat manusia berada dalam kesulitan. Surah Al-Qamar (Bulan) dan surah-surah Makkiyah lainnya berulang kali menggambarkan orang-orang yang ketika ditimpa musibah di lautan atau ancaman, mereka berdoa dengan tulus, menjanjikan syukur dan ketaatan. Namun, begitu mereka diselamatkan, mereka kembali kepada ingkar nikmat.
Fenomena ini disebut sebagai *Syukur al-Idhtirar* (syukur dalam keterpaksaan), yang berbeda dengan *Syukur al-Ikhtiyar* (syukur dalam pilihan sadar). Al-Qur'an memuji mereka yang tetap bersyukur bahkan di saat kelapangan, karena ini menunjukkan kematangan spiritual.
Ketika Allah menyelamatkan Nabi Nuh dan orang-orang beriman dalam bahtera, Allah menyebutkan keturunan mereka sebagai:
Terjemah: "(Yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba yang banyak bersyukur."
Nabi Nuh (AS) secara khusus dipuji sebagai *‘abdan syakūran* (hamba yang sangat bersyukur). Para ulama menyebutkan bahwa Nuh dijuluki demikian karena ia bersyukur atas setiap keadaan, bahkan saat memakan dan minum. Ia tidak pernah meninggalkan syukur dalam keadaan apa pun. Ini menetapkan standar bagi kita: Syukur harus menjadi sifat yang mengakar, bukan respons temporer.
Al-Qur'an menggunakan variasi kata yang berasal dari akar kata syin-kaf-ra’ (ش-ك-ر) untuk menyampaikan berbagai nuansa syukur, yang seringkali juga digunakan sebagai nama atau sifat Allah (Asmaul Husna).
Digunakan untuk menggambarkan manusia yang aktif bersyukur. Ini adalah level pertama, menunjukkan hamba yang menyadari nikmat dan meresponsnya. Contoh: "Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sabar lagi banyak bersyukur (Syakur/Syakir)." (QS. Ibrahim [14]: 5).
Bentuk intensif (*sighah mubalaghah*) yang menggambarkan hamba yang bersyukur secara ekstrem atau yang menjadikan syukur sebagai karakter utama dirinya (seperti Nabi Nuh). Lebih luar biasa lagi, *Asy-Syakur* adalah salah satu Asmaul Husna (QS. Fathir [35]: 30). Allah menamai Diri-Nya sebagai Yang Maha Bersyukur, dalam artian Dia menerima amal ibadah hamba-Nya yang sedikit dan membalasnya dengan pahala yang berlimpah ruah. Ini adalah manifestasi keadilan dan kemurahan Allah—bahwa Dia bersyukur atas syukur hamba-Nya.
Syukur memiliki kemampuan transenden untuk mengubah perspektif manusia terhadap keterbatasan. Dalam keadaan serba kekurangan, seseorang yang bersyukur melihat potensi dan keberkahan yang tersisa, bukan kekurangan yang telah hilang. Hal ini sejalan dengan ajaran para sufi yang memandang syukur sebagai jembatan menuju makrifatullah (pengenalan mendalam terhadap Allah).
Dalam kondisi kelapangan, syukur mencegah hati menjadi lalai dan materialistis. Syukur mengingatkan bahwa harta dan jabatan adalah amanah sementara, bukan hak milik permanen, dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Kajian psikologi modern semakin menemukan relevansi mendalam antara rasa syukur dan kesejahteraan mental. Apa yang diajarkan Al-Qur'an ribuan tahun lalu kini terbukti secara empiris: praktik syukur rutin (seperti menghitung nikmat) mengurangi tingkat stres, depresi, dan meningkatkan kepuasan hidup. Dari sudut pandang Islam, hal ini terjadi karena syukur mengalihkan fokus dari *nafsu* (keinginan yang tak terpenuhi) kepada *rabb* (sumber karunia yang telah terpenuhi).
Surah Ad-Dhuha (Waktu Dhuha) seringkali dianggap sebagai surah yang membahas ketenangan batin Nabi Muhammad SAW setelah sempat mengalami terputusnya wahyu. Namun, surah ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana bersyukur harus diterapkan dalam menghadapi fase naik-turun kehidupan.
Terjemah: "Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan? Sebab itu, terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu siarkan." (QS. Ad-Dhuha [93]: 6-11)
Ayat-ayat awal Surah Ad-Dhuha menggunakan masa lalu Nabi SAW (yatim, bingung, kekurangan) sebagai kontras terhadap kondisi beliau saat ini (perlindungan, petunjuk, kecukupan). Ini mengajarkan bahwa salah satu bentuk syukur yang paling kuat adalah mengingat kondisi awal kita, betapa pun sulitnya itu, dan mengakui bahwa Allah telah mengangkat kita.
Syukur di sini bukan hanya tentang apa yang kita miliki sekarang, tetapi juga tentang mengingat penderitaan yang telah diangkat, penyakit yang telah disembuhkan, dan kekosongan yang telah dipenuhi. Proses mengingat ini, yang disebut *Tadzkir bi ni’mah* (mengingat nikmat), adalah kunci untuk menjaga kerendahan hati.
Ayat penutup "Wa ammā bini’mati Rabbika fa ḥaddits" (terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu siarkan/ceritakan) adalah perintah syukur perbuatan dan lisan yang paling aktif.
Menyebarkan nikmat memiliki dua makna:
Ini adalah ajakan untuk tidak menyimpan syukur hanya di dalam hati, tetapi menjadikannya sebagai energi positif yang memancar keluar, mempengaruhi lingkungan sekitar dan meningkatkan ketaatan kolektif.
Kisah Nabi Sulaiman (AS) dalam Surah An-Naml (Semut) memberikan contoh puncak syukur yang diucapkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan dan kekayaan yang tak tertandingi. Doa syukur beliau menunjukkan bahwa semakin besar nikmat yang diberikan, semakin besar pula tanggung jawab untuk bersyukur, dan semakin tulus pula pengakuan akan kelemahan diri.
Terjemah: "Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: 'Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman'."
Pengakuan Nabi Sulaiman dimulai dengan pujian kepada Allah (*Alhamdulillah*) karena telah dianugerahi ilmu, sebelum menyebutkan kekayaan atau kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa nikmat terbesar yang patut disyukuri adalah *ilmu* dan *iman*, karena keduanya adalah kunci untuk menggunakan nikmat duniawi secara benar.
Ketika Sulaiman melihat singgasana Ratu Balqis telah dipindahkan ke hadapannya dalam sekejap mata, yang merupakan mukjizat besar, respons pertamanya adalah:
Terjemah: "Berkata Sulaiman: 'Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya)'."
Ini adalah pelajaran terpenting dari kisah Sulaiman: Setiap nikmat yang luar biasa adalah *ujian* (*li-yabluwanī*). Kekuatan, kekayaan, dan kecerdasan bukan hadiah tanpa syarat, melainkan instrumen ujian. Orang yang bersyukur akan melewati ujian itu dengan menggunakan nikmat tersebut sesuai kehendak Allah, sementara yang kufur akan jatuh ke dalam kesombongan dan kezaliman.
Doa Sulaiman mengajarkan bahwa syukur adalah kesadaran terus-menerus bahwa kita sedang diuji dengan setiap karunia, dan bahwa tanggung jawab syukur itu tidak pernah gugur, bahkan di puncak kejayaan.
Dari pembahasan mendalam terhadap surah-surah Al-Qur'an, kita dapat menyimpulkan bahwa syukur adalah sebuah sistem spiritual yang terintegrasi, bukan sekadar etiket keagamaan. Syukur adalah sikap mental yang menyelamatkan manusia dari kehinaan di dunia dan siksa di akhirat.
Al-Qur'an sering menggabungkan syukur dan sabar (misalnya, QS. Ibrahim [14]: 5: "bagi setiap orang yang sabar lagi banyak bersyukur"). Syukur dihubungkan dengan sabar karena keduanya adalah respons positif terhadap takdir. Sabar adalah menahan diri dari keluh kesah saat ditimpa kesulitan. Syukur adalah melihat peluang kebaikan di balik kesulitan tersebut.
Misalnya, saat seseorang kehilangan harta, sabar berarti tidak marah. Syukur berarti berterima kasih bahwa kehilangan tersebut tidak menimpa iman, atau bahwa hanya harta yang hilang, bukan nyawa. Syukur membantu mengelola kerugian dengan fokus pada apa yang masih tersisa.
Syukur tidak boleh berhenti. Al-Qur'an memuji hamba-hamba yang senantiasa bersyukur (*syakur*). Hal ini memerlukan latihan harian untuk mengenali nikmat-nikmat kecil: udara yang dihirup, air yang diminum, kemampuan untuk berdiri, ketenangan tidur. Para ulama mengajarkan bahwa orang yang melatih hatinya untuk melihat nikmat kecil akan lebih mudah bersyukur atas nikmat besar.
Dalam praktik tasawuf, *muraqabah* (pengawasan diri) adalah alat penting untuk menjaga istiqamah syukur, memastikan bahwa tidak ada satu pun hari berlalu tanpa pengakuan tulus atas kebaikan Allah.
Salah satu nikmat terbesar yang sering dilupakan adalah waktu. Surah Al-'Ashr (Waktu) secara implisit menuntut syukur melalui penggunaan waktu yang efektif. Syukur atas waktu berarti mengisinya dengan empat hal utama: iman, amal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran. Jika waktu dihabiskan untuk hal yang sia-sia, itu adalah bentuk kufur nikmat terhadap aset paling berharga yang diberikan Allah.
Kajian mendalam terhadap surah-surah yang membahas konsep *syukr* menyimpulkan bahwa hakikat syukur bukanlah perasaan yang pasif, melainkan sebuah aksioma kehidupan yang aktif, dinamis, dan transformatif. Syukur adalah ibadah hati yang memengaruhi setiap aspek ketaatan, membentuk karakter, dan menentukan nasib kita, baik di dunia maupun di hari akhirat.
Konsekuensi Syukur: Allah menjanjikan peningkatan bagi yang bersyukur dan ancaman bagi yang kufur nikmat.
Syukur menurut ajaran Al-Qur'an adalah sebuah tindakan pengendalian diri yang paling tinggi, melebihi sekadar rasa terima kasih emosional. Ia adalah disiplin spiritual yang mengarahkan semua sumber daya—waktu, harta, kesehatan, dan ilmu—kembali kepada tujuan Ilahi. Dengan berpegangan teguh pada ajaran syukur yang tertanam dalam Surah Ibrahim, An-Nahl, Luqman, dan Ar-Rahman, seorang mukmin dapat memastikan bahwa setiap detik kehidupannya adalah investasi abadi yang berbuah penambahan nikmat dan rida Allah.
Syukur adalah pengakuan bahwa kita adalah makhluk yang lemah, yang hidup sepenuhnya karena kebaikan dan kemurahan Sang Pencipta. Pengakuan ini adalah esensi tauhid, dan dengan itulah manusia menemukan ketenangan sejati dan makna hidup yang hakiki.
Sejauh mana seseorang mampu mempertahankan rasa syukur, sejauh itu pula ia dapat meraih ketinggian spiritual. Syukur adalah mata uang akhirat, dan Al-Qur’an telah memberikan panduan yang tak ternilai untuk mengumpulkan modal tersebut, menjadikannya bukan sekadar ajaran sampingan, melainkan inti dari seluruh tatanan kehidupan beragama.
Pintu menuju penambahan nikmat selalu terbuka lebar, dan kuncinya hanya satu: Bersyukur.
Dalam konteks modern yang penuh tekanan dan materialisme, ajaran syukur yang terkandung dalam Al-Qur’an menjadi semakin relevan sebagai strategi bertahan hidup spiritual. Konsep nikmat kini sering disalahartikan hanya sebagai barang mewah atau pencapaian material yang dapat diukur. Namun, surah-surah seperti An-Nahl memaksa kita mendefinisikan ulang nikmat itu sendiri, mengembalikannya pada hal-hal fundamental dan universal: udara yang layak hirup, air tawar, gravitasi yang menjaga kita tetap di bumi, dan yang terpenting, nikmat iman dan hidayah.
Syukur adalah kontra-narasi terhadap budaya ‘selalu kurang’ yang didorong oleh kapitalisme dan media sosial. Jika hati seorang mukmin terus-menerus membandingkan apa yang ia miliki dengan apa yang dimiliki orang lain, ia akan jatuh ke dalam lubang keluh kesah. Syukur, sebaliknya, mengajarkan praktik ‘menghitung berkat’ (*counting blessings*), sebuah latihan spiritual yang mengalihkan fokus dari kekurangan (*naqs*) menuju kelimpahan (*fadl*).
Bagaimana syukur terkait dengan keadilan? Ketika seorang hamba bersyukur atas kekuasaan yang dimilikinya, ia akan menggunakan kekuasaan itu untuk menegakkan keadilan (syukrul arkan). Penguasa yang bersyukur tidak akan korupsi atau menzalimi rakyatnya, karena ia menyadari bahwa kekuasaan adalah pinjaman Ilahi. Sebagaimana yang dicontohkan Nabi Sulaiman, kekuasaan yang besar menuntut ujian syukur yang besar pula. Kegagalan bersyukur oleh pemimpin adalah bentuk kufur nikmat yang dampaknya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada masyarakat luas, menciptakan kekacauan dan ketidakadilan.
Salah satu bahaya terbesar yang dihadapi oleh orang yang lalai adalah *isti'draj*, yaitu ketika Allah terus memberikan nikmat dan kesenangan duniawi kepada hamba-Nya meskipun hamba itu terus melakukan maksiat dan meninggalkan syukur. Ini bukanlah tanda cinta, melainkan jebakan yang membuat hamba tersebut semakin jauh dari Allah, merasa aman dalam dosa, hingga tiba-tiba azab datang. Surah Ibrahim memperingatkan hal ini: Janji penambahan nikmat berlaku bagi yang bersyukur; bagi yang kufur, ancaman azab itu nyata, meskipun penangguhan mungkin terjadi sementara waktu. Oleh karena itu, limpahan rezeki tanpa disertai syukur dan ketaatan harus diwaspadai sebagai ujian yang berbahaya.
Syukur di tempat kerja berarti menghargai kesempatan untuk mencari rezeki halal, menggunakan keterampilan yang diberikan Allah (nikmat akal dan fisik) secara optimal, dan menghindari kecurangan atau penipuan. Syukur terhadap pekerjaan menciptakan etos kerja yang jujur dan produktif. Seorang karyawan yang bersyukur melihat pekerjaannya sebagai ibadah, bukan sekadar sumber gaji. Sikap ini mengubah rutinitas yang monoton menjadi peluang berkelanjutan untuk meraih pahala dan keberkahan.
Dalam dunia yang serba cepat, waktu luang adalah nikmat langka. Syukur atas waktu luang berarti menggunakannya untuk refleksi diri, mempererat hubungan keluarga, menuntut ilmu, atau beristirahat dengan niat menguatkan diri untuk ibadah berikutnya. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW mengingatkan tentang dua nikmat yang sering dilalaikan: kesehatan dan waktu luang. Ketidakmampuan menghargai waktu luang, seringkali diisi dengan hiburan yang melalaikan atau gosip, adalah bentuk ingkar nikmat yang halus namun merusak.
Dengan demikian, Al-Qur'an tidak hanya mengajarkan bahwa kita harus bersyukur, tetapi juga bagaimana cara bersyukur dalam setiap kondisi, bagaimana syukur memisahkan kita dari tipu daya setan, dan bagaimana syukur menjadi penentu nasib akhirat. Syukur adalah keseluruhan jalan hidup yang membawa hamba dari kegelapan keluh kesah menuju cahaya kesadaran dan ketaatan abadi.