Fondasi Abadi: Surah-Surah Utama dalam Membangun Pernikahan Islami

Pernikahan dalam pandangan Islam bukanlah sekadar ikatan sosiologis atau kontrak duniawi semata. Ia adalah sebuah perjanjian suci, yang sering disebut sebagai Mītsāqan Ghalīẓā (perjanjian yang kuat) dalam konteks hubungan antara suami dan istri. Institusi ini didirikan di atas landasan spiritual yang kokoh, di mana tujuan utamanya adalah mencapai ketenangan jiwa, kedamaian, dan keberkahan, yang kesemuanya bersumber dari petunjuk Ilahi. Oleh karena itu, bagi setiap pasangan Muslim, memahami dan menginternalisasi surah-surah Al-Qur’an yang secara spesifik membahas pernikahan dan etika rumah tangga adalah sebuah keharusan, bukan pilihan. Ayat-ayat ini berfungsi sebagai peta jalan, panduan moral, dan sumber energi spiritual yang tak pernah habis, memastikan bahtera rumah tangga berlayar menuju tujuan akhir yang diridhai.

Kajian ini akan menyoroti beberapa surah dan ayat kunci yang wajib menjadi pegangan bagi pasangan suami istri. Fokus utama kita terletak pada bagaimana konsep-konsep ilahiah—seperti Sakinah (ketenangan), Mawaddah (cinta aktif), Rahmah (kasih sayang), dan Taqwa (ketakwaan)—dijadikan pilar fundamental yang menopang seluruh struktur kehidupan berumah tangga. Setiap surah yang dibahas memiliki peran unik, mulai dari penetapan dasar keadilan dan hak (Surah An-Nisa), hingga penegasan tujuan eksistensial pernikahan (Surah Ar-Rum), serta petunjuk praktis mengenai komunikasi dan konflik (Surah Al-Baqarah).

1. Pilar Kedamaian dan Kasih Sayang: Surah Ar-Rum (Ayat 21)

Surah Ar-Rum, khususnya ayat ke-21, adalah manifestasi teologis yang paling indah dan ringkas mengenai esensi pernikahan. Ayat ini sering dibacakan dalam akad nikah karena ia merangkum seluruh tujuan ilahiah dari sebuah ikatan suci. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang fungsi sosial, tetapi tentang peran pernikahan sebagai salah satu tanda kebesaran Allah (Min Aayaatihi) di alam semesta.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram (litaskunū) kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah). Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Kekuatan ayat ini terletak pada tiga konsep sentral yang saling terkait:

a. Sakinah (Ketenangan dan Keseimbangan)

Kata litaskunū ilaihā (agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya) menetapkan tujuan utama pernikahan: mencari ketenangan. Sakinah adalah kedamaian batin, rasa aman, dan stabilitas emosional yang hanya bisa ditemukan dalam ikatan suci ini. Rumah tangga harus menjadi pelabuhan yang melindungi pasangan dari badai kehidupan luar. Ini adalah penegasan bahwa manusia secara fitrah membutuhkan pasangan untuk mencapai keseimbangan psikologis dan spiritual. Tanpa Sakinah, rumah hanyalah bangunan fisik; dengan Sakinah, rumah menjadi tempat bersemayamnya jiwa yang damai. Proses pencapaian Sakinah memerlukan upaya sadar dari kedua belah pihak untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari ketakutan, kecemasan, dan konflik yang berkepanjangan. Ketenangan ini berakar pada saling percaya dan jaminan keamanan emosional, memastikan bahwa setiap pasangan merasa dihargai dan diterima sepenuhnya oleh pasangannya.

Pengertian Sakinah tidak statis. Ia terus berevolusi seiring pertumbuhan usia pernikahan. Pada fase awal, Sakinah mungkin berarti kegembiraan dan keintiman; namun, di fase selanjutnya, Sakinah lebih merujuk pada ketahanan menghadapi ujian dan kepastian bahwa pasangannya akan tetap berada di sisi mereka, menjadikannya tonggak ketenangan dalam menghadapi tantangan dunia yang selalu berubah. Oleh karena itu, Sakinah berfungsi sebagai barometer kesehatan spiritual rumah tangga. Jika ketenangan itu hilang, maka pondasi spiritual perlu direvisi dan diperkuat kembali melalui praktik ketakwaan bersama.

b. Mawaddah (Cinta Aktif dan Antusias)

Mawaddah sering diartikan sebagai cinta yang bersemangat, gairah, dan ketertarikan aktif, terutama pada awal pernikahan. Ini adalah aspek cinta yang tampak, yang memicu keintiman fisik dan emosional. Mawaddah membutuhkan pemeliharaan; ia adalah ekspresi cinta yang harus diwujudkan melalui perbuatan, hadiah, pujian, dan perhatian yang tulus. Mawaddah memastikan bahwa hubungan suami istri tetap hidup dan bergairah, melawan rutinitas dan kebosanan yang seringkali menggerogoti ikatan pernikahan.

Penting untuk dipahami bahwa Mawaddah adalah cinta yang diekspresikan secara sukarela dan penuh semangat, didorong oleh keinginan untuk membahagiakan pasangan. Ini mencakup aspek-aspek romantis dan kekaguman. Ketika Al-Qur'an menyebutkan Mawaddah, ia menekankan bahwa cinta ini adalah karunia yang diletakkan Allah dalam hati pasangan, tetapi karunia tersebut harus dijaga dan disuburkan melalui interaksi positif dan komunikasi yang efektif. Kualitas Mawaddah akan sangat memengaruhi iklim emosional rumah tangga, menentukan apakah interaksi harian terasa hangat atau dingin.

c. Rahmah (Kasih Sayang dan Belas Kasih)

Rahmah (kasih sayang) adalah dimensi yang jauh lebih dalam dan abadi. Jika Mawaddah adalah cinta yang bersemi di musim semi, maka Rahmah adalah akar yang kuat yang menahan badai di musim dingin. Rahmah adalah belas kasih, pengampunan, dan kesediaan untuk menerima kekurangan pasangan. Rahmah menjadi sangat penting ketika gairah (Mawaddah) mulai meredup, ketika pasangan sakit, atau ketika masalah finansial melanda. Rahmah memastikan bahwa ikatan itu tetap utuh berdasarkan rasa tanggung jawab dan kemanusiaan yang mendalam.

Rasulullah SAW adalah contoh sempurna dari Rahmah ini, bagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau dengan penuh belas kasih, bahkan dalam momen-momen konflik. Dalam konteks pernikahan, Rahmah adalah janji untuk tidak meninggalkan pasangan saat mereka berada di titik terendah. Ini adalah wujud ketaatan tertinggi kepada Allah, karena menunjukkan kemampuan manusia untuk meniru sifat Ilahi, yaitu Maha Penyayang (Ar-Rahman dan Ar-Rahim). Pasangan yang mempraktikkan Rahmah akan selalu mencari alasan untuk memaafkan, bukannya alasan untuk menghakimi. Mereka melihat pernikahan sebagai wadah untuk saling menyempurnakan, bukan ajang untuk mencari kesalahan. Tanpa Rahmah, pernikahan akan runtuh saat ujian tiba.

Simbol Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah Representasi visual dari kedamaian dan cinta dalam pernikahan, ditunjukkan dengan dua bentuk yang menyatu di bawah atap kedamaian. Sakinah Mawaddah Rahmah

Diagram Konsep Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah

2. Dasar Hukum dan Keadilan: Surah An-Nisa (Ayat 1, 3, 19, 34)

Surah An-Nisa (Wanita) secara ekstensif membahas struktur masyarakat, hak-hak perempuan, warisan, dan aturan pernikahan yang berlandaskan keadilan. Surah ini adalah fondasi etika sosial Islam, dan peranannya dalam pernikahan sangat fundamental karena menetapkan hak dan kewajiban secara spesifik. Tanpa memahami An-Nisa, praktik keadilan dalam rumah tangga—yang merupakan prasyarat Sakinah—tidak akan tercapai.

a. An-Nisa Ayat 1: Sumber dan Ketakwaan (Taqwa)

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa: 1)

Ayat pembuka ini adalah penetapan filosofis yang krusial. Pernikahan ditempatkan dalam konteks penciptaan tunggal (dari jiwa yang satu, nafs wahidah). Ini menekankan kesetaraan asal usul spiritual antara laki-laki dan perempuan. Kedua, ayat ini menghubungkan hubungan pernikahan dan kekerabatan (al-arḥām) langsung dengan perintah Taqwa (ketakwaan). Artinya, cara terbaik untuk menjaga hubungan pernikahan bukanlah dengan manajemen emosi semata, melainkan dengan takut kepada Allah dan menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi (raqīban) setiap interaksi, perkataan, dan perbuatan yang dilakukan di dalam rumah tangga. Taqwa menjadi benteng moralitas yang menjaga suami istri dari melanggar hak-hak pasangannya. Kedalaman Taqwa dalam hati pasanganlah yang akan menentukan sejauh mana mereka mampu memelihara Mawaddah dan mempraktikkan Rahmah, terutama dalam situasi yang sulit.

b. An-Nisa Ayat 34: Tanggung Jawab dan Perlindungan (Qawwamun)

Ayat 34 adalah salah satu ayat yang paling sering disalahpahami, namun sejatinya, ia adalah kerangka tanggung jawab. Ayat ini menetapkan konsep Qawwamun. Peran Qawwamun (pemimpin, pelindung, dan penanggung jawab) diberikan kepada suami karena dua alasan utama: 1) kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian atas yang lain (merujuk pada kekuatan fisik dan tanggung jawab nafkah), dan 2) karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka.

Inti dari Qawwamun bukanlah dominasi, melainkan tanggung jawab finansial dan perlindungan. Suami bertanggung jawab penuh atas nafkah istri dan anak-anak, bahkan jika istri memiliki penghasilan sendiri. Kewajiban nafkah inilah yang memvalidasi posisi suami sebagai pelindung dan pengurus utama. Jika tanggung jawab nafkah ini diabaikan, maka dasar dari Qawwamun itu sendiri menjadi lemah. Oleh karena itu, ketaatan istri kepada suami terkait erat dengan pemenuhan hak-haknya. Jika hak istri dilanggar, maka kerangka etika yang ditetapkan Al-Qur'an terganggu.

Kajian mendalam tentang Qawwamun harus mencakup kewajiban perlindungan emosional dan spiritual. Seorang suami yang Qawwam adalah pemimpin yang membawa keluarganya menuju kebaikan, yang melayani dengan rendah hati, dan yang menjadikan rumah tangga sebagai tempat berlatih kesabaran dan keutamaan moral. Pemimpin yang baik tidak pernah menzalimi yang dipimpinnya. Hal ini membawa kita kembali pada semangat Rahmah dan Mawaddah; kepemimpinan suami haruslah selalu dibingkai dalam kerangka kasih sayang, jauh dari sifat otoriter atau diktator.

c. An-Nisa Ayat 19: Perlakuan Baik dan Etika Interaksi

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan jalan paksa. Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut (bil-ma'rūf). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)

Ini adalah perintah emas dalam etika pernikahan: wa 'āsyirūhunna bil-ma'rūf (dan bergaullah dengan mereka secara patut/baik). Perintah ini mencakup seluruh spektrum interaksi, mulai dari komunikasi lisan, ekspresi wajah, hingga pemenuhan kebutuhan. Bil-ma'rūf menuntut perlakuan yang tidak hanya adil secara hukum, tetapi juga menyenangkan, hormat, dan sesuai dengan norma-norma kebaikan yang diakui secara sosial dan spiritual. Ini adalah penegasan bahwa suami memiliki kewajiban etis untuk memastikan istrinya diperlakukan dengan penuh kemuliaan, bahkan dalam situasi ketidakcocokan atau perbedaan pendapat.

Bagian kedua ayat ini memberikan nasihat psikologis yang mendalam: jika kamu tidak menyukai sesuatu dari mereka, bersabarlah, karena Allah mungkin menyimpan kebaikan yang banyak di dalamnya. Ini mengajarkan pentingnya perspektif jangka panjang, kesabaran (sabr), dan penerimaan. Pernikahan adalah wadah pengujian di mana kesempurnaan tidak ada. Kekurangan pasangan adalah ladang bagi kita untuk mempraktikkan Rahmah dan meraih pahala dari kesabaran. Nasihat ini mendorong pasangan untuk fokus pada kebaikan yang lebih besar daripada terperosok pada detail-detail kecil yang mengganggu atau kekurangan yang minor. Kesabaran ini, yang berakar pada keyakinan bahwa Allah mengawasi dan memberikan balasan, adalah kunci untuk mengubah potensi konflik menjadi sumber pahala dan ikatan yang lebih kuat. Prinsip bil-ma'ruf menuntut bahwa kebaikan yang dilakukan dalam rumah tangga harus selalu melebihi ekspektasi minimum.

3. Pedoman Komunikasi dan Resolusi Konflik: Surah Al-Baqarah

Surah Al-Baqarah, meskipun panjang dan membahas berbagai topik, mengandung beberapa ayat penting yang mengatur etika interaksi, terutama dalam situasi konflik dan keputusan penting. Ayat-ayat ini menanamkan prinsip kejujuran, kejelasan, dan keadilan mutlak.

a. Al-Baqarah Ayat 228: Kesetaraan Hak dan Tanggung Jawab

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Ayat ini adalah fondasi kesetaraan fungsional dalam pernikahan. Frasa walahunna mithlul-ladzī ‘alayhinna bil-ma'rūf (wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka secara patut) menegaskan prinsip resiprokal: hak dan kewajiban harus seimbang. Apa yang dituntut dari istri, maka hak yang sepadan harus dipenuhi oleh suami, dan sebaliknya, semuanya harus dilakukan secara bil-ma'rūf (patut/baik). Ini menuntut komunikasi terbuka tentang peran dan ekspektasi, memastikan tidak ada pihak yang merasa terzalimi atau dieksploitasi. Kesetaraan ini mencakup hak untuk dihormati, hak untuk mendapatkan nafkah yang layak, hak atas keintiman, dan hak untuk didengarkan.

Adapun darajah (satu tingkatan kelebihan) bagi suami yang disebutkan di akhir ayat, ini ditafsirkan sebagai tanggung jawab Qawwamun (perlindungan dan nafkah) yang sudah kita bahas dalam An-Nisa 34. Tingkatan ini adalah beban tanggung jawab, bukan izin untuk berbuat tirani. Ia adalah tingkatan dalam kewajiban memimpin dan menanggung kesulitan, yang pada gilirannya menuntut istri untuk menghormati kepemimpinan tersebut. Pemahaman yang benar tentang ayat ini mengharuskan pasangan untuk melihat satu sama lain sebagai tim yang setara dalam martabat, tetapi berbeda dalam peran fungsional, semuanya demi mencapai tujuan Sakinah.

b. Al-Baqarah Ayat 201: Doa Kebaikan Dunia dan Akhirat

Meskipun bukan ayat khusus tentang pernikahan, doa yang terdapat dalam ayat ini (Rabbana atina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah) harus menjadi inti dari visi rumah tangga Islami. Pernikahan tidak hanya bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan di dunia (hasanah fid-dunya), tetapi juga untuk mempersiapkan bekal di akhirat (hasanah fil-akhirah).

Dalam konteks rumah tangga, hasanah fid-dunya mencakup kesehatan, rezeki yang halal, anak-anak yang shalih, dan keharmonisan. Sementara hasanah fil-akhirah berarti bahwa seluruh aktivitas pernikahan—mulai dari melayani pasangan, mendidik anak, hingga bersabar menghadapi ujian—diperhitungkan sebagai ibadah dan penyelamat dari api neraka. Visi dualistik ini mencegah pasangan menjadi terlalu fokus pada kesenangan material semata, dan sebaliknya, menjadikan setiap interaksi sebagai peluang untuk meningkatkan kualitas takwa bersama. Pernikahan adalah sekolah spiritual di mana pasangan secara kolektif berjuang untuk meraih Surga. Jika visi akhirat ini hilang, pernikahan akan mudah goyah oleh tekanan duniawi.

Oleh karena itu, setiap diskusi mengenai hak dan kewajiban dalam An-Nisa dan Al-Baqarah harus selalu diwarnai oleh semangat Ar-Rum 21 (Sakinah, Mawaddah, Rahmah) dan dimotivasi oleh harapan meraih Hasanah fil Akhirah. Ini adalah tautan spiritual yang mengikat semua ayat pernikahan menjadi satu kesatuan holistik. Tanpa visi akhirat, konsep Rahmah akan terasa sulit dipraktikkan saat pengorbanan dituntut.

4. Penguatan Etika Rumah Tangga (Surah At-Tahrim)

Surah At-Tahrim memberikan pelajaran penting mengenai batas-batas privasi, pentingnya menjaga lisan, dan perlunya membangun benteng pertahanan spiritual keluarga. Surah ini menekankan bahwa tanggung jawab terbesar pasangan Muslim bukanlah sekadar menjaga diri sendiri, tetapi juga menjaga pasangannya dan anak-anaknya dari api neraka (QS. At-Tahrim: 6).

a. At-Tahrim Ayat 6: Kewajiban Menjaga Diri dan Keluarga (Wiqāyah)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Ini adalah ayat yang memberikan beban tanggung jawab spiritual tertinggi dalam pernikahan. Pernikahan bukan hanya tentang kesenangan duniawi; ia adalah misi penyelamatan bersama. Tanggung jawab suami (sebagai Qawwamun) dan istri (sebagai ratu rumah tangga dan pendidik awal) adalah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ketakwaan. Ini mencakup pendidikan agama yang konsisten, penanaman nilai-nilai moral, dan memastikan bahwa rezeki yang masuk ke rumah adalah halal.

Kewajiban ini, Qū anfusakum wa ahlīkum nārā (jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka), menuntut upaya proaktif. Ini berarti pasangan harus saling mengingatkan, menegur dengan lembut (dengan Rahmah), dan bersinergi dalam ibadah. Jika pasangan melihat pasangannya mulai menjauh dari ketaatan, adalah kewajiban agama untuk menariknya kembali dengan cinta, bukan penghakiman. Visi ini mengarahkan energi pernikahan dari sekadar memenuhi kebutuhan fisik menjadi pencapaian spiritual kolektif. Tanpa kesadaran akan misi penyelamatan ini, potensi konflik rumah tangga akan meningkat karena kurangnya fokus pada tujuan yang lebih tinggi.

5. Elaborasi Mendalam: Integrasi Konsep Inti dalam Praktik Hidup Berumah Tangga

Penerapan praktis dari surah-surah yang telah dibahas menuntut pemahaman mendalam tentang bagaimana tiga pilar utama—Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah—beroperasi dalam kehidupan sehari-hari, didasari oleh prinsip Taqwa (An-Nisa 1) dan praktik Bil-Ma’ruf (An-Nisa 19 dan Al-Baqarah 228).

Pilar A: Praktik Mawaddah (Cinta Aktif) dalam Keseharian

Mawaddah, sebagai cinta yang bersemangat, tidak boleh dianggap sebagai emosi pasif yang muncul dengan sendirinya. Ia adalah tindakan yang memerlukan komitmen. Untuk memenuhi tuntutan Ar-Rum 21 ini, pasangan harus secara aktif mencari cara untuk menyenangkan satu sama lain. Hal ini sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW yang mendorong suami untuk berinteraksi dengan istrinya dengan cara terbaik. Mawaddah diwujudkan melalui:

Ketika Mawaddah dipraktikkan secara aktif, ia menjadi sumber energi yang melindungi pernikahan dari keretakan. Pasangan akan selalu merasa berharga dan diinginkan, sebuah perasaan yang sangat penting untuk membangun Sakinah.

Pilar B: Membangun Sakinah (Ketenangan) melalui Manajemen Konflik

Konflik adalah keniscayaan dalam setiap pernikahan. Sakinah diukur bukan dari ketiadaan konflik, tetapi dari cara konflik itu dikelola. Al-Qur'an (khususnya Al-Baqarah dan An-Nisa) menyediakan kerangka kerja untuk resolusi konflik yang berlandaskan Rahmah dan keadilan:

  1. Pendekatan Kompromi (An-Nisa 19): Mengingat bahwa Allah mungkin menyimpan kebaikan dalam hal yang kita benci. Ini mendorong pasangan untuk bersabar dan mencari titik temu, bukan kemenangan pribadi.
  2. Konsultasi Internal: Sebelum melibatkan pihak luar, pasangan didorong untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri dengan kepala dingin, mencari keridhaan Allah di atas ego pribadi.
  3. Intervensi Penengah (An-Nisa 35): Jika konflik memburuk, Al-Qur'an memerintahkan pengangkatan dua juru damai (hakam), satu dari pihak suami dan satu dari pihak istri. Ini menegaskan bahwa penyelesaian konflik adalah tanggung jawab komunal (keluarga besar), dan harus didasarkan pada keinginan tulus untuk memperbaiki (in yurīdā iṣlāḥan). Ini adalah jaminan keadilan dalam proses mediasi.

Pencapaian Sakinah membutuhkan transparansi finansial dan emosional, karena ketidakpastian adalah pembunuh utama ketenangan. Pasangan yang saling jujur dalam masalah harta dan perasaan akan memiliki fondasi Sakinah yang lebih kuat.

Pilar C: Penerapan Rahmah (Kasih Sayang) sebagai Tali Pengikat

Rahmah adalah perekat spiritual yang memastikan pernikahan bertahan melampaui fase cinta yang membara. Praktik Rahmah mencakup:

Semua aspek ini menegaskan bahwa surah tentang pernikahan tidak hanya memberikan resep, tetapi juga menjelaskan bahwa pernikahan adalah ibadah yang paling lama dan paling kompleks, menuntut pemanfaatan semua sifat mulia yang diajarkan oleh Islam.

6. Kewajiban Ekonomi dan Nafkah dalam Surah An-Nisa

Aspek ekonomi adalah salah satu penyebab utama kegagalan Sakinah. Oleh karena itu, Surah An-Nisa memberikan pedoman yang sangat tegas mengenai hak finansial. Kewajiban nafkah bukan sekadar pemberian uang, tetapi pengakuan atas martabat istri dan jaminan keamanannya, yang sepenuhnya dijamin oleh suami, terlepas dari status ekonomi istri.

a. Mahar (Pemberian Wajib)

Mahar adalah hak mutlak istri dan harus diberikan dengan tulus (niḥlatan). Al-Qur’an menekankan bahwa pemberian mahar merupakan kewajiban yang harus ditunaikan, bukan sekadar simbolis. Ini adalah wujud penghormatan dan pengakuan atas perpindahan tanggung jawab dari ayah kepada suami. Jika suami memiliki keterbatasan finansial, tidak boleh ada penundaan atau penangguhan yang tidak beralasan, karena hal ini merusak fondasi keadilan yang ditekankan oleh An-Nisa.

b. Nafkah Harian

Nafkah meliputi kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Kewajiban ini harus dipenuhi sesuai kemampuan suami (QS. At-Talaq: 7, meskipun At-Talaq fokus pada konteks talak, prinsip kemampuan finansial berlaku universal). Konsep Bil-Ma'ruf berlaku di sini; nafkah harus diberikan dengan cara yang baik, tanpa disertai celaan, keluhan, atau pengungkitan jasa, karena hal tersebut akan menghilangkan Mawaddah dan merusak Sakinah.

Penting untuk diingat bahwa jaminan finansial yang diberikan oleh suami adalah syarat agar Qawwamun berfungsi secara etis. Apabila seorang suami gagal menunaikan nafkah tanpa alasan syar'i, ia telah melanggar prinsip-prinsip keadilan fundamental yang ditekankan berulang kali dalam Al-Qur’an. Pelanggaran ini secara langsung mengikis hak istri untuk merasakan Sakinah dan Rahmah.

7. Mītsāqan Ghalīẓā: Ikatan yang Kuat

Konsep Mītsāqan Ghalīẓā (perjanjian yang kokoh/kuat) disebutkan dalam Surah An-Nisa (Ayat 21) dalam konteks pernikahan. Meskipun frasa ini juga digunakan untuk perjanjian antara Allah dan para Nabi, penggunaannya dalam konteks pernikahan menunjukkan betapa sakral dan beratnya ikatan ini. Ini bukan hanya kontrak sipil, melainkan perjanjian yang dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah.

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bercampur dengan sebagian yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isteri kamu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (Mītsāqan Ghalīẓā)?” (QS. An-Nisa: 21)

Penggunaan istilah ini harus dihayati oleh setiap pasangan. Ini berarti bahwa pelanggaran terhadap etika pernikahan (seperti penelantaran, kekerasan, atau pengkhianatan) adalah pelanggaran terhadap perjanjian suci dengan konsekuensi spiritual yang besar. Kesadaran akan Mītsāqan Ghalīẓā memotivasi pasangan untuk menjaga ikatan dengan integritas dan kejujuran maksimal. Ini adalah pengingat bahwa hubungan ini jauh lebih besar daripada dua individu yang terlibat; ia melibatkan campur tangan dan pengawasan Ilahi.

Memelihara Mītsāqan Ghalīẓā menuntut komitmen terus-menerus untuk menjaga Sakinah, menyuburkan Mawaddah, dan memperluas cakupan Rahmah. Setiap kali terjadi perselisihan, pasangan harus kembali mengingat bahwa mereka terikat oleh sumpah yang paling kuat, sumpah yang melibatkan nama Allah. Penegasan ini memastikan bahwa semua pedoman yang diberikan dalam Al-Qur’an, mulai dari etika komunikasi hingga kewajiban finansial, diletakkan di atas landasan teologis yang tidak dapat digoyahkan.

Pilar-pilar pernikahan Islami, seperti yang dieksplorasi dari Surah Ar-Rum, An-Nisa, dan Al-Baqarah, tidak pernah berdiri sendiri. Sakinah mustahil dicapai tanpa Taqwa. Mawaddah akan pudar tanpa pembaruan Bil-Ma'ruf. Dan yang paling penting, ikatan Mītsāqan Ghalīẓā hanya bisa dipertahankan melalui pengamalan Rahmah yang konsisten, khususnya saat berhadapan dengan kekurangan dan kelemahan pasangan. Pernikahan adalah wadah untuk meraih keridhaan Ilahi secara kolektif, sebuah perjalanan spiritual yang dibimbing oleh cahaya Al-Qur'an.

8. Kedalaman Tafsir dan Praktik Surah-Surah Pendukung

Selain surah-surah utama di atas, terdapat surah-surah lain yang memperkuat etika dalam rumah tangga, terutama dalam hal menjaga lisan dan kesabaran, yang keduanya sangat penting untuk memelihara Sakinah dan Mawaddah.

a. Surah Al-Hujurat: Etika Berkomunikasi

Meskipun Surah Al-Hujurat secara umum membahas etika sosial (Adab), ayat-ayatnya sangat relevan dalam pernikahan. Larangan berprasangka buruk (tajassus), menggunjing (ghibah), dan mencela satu sama lain adalah perintah yang harus diterapkan secara ketat dalam privasi rumah tangga. Banyak rumah tangga hancur bukan karena masalah besar, tetapi karena kegagalan menjaga lisan dan etika komunikasi harian. Pasangan harus menjadi yang pertama dan yang paling utama dalam mempraktikkan husnudzon (prasangka baik). Kepercayaan adalah bahan bakar utama Sakinah, dan kepercayaan tidak akan tumbuh di tengah-tengah kebiasaan saling mencurigai atau mencela, yang jelas dilarang oleh Surah Al-Hujurat.

Penerapan Al-Hujurat dalam rumah tangga adalah cermin dari komitmen terhadap Bil-Ma'ruf. Berbicara kepada pasangan dengan nada yang hormat, menghindari ejekan atau panggilan buruk, dan memvalidasi perasaan mereka adalah bentuk ketaatan terhadap etika Al-Qur’an. Ketika komunikasi dilakukan dengan penuh penghargaan, Mawaddah secara alami akan berkembang, dan potensi konflik besar akan berkurang drastis.

b. Surah Yusuf: Keutamaan Kesabaran dan Penjagaan Diri

Kisah Nabi Yusuf A.S. mengajarkan tentang pentingnya kesabaran (sabr) dan menjaga kehormatan di tengah godaan. Meskipun Surah Yusuf tidak secara langsung membahas pernikahan, prinsip sabr yang ditekankannya sangat esensial. Pernikahan akan menghadapi ujian kesabaran, baik dalam menghadapi karakter pasangan yang berbeda, kesulitan ekonomi, atau godaan eksternal.

Dalam konteks Rahmah, kesabaran adalah manifestasi dari belas kasih. Suami dan istri dituntut untuk sabar menghadapi kekurangan pasangannya, sebagaimana yang disarankan oleh An-Nisa 19. Kesabaran juga berarti menahan diri dari respons emosional yang merusak saat terjadi ketegangan. Kesabaran, yang bersumber dari Taqwa, mengubah kesulitan dalam pernikahan menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, memastikan bahwa fondasi pernikahan tetap kokoh meskipun badai datang silih berganti.

9. Saling Melengkapi: Pakaian dan Ketenangan

Penting untuk mengulang dan memperdalam metafora yang digunakan Al-Qur’an mengenai hubungan suami istri, yaitu sebagai pakaian satu sama lain (QS. Al-Baqarah: 187). Ayat ini, meskipun berbicara tentang hukum puasa, memberikan gambaran hubungan yang sempurna:

Pakaian (Libās) memiliki tiga fungsi utama:

  1. Penutup Aib: Pasangan wajib menutupi kekurangan, kesalahan, dan privasi masing-masing. Membuka aib pasangan adalah merusak fungsi dasar pernikahan. Ini adalah manifestasi tertinggi dari Rahmah.
  2. Pelindung: Pakaian melindungi dari panas dan dingin. Pasangan berfungsi sebagai pelindung satu sama lain dari godaan, tekanan sosial, dan kesulitan hidup. Suami melindungi secara fisik dan finansial; istri melindungi kehormatan dan keharmonisan rumah tangga.
  3. Perhiasan: Pakaian memperindah pemakainya. Hubungan yang sehat seharusnya memperindah kehidupan pasangan, meningkatkan martabat sosial dan spiritual mereka. Ketika seseorang dalam pernikahan merasa diperindah, ini berarti Mawaddah sedang bersemi.

Kombinasi antara metafora pakaian ini dengan tuntutan Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah menciptakan sebuah model pernikahan yang ideal, di mana tujuan duniawi (ketenangan dan cinta) dan tujuan ukhrawi (perlindungan dari api neraka) menyatu secara harmonis. Semakin pasangan memahami peran mereka sebagai "pakaian," semakin mudah mereka mempraktikkan keadilan dan kasih sayang yang diamanatkan dalam Surah An-Nisa dan Ar-Rum.

Pengabaian terhadap salah satu fungsi ini—penutup aib, pelindung, atau perhiasan—akan mengurangi potensi pencapaian Sakinah. Jika pasangan tidak saling melindungi, mereka hidup dalam kecemasan. Jika mereka tidak saling menutup aib, mereka hidup dalam rasa malu. Jika mereka tidak saling memperindah, Mawaddah akan mati suri. Oleh karena itu, ketiga fungsi ini harus berjalan seiring dengan visi Mītsāqan Ghalīẓā.

10. Kesimpulan Holistik: Pernikahan sebagai Ibadah Jangka Panjang

Kajian mendalam terhadap surah-surah Al-Qur’an tentang pernikahan menyimpulkan bahwa Islam memandang pernikahan sebagai institusi multi-dimensi: kontrak hukum, perjanjian spiritual, sarana ketenangan psikologis, dan medan jihad dalam meraih ketakwaan. Surah Ar-Rum 21 memberikan visi tujuan (Sakinah, Mawaddah, Rahmah); Surah An-Nisa memberikan kerangka hukum dan keadilan (Qawwamun, Taqwa, Bil-Ma'ruf); dan Surah At-Tahrim memberikan misi spiritual kolektif (menjaga diri dan keluarga dari api neraka).

Untuk memastikan fondasi ini kokoh, setiap pasangan harus terus merefleksikan tiga pertanyaan kunci yang berakar pada ayat-ayat ini:

  1. Apakah rumah tangga kami masih menjadi sumber Sakinah? (Refleksi Ar-Rum 21: Ketenangan batin).
  2. Bagaimana kami aktif memelihara Mawaddah? (Refleksi Ar-Rum 21 dan An-Nisa 19: Perlakuan Bil-Ma'ruf dan Cinta Aktif).
  3. Sejauh mana kami mempraktikkan Rahmah, terutama saat ujian datang? (Refleksi An-Nisa 19 dan Mītsāqan Ghalīẓā: Kesabaran dan Belas Kasih).

Pernikahan yang berhasil adalah pernikahan yang dibangun atas dasar ketakwaan (Taqwa) dan dijalankan dengan kasih sayang (Rahmah). Ini adalah investasi akhirat, janji abadi, dan bukti nyata dari keindahan hukum Ilahi yang dirancang untuk memberikan kedamaian tertinggi bagi manusia di dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat. Dengan berpegang teguh pada petunjuk dalam surah-surah ini, pasangan Muslim dapat memastikan bahwa ikatan mereka tetap kuat dan diberkahi, mencapai status Mītsāqan Ghalīẓā yang sebenarnya, yaitu perjanjian suci yang membawa pada kehidupan yang baik di dunia dan keselamatan di sisi Allah SWT.

Simbol Perlindungan dan Ketakwaan Keluarga Representasi simbolis dari perlindungan keluarga dan arah spiritual menuju cahaya. Petunjuk Ilahi

Diagram Visi Keluarga Berdasarkan Taqwa dan Petunjuk

Pengulangan dan penekanan terhadap pentingnya Sakinah, Mawaddah, Rahmah, Taqwa, dan Bil-Ma'ruf dalam setiap fase pernikahan merupakan esensi dari ajaran Al-Qur'an. Ini bukan sekadar teori, melainkan serangkaian tuntunan praktis yang, jika diterapkan dengan ikhlas dan konsisten, akan menghasilkan rumah tangga yang stabil, penuh cinta, dan diberkahi. Kekuatan surah-surah ini terletak pada kemampuannya untuk mengubah hubungan manusiawi yang rentan menjadi ikatan spiritual yang kuat, sebuah Mītsāqan Ghalīẓā yang diakui di langit dan di bumi. Keseriusan dalam mengamalkan setiap perintah dan etika yang termaktub dalam Surah Ar-Rum, An-Nisa, Al-Baqarah, dan At-Tahrim adalah kunci utama untuk mencapai kebahagiaan sejati dalam pernikahan.

Penting untuk diingat bahwa setiap rincian dari kewajiban nafkah (An-Nisa), hak-hak istri (Al-Baqarah), dan kepemimpinan suami (An-Nisa 34) harus dilaksanakan dengan spirit Rahmah. Jika keadilan ditegakkan tanpa kasih sayang, ia akan menjadi kaku dan menghancurkan. Sebaliknya, jika kasih sayang diberikan tanpa bingkai keadilan, ia akan menjadi rapuh dan tidak berkelanjutan. Integrasi sempurna dari keadilan (hukum) dan kasih sayang (etika) inilah yang membuat tuntunan Al-Qur'an tentang pernikahan bersifat universal dan abadi.

Oleh karena itu, surah-surah tentang pernikahan merupakan kurikulum lengkap yang mencakup dimensi hukum, sosial, psikologis, dan spiritual. Menghafal ayat-ayatnya saja tidaklah cukup; yang lebih penting adalah mengamalkannya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, menjadikannya standar tertinggi dalam setiap interaksi dan keputusan yang diambil oleh pasangan suami istri. Dalam kesungguhan menjalankan ajaran Al-Qur'an inilah letak keberkahan dan kebahagiaan hakiki dalam rumah tangga.

🏠 Kembali ke Homepage