Kerentanan di tengah hiruk pikuk kota.
Mengemis, dalam konteks sosial dan ekonomi modern, jauh melampaui sekadar tindakan meminta belas kasihan. Ia adalah sebuah fenomena kompleks yang menjadi indikator tajam kegagalan sistem perlindungan sosial, ketidakmerataan ekonomi, dan sekaligus sebuah profesi bayangan yang terorganisir. Di hampir setiap sudut kota besar di seluruh dunia, citra seseorang yang menadahkan tangan adalah pemandangan yang menyentuh, namun di balik citra kerentanan tersebut tersembunyi dilema etis, masalah hukum, dan jaringan eksploitasi yang rumit.
Awalnya, mengemis dipahami sebagai respons primal terhadap kemiskinan ekstrem atau ketidakmampuan fisik untuk bekerja. Namun, seiring waktu dan perubahan struktur masyarakat, terutama dengan gelombang urbanisasi yang masif, aktivitas ini telah bertransformasi. Kota-kota yang menjadi pusat kemakmuran dan kesempatan juga menjadi magnet bagi mereka yang terpinggirkan. Kontras mencolok antara pencakar langit mewah dan tangan yang menengadah di bawahnya adalah manifestasi visual dari kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin melebar. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan individu yang gagal beradaptasi, tetapi sistem yang gagal untuk melindungi warga paling rentan.
Ketika seseorang berhadapan dengan pengemis, respons naluriah seringkali berupa rasa kasihan. Tindakan memberi didorong oleh prinsip kemanusiaan dan amal. Namun, ketika praktik mengemis semakin masif dan dicurigai terorganisir, muncul perdebatan etis: apakah memberi uang benar-benar membantu individu tersebut atau justru memperkuat sistem yang mengeksploitasi mereka? Pemerintah dan masyarakat sipil bergumul dengan pertanyaan ini, mencari keseimbangan antara pemenuhan hak dasar warga negara dan menjaga ketertiban umum serta kebersihan kota.
Mengemis memiliki berbagai wajah: ada pengemis disabilitas sejati, pengemis musiman yang muncul saat hari raya, dan kelompok pengemis profesional yang menjadikan kegiatan ini sebagai sumber penghasilan utama, bahkan sering kali lebih besar dari upah minimum regional. Untuk memahami akar masalah, kita harus membedah setiap lapisan kompleksitas ini, mulai dari faktor pendorong individu hingga peran sindikasi yang menaungi mereka.
Penyebab utama dari praktik mengemis hampir selalu berakar pada kemiskinan, tetapi penting untuk membedakan antara kemiskinan yang disebabkan oleh faktor personal dan kemiskinan yang sifatnya struktural dan sistemik. Tanpa memahami akar ini, intervensi kebijakan hanya akan bersifat tambal sulam.
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, JPS belum mampu mencakup seluruh lapisan masyarakat rentan. Program bantuan sosial seringkali tidak menjangkau kelompok marjinal seperti imigran internal, penduduk tanpa identitas jelas, atau mereka yang tinggal di pemukiman kumuh tak terdaftar. Ketika mekanisme formal gagal menyediakan kebutuhan dasar—sandang, pangan, dan kesehatan—mengemis menjadi strategi bertahan hidup yang paling mudah diakses dan instan.
Fluktuasi ekonomi global atau krisis nasional dapat menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Bagi pekerja dengan keterampilan rendah atau mereka yang sudah berusia lanjut, peluang untuk kembali mendapatkan pekerjaan formal sangat kecil. Bagi mereka yang tidak memiliki tabungan atau aset, transisi dari pekerja formal menjadi pengemis bisa terjadi dalam waktu singkat. Mengemis menjadi 'pekerjaan' substitusi yang tidak memerlukan modal awal selain keberanian dan kemampuan menarik simpati.
Arus urbanisasi menjanjikan kehidupan yang lebih baik, namun seringkali realitasnya jauh dari harapan. Migran desa yang datang ke kota tanpa keterampilan, modal, atau jaringan sosial yang memadai cepat terperangkap dalam kemiskinan kota. Mereka tidak memiliki rumah, dan pekerjaan yang tersedia adalah sektor informal yang sangat rentan. Mengemis, atau menjadi gelandangan-pengemis (gepeng), seringkali menjadi nasib akhir bagi mereka yang gagal menembus kerasnya persaingan di perkotaan.
Individu dengan disabilitas fisik atau mental, terutama yang tidak mendapatkan rehabilitasi atau pelatihan keterampilan, menghadapi hambatan besar dalam pasar kerja formal. Di banyak masyarakat, disabilitas masih membawa stigma. Tanpa dukungan finansial dari keluarga atau pemerintah, meminta-minta adalah satu-satunya cara untuk bertahan. Dalam kasus yang lebih tragis, disabilitas ini sengaja dieksploitasi oleh sindikat, bahkan kadang-kadang disabilitas tersebut adalah hasil dari mutilasi yang disengaja untuk meningkatkan perolehan donasi.
Lansia tanpa dana pensiun, tanpa keluarga yang merawat, atau yang terpisah dari sanak saudara, seringkali terpaksa mengemis. Meskipun banyak negara memiliki program bantuan lansia, implementasinya tidak selalu efektif, meninggalkan ribuan orang tua di jalanan. Pemandangan lansia yang mengemis sangat efektif dalam memancing rasa iba publik, menjadikannya target utama bagi eksploitasi terorganisir.
Untuk mencapai skala yang terlihat di kota-kota besar, praktik mengemis tidak dapat murni dilakukan secara individual dan spontan. Sebagian besar kegiatan ini kini disokong oleh jaringan atau sindikat yang menjalankan operasi layaknya bisnis, lengkap dengan manajemen, target pendapatan, dan sistem distribusi lokasi.
Sindikasi mengemis adalah fenomena yang sangat merusak upaya penanggulangan kemiskinan. Mereka bekerja dengan merekrut, mengangkut, dan menempatkan individu yang rentan di lokasi-lokasi strategis (lampu merah, pusat perbelanjaan, area wisata). Individu yang direkrut seringkali berasal dari daerah pedesaan yang miskin dengan janji palsu tentang pekerjaan. Setelah berada di kota, mereka dipaksa bekerja di bawah ancaman atau intimidasi.
Dalam sindikat, pengemis harus menyetor sebagian besar penghasilannya kepada koordinator atau 'bos'. Sistem setoran ini memastikan bahwa meskipun individu pengemis tetap miskin dan bergantung, pimpinan sindikat dapat mengakumulasi kekayaan yang signifikan. Lokasi mengemis sangat berharga; simpang jalan yang ramai atau pintu masuk stasiun kereta api adalah aset bisnis yang diperebutkan. Sindikat mengatur shift kerja, memastikan bahwa lokasi strategis terisi 24 jam sehari, memaksimalkan pendapatan dari belas kasih publik.
Pengemis anak adalah salah satu wajah paling mengerikan dari sindikasi. Anak-anak digunakan karena mereka secara otomatis menarik simpati yang lebih besar dan mengurangi kecurigaan publik terhadap praktik terorganisir. Mereka seringkali dipaksa bekerja larut malam, menghirup polusi, dan kehilangan hak atas pendidikan dan perlindungan. Dalam beberapa kasus ekstrem, sindikat sengaja melukai atau memutilasi anak-anak atau orang dewasa agar cerita mereka terdengar lebih meyakinkan, sebuah kekejaman yang menunjukkan betapa gelapnya ekonomi eksploitatif ini.
Modus operandi (modus operandi) pengemis terus beradaptasi dengan psikologi masyarakat dan teknologi. Beberapa metode yang umum dan terus diperbarui meliputi:
Mengemis bukanlah pekerjaan nirlaba. Ia adalah bagian dari ekonomi bayangan yang besar, menghasilkan aliran uang tunai yang signifikan di luar jangkauan pajak dan regulasi pemerintah. Pemahaman terhadap dimensi ekonomi ini penting untuk menghilangkan mitos bahwa semua pengemis adalah orang yang tidak memiliki pilihan lain.
Salah satu alasan utama mengapa mengemis sulit diberantas adalah potensi penghasilan yang terkadang melebihi gaji pekerja formal tingkat bawah. Studi di beberapa kota besar menunjukkan bahwa pengemis di lokasi strategis (misalnya di dekat bank, restoran mewah, atau stasiun padat) dapat menghasilkan antara Rp500.000 hingga Rp1.500.000 per hari, tergantung pada hari dan musim. Meskipun angka ini tidak berlaku untuk semua, fakta bahwa potensi ini ada menarik orang untuk memasuki 'profesi' ini.
Apabila seorang pengemis profesional berhasil mendapatkan Rp500.000 per hari selama 20 hari kerja sebulan (asumsi setoran kepada sindikat sudah dipotong), ia bisa menghasilkan Rp10.000.000. Angka ini seringkali dua hingga tiga kali lipat dari Upah Minimum Regional (UMR) di kota yang sama. Disparitas ini menciptakan insentif ekonomi yang kuat, di mana risiko dan stigma dianggap sebanding dengan imbalan finansial yang didapat. Oleh karena itu, bagi sebagian orang, mengemis adalah pilihan rasional dari sudut pandang ekonomi mikro, bukan sekadar keputusasaan.
Uang yang terkumpul dari aktivitas mengemis memiliki siklus ekonominya sendiri. Dana tersebut sering digunakan untuk konsumsi cepat (makanan, rokok, minuman), tetapi juga disalurkan ke sindikat untuk pembelian properti, kendaraan, atau kegiatan investasi lain yang sulit dilacak. Karena transaksinya murni tunai dan informal, sulit bagi otoritas untuk memetakan volume total ekonomi yang dihasilkan dari belas kasih publik ini.
Lebih jauh, keberadaan ekonomi bayangan ini merusak etos kerja masyarakat. Ketika upaya keras dalam pekerjaan formal dihargai lebih rendah daripada kemudahan meminta-minta, ia menciptakan disinsentif bagi kelompok marginal untuk mencari jalur pekerjaan yang sah dan produktif.
Fenomena mengemis tidak lengkap tanpa menganalisis interaksi antara pengemis dan masyarakat pemberi (donatur). Hubungan ini sarat dengan psikologi, norma sosial, dan peran agama.
Meskipun pengemis seringkali dilihat dengan rasa kasihan, mereka juga mengalami marginalisasi sosial yang mendalam. Mereka dipandang sebagai beban masyarakat, pelanggar ketertiban umum, dan simbol kegagalan. Stigma ini mempersulit upaya rehabilitasi; bahkan jika mereka diberi pelatihan, mantan pengemis sering kesulitan mendapatkan pekerjaan formal karena sejarah dan citra negatif yang melekat.
Di sisi lain, stigma juga digunakan oleh sindikat untuk mengisolasi pengemis. Dengan membatasi akses mereka ke informasi dan menjauhkan mereka dari JPS pemerintah, sindikat memastikan bahwa pengemis tetap bergantung pada mereka untuk kebutuhan dasar seperti tempat tinggal sementara dan keamanan. Lingkaran setan ketergantungan ini adalah salah satu rintangan terbesar dalam penanganan masalah ini.
Mengapa orang memberi kepada pengemis, bahkan ketika mereka tahu ada risiko eksploitasi? Psikologi tindakan memberi sangat kompleks:
Banyak donatur merasa bersalah atas kemakmuran mereka sendiri ketika melihat penderitaan orang lain. Memberi adalah cara cepat untuk meredakan rasa bersalah ini (Guilt Relief) atau memenuhi kewajiban agama/moral. Tindakan memberi uang tunai di jalanan adalah solusi instan yang tidak memerlukan komitmen waktu atau energi untuk mencari solusi struktural yang lebih besar.
Dalam banyak budaya, amal dipercaya akan mendatangkan berkah atau menjauhkan musibah. Memberi kepada pengemis menjadi semacam investasi spiritual atau asuransi moral. Donatur cenderung tidak terlalu peduli pada keaslian cerita pengemis; yang penting adalah niat dan tindakan memberi itu sendiri.
Memberi uang tunai adalah bentuk transaksi sosial yang sangat efisien. Pengemis mendapatkan uang; donatur mendapatkan konfirmasi moral dan terbebas dari tuntutan untuk berhenti dan membantu secara lebih substansial. Ini adalah bentuk interaksi yang cepat di tengah kesibukan kota, namun ia gagal menyelesaikan masalah inti.
Hampir semua pemerintah kota di dunia melarang praktik mengemis di ruang publik, namun efektivitas larangan ini selalu dipertanyakan. Pemerintah terjebak dalam dilema antara penegakan hukum untuk ketertiban umum dan kewajiban konstitusional untuk melindungi warga miskin.
Di Indonesia, penanganan pengemis diatur oleh Undang-Undang Dasar yang menjamin hak warga negara untuk mendapatkan penghidupan layak, tetapi juga melalui Peraturan Daerah (Perda) yang melarang aktivitas mengemis di jalanan (seringkali dikategorikan bersama gelandangan). Perda ini bertujuan untuk menjaga keindahan, ketertiban, dan kebersihan kota.
Implementasi Perda biasanya dilakukan melalui razia atau penertiban oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Namun, razia seringkali hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya. Pengemis yang ditangkap akan dibawa ke pusat rehabilitasi sosial. Sayangnya, pusat rehabilitasi seringkali kewalahan, dan kurangnya pelatihan keterampilan yang relevan atau penempatan kerja yang memadai menyebabkan tingkat residivisme (kembali mengemis) yang sangat tinggi.
Program rehabilitasi menghadapi tiga tantangan besar:
Fokus kebijakan seharusnya lebih keras dialihkan dari penangkapan pengemis individu menjadi pemutusan rantai sindikasi dan eksploitasi. Penangkapan koordinator, penyitaan aset yang diperoleh secara ilegal, dan penuntutan pidana atas eksploitasi anak adalah langkah yang jauh lebih efektif. Namun, hal ini sulit dilakukan karena sindikat sering bekerja secara rahasia dan memanfaatkan celah hukum, menggunakan individu rentan sebagai perisai mereka.
Fenomena mengemis tidak seragam; ia memiliki variasi signifikan berdasarkan geografis, musim, dan faktor budaya. Memahami variasi ini membantu merancang solusi yang lebih tepat sasaran.
Di Indonesia, mengemis sering kali memiliki sifat musiman dan trans-regional. Selama bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, banyak individu yang biasanya tidak mengemis, atau pengemis dari daerah pedesaan, berbondong-bondong datang ke kota-kota besar. Mereka memanfaatkan lonjakan kedermawanan masyarakat yang terkait dengan kewajiban zakat, infaq, dan sedekah. Setelah periode ini berakhir, mereka kembali ke daerah asal dengan membawa uang hasil mengemis.
Fenomena mudik pengemis ini menunjukkan bahwa bagi sebagian orang, mengemis adalah strategi pengumpulan modal yang direncanakan, bukan krisis kemiskinan mendadak. Hal ini juga memberikan tekanan besar pada pemerintah daerah di perkotaan, yang harus menangani lonjakan populasi pengemis hanya dalam waktu singkat.
Penting untuk membedakan antara Gelandangan (Homelessness) dan Pengemis (Begging), meskipun keduanya sering tumpang tindih (Gepeng). Gelandangan adalah status hidup tanpa tempat tinggal tetap; motif mereka adalah bertahan hidup di jalan. Pengemis adalah sebuah aktivitas atau pekerjaan; motifnya adalah mendapatkan uang melalui belas kasihan.
Tidak semua gelandangan mengemis, dan tidak semua pengemis adalah gelandangan (banyak pengemis profesional memiliki tempat tinggal yang layak). Kebijakan harus membedakan perlakuan: gelandangan membutuhkan perumahan dan layanan dasar, sementara pengemis, terutama yang terorganisir, membutuhkan intervensi hukum dan penghapusan insentif ekonomi.
Di negara maju seperti Amerika Serikat atau Eropa Barat, mengemis juga merupakan masalah, meskipun akar pemicunya sedikit berbeda. Di sana, masalah ini lebih sering dikaitkan dengan krisis kesehatan mental, kecanduan narkoba, dan veteran perang yang terabaikan, bukan semata-mata kemiskinan struktural. Pendekatan solusinya pun cenderung mengutamakan layanan kesehatan mental dan perumahan terpadu (Housing First policies), yang mengakui bahwa stabilitas tempat tinggal adalah prasyarat untuk mengatasi masalah lain.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa tidak ada solusi tunggal untuk mengemis. Solusi harus disesuaikan dengan konteks budaya dan ekonomi, baik itu berfokus pada pengentasan kemiskinan absolut (di negara berkembang) maupun penanganan krisis sosial/kesehatan (di negara maju).
Untuk mengatasi masalah mengemis secara berkelanjutan, dibutuhkan pendekatan multi-pihak yang melampaui sekadar razia dan bersifat struktural. Solusi harus menargetkan akar masalah ekonomi, memutus rantai eksploitasi, dan mengubah cara pandang masyarakat terhadap amal.
Pemerintah harus memastikan bahwa Jaminan Sosial benar-benar mencapai individu paling rentan. Ini termasuk:
Penegakan hukum harus secara agresif menargetkan eksploitator, bukan korban. Polisi dan penegak hukum harus diberikan sumber daya untuk:
Program pelatihan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja lokal dan menawarkan keterampilan yang menghasilkan upah di atas UMR, agar pengemis termotivasi untuk berhenti. Ini termasuk:
Peran masyarakat sangat krusial. Edukasi harus diarahkan untuk menghentikan "amal instan" yang justru mendukung sindikat:
Mengubah kebiasaan memberi uang tunai di jalanan menjadi donasi terencana melalui lembaga amal dan organisasi nirlaba yang terverifikasi. Donasi ke lembaga resmi memastikan uang tersebut digunakan untuk program rehabilitasi, pendidikan, dan perlindungan, bukan untuk memperkaya koordinator sindikat.
Masyarakat harus sadar bahwa memberi kepada pengemis di lampu merah, terutama yang membawa anak, adalah bentuk subsidi tidak langsung terhadap eksploitasi anak. Solidaritas sosial harus diwujudkan dalam dukungan terhadap solusi struktural, bukan sekadar pelipur lara emosional sesaat.
Mengingat sifat mengemis yang musiman dan trans-regional, perlu ada koordinasi yang kuat antara pemerintah daerah asal (yang menyuplai pengemis) dan pemerintah daerah tujuan (kota-kota besar). Pemerintah daerah asal harus meningkatkan program pengentasan kemiskinan agar warganya tidak terpaksa migrasi untuk mengemis. Koordinasi data dan informasi intelijen tentang sindikat juga harus ditingkatkan.
Mengemis adalah luka terbuka di wajah peradaban modern. Ia adalah cermin yang memantulkan ketidaksempurnaan sistem ekonomi, kegagalan perlindungan sosial, dan konflik antara empati individu versus ketertiban kolektif. Menanggulangi masalah ini bukan sekadar tugas menertibkan jalanan, melainkan tugas kemanusiaan dan pembangunan bangsa.
Solusi yang langgeng menuntut ketekunan: memutus rantai sindikasi, menguatkan JPS sehingga tidak ada lagi yang terpaksa memilih mengemis sebagai satu-satunya jalan hidup, dan mendidik masyarakat untuk menyalurkan belas kasih mereka melalui saluran yang konstruktif dan transformatif. Hanya melalui pendekatan yang holistik—menggabungkan kebijakan perlindungan sosial yang kuat, penegakan hukum yang cerdas, dan perubahan paradigma dalam bersedekah—kita dapat berharap melihat kota-kota kita bebas dari labirin kemiskinan dan eksploitasi yang tersembunyi di balik tangan yang menengadah.