Surah As-Sajdah, yang berarti "Sujud" atau "Prostrasi", adalah surah ke-32 dalam Al-Qur'an. Surah ini terdiri dari 30 ayat dan tergolong dalam kelompok surah Makkiyah, diturunkan pada periode awal kenabian di Mekkah, ketika tekanan terhadap kaum Muslimin semakin meningkat dan penolakan terhadap wahyu semakin keras.
Penamaan surah ini diambil dari ayat ke-15, yang secara eksplisit menyebutkan ciri khas orang-orang beriman sejati: mereka yang apabila diperdengarkan ayat-ayat Allah, segera bersimpuh dan bersujud, memuji keagungan Tuhan mereka tanpa sedikit pun kesombongan. Ayat ini menjadi poros, menghubungkan tema penciptaan kosmik dengan respons spiritual manusia.
Surah As-Sajdah memiliki korelasi tematik yang erat dengan surah-surah yang mengapitnya. Sebelumnya, Surah Luqman menekankan hikmah dan pendidikan moral. Surah As-Sajdah kemudian membawa dimensi kosmologis dan eskatologis, membuktikan kekuasaan Tuhan sebagai dasar fundamental dari hikmah Luqman. Setelahnya, Surah Al-Ahzab (Golongan-golongan) akan membahas hukum-hukum sosial dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas Muslim yang baru terbentuk di Madinah.
Fokus utama Surah As-Sajdah adalah membangun fondasi keimanan yang kokoh, berpusat pada tiga pilar utama: Kebenaran Al-Qur'an sebagai Wahyu Ilahi, Bukti-bukti Kekuasaan Allah melalui Penciptaan, dan Hakikat Kebangkitan serta Ganjaran di Akhirat.
Dalam tradisi Islam, Surah As-Sajdah memiliki keutamaan yang istimewa. Nabi Muhammad ﷺ memiliki kebiasaan (sunnah) untuk membacanya bersama dengan Surah Al-Insan (Ad-Dahr) pada shalat Subuh hari Jumat. Kebiasaan ini bukan sekadar rutinitas, tetapi mengandung pesan mendalam, menghubungkan peringatan tentang Hari Kebangkitan dan penciptaan manusia dengan kewajiban spiritual tertinggi: sujud dan pengakuan total terhadap Allah yang Maha Kuasa. Menggabungkan kedua surah ini di hari Jumat, hari yang diyakini sebagai hari penciptaan Adam dan hari terjadinya Kiamat, memperkuat pesan eskatologis dalam hati kaum Muslimin.
Surah ini dapat dibagi menjadi beberapa blok tematik yang saling mendukung, mulai dari pengantar Ilahi hingga kisah-kisah peringatan bagi umat terdahulu.
الٓمٓ تَنزِيلُ ٱلْكِتَٰبِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِن رَّبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
Terjemahan: Alif, Lam, Mim. Turunnya Al-Qur'an ini, yang tidak ada keraguan di dalamnya, (adalah) dari Tuhan semesta alam.
Surah dimulai dengan huruf-huruf tunggal (huruf muqatta'ah), yang maknanya hanya diketahui sepenuhnya oleh Allah, namun seringkali berfungsi sebagai tantangan retoris: inilah Kitab yang tersusun dari huruf-huruf yang sama yang kalian gunakan, namun kalian tidak mampu menciptakan yang serupa. Ayat 2 menegaskan otoritas Kitab Suci ini. Frasa "لَا رَيْبَ فِيهِ" (tidak ada keraguan di dalamnya) adalah pernyataan yang mutlak. Ini bukan sekadar keyakinan, melainkan fakta transendental yang menolak segala bentuk skeptisisme yang dilancarkan oleh kaum musyrikin Mekkah. Sumbernya jelas: Rabbul 'Alamin (Tuhan semesta alam), bukan karangan manusia atau sihir, sebagaimana dituduhkan.
Ayat 3:أَمْ يَقُولُونَ ٱفْتَرَىٰهُ ۚ بَلْ هُوَ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّآ أَتَىٰهُم مِّن نَّذِيرٍ مِّن قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ
Terjemahan: Patutkah mereka berkata: "Dia-lah (Muhammad) yang mengada-adakannya"? Sebenarnya, Al-Qur'an itu adalah kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka seorang pemberi peringatan pun sebelum kamu, semoga mereka mendapat petunjuk.
Ayat ini menyentuh inti konflik dakwah di Mekkah. Tuduhan bahwa Nabi Muhammad ﷺ mengarang Al-Qur'an dibantah keras. Tujuan penurunan Al-Qur'an adalah sebagai nadzir (pemberi peringatan) bagi masyarakat Arab yang telah lama berada dalam kekosongan kenabian (fatra). Ini menunjukkan rahmat Allah yang mengirimkan petunjuk pada saat yang paling dibutuhkan, agar mereka kembali kepada fitrah yang lurus.
Setelah membuktikan otoritas Kitab, Allah beralih kepada bukti-bukti kekuasaan-Nya yang nyata, yaitu penciptaan alam semesta dan manusia.
ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۚ مَا لَكُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَلِىٍّ وَلَا شَفِيعٍ ۚ أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ
Terjemahan: Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu penolong dan tidak (pula) pemberi syafaat selain dari-Nya. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?
Penciptaan dalam "enam masa" (سِتَّةِ أَيَّامٍ) menegaskan proses penciptaan yang terstruktur, menunjukkan kebijaksanaan (hikmah) Allah, meskipun Dia mampu menciptakannya dalam sekejap (Kun Fayakun). Frasa "ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ" (kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy) adalah penegasan kekuasaan mutlak dan kontrol total atas alam semesta. Hal ini diikuti dengan penolakan segala bentuk perantaraan atau syafaat yang tidak diizinkan oleh-Nya, mendorong manusia untuk langsung kembali kepada Penciptanya.
Ayat 5: Pengaturan Alam Semestaيُدَبِّرُ ٱلْأَمْرَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ إِلَى ٱلْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِى يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُۥٓ أَلْفَ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّونَ
Terjemahan: Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.
Ayat ini membahas manajemen Ilahi yang berkelanjutan. Allah mengatur seluruh urusan (takdir, hujan, rezeki, perintah) dari langit ke bumi, dan hasilnya kembali (يَعْرُجُ إِلَيْهِ) kepada-Nya. Penetapan "satu hari yang kadarnya seribu tahun" menekankan perbedaan drastis antara skala waktu Ilahi (transendental) dan skala waktu manusia (temporal). Ini menunjukkan kesempurnaan dan kecepatan penetapan takdir Allah yang melampaui pemahaman terbatas manusia.
Ayat 6: Yang Maha Mengetahuiذَٰلِكَ عَٰلِمُ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ ٱلْعَزِيزُ ٱلرَّحِيمُ
Terjemahan: Itulah (Tuhan) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.
Allah menggabungkan dua nama sifat utama: Al-'Aziz (Maha Perkasa, Kekuatan Mutlak) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang, Rahmat Tak Terbatas). Penggabungan ini penting: kekuasaan-Nya (yang mampu menghukum) diimbangi dengan rahmat-Nya (yang memberikan petunjuk dan kesempatan bertaubat). Dia mengetahui segala yang tersembunyi (ghaib) dan yang tampak (syahadah).
Ayat 7-9: Penciptaan Manusia dari Tanahٱلَّذِىٓ أَحْسَنَ كُلَّ شَىْءٍ خَلَقَهُۥ ۖ وَبَدَأَ خَلْقَ ٱلْإِنسَٰنِ مِن طِينٍ ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُۥ مِن سُلَٰلَةٍ مِّن مَّآءٍ مَّهِينٍ ثُمَّ سَوَّىٰهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِۦ ۖ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۚ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ
Terjemahan: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah liat. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati (akal). (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.
Ayat-ayat ini adalah argumentasi teologis yang kuat mengenai asal-usul dan tujuan eksistensi. Setiap ciptaan Allah adalah yang terbaik (أَحْسَنَ كُلَّ شَىْءٍ). Penciptaan manusia dijelaskan dalam dua fase: fase awal (Adam) dari tanah liat (طِينٍ), menunjukkan kerendahan materi asal; dan fase keturunan dari air yang hina (مَاءٍ مَّهِينٍ), mengingatkan manusia akan kelemahan fisiknya.
Puncak penciptaan adalah peniupan Ruh (spiritualitas) dan anugerah instrumen kognitif: pendengaran (ٱلسَّمْعَ), penglihatan (ٱلْأَبْصَارَ), dan hati/akal (ٱلْأَفْـِٔدَةَ). Organ-organ ini adalah alat untuk mencapai makrifat (pengenalan terhadap Allah). Namun, ironisnya, penutup ayat ini menegur: "قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ" (amat sedikit kamu bersyukur), menunjukkan betapa banyak manusia yang menyia-nyiakan karunia spiritual dan kognitif ini.
Setelah membahas penciptaan, surah ini beralih ke salah satu isu utama yang ditolak keras oleh kaum musyrikin Mekkah: kebangkitan (Resurrection).
وَقَالُوٓا۟ أَءِذَا ضَلَلْنَا فِى ٱلْأَرْضِ أَءِنَّا لَفِى خَلْقٍ جَدِيدٍۭ ۚ بَلْ هُم بِلِقَآءِ رَبِّهِمْ كَٰفِرُونَ
Terjemahan: Dan mereka berkata: "Apakah apabila kami telah hilang lenyap di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?" Bahkan mereka ingkar terhadap pertemuan dengan Tuhan mereka.
Kaum kafir menganggap kebangkitan sebagai hal yang mustahil secara rasional, melihat kehancuran fisik mereka setelah mati. Pertanyaan retoris mereka (menjadi 'lenyap' di dalam tanah) menunjukkan keraguan yang mendalam. Al-Qur'an membalas dengan diagnosis spiritual: masalah utama mereka bukanlah keraguan ilmiah, tetapi kufur terhadap pertemuan dengan Tuhan (بِلِقَآءِ رَبِّهِمْ كَٰفِرُونَ). Penolakan terhadap kehidupan akhirat adalah penolakan terhadap pertanggungjawaban moral.
Ayat 11:قُلْ يَتَوَفَّىٰكُم مَّلَكُ ٱلْمَوْتِ ٱلَّذِى وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
Terjemahan: Katakanlah: "Malaikat Maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan."
Jawaban yang tegas: Kematian bukanlah akhir dari eksistensi, melainkan transisi. Ruh manusia dipegang oleh Malaikat Maut (Izrail). Kematian adalah bukti bahwa manusia tidak memiliki kontrol atas keberadaan mereka. Pengembalian ruh kepada Allah menegaskan kembali konsep pertanggungjawaban.
Ayat 12–14: Penyesalan di Hadapan Nerakaوَلَوْ تَرَىٰٓ إِذِ ٱلْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِندَ رَبِّهِمْ رَبَّنَآ أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَٱرْجِعْنَا نَعْمَلْ صَٰلِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ
Terjemahan: Dan (alangkah ngerinya) jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhan mereka, (sambil berkata): "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin." (hingga akhir ayat 14)
Ayat-ayat ini menyajikan gambaran dramatis tentang penyesalan di Hari Kiamat. Pelaku kejahatan (ٱلْمُجْرِمُونَ) akan menundukkan kepala (ناكسو رُءُوسِهِمْ) karena malu dan ketakutan. Mereka mengakui bahwa kini mata mereka telah melihat (إِلَّا نَاكِسُو) dan telinga mereka telah mendengar kebenaran (kebenaran yang dulu mereka sangkal). Permintaan mereka untuk kembali ke dunia (فَٱرْجِعْنَا) untuk beramal saleh ditolak, karena keyakinan yang datang setelah melihat azab bukanlah iman yang tulus.
Ayat 14 menutup segmen ini dengan penghakiman: mereka akan merasakan azab abadi sebagai balasan atas penolakan mereka terhadap peringatan akan Hari Akhir (تَذَكَّرُونَ يَوْمَكُمْ هَٰذَا).
Setelah menggambarkan nasib para pendusta, surah beralih ke deskripsi indah mengenai karakteristik orang-orang yang beriman, yang responsnya terhadap Kitabullah sangat kontras dengan kaum kafir.
إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِـَٔايَٰتِنَا ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا۟ بِهَا خَرُّوا۟ سُجَّدًا وَسَبَّحُوا۟ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ
Terjemahan: Sesungguhnya yang benar-benar beriman kepada ayat-ayat Kami hanyalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengannya (ayat-ayat Kami), mereka segera tersungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhan mereka, dan mereka tidak menyombongkan diri.
Ini adalah ayat sentral dan asal muasal nama surah. Keimanan yang sejati diukur dari respons spontan terhadap wahyu. Frasa "خَرُّوا۟ سُجَّدًا" (mereka segera tersungkur sujud) menunjukkan kerendahan hati yang mendalam. Sujud di sini adalah tindakan pengakuan mutlak terhadap otoritas Allah, menolak keangkuhan (لَا يَسْتَكْبِرُونَ) yang menjadi sifat dasar iblis dan kaum kafir.
Ayat ini adalah salah satu dari 15 tempat dalam Al-Qur'an yang mewajibkan atau sangat dianjurkan untuk melakukan sujud tilawah (sujud bacaan) bagi pembaca dan pendengarnya.
Ayat 16: Meninggalkan Tempat Tidur (Qiyamul Lail)تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
Terjemahan: Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Ayat ini memberikan gambaran tentang ibadah malam (Qiyamul Lail). Mereka adalah orang-orang yang rela mengorbankan kenyamanan tidur (تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ) demi berinteraksi dengan Tuhan mereka. Ibadah ini dilakukan dengan keseimbangan emosional yang sempurna: khawf (rasa takut) akan azab-Nya dan thama' (harapan) akan rahmat-Nya. Ini adalah inti dari psikologi spiritual seorang mukmin.
Ditambah lagi, mereka menjalankan ibadah sosial: berinfak (يُنفِقُونَ). Ayat ini menyatukan ibadah vertikal (shalat malam dan doa) dengan ibadah horizontal (kepedulian sosial), menunjukkan bahwa keimanan sejati harus termanifestasi dalam kedua dimensi tersebut.
Ayat 17-18: Ganjaran yang Tersembunyiفَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ أُخْفِىَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءًۢ بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Terjemahan: Tak seorang pun mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka (dari nikmat) yang menyenangkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
Ganjaran bagi mukmin sejati disajikan secara misterius dan agung. Kenikmatan Surga (قُرَّةِ أَعْيُنٍ - penyejuk mata) tidak dapat dibayangkan sepenuhnya oleh akal manusia saat ini. Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa Allah berfirman: "Aku telah menyiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh, sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas dalam hati manusia." Ini adalah janji kemewahan spiritual dan fisik yang melampaui imajinasi duniawi.
Ayat 18 kemudian bertanya secara retoris: Apakah orang yang beriman (مُؤْمِنًا) sama dengan orang yang fasik (فَاسِقًا - pelaku kejahatan)? Tentu saja tidak. Ini adalah penegasan fundamental tentang keadilan Ilahi dan pentingnya perbedaan amal perbuatan.
Surah ini memperjelas perbedaan nasib yang telah disinggung sebelumnya, merincikan balasan bagi kedua kelompok tersebut.
أَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَلَهُمْ جَنَّٰتُ ٱلْمَأْوَىٰ نُزُلًۢا بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Terjemahan: Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka adalah surga-surga tempat kediaman, sebagai hidangan atas apa yang telah mereka kerjakan.
Orang beriman akan mendapatkan Jannaatul Ma'wa (Surga tempat tinggal) sebagai nuzulan (hidangan penyambutan). Penggunaan kata 'hidangan' menekankan bahwa ini adalah balasan yang disiapkan dengan penuh penghormatan, setara dengan sambutan agung bagi tamu terhormat.
Ayat 20: Azab yang Terus Menerusوَأَمَّا ٱلَّذِينَ فَسَقُوا۟ فَمَأْوَىٰهُمُ ٱلنَّارُ ۖ كُلَّمَآ أَرَادُوٓا۟ أَن يَخْرُجُوا۟ مِنْهَآ أُعِيدُوا۟ فِيهَا وَقِيلَ لَهُمْ ذُوقُوا۟ عَذَابَ ٱلنَّارِ ٱلَّذِى كُنتُم بِهِۦ تُكَذِّبُونَ
Terjemahan: Dan adapun orang-orang yang fasik (durhaka), maka tempat kediaman mereka adalah neraka. Setiap kali mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah azab neraka yang dahulu kamu mendustakannya."
Ayat ini melukiskan keputusasaan penghuni Neraka. Hukuman mereka adalah siklus tanpa henti (كُلَّمَآ أَرَادُوٓا۟ أَن يَخْرُجُوا۟ مِنْهَآ أُعِيدُوا۟ فِيهَا). Upaya untuk melarikan diri selalu gagal, dan ini disertai dengan celaan (تُكَذِّبُونَ) yang menyakitkan: mereka disuruh merasakan langsung apa yang dulu mereka tolak kebenarannya.
Ayat 21–22: Azab Dunia dan Peringatanوَلَنُذِيقَنَّهُم مِّنَ ٱلْعَذَابِ ٱلْأَدْنَىٰ دُونَ ٱلْعَذَابِ ٱلْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Terjemahan: Dan sesungguhnya Kami akan menimpakan kepada mereka sebagian siksa yang dekat (di dunia) sebelum siksa yang lebih besar (di akhirat), agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Allah menyatakan bahwa Dia memberikan penderitaan di dunia (ٱلْعَذَابِ ٱلْأَدْنَىٰ), seperti musibah, penyakit, atau kekalahan, sebagai peringatan dini. Tujuannya adalah rahmat (لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ), agar mereka memiliki kesempatan untuk bertaubat sebelum menghadapi ٱلْعَذَابِ ٱلْأَكْبَرِ (siksa yang lebih besar dan abadi). Siksa duniawi berfungsi sebagai 'tamparan lembut' untuk membangunkan hati yang lalai.
Surah ditutup dengan merujuk pada sejarah nabi terdahulu, khususnya Nabi Musa a.s., untuk menunjukkan bahwa mekanisme wahyu, petunjuk, dan penolakan bukanlah hal baru.
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا مُوسَى ٱلْكِتَٰبَ فَلَا تَكُن فِى مِرْيَةٍ مِّن لِّقَآئِهِۦ ۖ وَجَعَلْنَا مِّن بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا يُوقِنُونَ
Terjemahan: Dan sesungguhnya telah Kami berikan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, maka janganlah kamu (Muhammad) ragu menerima (Al-Qur'an). Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.
Ayat ini berfungsi sebagai penguatan bagi Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya. Sebagaimana Musa menerima Kitab (Taurat) dan kaumnya memiliki pemimpin (imam) yang membimbing, demikian pula Nabi Muhammad menerima Al-Qur'an. Kunci keberhasilan para pemimpin Bani Israil adalah Sabar (لَمَّا صَبَرُوا۟) dan Keyakinan Mutlak (يُوقِنُونَ). Ini adalah cetak biru bagi kaum Muslimin: kesabaran dalam menghadapi penolakan dan keyakinan dalam ajaran adalah prasyarat untuk kepemimpinan spiritual.
Ayat 25: Penghakiman di Hari Kiamatإِنَّ رَبَّكَ هُوَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ فِيمَا كَانُوا۟ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
Terjemahan: Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang memutuskan di antara mereka pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan.
Peringatan bahwa semua perselisihan dan perdebatan (seperti tentang kebenaran wahyu atau kebangkitan) akan diselesaikan oleh Allah pada Hari Penghakiman, di mana kebenaran akan tersingkap sepenuhnya.
Ayat 26–30: Akhir dari Kaum yang Membangkangأَوَلَمْ يَهْدِ لَهُمْ كَمْ أَهْلَكْنَا مِن قَبْلِهِم مِّنَ ٱلْقُرُونِ يَمْشُونَ فِى مَسَٰكِنِهِمْ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ ۚ أَفَلَا يَسْمَعُونَ
Terjemahan: Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, betapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal mereka berjalan di bekas-bekas tempat kediaman mereka itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda. Maka apakah mereka tidak mendengarkan?
Ayat-ayat penutup ini berfungsi sebagai peringatan keras kepada kaum Quraisy yang menolak. Mereka berjalan melewati reruntuhan peradaban sebelumnya (seperti Ad, Tsamud, dan kaum Luth). Reruntuhan fisik ini adalah "tanda-tanda" (لَءَايَٰتٍ) yang seharusnya memberi pelajaran. Kegagalan mereka untuk mengambil pelajaran dari sejarah ini adalah kegagalan kognitif dan spiritual yang mendasar.
Ayat ke-15 Surah As-Sajdah adalah salah satu ayat sajadah yang paling penting. Implikasi hukum (fiqih) dari ayat ini menuntut perhatian khusus, baik bagi pembaca maupun pendengar Al-Qur'an.
Sujud Tilawah (سجود التلاوة) adalah sujud yang dilakukan karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah. Para ulama dari empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai kedudukannya:
Dalam mazhab Hanafi dan Hanbali, sujud tilawah dianggap wajib (wajib) bagi pembaca dan pendengar, didasarkan pada perintah yang kuat dalam hadis dan tindakan Nabi ﷺ yang menunjukkan konsistensi dalam pelaksanaannya. Mereka berpendapat bahwa segera bersujud setelah membaca ayat tersebut adalah bagian integral dari respons yang dituntut oleh wahyu.
Dalam mazhab Syafi'i dan Maliki, sujud tilawah dipandang sebagai sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), bukan wajib. Hal ini didasarkan pada riwayat Umar bin Khattab r.a. yang pernah membaca ayat sajadah di atas mimbar, namun ia tidak sujud dan menjelaskan bahwa Allah tidak mewajibkan sujud kecuali jika seseorang ingin melakukannya. Ini menunjukkan bahwa meskipun sangat dianjurkan, ia tidak berada pada tingkat kewajiban fardhu.
Namun, semua mazhab sepakat bahwa meninggalkannya tanpa alasan yang sah, terutama saat shalat, adalah makruh (dibenci) karena ia menghilangkan kesempatan besar untuk meraih pahala dan mengikuti sunnah Nabi.
Sujud tilawah dapat dilakukan di dalam shalat (shalat) atau di luar shalat:
Ketika seseorang membaca atau mendengar ayat sajadah di luar shalat, ia dianjurkan untuk segera sujud. Beberapa mazhab, seperti Syafi'i, mensyaratkan hal yang sama dengan shalat, yaitu harus dalam keadaan suci dari hadas kecil maupun besar, menghadap kiblat, dan menutup aurat. Mazhab lain, seperti Hanbali, cenderung lebih longgar, menganggap sujud tilawah lebih dekat pada dzikir dan karenanya tidak mutlak memerlukan syarat kesucian penuh, meskipun suci lebih utama.
Tata caranya adalah dengan bertakbir (Allahu Akbar) saat turun sujud, melakukan sujud satu kali saja, dan bertasbih (membaca doa sujud). Tidak ada salam yang wajib setelah bangkit dari sujud, meskipun disunnahkan bertakbir saat bangkit.
Jika imam membaca ayat sajadah dalam shalat (terutama shalat sirriah seperti Dzuhur atau Ashar, meskipun Sunnahnya pada Subuh Jumat), ia disunnahkan untuk sujud setelah selesai membaca ayat tersebut. Jamaah wajib mengikutinya. Sujud ini dilakukan tanpa rukuk atau i'tidal. Langsung dari berdiri, takbir, sujud, dan kembali berdiri untuk melanjutkan bacaan atau rukuk jika ayat tersebut berada di akhir rakaat.
Jika imam tidak sujud (karena berpegang pada pandangan yang tidak mewajibkannya), makmum tidak boleh sujud sendiri, karena mengikuti imam adalah wajib. Ini menekankan pentingnya persatuan dalam shalat berjamaah.
Sujud Tilawah adalah manifestasi fisik dari keimanan yang dibahas dalam Ayat 15. Ketika seorang hamba mendengar peringatan tentang keagungan Allah dan hukuman bagi yang ingkar, respons refleksif yang paling murni adalah merendahkan diri sepenuhnya. Sujud adalah posisi paling rendah yang dapat dicapai seorang manusia secara fisik, meletakkan organ tertinggi (otak dan wajah) sejajar atau lebih rendah dari tanah, yang merupakan materi asalnya (seperti yang dijelaskan dalam Ayat 7).
Ini adalah pengingat bahwa manusia, meskipun dianugerahi akal dan ruh, secara fundamental hanyalah hamba yang lemah di hadapan Pencipta yang Maha Perkasa.
Surah As-Sajdah, selain memberikan fondasi doktrinal, juga kaya akan dimensi spiritual yang membentuk karakter mukmin sejati. Surah ini menekankan bahwa keimanan adalah tindakan aktif, bukan sekadar pengakuan verbal.
Ayat 16 yang menyebutkan "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya" (تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ) adalah salah satu metafora paling puitis dalam Al-Qur'an tentang pengorbanan spiritual. Tidur adalah kebutuhan alamiah, lambang kenyamanan dan kelalaian (ghafala). Meninggalkan kehangatan dan kenyamanan ranjang untuk shalat malam adalah jihad melawan diri sendiri (jihad an-nafs).
Qiyamul Lail menjadi ujian kejujuran iman. Di malam hari, ketika manusia cenderung mencari ketenangan, para mukmin memilih untuk berdialog dengan Rabb mereka. Tindakan ini menciptakan ikatan yang sangat pribadi dan rahasia, jauh dari pandangan publik, sehingga amal ini memiliki nilai keikhlasan (ikhlas) yang tinggi.
Para ahli tasawuf sering merujuk pada Ayat 16 yang menjelaskan ibadah dilakukan dengan "takut dan harap" (خَوْفًا وَطَمَعًا) sebagai keseimbangan spiritual yang sempurna. Takut (Khawf) mencegah seorang hamba menjadi sombong dan lalai, mengingatkan mereka akan keagungan Allah dan potensi azab-Nya jika melanggar perintah.
Sementara itu, Harap (Thama') mencegah seorang hamba jatuh ke dalam keputusasaan (ya's) terhadap rahmat Allah, mendorong mereka untuk terus beramal saleh. Keimanan yang sehat harus bergerak di antara dua kutub ini, seperti burung yang terbang dengan dua sayap. Jika hanya ada takut, hamba akan putus asa; jika hanya ada harap, hamba akan menjadi ceroboh dan melalaikan kewajiban.
Sujud, sebagai inti dari surah ini, adalah momen di mana tujuh anggota tubuh menyentuh bumi (dahi, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan ujung kedua kaki). Tujuh anggota ini mewakili totalitas fisik manusia. Ketika semua anggota ini bersimpuh, ia melambangkan penyerahan total. Dalam posisi ini, jarak spiritual antara hamba dan Khalik dianggap yang paling dekat, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: "Posisi terdekat seorang hamba kepada Tuhannya adalah ketika ia sedang sujud. Maka perbanyaklah doa."
Dengan demikian, As-Sajdah mengajarkan bahwa kerendahan hati fisik menghasilkan ketinggian spiritual. Mereka yang sombong di dunia (lā yastakbirūn) akan ditinggikan di akhirat.
Struktur Surah As-Sajdah dirancang untuk membangun argumen yang logis dan persuasif, khas surah-surah Makkiyah, yang berfokus pada Tauhid dan Akhirat.
Surah ini dicirikan oleh transisi yang tajam antara kosmik dan personal. Ia bergerak cepat dari huruf misterius (Alif Lam Mim) ke penciptaan enam masa, lalu langsung ke asal usul manusia dari tanah hina, dan puncaknya, ke tantangan kebangkitan. Kecepatan ini memaksa pendengar untuk segera menerima kenyataan bahwa Sang Pencipta yang agung itu jugalah yang mengatur detail kehidupan mereka.
Perpindahan paling efektif adalah dari deskripsi azab di Ayat 14 (penyesalan orang berdosa) ke Ayat 15 (gambaran keimanan sejati). Kontras yang ekstrem ini (kontras biner) memberikan motivasi yang kuat: pilihan antara kehinaan abadi dan kenikmatan yang tak terbayangkan.
Surah As-Sajdah berulang kali menyebutkan pendengaran, penglihatan, dan hati/akal (Ayat 9) sebagai alat untuk mencapai iman. Ironisnya, di akhirat, orang-orang berdosa menyesali bahwa kini mereka "telah melihat dan mendengar" (Ayat 12) kebenaran yang dulu mereka tolak saat memiliki alat-alat tersebut.
Penekanan ini menggarisbawahi tanggung jawab akal. Mukmin sejati menggunakan alat kognitif mereka untuk refleksi (تَتَذَكَّرُونَ), sementara orang kafir menyia-nyiakannya. Ini adalah kritik terhadap intelektualisme yang menolak wahyu.
Penegasan mutlak seperti "لَا رَيْبَ فِيهِ" (tidak ada keraguan di dalamnya) di awal surah membangun otoritas Kitab Suci. Seluruh surah berputar pada demonstrasi Tauhid Rububiyah (Ketuhanan dalam Penciptaan) sebagai dasar untuk Tauhid Uluhiyah (Ketuhanan dalam Ibadah). Setelah Allah membuktikan bahwa Dia adalah Pencipta tunggal (Ayat 4-9), maka Dia berhak menjadi satu-satunya yang disembah, dan respons yang logis terhadap keagungan ini adalah Sujud (Ayat 15).
Mengapa Nabi ﷺ rutin membaca Surah As-Sajdah dan Surah Al-Insan (Ad-Dahr) pada Subuh Jumat? Kedua surah ini membentuk pasangan yang sempurna. Surah Al-Insan dimulai dengan pertanyaan retoris tentang penciptaan manusia dari setetes air yang hina. Surah As-Sajdah juga menekankan penciptaan dari tanah dan air hina. Keduanya berbicara tentang asal usul yang rendah, kelemahan manusiawi, dan kewajiban untuk bersyukur, sekaligus mengingatkan akan kebangkitan yang akan terjadi pada hari Jumat.
Penggabungan kedua surah ini pada hari yang agung itu berfungsi sebagai pengingat mingguan yang komprehensif bagi umat Islam: ingatlah dari mana kamu berasal, sadarilah tujuan hidupmu (beribadah dan beramal), dan persiapkan dirimu untuk pertemuan yang tak terhindarkan dengan Tuhanmu.
Surah As-Sajdah adalah undangan mendalam untuk merenungkan tiga realitas hakiki yang sering dilupakan manusia: sumber wahyu yang tak terbantahkan, kekuasaan kosmik Sang Pencipta, dan kepastian pertanggungjawaban di Hari Akhir. Surah ini memberikan peta jalan yang jelas antara nasib dua golongan manusia: mereka yang sombong dan menolak, dan mereka yang rendah hati dan bersujud.
Pesan utamanya terletak pada tindakan sujud. Sujud bukanlah sekadar ritual, melainkan sikap hidup yang menolak keangkuhan (istikbar). Mukmin sejati, ketika menghadapi keagungan ayat-ayat Allah—baik yang tertulis dalam Al-Qur'an maupun yang terhampar di alam semesta—akan selalu merespons dengan kerendahan hati total.
Hidup seorang mukmin, sebagaimana digambarkan dalam Surah As-Sajdah, adalah perpaduan harmonis antara:
Dengan merenungkan surah ini, seorang Muslim diingatkan bahwa tujuan penciptaannya bukanlah kesenangan sesaat di dunia, melainkan mencapai "penyejuk mata" yang abadi di sisi Allah, suatu ganjaran yang hanya diberikan kepada mereka yang berani merendahkan diri dan bersujud dalam kepatuhan total di hadapan Kitab dan Pencipta mereka.