Makna, Keutamaan, dan Pedoman Hafalan untuk Salat Harian
Surah-surah pendek dalam Al-Quran sering kali dikenal sebagai bagian dari 'Al-Mufassal', yaitu kelompok surah yang berada di juz terakhir (Juz Amma) hingga Surah Qaaf. Meskipun memiliki jumlah ayat yang relatif sedikit, kandungan maknanya sangat padat, mencakup inti ajaran Islam: tauhid (keesaan Allah), janji surga dan ancaman neraka, kisah-kisah nabi secara ringkas, serta etika beribadah dan bermasyarakat.
Kehadiran surah-surah pendek ini memiliki peran sentral dalam kehidupan spiritual seorang Muslim, terutama dalam ibadah salat. Kemudahan menghafalnya menjadikan surah-surah ini sebagai pilihan utama bagi para pemula, anak-anak, maupun mereka yang ingin memperdalam khusyuk dalam setiap rakaatnya. Kekuatan ringkas ini terletak pada formulasi bahasanya yang indah, ritmis, dan mudah meresap ke dalam hati.
Menurut mayoritas ulama, membaca surah setelah Al-Fatihah dalam dua rakaat pertama salat adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Surah-surah pendek ini menyediakan variasi bacaan yang memungkinkan seorang Muslim merenungkan berbagai aspek ketuhanan dan kehidupan dalam waktu singkat. Dengan memahami makna surah yang dibaca, kualitas salat akan meningkat drastis, menjauhkannya dari sekadar gerakan mekanis.
Selain itu, hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ sering menekankan pentingnya membaca surah tertentu dalam situasi spesifik. Misalnya, surah-surah perlindungan (Mu’awwidzatain) dianjurkan dibaca sebelum tidur atau saat menghadapi ketakutan. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi surah pendek melampaui ibadah ritual; ia juga menjadi benteng spiritual harian.
Lima surah berikut adalah fondasi utama yang wajib dihafal oleh setiap Muslim karena keutamaannya yang luar biasa dan seringnya digunakan dalam ibadah salat maupun zikir harian. Surah-surah ini, yang diawali dengan kata kerja perintah 'Qul' (Katakanlah), membawa pesan yang sangat fundamental dan tegas.
Surah Al-Ikhlas (surah ke-112) sering disebut sebagai surah yang menyamai sepertiga Al-Quran karena kandungannya yang murni membahas Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah. Surah ini turun di Mekah, menjawab tantangan kaum musyrikin yang menanyakan tentang nasab dan sifat Tuhan.
Terjemah: (1) Katakanlah (Muhammad), "Dialah Allah, Yang Maha Esa. (2) Allah tempat meminta segala sesuatu. (3) (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. (4) Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia."
Ayat pertama, "Qul huwallāhu aḥad," menegaskan keesaan mutlak. Kata Ahad berbeda dengan Wāḥid (satu), karena Ahad menunjukkan keunikan yang tak terbagi dan tak terbandingkan. Ini adalah penolakan terhadap trinitas atau konsep tuhan yang berbilang.
Ayat kedua, "Allāhuṣ-ṣamad," menjelaskan sifat Allah sebagai 'Tempat bergantung' (Yang Maha Dibutuhkan). Segala sesuatu membutuhkan-Nya, sementara Dia tidak membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya. Ini berarti kesempurnaan-Nya absolut.
Ayat ketiga dan keempat adalah penolakan tegas terhadap segala bentuk penyerupaan fisik atau biologis (antropomorfisme). "Lam yalid wa lam yūlad" menepis klaim bahwa Tuhan memiliki keturunan (seperti keyakinan beberapa agama lain) atau berasal dari sesuatu. Kesempurnaan-Nya tidak memerlukan asal-usul, dan keabadian-Nya meniadakan kematian.
Rasulullah ﷺ bersabda, membaca Surah Al-Ikhlas setara dengan pahala membaca sepertiga Al-Quran. Ini bukan berarti ia menggantikan tiga puluh juz, melainkan karena ia mengandung esensi Tauhid, pilar utama ajaran Islam. Pembacaan surah ini juga dianjurkan saat menutup salat, sebagai ruqyah (perlindungan) bersama Al-Falaq dan An-Nas, dan sebagai bagian dari zikir pagi dan petang.
Surah Al-Falaq (surah ke-113) adalah salah satu dari dua surah perlindungan (Mu’awwidzatain). Diturunkan di Madinah, surah ini mengajarkan kita untuk berlindung kepada Allah dari segala macam kejahatan yang datang dari luar, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.
Terjemah: (1) Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar). (2) Dari kejahatan (makhluk) yang Dia ciptakan. (3) Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. (4) Dan dari kejahatan perempuan-perempuan penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya). (5) Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia mendengki."
Permohonan perlindungan dimulai dengan bersandar pada Rabbil Falaq (Tuhan yang menguasai fajar). Fajar adalah simbol kemenangan cahaya atas kegelapan, menunjukkan kekuasaan Allah yang dapat menyingkirkan segala kejahatan.
Ayat 2 mencakup perlindungan dari seluruh makhluk yang memiliki potensi kejahatan (manusia, jin, hewan, hingga bencana alam). Ini adalah cakupan umum.
Ayat 3, "Wa min syarri gāsiqin iżā waqab," merujuk pada kejahatan yang muncul saat malam tiba dan kegelapan mendominasi. Malam sering diidentikkan dengan waktu berkeliarannya makhluk jahat, dan waktu di mana kejahatan tersembunyi lebih mudah terjadi.
Ayat 4 secara spesifik meminta perlindungan dari sihir, di mana An-Naffāṡāti fil-‘uqad merujuk pada praktik kuno para penyihir yang meniupkan mantra pada simpul tali untuk merusak atau mencelakai orang lain.
Ayat 5, "Wa min syarri ḥāsidin iżā ḥasad," mengajarkan kita untuk berlindung dari kejahatan hasad (kedengkian) yang dapat termanifestasi menjadi perbuatan jahat. Hasad adalah penyakit hati yang merusak, dan permintaannya adalah agar kita dilindungi saat kedengkian tersebut mulai beraksi.
Surah An-Nas (surah ke-114) melengkapi Al-Falaq. Jika Al-Falaq fokus pada bahaya eksternal, An-Nas fokus pada bahaya internal, yaitu waswas (bisikan) yang datang dari setan dan hawa nafsu yang menyesatkan, baik dari golongan jin maupun manusia.
Terjemah: (1) Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, (2) Raja manusia, (3) Sembahan manusia. (4) Dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi (jika disebut nama Allah). (5) Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, (6) Dari (golongan) jin dan manusia."
Surah ini menggunakan tiga sifat utama Allah: Rabb (Pendidik/Pemelihara), Malik (Raja/Penguasa), dan Ilāh (Sembahan). Penggunaan trilogi sifat ini menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak menjadi tempat berlindung dari segala aspek kehidupan manusia, baik fisik, sosial, maupun spiritual.
Pemusatan perlindungan adalah dari Al-Waswas Al-Khannas. Al-Waswas berarti pembisik atau penggoda. Al-Khannas (yang bersembunyi atau mundur) merujuk pada sifat setan yang akan segera menghilang atau melemah ketika seorang Muslim mengingat Allah (berzikir). Kejahatan terbesar Iblis dan kroni-kroninya adalah melalui bisikan keraguan, kemalasan, dan kesesatan yang ditanamkan langsung ke dalam dada manusia.
Ayat terakhir menjelaskan bahwa pembisik kejahatan tidak hanya berasal dari golongan jin (setan), tetapi juga dari golongan manusia (teman atau lingkungan buruk) yang mendorong orang lain berbuat maksiat. Kedua surah ini (Al-Falaq dan An-Nas) merupakan pertahanan spiritual terkuat yang diajarkan oleh Nabi ﷺ.
Surah Al-Kafirun (surah ke-109) adalah surah Makkiyah, turun pada periode awal ketika kaum Quraisy mencoba menawar Nabi Muhammad ﷺ untuk berkompromi dalam masalah ibadah: mereka akan menyembah Tuhan Nabi selama setahun, asalkan Nabi menyembah tuhan mereka setahun berikutnya. Surah ini adalah deklarasi kemurnian akidah.
Terjemah: (1) Katakanlah (Muhammad), "Wahai orang-orang kafir! (2) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (3) Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. (4) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. (5) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. (6) Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Surah ini mengajarkan bahwa dalam Islam, toleransi sosial dan koeksistensi tidak boleh mengorbankan prinsip Tauhid. Pengulangan penolakan (ayat 2 sampai 5) menekankan pemisahan yang jelas antara cara ibadah Nabi dan cara ibadah kaum musyrik. Pengulangan ini bukan redundansi, melainkan penegasan abadi bahwa tidak ada titik temu dalam hal akidah dan tata cara penyembahan Tuhan.
Puncak dari surah ini adalah ayat keenam, "Lakum dīnukum wa liya dīn." Ini adalah prinsip agung dalam hubungan antaragama: pengakuan hak setiap individu untuk memeluk keyakinan dan menjalankan ibadahnya masing-masing, tanpa ada paksaan atau kompromi teologis. Surah ini juga disunnahkan dibaca saat salat Sunnah sebelum Subuh dan setelah Maghrib, serta saat salat witir, bersamaan dengan Al-Ikhlas.
Surah An-Nasr (surah ke-110) adalah surah Madaniyah dan merupakan salah satu surah terakhir yang diturunkan secara lengkap dalam Al-Quran. Surah ini merupakan kabar gembira atas kemenangan Islam (Fathu Makkah) dan pada saat yang sama, isyarat akan dekatnya ajal Rasulullah ﷺ.
Terjemah: (1) Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, (2) Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, (3) Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.
Ayat pertama merujuk secara spesifik pada "pertolongan" Allah yang berujung pada "kemenangan" (Al-Fath), yang diinterpretasikan mayoritas ulama sebagai penaklukan kota Mekah. Peristiwa Fathu Makkah mengubah peta dakwah, karena setelah kota suci itu jatuh ke tangan Muslim, suku-suku Arab lainnya mulai menerima Islam secara massal, sebagaimana dijelaskan di ayat kedua.
Ayat ketiga memberikan pesan penting yang universal: ketika mencapai puncak keberhasilan atau kemenangan, reaksi yang tepat bukanlah kesombongan atau berleha-leha, melainkan peningkatan ibadah. Perintah untuk tasbīḥ (menyucikan), ḥamd (memuji), dan istigfār (memohon ampunan) menunjukkan kesadaran bahwa kemenangan datang sepenuhnya dari Allah dan seorang hamba harus menutup kehidupannya dengan ketaatan penuh.
Bagi Nabi Muhammad ﷺ, surah ini menjadi isyarat bahwa misinya telah sempurna, dan waktu kembalinya kepada Allah sudah dekat. Oleh karena itu, beliau meningkatkan frekuensi tasbih dan istighfar setelah surah ini diturunkan, mempersiapkan diri menghadap Sang Pencipta.
Selain surah-surah di atas, Juz Amma menyimpan permata lain yang sangat berharga untuk dihafal, direnungkan, dan diamalkan. Surah-surah ini memberikan pelajaran mendalam tentang etika, sejarah, dan hari akhir.
Al-Kautsar (surah ke-108) adalah surah terpendek dalam Al-Quran. Ia turun di Mekah sebagai penghibur bagi Nabi Muhammad ﷺ setelah beliau dicela oleh musuh-musuhnya (terutama Al-'As bin Wa'il) yang menyebutnya al-abtar (orang yang terputus keturunannya, tanpa penerus laki-laki).
Terjemah: (1) Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) Al-Kautsar (nikmat yang banyak). (2) Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah). (3) Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).
Mayoritas tafsir menyatakan bahwa Al-Kautsar adalah nama sebuah sungai atau telaga di surga, yang khusus diberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya, sebagai simbol nikmat yang melimpah ruah dan kebaikan yang tidak berkesudahan. Ini adalah kontras langsung terhadap ejekan 'terputus'.
Perintah di ayat kedua (salat dan berkurban) merupakan manifestasi syukur atas nikmat besar ini. Ayat ini mengajarkan bahwa respons terhadap kebaikan dan pertolongan Allah harus diwujudkan dalam bentuk ibadah yang murni dan tulus, baik ibadah fisik (salat) maupun ibadah harta (kurban).
Surah Al-Ma'un (surah ke-107) berbicara keras tentang kemunafikan dalam beribadah dan minimnya kepedulian sosial. Surah ini menekankan bahwa amal ibadah ritual tidak bernilai jika tidak dibarengi dengan akhlak yang baik dan kepedulian terhadap sesama.
Terjemah: (1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (2) Itulah orang yang menghardik anak yatim, (3) Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (4) Maka celakalah bagi orang-orang yang salat, (5) (Yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, (6) Yang berbuat ria, (7) Dan enggan (memberikan) bantuan (Ma’un).
Surah ini memberikan definisitersembunyi tentang "pendusta agama" sebagai orang yang secara kasat mata mungkin terlihat beribadah (salat), tetapi hatinya keras terhadap kebutuhan sosial. Mereka tidak hanya mengabaikan anak yatim dan orang miskin, tetapi juga mencegah orang lain berbuat kebaikan.
Celaka bagi orang yang salat, bukan berarti salat itu salah, tetapi celaka bagi yang salat namun sāhūn (lalai). Kelalaian ini bisa berarti menunda salat, tidak khusyuk, atau yang paling parah, hanya menjadikannya sebagai pertunjukan (riya). Surah ini mengajarkan integrasi antara ibadah ritual (vertikal) dan amal sosial (horizontal), di mana keduanya harus berjalan beriringan.
Surah Al-Ashr (surah ke-103) adalah surah yang sangat ringkas, hanya terdiri dari tiga ayat, namun memiliki makna yang amat mendalam sehingga Imam Syafi'i rahimahullah pernah berkata, "Seandainya Allah tidak menurunkan selain surah ini, niscaya cukuplah ia sebagai pegangan umat manusia."
Terjemah: (1) Demi masa. (2) Sungguh, manusia berada dalam kerugian, (3) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.
Sumpah Allah demi masa (waktu) menunjukkan betapa berharganya aset waktu. Ayat kedua menyatakan bahwa secara default, manusia berada dalam khusr (kerugian) karena waktu terus berjalan dan usia terus berkurang. Kerugian ini hanya bisa dihindari dengan memenuhi empat pilar utama kebahagiaan dan keselamatan:
Surah ini mengajarkan bahwa keselamatan bersifat kolektif dan proaktif; tidak cukup hanya menjadi orang baik, tetapi harus berperan aktif menjaga kebaikan dalam masyarakat.
Mengingat surah-surah pendek ini adalah pintu gerbang menuju pemahaman Al-Quran yang lebih luas, penting untuk memiliki strategi hafalan yang tepat. Prinsip utama dalam menghafal Al-Quran adalah konsistensi (istiqamah) dan pemahaman makna.
Mufassal (surah pendek) tidak hanya mencakup Juz Amma, tetapi juga surah-surah sebelum Juz Amma yang masih relatif pendek namun kaya akan deskripsi Hari Kiamat, etika moral, dan sejarah nabi-nabi.
Surah Ad-Duha (surah ke-93) adalah surah Makkiyah yang diturunkan pada masa kritis, yaitu ketika wahyu sempat terhenti (fatroh) sehingga Nabi ﷺ merasa ditinggalkan oleh Allah. Surah ini datang sebagai penghibur dan penegasan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan utusan-Nya.
Ayat-ayat awal bersumpah demi waktu dhuha (pagi yang cerah) dan malam yang sunyi, menyangkal anggapan bahwa Nabi telah dicampakkan. Surah ini kemudian mengingatkan Nabi ﷺ akan berbagai kenikmatan yang telah diberikan (misalnya, menjadi yatim lalu dilindungi, tersesat lalu diberi petunjuk, miskin lalu dicukupi).
Pesan moral bagi umat: Karena kita telah menerima nikmat (seperti halnya Nabi), maka kita dilarang melakukan tiga hal buruk: menghardik anak yatim, menolak peminta-minta, dan melupakan nikmat Tuhan. Ini adalah pelajaran bahwa rasa syukur harus diwujudkan dalam tindakan sosial.
Surah Al-Qadr (surah ke-97) adalah surah Makkiyah yang menjelaskan keutamaan malam Lailatul Qadr, yaitu malam diturunkannya Al-Quran. Malam ini memiliki kemuliaan yang melebihi seribu bulan (sekitar 83 tahun), suatu durasi umur manusia.
Surah ini menegaskan bahwa Lailatul Qadr adalah malam penetapan takdir tahunan (seperti rezeki dan ajal) oleh para malaikat dan Jibril, dengan izin Allah. Malam itu dipenuhi kedamaian (salām) hingga terbit fajar. Pemahaman surah ini mendorong Muslim untuk bersungguh-sungguh mencari malam kemuliaan tersebut di sepuluh hari terakhir Ramadan.
Surah At-Tin (surah ke-95) dimulai dengan sumpah demi empat tempat mulia (buah tin, zaitun, gunung Sinai, dan kota Mekah yang aman). Sumpah ini mengantarkan pada kesimpulan tentang penciptaan manusia.
Allah bersumpah bahwa Dia menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (aḥsani taqwīm). Ini merujuk pada kesempurnaan fisik, mental, dan spiritual yang memungkinkan manusia menjadi khalifah di bumi. Namun, manusia yang ingkar akan dikembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh.
Surah ini mengakhiri dengan pertanyaan retoris, menegaskan bahwa Allah adalah Hakim yang paling adil, yang pasti akan memberikan pembalasan yang setimpal atas perbuatan manusia.
Amalan membaca surah-surah pendek tidak terbatas pada lima waktu salat fardhu. Keutamaannya yang besar menjadikannya bagian integral dari zikir dan perlindungan harian seorang Muslim. Mengamalkan surah pendek secara rutin membantu membersihkan hati dan menguatkan ikatan dengan Pencipta.
Tadabbur (merenungkan makna) adalah inti dari pembacaan Al-Quran. Ketika kita membaca Al-Ikhlas, kita harus merasakan keagungan Allah yang Maha Esa dan menolak segala bentuk syirik. Ketika membaca Al-Falaq dan An-Nas, kita harus menghadirkan rasa takut hanya kepada Allah dan memohon perlindungan-Nya dari segala yang membahayakan.
Cobalah membaca surah yang berbeda setiap hari. Misalnya, hari Senin membaca Ad-Duha, hari Selasa membaca Al-Lail, dan seterusnya. Ini memastikan hati selalu mendapatkan porsi refleksi yang segar dan mendalam dari pesan-pesan Al-Quran.
Surah-surah pendek memiliki peran penting sebagai ruqyah (mantra penyembuh atau perlindungan) yang sesuai syariat. Nabi Muhammad ﷺ sering menggunakan Mu’awwidzatain (Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas) untuk membentengi diri dan keluarga dari gangguan sihir, jin, dan penyakit. Amalan ini dilakukan dengan membacanya, meniupkannya ke telapak tangan, dan mengusapkan ke seluruh tubuh, terutama sebelum tidur.
Bahkan, saat beliau sakit menjelang wafat, Aisyah RA sering membacakan surah-surah perlindungan ini dan mengusapkannya ke tubuh beliau karena surah-surah ini adalah penyembuh yang paling ampuh. Keyakinan penuh pada kekuatan ayat-ayat ini adalah kunci keberhasilannya.
Sebagian besar surah pendek yang berada di Juz Amma adalah surah Makkiyah, yang diturunkan sebelum hijrah ke Madinah. Ciri khas surah Makkiyah adalah fokus pada:
Sedangkan surah Madaniyah, meskipun jumlahnya lebih sedikit di Juz Amma, fokus pada hukum, organisasi masyarakat, dan kemenangan umat (seperti An-Nasr). Perbedaan ini menunjukkan bagaimana Al-Quran secara bertahap membangun fondasi keimanan yang kokoh sebelum memberikan panduan hukum dan kemasyarakatan yang lebih kompleks.
Salah satu alasan mengapa surah pendek begitu mudah meresap adalah kemukjizatan bahasanya (I'jaz). Meskipun singkat, surah-surah ini mengandung keindahan ritme, rima, dan pemilihan kata yang sempurna. Misalnya, ritme akhir ayat yang konsisten di banyak surah (seperti Al-Ikhlas atau Ad-Duha) memberikan efek musikal yang membantu memori dan meningkatkan kekhusyukan saat dibaca.
Struktur naratif yang ringkas, seperti janji Allah dalam Ad-Duha atau peringatan dalam Al-Ma’un, menunjukkan efisiensi bahasa yang tiada tandingannya, menjamin bahwa pesan ilahi dapat dipahami secara universal oleh siapa pun yang membacanya, terlepas dari latar belakang linguistik mereka.
Memahami surah pendek adalah perjalanan yang berkelanjutan. Setiap kali surah ini diulang dalam salat atau zikir, ada peluang baru untuk menemukan kedalaman makna yang belum terungkap sebelumnya, menjadikannya sumber hikmah yang tak pernah kering bagi setiap Muslim yang mencari petunjuk Allah SWT.
Surah Al-Humazah (surah ke-104) mengecam keras dua penyakit sosial yang merusak: pengumpat (humazah) dan pencela (lumazah). Surah ini mengajarkan bahwa harta benda yang dikumpulkan tidak akan menyelamatkan pemiliknya dari pembalasan di hari akhir, apalagi jika harta itu membuat mereka sombong dan merendahkan orang lain.
Ayat pertama, "Wailul likulli humazatil lumazah," adalah ancaman celaka bagi orang yang memiliki kebiasaan buruk mencela orang lain di depan umum (lumazah) atau mengumpat di belakang (humazah). Kedua perilaku ini mencerminkan hati yang sakit, yang merasa superior dan senang mencari-cari aib orang lain.
Fokus surah ini beralih ke orang yang percaya bahwa kekayaannya bersifat abadi. Harta benda seringkali menjadi sumber keangkuhan, membuat seseorang lalai dari tujuan hidup yang sebenarnya. Balasan untuk keangkuhan ini adalah dimasukkan ke dalam Ḥuṭamah (Neraka yang menghancurkan), yang digambarkan sebagai api yang dinaikkan oleh Allah dan mampu menembus hati (pusat keyakinan dan niat jahat), bukan sekadar membakar kulit luar. Penggambaran neraka ini sangat menakutkan dan berfungsi sebagai peringatan keras terhadap materialisme yang melalaikan.
Surah At-Takāṡur (surah ke-102) memberikan teguran keras kepada manusia yang disibukkan oleh perlombaan mengumpulkan kekayaan, popularitas, dan kekuasaan, hingga melalaikan kematian dan kehidupan akhirat.
Kalimat "Alhākumu at-takāṡur" (telah melalaikan kamu bermegah-megahan) menunjukkan bahwa persaingan dalam hal duniawi adalah faktor utama yang mengalihkan perhatian dari ibadah dan persiapan menuju akhirat. Parahnya, perlombaan ini terus berlanjut hingga mereka memasuki kubur (ayat 2).
Surah ini kemudian memberikan peringatan tentang ‘Ilmal Yaqīn (ilmu yang yakin) dan ‘Ainul Yaqīn (penglihatan yang yakin). Manusia akan melihat neraka dengan mata kepala sendiri (Ainul Yaqin) dan kemudian ditanya tentang nikmat (yang digunakan untuk bermegah-megahan) pada Hari Penghisaban. Pesan utamanya adalah perlombaan sejati seharusnya adalah perlombaan menuju amal saleh dan keimanan, bukan perlombaan harta benda fana.
Surah Al-Qāri'ah (surah ke-101) adalah salah satu surah yang fokus menggambarkan suasana dahsyat Hari Kiamat. Al-Qāri'ah secara harfiah berarti 'Yang Menggemparkan' atau 'Yang Mengetuk'. Penggunaan kata ini mengindikasikan peristiwa besar yang datang tiba-tiba dengan kekuatan yang menghancurkan.
Surah ini memberikan gambaran visual yang jelas tentang kekacauan di hari itu: manusia akan bertebaran seperti laron yang terbang (rapuhnya keberadaan manusia), dan gunung-gunung akan menjadi seperti bulu yang dihambur-hamburkan (hilangnya segala bentuk kekuatan dan kemegahan alam).
Penentuan nasib di hari itu didasarkan pada timbangan amal. Barang siapa yang timbangan kebaikannya berat, ia berada dalam kehidupan yang menyenangkan (Surga); dan barang siapa yang timbangan keburukannya ringan, tempat kembalinya adalah Neraka Hāwiyah. Kontras yang tajam ini mendorong Muslim untuk serius dalam mengumpulkan amal kebajikan sekecil apa pun, karena timbangan Allah adalah timbangan yang paling akurat.
Surah Al-Balad (surah ke-90) adalah surah Makkiyah yang menggunakan sumpah demi kota Mekah, menegaskan bahwa hidup manusia penuh dengan perjuangan dan kesulitan (kabad). Surah ini mengajukan pertanyaan tentang kesombongan manusia yang mengira tidak ada yang mampu menguasainya.
Surah ini kemudian menyoroti jalur kebaikan yang sulit (al-‘aqabah). Jalan mendaki ini tidaklah mudah, dan Surah Al-Balad menjabarkan apa saja yang termasuk perjuangan mendaki tersebut:
Surah ini menekankan bahwa amal saleh yang paling bernilai adalah yang dilakukan saat seseorang berada dalam kesulitan atau yang melibatkan pengorbanan harta dan kenyamanan demi membantu orang yang paling lemah dan rentan. Setelah melewati Al-‘aqabah ini, manusia akan menjadi golongan kanan (Ashabul Maymanah), sebaliknya, mereka yang tidak peduli akan menjadi golongan kiri (Ashabul Masysya'mah).
Surah-surah pendek Al-Quran, yang menjadi tulang punggung ibadah harian, menawarkan kekayaan spiritual yang tak terhingga. Dari penegasan Tauhid murni (Al-Ikhlas) hingga tuntunan etika sosial (Al-Ma'un), setiap surah adalah miniatur ajaran Islam yang komprehensif.
Komitmen untuk menghafal surah-surah ini, memahami maknanya, dan merenungkan pesan-pesannya dalam salat, adalah langkah pertama yang paling penting dalam membangun kedekatan hakiki dengan Al-Quran. Semakin kita memahami konteks dan tafsir setiap ayat, semakin besar pula khusyuk yang kita peroleh, dan semakin kuat benteng spiritual yang kita miliki dari godaan internal maupun eksternal.
Marilah kita jadikan surah-surah pendek ini sebagai sahabat sejati, yang selalu menyertai lisan kita dalam setiap ibadah, dan menjadi cahaya bagi hati kita dalam menempuh kehidupan dunia yang fana ini. Dengan demikian, kita berharap dapat mengamalkan seluruh kandungan Al-Quran dan meraih kebahagiaan sejati di sisi-Nya.