Al A'raf Ayat 54: Paradigma Penciptaan dan Kedaulatan Ilahi

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ ۗ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
"Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-A'raf: 54)

Ayat mulia dari Surah Al-A'raf ini, yakni ayat 54, merupakan salah satu ayat sentral (ayat *muhkamat*) dalam Al-Qur'an yang secara tegas menyatakan Tauhid Rububiyah (Keesaan Allah dalam Ketuhanan) dan Tauhid Uluhiyah (Keesaan Allah dalam Peribadatan). Ayat ini berfungsi sebagai landasan teologis yang menjelaskan bagaimana alam semesta ini ada, siapa yang mengaturnya, dan hakikat kedaulatan yang mutlak di tangan-Nya. Kedalamannya menjangkau spektrum yang luas, mulai dari linguistik Arab klasik, perdebatan teologi mengenai sifat-sifat Allah, hingga implikasi kosmologis tentang keteraturan jagat raya.

I. Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci Ayat

Untuk memahami pesan fundamental dari Al-A'raf 54, kita harus mengurai setiap komponen kata dalam bahasa Arabnya, karena kekayaan makna bahasa tersebut sering kali hilang dalam terjemahan tunggal. Ayat ini mengandung tujuh terminologi kunci yang membentuk fondasi kosmologi Islam.

1. Khalaqa As-Samawati wal-Ardh (Penciptaan Langit dan Bumi)

Kata Khalaqa (خَلَقَ) berarti menciptakan tanpa contoh sebelumnya, merencanakan, dan mewujudkan dari ketiadaan. Frasa ini menegaskan bahwa segala sesuatu di alam raya, baik yang tampak (bumi) maupun yang tidak terbatas (langit), adalah hasil ciptaan Allah. Penyebutan "langit dan bumi" dalam Al-Qur'an secara keseluruhan sering kali merujuk pada alam semesta secara totalitas (kosmos). Ini merupakan pernyataan tentang kemahakuasaan Allah sebagai satu-satunya Pencipta (Al-Khaliq).

2. Fi Sittati Ayyam (Dalam Enam Masa)

Penyebutan "enam masa" (سِتَّةِ أَيَّامٍ) telah memicu diskusi luas di kalangan mufasir dan ilmuwan. Secara harfiah, ayyam (jamak dari yaum) berarti hari. Namun, para ulama sepakat bahwa konteks penciptaan tidak merujuk pada hari 24 jam seperti yang kita kenal, karena waktu dan rotasi bumi adalah bagian dari ciptaan itu sendiri. Kata yaum di sini ditafsirkan sebagai tahapan, periode, atau masa yang durasinya hanya diketahui oleh Allah. Pemilihan proses enam tahapan, meskipun Allah mampu menciptakan segalanya dalam sekejap ("Kun Fayakun"), menunjukkan pelajaran bagi manusia tentang pentingnya proses, perencanaan, dan tahapan dalam pencapaian yang agung. Penciptaan yang bertahap ini juga selaras dengan ayat-ayat lain, seperti Surah Fussilat [41]: 9-12.

3. Tsumma Istawa 'Ala Al-Arsy (Lalu Dia Bersemayam di Atas Arasy)

Ini adalah bagian ayat yang paling mendalam dan sensitif secara teologis. Istawa (اسْتَوَىٰ) secara bahasa berarti naik, meninggi, atau menguasai. Al-Arsy (الْعَرْشِ) adalah singgasana yang agung, makhluk terbesar yang Allah ciptakan. Secara akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, makna Istawa 'Ala Al-Arsy dipahami sebagai sifat Allah yang wajib diimani tanpa menanyakan bagaimana bentuknya (bi-la kaifa) dan tanpa menyerupakan-Nya dengan makhluk (bi-la takyif wa la tamtsil). Ini menunjukkan kedaulatan mutlak, penguasaan total, dan manajemen tertinggi atas seluruh ciptaan. Allah tidak membutuhkan Arasy, tetapi Arasy adalah manifestasi dari kemuliaan dan kekuasaan-Nya setelah rampungnya penciptaan dasar langit dan bumi.

4. Yughsyi Al-Layla An-Nahara (Dia Menutupkan Malam Kepada Siang)

Kata Yughsyi (يُغْشِي) berarti menutup, menyelimuti, atau mengenakan selimut. Metafora ini melukiskan pergantian malam dan siang yang dinamis dan berkelanjutan. Malam datang menyelimuti siang. Fenomena ini bukan hanya sekadar rotasi, tetapi juga penekanan pada keteraturan yang sempurna. Pergantian ini disebut Yathlubuhu Hathitsan (mengikutinya dengan cepat), menggambarkan presisi kecepatan kosmis yang luar biasa.

Ilustrasi Kosmos dan Keteraturan Ilahi Arsy تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Visualisasi keteraturan kosmos yang tunduk di bawah perintah (Amr) Ilahi, sebagaimana dijelaskan dalam Al-A'raf 54.

5. Musakhkharatin Bi Amrihi (Tunduk kepada Perintah-Nya)

Matahari (الشَّمْسَ), Bulan (وَالْقَمَرَ), dan Bintang-bintang (وَالنُّجُومَ) semuanya disebutkan sebagai musakhkharat (مُسَخَّرَاتٍ). Kata tas'khir berarti menundukkan, memaksa, atau menjadikan sesuatu berkhidmat. Ini adalah inti dari Tauhid Rububiyah: semua benda langit, betapapun besar dan kompleksnya, tidak bertindak atas kehendak mereka sendiri. Mereka beroperasi dalam hukum fisika yang diciptakan dan dipertahankan oleh Allah secara terus-menerus. Keteraturan rotasi, gravitasi, dan orbit adalah bukti bahwa ada Pengatur Tunggal.

6. Lahu Al-Khalqu wal-Amru (Menciptakan dan Memerintah Hanyalah Hak Allah)

Pernyataan ini merupakan klimaks logis dari ayat tersebut. Al-Khalqu (Penciptaan) adalah hak Allah yang mutlak, dan Al-Amru (Perintah/Pengaturan/Hukum) juga mutlak milik-Nya. Tidak ada yang memiliki otoritas untuk menciptakan selain Dia, dan tidak ada yang memiliki otoritas untuk membuat hukum (syariat) selain Dia. Ini menyentuh dua dimensi utama kedaulatan: dimensi fisik (alam) dan dimensi normatif (syariat dan takdir). Kedua domain ini berada di bawah kendali tunggal Allah.

7. Tabarakallahu Rabbul 'Alamin (Maha Suci Allah, Tuhan Semesta Alam)

Ayat ditutup dengan penegasan kekaguman dan pemuliaan. Tabaraka (تَبَارَكَ) berarti Maha Suci, Maha Pemberi Berkah, atau Maha Tinggi Kebaikan-Nya. Allah adalah Rabbul 'Alamin, Pengatur, Pemelihara, dan Pendidik seluruh alam, baik alam manusia, hewan, tumbuhan, jin, malaikat, maupun alam semesta secara fisik.

II. Tafsir Klasik dan Kontemporer terhadap Ayat 54

Para ulama tafsir telah menghabiskan waktu berabad-abad untuk menggali makna ayat ini, khususnya mengenai konsep Istawa dan Sittati Ayyam. Kajian tafsir menunjukkan kekayaan interpretasi yang meskipun beragam, tetap berpegang pada prinsip keesaan dan kesempurnaan sifat Allah.

1. Penafsiran Istawa oleh Mufasir Salaf (Generasi Awal)

Pendekatan Salaf (termasuk Imam Malik, Ahmad bin Hanbal, dan banyak sahabat Nabi) terhadap ayat ini sangat berhati-hati. Ketika ditanya tentang sifat Istawa, mereka menjawab dengan kaidah: “Istawa ma’lum, wal kaif majhul, wal iman bihi wajib, was su’al ‘anhu bid’ah.” (Istawa itu maklum/diketahui maknanya, bagaimana caranya itu tidak diketahui, mengimaninya adalah wajib, dan menanyakan 'bagaimana' adalah bid’ah). Mereka mengimani sifat ini sesuai yang disebutkan Al-Qur'an tanpa melakukan penyimpangan makna (ta'wil) atau penyerupaan (tamtsil), sambil tetap menekankan bahwa Allah tidak memerlukan Arasy.

2. Tafsir Ibnu Katsir: Keterkaitan dengan Tauhid Rububiyah

Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) menempatkan ayat 54 ini sebagai dalil utama Tauhid Rububiyah. Setelah Allah menjelaskan bahwa Dia adalah Pencipta langit dan bumi (Al-Khaliqu), Dia kemudian menegaskan kekuasaan penuh-Nya melalui Istawa 'Ala Al-Arsy. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menyingkap bukti-bukti nyata kekuasaan Allah yang harusnya memotivasi manusia untuk beribadah hanya kepada-Nya (Tauhid Uluhiyah). Keteraturan malam dan siang, serta ketaatan benda langit, adalah saksi bisu keesaan Allah yang tak terbantahkan.

3. Perdebatan Mengenai Sittati Ayyam (Enam Masa)

Mufasir seperti Imam Ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghayb dan Al-Qurtubi dalam Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an mendiskusikan sifat ‘hari’ ini. Beberapa berpendapat itu adalah hari yang sangat panjang, setara seribu tahun di sisi manusia (QS. Al-Hajj: 47), sementara yang lain melihatnya sebagai enam tahapan yang tidak terikat oleh ukuran waktu bumi. Yang terpenting adalah menolak gagasan bahwa penciptaan membutuhkan enam hari istirahat, seperti yang diinterpretasikan dalam tradisi lain—sebuah ide yang secara tegas ditolak oleh Surah Qaf [50]: 38.

4. Tafsir Modern dan Kosmologi

Mufasir kontemporer, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an dan Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, menyoroti ayat ini sebagai bukti Hukum Ilahi yang bekerja dalam kosmos. Hamka menekankan bahwa penyebutan Al-Khalqu wal-Amru (Penciptaan dan Perintah) berarti bahwa Allah tidak hanya menciptakan mekanisme alam (fisika), tetapi juga memerintah dan mengelola detailnya secara terus-menerus. Keteraturan gerak bintang, bulan, dan matahari menunjukkan adanya Hukum Kosmik (Sunnatullah) yang abadi dan tidak pernah goyah, yang seharusnya menjadi cerminan bagi manusia dalam menjalankan hukum-hukum syariat.

III. Implikasi Teologis: Kedaulatan Mutlak (Tauhidul Hakimiyah)

Ayat 54 dari Surah Al-A'raf merupakan tiang utama dalam penegasan Tauhid, khususnya pada konsep Tauhidul Hakimiyah, yaitu pengakuan bahwa hak membuat hukum dan otoritas tertinggi hanya milik Allah. Ini terangkum dalam frasa kunci: Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah (Ala Lahu Al-Khalqu wal-Amru).

1. Keterkaitan Al-Khalqu dan Al-Amru

Penciptaan (Al-Khalqu) menegaskan Allah sebagai Al-Khaliq. Perintah (Al-Amru) menegaskan Allah sebagai Al-Hakam (Sang Pembuat Hukum) dan Al-Mudabbir (Sang Pengatur). Keduanya tidak dapat dipisahkan. Karena Allah yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, logis dan wajib bagi-Nya untuk menjadi satu-satunya yang berhak mengatur dan memerintah ciptaan tersebut.

Jika kita menerima bahwa Allah adalah Pencipta (Khaliqu), maka secara otomatis kita harus menerima bahwa Dia adalah Pemberi Perintah (Amr). Menolak otoritas hukum-Nya sementara mengakui Penciptaan-Nya adalah kontradiksi teologis yang mendasar.

Implikasi praktisnya: Manusia tidak berhak mengambil alih kedaulatan dalam penetapan hukum yang bertentangan dengan syariat Allah, baik dalam skala individu, masyarakat, maupun negara. Otoritas mengatur alam fisik (melalui ilmu fisika) dan mengatur kehidupan sosial (melalui syariat) berasal dari sumber yang sama: Perintah Allah.

2. Konsep Istiwa' sebagai Penguasaan Total

Meskipun kita mengimani Istawa tanpa kaifa, pemahaman fungsional dari Istiwa' adalah penguasaan. Setelah Allah menyelesaikan penciptaan dasar kosmos dalam enam masa, Dia mengambil alih kendali penuh, memastikan bahwa Arasy, sebagai pusat komando, tunduk sepenuhnya. Ini menolak kepercayaan bahwa Allah menciptakan alam dan kemudian membiarkannya berjalan sendiri (deisme). Sebaliknya, Allah secara aktif mengelola setiap detail, mulai dari rotasi elektron hingga pergantian musim, sebagaimana dibuktikan oleh pergerakan matahari, bulan, dan bintang yang tunduk (musakhkharat).

3. Penolakan terhadap Syirik dalam Pengaturan

Ayat ini berfungsi sebagai penolak tegas terhadap segala bentuk syirik (penyekutuan) dalam mengatur alam semesta. Keyakinan bahwa ada entitas lain—baik dewa, malaikat, atau manusia suci—yang dapat mengatur hujan, nasib, atau waktu adalah batal. Segala sesuatu yang bergerak di langit dan bumi hanya bergerak "dengan perintah-Nya." Pengulangan kalimat penutup, "Tabarakallahu Rabbul 'Alamin," menegaskan bahwa hanya Allah yang layak dipuji dan memiliki kekuasaan mutlak atas segala sesuatu, dan Dialah Tuhan bagi seluruh alam.

IV. Keajaiban Kosmologis: Keteraturan Hukum Alam (Sunnatullah)

Al-A'raf 54 adalah salah satu ayat paling kaya yang berbicara tentang Hukum Alam (Sunnatullah) dan sains. Ayat ini mendorong manusia untuk melakukan observasi dan penelitian terhadap keteraturan yang ada, sebagai jalan untuk mengenal Sang Pencipta.

1. Pergantian Malam dan Siang yang Dinamis

Frasa Yughsyi Al-Layla An-Nahara Yathlubuhu Hathitsan (Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat) menggambarkan fenomena rotasi bumi yang menyebabkan pergantian siang dan malam. Kata hathitsan (cepat/gesit) bukan hanya tentang kecepatan, tetapi tentang presisi tanpa jeda dan tanpa cacat. Ini adalah mekanisme alam yang paling mendasar yang memungkinkan kehidupan di bumi.

Jika rotasi bumi melambat hanya sedikit atau tidak teratur, kehidupan akan mustahil. Keteraturan yang gesit ini adalah bukti bahwa alam semesta tidak diciptakan secara acak, melainkan oleh kekuatan yang Mahabijaksana yang mengelola kecepatan, jarak, dan massa secara sempurna. Ini selaras dengan konsep fisika modern tentang konstanta alam yang harus berada dalam batas yang sangat sempit agar alam semesta dapat eksis.

2. Ketaatan Benda Langit (Musakhkharat)

Penyebutan Matahari, Bulan, dan Bintang yang ditundukkan (musakhkharat) memberikan landasan bagi ilmu astronomi dan kosmologi Islam. Penundukan ini berarti benda-benda langit tersebut diprogram untuk menjalankan fungsi tertentu dalam batas-batas yang ditetapkan. Mereka berfungsi sebagai:

Ketaatan kosmik ini menunjukkan bahwa hukum gravitasi, mekanika orbital, dan termodinamika adalah "perintah Allah" yang diwujudkan dalam bentuk fisik. Bagi seorang Muslim, mempelajari fisika dan astronomi adalah mempelajari bagaimana Perintah (Amru) Allah bekerja di alam semesta.

3. Hikmah dari Proses Enam Masa

Penciptaan dalam enam masa, daripada seketika, mengajarkan bahwa bahkan bagi Dzat Yang Mahakuasa, proses memiliki hikmah. Para mufasir menyebutkan dua hikmah utama:

  1. Pelajaran bagi Manusia: Mengajarkan manusia untuk tidak tergesa-gesa dalam urusan duniawi, bahwa hasil terbaik memerlukan tahapan dan kesabaran.
  2. Manifestasi Hikmah: Meskipun Allah mampu, penciptaan bertahap menunjukkan kebijaksanaan dan kerapian-Nya dalam menyusun fondasi kosmos, menjadikan ciptaan-Nya stabil dan teratur.
Ilustrasi Tadabbur dan Ilmu Pengetahuan Tadabbur (Refleksi)

Refleksi mendalam (Tadabbur) terhadap ayat-ayat Allah, yang menghasilkan ilmu dan hikmah.

V. Pelajaran Praktis dan Refleksi (Tadabbur)

Ayat Al-A'raf 54 tidak hanya berbicara tentang realitas kosmis yang jauh, tetapi juga memberikan pelajaran yang sangat mendalam dan praktis bagi kehidupan sehari-hari umat manusia. Konsep kekuasaan dan keteraturan Ilahi harus diterjemahkan menjadi tindakan dan sikap hidup.

1. Penguatan Rasa Syukur dan Ketergantungan (Tawakkal)

Ketika seseorang menyadari skala dan kompleksitas penciptaan (langit, bumi, bintang, malam, siang) yang semuanya diatur oleh satu entitas (Allah), rasa syukur (syukr) harus meningkat. Manusia adalah makhluk kecil dalam sistem kosmik ini. Kesadaran ini menumbuhkan tawakkal, yaitu ketergantungan penuh kepada Allah, karena Dialah yang menguasai dan memerintah segala sesuatu (Lahu Al-Khalqu wal-Amru). Jika Allah mampu mengatur sistem tata surya yang masif tanpa cacat, maka Dia pasti mampu mengatur urusan kehidupan kecil seorang hamba.

2. Kewajiban Menjaga Keseimbangan (Mizan)

Keteraturan yang digambarkan dalam ayat ini, seperti pergantian malam dan siang yang presisi dan gerak bintang yang tunduk, mengajarkan kita tentang pentingnya keseimbangan (mizan) dan ketertiban. Sebagai khalifah di bumi, manusia memiliki tanggung jawab untuk meniru keteraturan kosmik ini dalam perilaku sosial dan lingkungan. Tindakan merusak lingkungan atau menciptakan kekacauan sosial adalah bertentangan dengan prinsip dasar yang diilustrasikan oleh ayat 54—prinsip ketaatan kosmik.

3. Memandang Ilmu Pengetahuan Sebagai Ibadah

Ayat ini secara eksplisit menyebutkan penciptaan dan keteraturan benda langit (matahari, bulan, bintang). Hal ini menjadi dorongan teologis bagi umat Islam untuk mendalami ilmu pengetahuan alam. Mempelajari astronomi, fisika, atau biologi adalah bentuk ibadah (tafakkur) karena setiap penemuan tentang hukum alam adalah penemuan tentang bagaimana Perintah (Amru) Allah diwujudkan. Ilmu pengetahuan adalah jalan untuk melihat kesempurnaan dan kekuasaan Dzat Yang Maha Berkah (Tabarak).

4. Konsistensi dalam Ketaatan (Istiqamah)

Pergantian malam dan siang yang cepat dan tanpa henti mengajarkan pentingnya konsistensi (istiqamah) dalam ibadah dan ketaatan. Sama seperti benda langit yang tidak pernah berhenti dalam ketaatan mereka kepada perintah Allah, seorang hamba juga harus terus-menerus dan konsisten dalam menaati hukum-hukum Allah, tanpa putus asa atau lelah. Keteraturan alam adalah model untuk keteraturan spiritual dan moral.

VI. Hubungan Intertekstual dengan Ayat Lain

Ayat 54 Surah Al-A'raf sering diulang dalam berbagai surah dengan sedikit variasi, yang menggarisbawahi pentingnya tema Penciptaan, Istiwa', dan Kedaulatan. Ayat ini menjadi poros yang menghubungkan banyak pesan teologis fundamental dalam Al-Qur'an.

1. Persamaan dengan Surah Yunus Ayat 3

Ayat 3 Surah Yunus hampir identik dengan Al-A'raf 54, bahkan menambahkan tujuan penciptaan: Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. Tidak ada pemberi syafa’at kecuali setelah ada izin-Nya. Itulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran? Tambahan frasa untuk mengatur segala urusan (Yudabbiru Al-Amra) memperjelas bahwa Istawa adalah tentang manajemen aktif dan konstan. Ini menekankan bahwa kedaulatan Allah (Al-Khalqu wal-Amru) adalah dinamis, bukan statis.

2. Klarifikasi Istiwa' dan Batasan Ilmu

Ayat tentang Istawa muncul di tujuh tempat dalam Al-Qur'an (dikenal sebagai Ayat Istiwa’). Setiap pengulangan menekankan keagungan dan kemuliaan Allah. Contohnya, Surah Thaha [20]: 5: Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas 'Arsy. dan Surah Al-Hadid [57]: 4: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya... Hubungan dengan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu (ilmu tentang yang masuk dan keluar dari bumi) menunjukkan bahwa Istawa tidak berarti menjauhkan diri, melainkan pengawasan yang menyeluruh dan sempurna.

3. Penciptaan Sebelum Istiwa'

Ayat-ayat seperti Surah Fussilat [41]: 9-12 menjelaskan lebih lanjut tentang proses penciptaan enam masa. Penciptaan bumi dan penataan isinya terjadi dalam empat masa, dan penataan langit terjadi dalam dua masa tambahan. Struktur naratif ini memperkuat pesan dalam Al-A'raf 54 bahwa alam semesta adalah proyek terencana, teratur, dan bertahap yang puncaknya adalah penetapan kedaulatan mutlak (Istawa) dan penegasan perintah (Amru).

VII. Kedalaman Makna ‘Tabarakallahu Rabbul ‘Alamin’

Penutup ayat ini, "Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam," adalah penegasan teologis yang melampaui sekadar pujian. Tabaraka mengandung makna keberkahan yang tak terbatas, kesempurnaan, dan ketinggian. Kalimat penutup ini berfungsi sebagai reaksi emosional dan spiritual yang dituntut dari pembaca atau pendengar setelah memahami keagungan proses penciptaan dan manajemen alam semesta.

1. Keberkahan yang Universal

Keberkahan Allah (Tabarak) tidak terbatas pada satu aspek, melainkan merangkumi segala sesuatu yang berasal dari-Nya: penciptaan-Nya sempurna, perintah-Nya adil, dan pengaturan-Nya bijaksana. Jika Dia adalah sumber segala keberkahan, maka mencari keberkahan haruslah hanya melalui ketaatan kepada perintah-perintah-Nya.

2. Pengakuan Terhadap Rabbul ‘Alamin

Frasa Rabbul ‘Alamin (Tuhan semesta alam) menegaskan bahwa Allah adalah Pemilik, Pengelola, Pemberi Rezeki, dan Pendidik bukan hanya untuk manusia, tetapi untuk seluruh entitas (alam) yang ada. Ini mencakup alam ghaib dan alam nyata. Ayat ini mengajarkan inklusivitas kedaulatan Ilahi. Oleh karena itu, ibadah dan ketaatan harus diabdikan kepada Rabb Yang Menguasai seluruh ciptaan, bukan kepada tuhan-tuhan lokal atau parsial.

Dengan demikian, Surah Al-A'raf ayat 54 bukan sekadar narasi penciptaan, melainkan sebuah deklarasi kedaulatan. Ia membuka pintu pemahaman bahwa alam semesta adalah sebuah entitas yang terorganisir dengan sempurna, diatur oleh hukum yang tidak pernah berubah, dan diawasi oleh Dzat yang kekuasaan-Nya melampaui segala batasan pemikiran manusia. Ayat ini mendorong refleksi mendalam, memadukan iman kepada yang ghaib (Istawa) dengan pengamatan terhadap yang nyata (pergantian malam dan siang), sehingga mengukuhkan Tauhid dalam hati setiap Muslim.

VIII. Integrasi Akidah dan Syariah dari Al A'raf 54

Pemisahan antara keyakinan (Akidah) dan hukum praktis (Syariah) sering kali terjadi dalam pemahaman modern, namun Al-Qur'an, khususnya ayat 54, menyatukan keduanya secara erat. Akidah yang benar harus menghasilkan Syariah yang benar, dan keduanya berakar pada konsep Al-Khalqu wal-Amru.

1. Akidah: Fondasi Keesaan Diri (Tauhid)

Akidah dimulai dengan pengakuan bahwa Allah adalah Rabbukum (Tuhanmu) yang menciptakan (Khalaqa) dan yang menguasai (Istawa). Akidah ini menolak segala bentuk polytheisme, agnostisisme, atau deisme. Keyakinan akan enam masa, Istiwa', dan ketaatan benda langit adalah fondasi teologis yang memastikan hati tunduk hanya kepada Allah.

2. Syariah: Manifestasi Perintah (Al-Amru)

Jika Al-Khalqu adalah ranah penciptaan, maka Al-Amru (Perintah/Pengaturan) mencakup ranah Syariah. Allah yang memerintahkan matahari untuk terbit tepat waktu juga yang memerintahkan shalat pada waktu-waktu yang ditentukan. Ketaatan kepada hukum Syariah adalah ketaatan kepada Al-Amru yang sama yang mengatur kosmos. Hukum Fiqih, moral, dan etika Islam adalah refleksi dari keteraturan Ilahi. Ketika manusia mencoba mengatur kehidupannya sendiri tanpa merujuk pada Al-Amru Ilahi, hasilnya adalah kekacauan, seperti sebuah planet yang mencoba keluar dari orbitnya.

3. Ketidaksetaraan Antara Pencipta dan Ciptaan

Ayat ini secara psikologis menyadarkan manusia akan posisi mereka yang sangat kecil. Ketika kita merenungkan kebesaran kosmos, kita akan merasa betapa tidak layaknya kita untuk menentang Syariah yang datang dari Dzat yang mengatur segalanya. Keagungan Istawa 'Ala Al-Arsy menciptakan rasa rendah diri yang diperlukan untuk menerima hukum-hukum Allah secara penuh (taslim).

IX. Kesinambungan Keteraturan dan Pemeliharaan Ilahi

Al-A'raf 54 tidak hanya berbicara tentang proses penciptaan yang telah selesai, tetapi juga tentang pemeliharaan yang berlanjut (tadbir). Keteraturan kosmik bukanlah warisan masa lalu; ia adalah tindakan pemeliharaan yang terus-menerus dan berkelanjutan dari Allah.

1. Kontinuitas Pengaturan (Tadbir Mustamir)

Frasa Yughsyi Al-Layla An-Nahara dalam bentuk kata kerja masa kini (mudhari') menunjukkan aksi yang sedang berlangsung dan berulang-ulang. Ini bukan cerita sejarah tentang apa yang Allah lakukan, melainkan tentang apa yang Allah sedang lakukan dan akan terus lakukan. Setiap detik, Allah memerintahkan malam untuk menyelimuti siang, memastikan matahari dan bulan terus bergerak dalam orbit yang tunduk kepada-Nya. Ini berarti Allah terlibat aktif dalam memelihara stabilitas alam semesta.

2. Penolakan Filsafat Kebetulan (Atheisme Kosmik)

Dengan menekankan bahwa semua benda langit tunduk kepada perintah-Nya (musakhkharat bi amrihi), ayat ini menolak sepenuhnya teori bahwa alam semesta terjadi karena kebetulan acak atau bahwa ia hanya diatur oleh hukum-hukum fisik tanpa Pengatur. Ketaatan benda langit yang masif ini adalah saksi terhadap Kehendak dan Perintah Ilahi yang berada di balik setiap konstanta dan hukum fisika.

3. Penciptaan dan Pemeliharaan: Dua Sisi Mata Uang

Ayat ini mengajarkan bahwa penciptaan (Khalq) hanya menghasilkan materi mentah atau sistem dasar. Pemeliharaan dan pengaturan (Amr) adalah yang menjaga sistem itu tetap berfungsi. Menciptakan sebuah jam adalah satu hal; memastikan jam itu terus berdetak tanpa pernah rusak adalah keajaiban yang lain. Allah melakukan keduanya secara sempurna, dan kesempurnaan inilah yang membuat-Nya pantas menerima pujian mutlak (Tabarak).

Pesan Abadi Al A'raf 54

Al-A'raf ayat 54 adalah ringkasan yang sempurna mengenai kedaulatan Allah. Ia mengikat konsep teologis tertinggi (Istawa) dengan observasi empiris terjelas (malam dan siang, matahari, bulan). Pesannya adalah mutlak: penciptaan, pengaturan, dan penentuan hukum, semuanya berada di bawah otoritas tunggal Allah. Bagi manusia, ayat ini menuntut pengakuan total dan ketaatan yang konsisten, meniru ketaatan abadi yang ditunjukkan oleh seluruh alam semesta.

Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam, yang mengatur segala sesuatu dengan presisi yang tak terhingga.

🏠 Kembali ke Homepage